Andin berlari-lari kecil menuju cafe tempatnya bekeja paruh waktu sepulang kuliah.Dia sudah telat lima menit dari waktu yang ditentukan untuk ganti shift.
Dengan napas tersengal-sengal Andin masuk dari pintu belakang cafe, di sana Sudah menunggu teman kerja yang akan berganti shift dengannya.
Gina menatapnya jengkel, setiap hari dia harus menunggu Andin yang selalu datang telat ketempat kerja.
"Udah berasa jadi pemilik cafe kamu ya , datang seenak hatimu saja" tegur Gina dengan wajah garang.
"Maaf Gin aku harus menunggu jam kuliahku usai." Andin memberi penjelasan dengan nafas tersengal, penjelasan yang hampir setiap hari dia berikan pada Gina saat dia telat seperti saat ini.
Gina tak menyahut, dia memilih pergi berkemas lalu kemudian pulang. Andin bergegas mengganti bajunya dengan seragam waiters di ruang ganti, kemudian pergi ke ruang depan menjalankan tugasnya sebagai pramusaji.
Mata beberapa karyawati menatapnya dengan sinis, Andin sudah biasa dengan perlakuan mereka, bisik bisik tak sedap pun kerap kali dia dengar, Andin memilih tak menanggapi ocehan mereka, yang dia butuhkan adalah mencari uang untuk biaya hidup walaupun kadang tak cukup.
"Enak ya jadi simpanan pemilik cafe , datang seenak nya gak takut di pecat. Ya gak.." Sindir Ani teman kerjanya.
"Aah aku mah ogah jadi simpanan cuma jadi waiters." Timpal Lala seraya melayangkan tatapan sinis kearah Andin.
Andin tak merespon ,dia memilih melayani pengunjung yang lumayan ramai, maklumlah malam ini malam minggu, kesibukan membuat Andin melupakan sejenak beban hidupnya.
Andin menyeka keringatnya dengan tisu, rasa lelah mendera tubuhnya,tamu yang membludak membuat dia dan yang lainnya kerepotan.
"Din ini antar ke meja nomor tujuh.." Pinta Dimas sembari menyerahkan baki di tangannya. Andin tak langsung penerima nampan yang di sodorkan Dimas.
"Bukannya itu pesanan kamu ya Dim.."
"Iya tapi dia minta kamu yang antar." jelasnya seraya menyodorkan nampan berisi pesanan dari meja nomor tujuh.
Andin meletakan pesanan pelanggan di atas meja nomor tujuh, kemudian menyapa mereka dengan senyum ramah.
"Silahkan.." Ujar Andin mempersilahkan. Manik hitamnya menatap ramah lelaki tampan penghuni meja nomor tujuh.
"Din, temui aku setelah jam pulang kerja." Ujar pelanggan itu dengan suara dalam.
Andin mengangguk , kemudian berlalu dari meja nomor tujuh.
"Kau tidak lelah mengabaikan pelanggan setia mu Din.." Ujar Dimas saat Andin tiba di dekatnya.
Andin menaikkan sudut bibirnya menanggapi kalimat Dimas.
"Lelaki seperti dia jangan di tolak Din sayang..." imbuhnya lagi, Andin hanya senyum menanggapi ocehan Dimas.
Andin menatap sekilas sosok lelaki tampan yang sudah setahun ini berusaha mendekatinya. Lelaki dengan postur tubuh tinggi tegap, berkulit putih, memiliki alis tebal dengan sepasang bola mata elangnya ditambah hidung bangir yang bertenger dengam kokoh di wajah tampannya, membuat siapapun yang memandangnya tak ingin berpaling.
"Hey, ini tempat kerja bukan tempat melamun." Seru Lala sewot seraya melirik tajam kearah Dimas dan Andin.
Dimas menatap Lala, tepatnya tubuh sexsy Lala yang mampu membangkitkan imajinasi kotornya. Sayang Lala terlalu galak dan sombong.
"Sayang mulutnya setajam silet. Kalau tidak sudah kugarap dia di ranjang." omel Domas netranya tak lepas dari mematap tubuh molek Lalla yang sudah menghilang di balik ruang.
"Dasar otak me sum!" umpat Andin sembari meninggalkan Dimas.
