"Kumohon Kak, bangun lah." Lily menyentuh tangan sang kakak yang terbaring koma di rumah sakit, sudah satu bulan ini pria yang menderita luka bakar tujuh puluh lima persen di tubuhnya itu seolah enggan membuka mata. "Hanya kau yang aku punya, Kumohon bertahanlah."
Gadis berusia dua puluh tujuh tahun bernama Lilyana itu tidak pernah menyangka hidupnya akan sekacau ini, musibah kebakaran yang dialami keluarganya meninggalkan luka mendalam bagi gadis itu, dia yang harus rela kehilangan kedua orangtuanya, ternyata harus kembali bersabar ketika sang kakak yang dinyatakan masih dapat hidup tidak juga membuka mata.
Lantas dia harus bagaimana, terakhir saat sang kakak dinyatakan koma dia hanya bisa berdoa akan kesembuhan pria Malang itu, karena hanya pria itu lah satu-satunya keluarga yang saat ini ia punya.
Lily berjalan menyusuri lorong rumah sakit, dengan lemah gadis itu menyeret langkahnya keluar dari kantin, dia begitu lapar, Ya Tuhan, belum pernah dirinya kelaparan seperti ini saat musibah itu belum terjadi.
Semula hidupnya baik-baik saja, menjadi anak orang yang terpandang di kotanya tidak membuat seorang Lily merasa kekurangan, bisnis yang dijalankan oleh Ayah dan juga kakaknya maju pesat, hingga entah bagaimana ceritanya musibah itu merenggut semua mimpi-mimpi yang keluarga mereka bangun dengan begitu penat.
Lily kembali melirik kartu atm di tangannya, saldo sisa lima puluh ribu itu tidak bisa ia cairkan, sungguh dunia ini berputar, dulu uang setara itu biasa ia berikan pada tukang parkir di tempat hiburan tanpa meminta uang kembalian. Dan saat ini malah dirinya begitu membutuhkan.
"Lily? Benarkah itu kau?" Seorang wanita cantik seumuran dengannya tampak menyapa, Lily menyipitkan matanya, rasa lapar membuat pandangannya sedikit kabur.
"Lura?" Tanya Lily tidak percaya, gadis itu bertemu dengan sahabatnya saat kuliah.
Gadis cantik bak model majalah fasion terbaru itu kemudian tersenyum, "iya Ly, ini aku," ucapnya. Dan melihat sahabat lamanya itu begitu lemah dia kemudian bertanya. "Kau tampak terlihat kurang sehat, apa yang terjadi?"
Bukannya menjawab pertanyaan sahabat lamanya, Lily malah menutup mulut untuk menahan isak, ia tidak bisa membendung laju airmata saat mengingat nasib dirinya yang begitu merana. Gadis itu kemudian menangis.
***
"Ya Tuhan mengapa bisa seperti itu?" Komentar Lura saat dia menceritakan tentang musibah yang menimpa keluarganya. "Pada saat itu kau sedang di mana?"
"Aku membuka usaha toko bunga, dan asisten papa mengabarkan bahwa rumah keluargaku telah terbakar, begitu juga dengan kantor yang ia dirikan, semuanya habis tak bersisa," tutur Lily, gadis itu tampak tidak sanggup melanjutkan ceritanya.
Lura memberikan dukungan dengan mengusap punggung sahabatnya itu dengan lembut,"bersabar lah Ly, aku yakin kau pasti bisa melewati ini semua," ucapnya.
Lily menggeleng, "Aku tidak yakin Ra, bagaimana aku bisa bertahan hidup dengan tidak punya apa-apa, semuanya habis terbakar, dan keluarga satu-satunya yang aku miliki terbaring koma di rumah sakit, aku harus bagaimana?" Lily terlihat begitu putus asa.
Belum sempat menanggapi, kedatangan pelayan dengan membawa nampan berisi menu yang mereka pesan berhasil mengalihkan perhatian. Keduanya berada di sebuah restoran, sahabatnya itu berkenan memberikan traktiran.
"Makan lah Ly, kau pasti lapar," ucap Lura, perempuan itu mengambil makanan bagiannya.
Meski lapar, tapi Lily tetap punya adab untuk makan, baginya kesopanan nomor satu. Dirinya adalah seorang gadis yang patuh pada aturan, meski beberapa minggu ini dia telah menjalani rasanya hidup miskin, jiwa kaum bangsawan tidak serta luntur dari dirinya.
"Lalu apa rencanamu kedepan?" tanya Lura di sela makan.
Lily mendongakkan pandangannya dari piring, menelan kunyahan dalam mulutnya kemudian menggeleng, "aku bingung harus apa, selama ini aku tidur di rumah sakit menemani kakak, dan sekarang malah pengobatannya harus dihentikan, aku benar-benar bingung harus mencari uang kemana," jawabnya.
"Kau butuh uang berapa?"
Lily agak sedikit ragu, mungkin baginya yang dulu uang sebesar itu buklah apa-apa, tapi saat ini begitu sulit mengejar angka sebanyak itu, terlebih dalam waktu yang terbilang singkat. "seratus juta, Ra, biaya pengobatan kakakku juga rawat inap sudah lama menunggak," ucapnya.
Lura yang semula begitu antusias mendadak lemas, jika hanya puluhan juta mungkin dirinya bisa bantu, tapi seratus juta bukanlah jumlah yang sedikit, dia harus mengumpulkan beberapa minggu jika ingin mencapai itu.
"Aku punya tapi mungkin agak sedikit lama," ucap Lura, mencoba meringankan beban pikiran sahabatnya.
Namun Lily menggeleng, "tidak Ra, seratus juta bukanlah jumlah yang sedikit, aku juga tidak akan mampu mencicilnya dalam waktu dekat, dan lagi pengobatan kakakku akan dihentikan dua hari lagi," ucapnya panjang lebar.
Lura yang sudah selesai dengan makanannya kembali berkomentar. "Jika secepat itu aku tidak akan mampu," ucapnya.
Lily mengangguk, sedikit mendorong piring bekas makannya ke tengah meja, "tidak apa, aku mengerti," ucapnya.
"Tapi aku bisa memberikanmu sedikit solusi, untuk gadis cantik sepertimu bukan hal yang sulit mendapatkan seratus juta dalam semalam."
"Maksudmu?" Tanya Lily tidak mengerti.
Lura mencondongkan tubuhnya, berharap percakapan berikut tidak dapat didengar oleh siapa-siapa, dan reaksi gadis yang menjunjung tinggi kehormatan dan harga dirinya itu tentu saja begitu terkejut.
"Kau gila," umpat Lily.
Lura terkekeh pelan, "hidup di ibu kota memang kejam Ly, untuk bertahan di atas orang-orang banyak yang menginjak mereka yang berada di bawah," ucapnya.
Lily menggeleng. "Lalu apa hubungannya dengan jual beli yang kau tawarkan?" tanyanya tidak mengerti.
Lura tersenyum, "tidak ada hubungan apa-apa, aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa untuk bertahan memang harus ada yang dikorbankan."
"Tapi tidak dengan menjual diri juga," tolak Lily geram, kemudian mengedarkan pandangannya saat ucapan barusan tidak bisa dibilang pelan.
Lura kembali terkekeh, "lalu apa, kau mau menjual ginjalmu?" Sindirnya.
"Ah, aku bisa mati," balas Lily.
"Nah untuk itu lakukanlah, demi kesembuhan kakakmu, Ly, pikirkan saja itu," ucap Lura sembari menelusuri lekuk tubuh sahabatnya, "Kau begitu cantik, bahkan saat kuliah dulu kau adalah primadona, kurasa seratus juta mendapatkanmu tidak akan kecewa, aku saja dulu bahkan hanya lima puluh juta."
"Astaga!" Lily reflek menutup mulutnya, merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan sahabat lamanya itu. "Kau melakukan itu?"
Lura memutar bola mata, keterkejutan gadis di hadapannya terasa begitu berlebihan menurutnya, "tentu sajalah, kau pikir darimana aku bisa hidup semewah ini, kau tau sendiri bahwa keluargaku adalah orang yang tidak punya, tidak mungkin aku bisa hura-hura," ucapnya.