Dimas terkekeh, diantara karyawati cafe hanya Andin yang tidak banyak bicara dan tak banyak tingkah, tapi sebagian pegawai wanita tak menyukainya.
Lima belas menit lagi cafe tutup Andin dan yang lainnya mulai beberes, hanya tinggal beberapa pengunjung yang masih berada di ruang itu.
Di pintu masuk tampak sosok lelaki tampan berjalan masuk ke dalam cafe, pria yang tak lain adalah pemilik cafe.
Angga wijaya, melangkah menuju ke ruangannya.
"Andin ikut ke ruanganku" ujarnya seraya menatap Andin sekilas, sebelum akhirnya masuk kedalam ruangan.
Tentu saja hal itu langsung di sambut tatapan cemburu para karyawan wanita yang diam-diam mengagumi sosok bosnya itu.
Andin menghela nafas dalam, sudah beberapa kali dia mengingatkan Angga agar tidak memperlihatkan kedekatan mereka di depan karyawannya, tapi Angga sama sekali tidak perduli.
Andin mengetuk pintu ruangan Angga dengan malas. Dari dalam terdengar suara barito mempersilahkan dia masuk.
"Masuklah."
Andin melangkah masuk ruangan kerja Angga yang berukuran lumayan luas dengan nuansa gelap.
"Kemari.." ujar Angga melambai pada Andin yang berdiri dengan jarak lumayan jauh.
"Udah disini aja." tolak Andin
"Kemari jangan membantah.." suara barito itu sedikit meninggi, membuat Andin memilih mengalah, begitu mendekat Angga menyentuh kedua lengan Andin membawanya duduk di depannya.
"Sampai kapan kamu bekerja seperti ini, aku bisa menghidupimu. Bukankah suudah ku bilang pokus saja pada kuliahmu." Ujar Angga dengan suara sedikit pelan.
Andin menghela nafas berat. Selalu ini yang di bahas Agga. "Mas sudah banyak membantu aku, itu sudah lebih dari cukup." Ujar Andin.
Andin benar kebutuhannya tidak akan tercukupi hanya dengan gajinya di cafe ini, Aggalah yang menghidupi nya. Menanggung biaya hidupnya.
"Kau sungguh wanita keras kepala" bisik Angga seraya menatap intens wajah Andin dengan jarak sangat dekat.
Andin melihat ada kilatan gairah di mata Angga. Membuat Andin begidik takut.
"Mas aku keluar dulu,gak enak sama yang lain"
Ujar Andin berusaha menghindar dari Angga
Angga menggeleng tegas, siapa yang berani mengaturnya.
"jangan menghindar Din, kamu tau aku sibuk di kantor, Aku sempatkan waktu buat menemui mu disini, lalu kau mau mengabaikanku begitu saja."
"Tapi ini masih jam kerja mas." Ujar Andin .
"Itu sebabnya aku menyuruh mu berhenti kerja!" seru Angga dengan nada geram.
"Aku bosan dengan alasan kerjamu guna menghindariku," suaranya sedikit meninggi tak perduli di dengar oleh karyawan lain.
"Aku tidak menghindari mu mas." Ujar Andin pelan.
"Benarkah, coba kau ingat. Kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama? Kau selalu menolak setiap kali ku ajak kencan " ungkit Angga.
Andin tertunduk dia dilema, Angga benar-benar keras kepala.
Anggan menyentuh dagu wanita yang tertunduk di hadapannya, mengangkat wajahnya pelan. Lalu perlahan Angga mendekatkan wajahnya menempelkan bibirnya ke bibir hangat milik Andin. Aroma manis bibir Andin membuat Angga tergerak menikmatinya, Andin memejamkan matanya menikmati sentuhan lembut di bibirnya, desiran hangat mengaliri darah nya.
"Drrtttt"
Getar handphone mengejutkan mereka, Angga menatap Andin kesal, sebab memang handphone Andin yang bergetar.
"Angkat .." Ujarnya dingin
Andin menatap layar handphone nya, dia terlihat ragu menerima panggilan. Gelagat yang membuat Angga curiga.
Angga meraih handphone dari tangan Andin, lalu menerima panggilan dengan mengaktifkan speaker di handphonenya.
"Aku tunggu di tempat parkir."Terdengar suara barito di ujung telpon, lalu panggilan terputus.