Lily masih tidak percaya, memang benar keadaan sahabatnya itu tidak semewah ini sebelumnya, tapi tentu dia tidak menyangka bahwa Lura bisa menjadi simpanan pejabat kaya.
Percakapan itu telah berakhir beberapa menit yang lalu, ditutup dengan penolakannya terhadap ide gila sahabatnya itu, dia tidak mungkin menjual diri, bagaimana gadis itu mampu menyambangi makam kedua orang tuanya jika hal itu benar terjadi, ayah ibunya tentu akan memilih mati untuk yang kedua kali.
Seolah semesta berkata lain, satu dokter yang menangani sang kakak juga para sistennya terlihat setengah berlari memasuki ruangan dimana saudaranya itu dirawat.
Lily terpaku di tempatnya, perasanya sungguh tidak enak, dengan erat gadis itu menggenggam kartu nama Lura di tangan kanannya, kira-kira apa yang terjadi dengan sang kakak.
Gadis itu sedikit berlari menghampiri ruangan, dan satu suster mencegahnya untuk masuk ke dalam. "Tolong biarkan saya masuk, apa yang terjadi dengan kakak saya, tolong biarkan saya melihatnya."
Perempuan berseragam putih itu menggeleng, "maaf Nona, dokter sedang melakukan penanganan, diharap tunggu sebentar."
Mendengar itu Lily kemudian menangis, kakinya yang begitu lemas membuat gadis itu memilih mendudukan dirinya di kursi tunggu, pikirannya semakin kacau, apakah ini pertanda bahwa sang kakak akan segera meninggalkannya, dan dirinya tidak siap untuk sendiri, tidak akan pernah.
***iklan***
Authir: perkenalan dulu ya, jangan lupa di like sama klik faforit, nanti dilanjut setelah Noisy tamat, biar aku bisa fokus sama ini cerita.
Netizen: thor itu mbak Lily yang dulu bukan si.
Author: Eh bukan ya sayangku, nanti kedepannya pasti dijelasin ini mbak Lily yang mana wkwkwk sabar ya.
Netizen: kenapa namanya sama thor.
Author: karena aku suka banget sama Lily dan Willi wkwkwk
William Handelson adalah pria kaya berjuta pesona, tidak ada yang tidak bisa ia dapatkan dengan sekejap mata, baginya isi dunia ini begitu mudah untuk ia genggam di tangannya, kecuali urusan cinta.
Pria itu sudah menyerah dengan perasaannya sendiri, pernah sekali patah hati ditinggalkan gadis bernama Lily membuat seorang William terpaksa menerima perjodohan dengan mantan teman kecilnya yang juga tidak bertahan lama.
Namanya Eva, meski hatinya sudah tertambat pada sang mantan kekasih, tapi wanita bernama Greteva itu berhasil menumbuhkan benih-benih cinta di dalam dirinya selama beberapa bulan mereka hidup bersama.
Namun sepertinya Tuhan lebih sayang pada wanita itu, kecelakaan yang merenggut semuanya membuat seorang William bersumpah untuk tidak lagi jatuh cinta, luka hatinya sudah terlanjur parah, dan membekukannya menjadi pilihan yang ia ambil, untuk kehidupan berikutnya.
Bisnis ekspor-impor yang dijalankan bersama sahabatnya Justin kini berkembang pesat, memiliki maskapai penerbangan sendiri membuat seorang William lebih leluasa mengendalikan usahanya hingga merambah ke dunia gelap, bagi pria itu hidupnya sudah tidak berarti apa-apa, perasaan dan cinta yang tidak ia miliki dari siapapun termasuk kedua orangtuanya, membuat William mencari kebahagiannya sendiri dengan cara bersenang-senang dengan apa saja, kekuasaan, wanita, dan uang, semua sudah ada di genggamannya.
"Bodoh!" Bentak William pada seseorang di balik telepon, pria itu memutar kursi kebesaran yang ia duduki untuk menghadap para ajudan yang menunggunya memberi perintah.
Dan saat ponsel digenggamannya ia matikan, dengan serentak para pria bertubuh besar yang memperhatikan atasannya itu menunduk dalam. "Habisi orang bodoh itu!" Perintahnya yang segera membuat anak buahnya seketika bergerak melangkah keluar.
"Bisa-bisanya mereka lengah," gerutu pria itu dengan mengepalkan tangan dan ia pukulkan ke permukaan meja, dia benar-benar tidak terima.
Kecuali satu pria yang adalah tangan kanannya, hanya dia yang berani mendekat, "ada tiga orang yang terlibat melakukan penyusupan, dan semua sudah ditangkap."
William beranjak berdiri, tanpa berkata apapun pria itu melangkah pergi dan pria bernama Davin dengan sigap mengikuti.
Saat masuk ke dalam mobil mewah miliknya, William membuka ponselnya dan membaca pesan-pesan yang ada. Davin ikut masuk dan duduk di balik kemudi, tanpa bertanya lagi, pria muda itu melajukan kendaraannya menuju tempat yang akan mereka datangi.
Gedung kosong yang memang dibiarkannya terbengkalai menjadi tempat tujuan keduanya, dari luar yang tampak masih berantakan karena proses pembangunan, tidak ada yang menduga bahwa di dalamnya sudah begitu rapi. sebuah tempat perkumpulan yang tidak terjamah oleh pihak kepolisian.
William masuk ke dalam ruangan di mana para anak buahnya sudah berkumpul di sana, pria itu duduk di kursi putar yang menghadap pada ketiga penyusup yang berlutut dan diikat di hadapannya.
Setelah beberapa saat memperhatikan wajah-wajah di hadapannya, William memberikan code pada salah satu anak buahnya yang dengan sigap membuka perekat yang menutupi mulut pria yang berlutut di barisan pertama.
"Katakan, kau bekerja untuk siapa?" Tanya Davin lantang.
Pria dengan keadaan yang sudah setengah babak belur itu tampak menatap mereka dengan tajam, "lebih baik aku mati," tantangnya yang membuat kedua temannya yang juga diikat seketika menoleh.
Dan sebuah tembakan terdengar setelahnya, Davin dengan suruhan dari pria yang duduk di sebelahnya berdiri itu, mengarahkan pelatuk pada dua pria yang tersisa dan langsung menunduk.
"Sa, saya tidak tau," ucap salah satu pria setelah dibuka perekat yang menutupi mulutnya, dan sebuah tembakan kembali menggema di dalam ruangan yang kedap suara.
Pria ketiga yang juga masih terikat tampak gemetaran, mulutnya terbuka secelah, "ka, kami bekerja untuk F Grup," ungkapnya. "Tolong jangan bunuh saya, istri saya sedang hamil," mohon pria itu yang tidak lama kembali menjadi sasaran penembakan berikutnya.
William sudah memilih untuk tidak peduli dengan apapun alasan yang diberikan para mangsanya, karena menurut pria itu, perasaan iba hanya akan membuat dirinya menjadi lemah.
William sejenak terdiam, dia tau F grup, perusahaan itu yang ia tolak saat meminta bekerja sama, dan sekarang pimpinannya mengirim orang untuk menjadi mata-mata.
Mereka sudah menduga bahwa bisnis yang William jalankan ternyata menyalahi aturan, dan pria itu tau perusahaan besar sekelas F grup ingin sekali menumbangkannya. Dan yang F grup tidak pernah tau, William tidak akan tinggal diam dengan siapapun yang mengusik kenyamanannya.
"Ada yang ingin bermain-main denganku, Dav," ucap William dengan senyum sinis di bibirnya, dari nadanya yang tampak geram Davin sudah menduga, dengan apa yang akan bosnya itu lakukan selanjutnya.
***
William duduk bersandar di kursi kebesarannya, di tangan pria itu berkas-berkas yang diberikan oleh Davin untuk ditandatangani dengan teliti ia periksa.
Dering telepon membuat Davin dengan sigap menekan tombol sambungan. "Selamat siang, Tuan. Ada Pak Justin ingin bertemu dengan anda," ucap suara yang keluar dari benda tersebut.
"Biarkan dia masuk," balas William, menyerahkan berkas-berkas di tangannya pada Davin yang dengan sigap menerima. "Berikan lagi padaku nanti," ucapnya dan pria bertubuh kekar itu kemudian mengiyakan.
Suara pintu terbuka membuat keduanya menoleh, William memberikan isyarat yang membuat Davin dengan hormat undur diri, dan mengangguk saat berpapasan dengan Justin di depan pintu.
Justin mendekat, meletakkan setumpuk surat kabar di meja sahabatnya, "Kau yang melakukan semua ini?" tebak pria itu.
Sekilas William melirik kabar berita yang dimuat pada halaman pertama, musibah kebakaran kantor perusahaan F grup, tertera sebagai judul halaman.
"Aku punya alasan untuk itu," balas William.
Justin menghela napas, kemudian mengusap wajahnya gusar, setelah peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya, pria itu tampak semakin liar. Justin tidak ingin melihat William larut dalam kesedihan. Tapi dia bisa apa, sahabatnya itu dari dulu sulit sekali berubah.
"Satu bulan ini sudah lebih dari tiga perusahaan yang kau hancurkan dalam semalam, mereka salah apa?" tanya Justin, kerutan di dahi pria itu menandakan bahwa ia benar-benar tidak mengerti.
William tersenyum, "Kau sungguh begitu perhatian, aku bahka tidak menghitungnya," ucap pria itu.
"Will," geram Justin.
William terkekeh, berdiri dari duduknya kemudian bersandar pada meja, "bisnis mereka lebih kotor dari aku, persaingan semakin ketat Just, prinsipku berkuasa atau mati."
"Aku hanya tidak ingin kau menyesal di kemudian hari." Justin menasihati.
"Penyesalanku sudah lama terkubur, sejak My Lily memutuskan untuk pergi karena dosa di masa lalu, dan jika memang aku bisa lebih brengsek daripada itu, kurasa tidak akan ada penyesalan berikutnya," tutur William panjang lebar, menegakkan duduknya kemudian melangkah pelan. "Mungkin hanya Eva yang mencintaiku apa adanya, menerima coretan buruk dari catatan di masa lalu, tapi wanita itu bahkan pergi juga."
"Bukan atas keinginannya dia meninggalkanmu Will," ucap Justin mengingatkan, tentang mendiang istri sahabatnya itu yang berpulang dengan cara yang mengenaskan.
William melipat tangannya di depan dada, berdiri di depan kaca dengan pemandangan hiruk pikuk ibu kota di bawah sana. "Wanita yang datang atau kuundang, kini tidak ada yang akan menetap, pintu hatiku sudah kututup rapat."
**iklan**
Author : Mohon maaf nih updatenya telat, maklum lah ya mau lebaran gini pasti sibuk. 😌
Netizen: Sibuk apa thor belanja baju lebaran 🤔
Author: Kaga lah orang gue dirumah aja, ya paling sibuk nyuci toples buat tempat rengginang 😒
Netizen: Asal jangan ditaro di kaleng kong guan aja thor 😏
Author: ya nggak lah kaleng kongguannya udah di isi kerupuk 😆
Netizen: 😑😑
Author: tolong like sama komen nextnya ya biar aku semangat, kalo ada tulisan yang gak masuk akal boleh kasi kritikan dan saran asal jangan julid.
Lily yang menunggu dengan gelisah kemudian menoleh saat seseorang membuka pintu ruang rawat saudaranya. Gadis itu dengan cepat beranjak berdiri. "Bagaimana keadaan kakak saya?" Tanyanya pada dokter Daniel yang sudah lama dia kenal.
Daniel adalah dokter muda yang tampan, mereka sudah saling kenal sejak kuliah, hingga beberapa tahun tidak pernah bertemu, kali ini harus dipertemukan saat keadaan gadis itu yang cukup memprihatinkan.
Untuk menenangkan gadis yang terlihat khawatir di hadapannya itu, Daniel tersenyum. "Sudah membaik, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini akan kembali terjadi," ucapnya yang membuat gadis di hadapan pria itu jadi tertegun. "Kakakmu butuh perawatan lebih lanjut," imbuh pria bersneli putih itu.
"Apakah keadaan kakak ku sudah begitu parah, berapa persen kemungkinannya dapat tertolong?" tanya Lily dengan tatapan kosong.
Daniel mengerutkan dahi. Menyentuh pundak Lily hingga gadis itu kemudian menoleh, "Kau ingin menyerah?" tanyanya tidak percaya.
Lily nyaris menangis saat berkata, "aku harus bagaimana, Niel, aku tidak punya apa-apa sekarang," ucapnya lirih.
Pria itu menurunkan tangan dari pundak gadis di hadapannya, "aku bisa membantumu jika kau tidak keberatan," tawarnya.
Mendengar itu, dengan cepat Lily menggeleng, "tidak Niel, kau sudah terlalu banyak membantu, aku tidak akan mampu mengganti itu," tolaknya dengan halus, gadis itu terlalu takut dengan hutang budi.
Daniel menggeleng, "Kau tidak harus terlalu memikirkannya, yang terpenting Kakakmu sembuh dulu," ucapnya memberi semangat.
Perlahan Lily beranjak ke arah pintu, melihat keadaan sang kakak dari kaca yang terdapat pada benda itu, tangannya terangkat menyentuh permukaan kaca, seolah menyentuh wajah sang kakak yang berbaring di dalam sana." Berapa kemungkinan besar dia dapat hidup setelah operasi?" tanyanya tanpa menoleh.
Daniel melangkah mendekat saat berkata kemungkinan hidup pasien yang cukup kecil, tapi pria itu terus meyakinkan gadis di hadapannya bahwa keajaiban tentu ada. "Percayalah, Kakakmu itu orang yang kuat. Aku sudah lama mengenalnya," ucap pria itu.
Lily memejamkan mata, ia bingung dengan apa yang dapat dirinya lakukan, haruskah ia menerima tawaran Lura, tapi hal itu sungguh tidak mungkin, semua mimpi, cita-cita juga harapannya menjadi wanita terhormat dan bersuamikan pria yang menjadi pilihannya, tentu akan hancur dalam semalam, dia akan menjadi sampah setelah itu, tapi sepertinya itu adalah jalan satu-satunya yang dapat dia lakukan di saat sesulit ini.
"Katakan Kak, apa yang harus aku lakukan?" tanya Lily pada sang kakak yang berbaring memejamkan mata di hadapannya, perban yang menutupi sebagian wajah pria itu tidak lantas membuat Lily lupa dengan wajah tampan yang selalu menyuguhkan senyuman, dia begitu rindu.
Lily mendudukkan dirinya di kursi dekat ranjang di mana kakaknya itu berbaring, "Kak Leon kumohon bangunlah," ucapnya dengan meraih jemari pria itu. "Katakan Kak apa yang harus aku lakukan?" tanya gadis itu sekali lagi, dengan kening yang ia tempelkan pada sisi ranjang, memikirkan itu semua membuat kepalanya semakin pusing.
Tanpa mendongakkan kepala Lily terus mengoceh, meminta pendapat pada sang kakak yang ia harap dapat mendengar keluh kesahnya. "Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Kak, besok semua alat bantu pernapasan di tubuhmu akan dihentikan, aku harus bagaimana?"
Lily memejamkan mata, gadis itu nyaris tertidur saat tiba-tiba merasakan jemari sang kakak yang terasa bergerak di genggamannya." Kak? Kau mendengarku?"
Gadis itu menekan tombol untuk memanggil petugas kesehatan, dan dengan cepat Daniel yang ikut senang dengan berita yang disampaikan oleh gadis itu segera melakukan pemeriksaan.
"Jadi, apakah kemungkinan kakakku bisa sembuh cukup besar?" tanya Lily pada Daniel yang melepaskan stetoskop dari telinganya.
Pria itu tersenyum, "aku tidak dapat memastikan, yang jelas kakakmu punya semangat untuk sembuh, alam bawah sadarnya merespon sentuhanmu, teruslah beri semangat Ly, kakakmu ingin pulih."
Lily nyaris menangis karena bahagia, gadis itu begitu senang dengan berita yang dibawa oleh teman lamanya itu, meskipun kemungkinan sembuh masih tetap kecil, tapi setidaknya dengan seperti itu Lily cukup yakin dengan keputusan apa yang harus ia lakukan.
***
Daniel mengajak Lily makan malam di kantin rumah sakit, sekalian ada yang ingin disampaikan oleh pria itu.
"Aku sudah berusaha mengajukan keringanan biaya untuk kakakmu, tapi mereka tentu saja ikut peraturan, katanya pihak rumah sakit sudah terlalu banyak memberikan kebijakan," tutur Daniel, perihal perawatan Leon yang besok akan dihentikan, pria itu terus menyayangkannya, karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Lily sedikit terkejut saat pria yang duduk di seberang meja itu meraih tangnya untuk dia genggam, gadis itu bukannya tidak tau tentang perasaan dokter Daniel, tapi untuk kondisinya sekarang ini, keluarga pria itu tentu saja tidak akan menerimanya, jadi dirinya harus memendam kenyataan bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama.
"Iya, aku mengerti," balas Lily, perlahan menarik tangannya dari gengaman pria itu dan berpura-pura menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Kau sudah terlalu banyak membantu," imbuhnya.
Daniel menghela napas berat. "Aku menyesal, tapi harus bagaimana lagi, bukan aku pemilik rumah sakit ini," ujarnya denga lemah.
Lily mengangguk, bersamaan dengan itu pelayan yang datang membawa pesanan mereka mengalihkan perhatian keduanya.
"Kamu tidak makan?" Tanya Daniel saat melihat pesanan Lily yang hanya berupa segelas jus buah.
Lily menggeleng, "aku tidak lapar," ujarnya yang memang sedang tidak bernafsu untuk makan apapun. Memikirkan tentang biaya rumah sakit membuat gadis itu enggan mengunyah makanan, rasanya begitu lemas.
"Makan lah meski sedikit. Aku tidak ingin kau jatuh sakit," ucap Daniel tulus.
Lily yang sempat tertegun kemudian tersenyum, Daniel pria yang sangat baik, dan mengharapkan pria itu menjadi pendampingnya kelak sepertinya terlalu muluk. "Nanti aku makan, kau tidak perlu khawatir," ujarnya.
Daniel yang mengangguk kemudian menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulut, terlalu sibuk dengan pasien-pasiennya terkadang dia sampai lupa jadwal makan, "setelah ini, apa yang akan kau lakukan? Apa kau butuh pekerjaan? Biar aku carikan," ucap pria itu panjang lebar.
"Pekerjaan kurasa memang perlu, tapi untuk sekarang aku belum siap menyiapkan semua itu, toko bungaku pun cukup terbengkalai minggu-minggu ini." Lily berkata dengan pandangan yang menerawang, dia hampir lupa dengan usaha kecilnya yang dia bangun karena hoby saja, tidak disangka hal itu sekarang menjadi satu-satunya penghasilan yang dapat menopang hidupnya.
Teringat sesuatu Lily kembali memusatkan perhatiannya pada pria yang sibuk makan di seberang sana. "Ah iya Niel, hutangku pasti akan kubayar, aku harap kamu bisa sabar," ucapnya hati-hati.
Daniel mendongakkan pandangannya dari piring, menatap gadis di hadapannya dengan menghela napas berat, "sudah kubilang kan, jangan terlalu memikirkan itu," ucapnya.
Lily yang menggeleng kemudian menyunggingkan senyum, "tidak Niel, aku pasti akan membayarnya," kekeh gadis itu, dan pria di hadapannya hanya mengangkat bahu.
**iklan**
Author: masih pada bingung ya, wkwkwk ini kisah Bang bule alias William temennya Bang Entin ya. Dan Lily pemeran utama namanya Lilyana Fernandes. Kalo Lily yang dulu Lilyana Elramos. Wkwkwk 😆
Netizen: Kenapa harus sama sih thor namanya, nama kan banyak, Jubaedah kek. 😏
Author: Yakali Jubaedaah 😒 sengaja aku kasih nama yg sama karena sesuai jalan cerita.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!