Angga mengernyitkan alisnya menatap Andin dengan tatapan emosi, raut wajahnya berubah mengeras, membuat Andin tertunduk takut.
"Siapa lelaki berengsek ini!" bentak Angga penuh emosi.
Andin menengadah menatap raut penuh emosi milik Angga. "Teman kuliah mas.." ujar Andin jujur.
"Tunggulah di sini, aku akan beri pelajaran bocah tengil ini." titahnya lalu beranjak pergi.
"Mas .." ujar Andin ketakutan, dia berusaha menahan langkah kaki Angga.
"Minggirlah," pinta Angga dengan wajah mengelam.
Angga menepis tangan Andin, kemudian beranjak pergi meninggalkan Andin yang tidak tahu harus apa...
Bersambung
.
.
Happy reading 🥰
Angga melangkah tergesa-gesa keluar dari Cafe menuju tempat parkir. matanya liar mencari sosok yang tadi menghubungi Andin.
Angga melihat handphone yang sedari tadi barada di genggamannya, mencoba menelpon nomor yang tadi menghubungi Andin. Angga mulai menelpon, dering handphone di kegelapan mengundang perhatian Angga.
Angga berjalan dengan langkah pelan menghampiri arah suara dering handphone, tampak sosok lelaki tampan berdiri di sebelah mobil berwarna hitam.
"Kau teman Andin," tanya Angga setelah mereka berhadapan.
"Iya." jawabnya singkat.
"Ada urusan Apa kau ingin bertemu dengan Andin!," tanya Angga dengan suara datar.
"Aku rasa itu bukan urusan mu." jawabnya ketus.
Angga tersenyum sinis, dia memandang kasihan pemuda di depannya.
"Tentu saja itu jadi urusanku, sebab dia kekasih ku," jelas Angga.
Pemuda di hadapannya itu menatapnya, lalu tersenyum sinis.
"Kau cuma pacarnya, bukan suaminya, aku rasa aku masih punya kesempatan. Bukan begitu tuan Angga." ujarnya penuh percaya diri.
Angga menatap pemuda di depannya dengan perasaan geram, ingin rasanya dia menghajarnya hingga mulutnya tak mampu lagi bicara.
"Bukankah kau masih kuliah, pokus saja pada kuliahmu, aku peringatkan pada mu Andin kekasih ku jangan coba mendekatinya." ujar Angga memberi peringatan.
Pemuda itu terkekeh mendengar perkataan Angga , dengan sorot mata yang tajam dia memandang Angga.
"Aku permisi dulu tuan Angga, titip salam pada pacar mu," ujar lelaki itu, kemudian berlalu dari hadapan Angga.
Sementara Angga hanya diam berusaha menahan amarahnya.
"Di mana Andin mengenal pria seperti itu"
gumam Angga kesal, tapi juga lega sebab Andin tidak berdusta padanya, lelaki itu hanya temannya.
Sementara Andin menunggu Angga dengan perasaan gelisah, Andin berharap Angga tak melakukan hal bodoh.
Suara langkah terdengar memasuki ruangan ini Andin melihat Angga menuju ke arahnya.
"Kenapa.." tanya Angga saat di depan Andin.
Andin mengeleng pelan, dia tak ingin berdebat dengan Angga.
"Sejak kapan dia menyukai mu?." tanya Angga dengan suara datar.
Andin menatap sekilas sosok lelaki di depannya, Angga apa sebenarnya yang ada di parkiran mu, batin Andin.
"Kenapa diam.?" tanya Angga lagi.
"Pertanyaan mu gak penting di jawab mas."
"Jawab saja apa susahnya." ujar Angga
"Setahun yang lalu" jawab Andin pelan.
"Itu sebabnya kau selalu menolakku, iya," ujar Angga setengah berbisik.
"Sama sekali tidak ada hubungannya mas" jawab Andin pelan.
"Lalu apa masalahnya?" tanya Angga terdengar putus asa.
"Aku hanya pacar mu mas, bukan istri mu, aku hanya mau melakukan kalau kita sudah suami isteri," lirih Andin, memberi penjelasan atas pertanyaan bodohnya Angga.
"Kau terlalu jual mahal Din!" ujar Angga enteng. Andin tercengang. Dia menatap Angga tak berkedip, jadi ini yang ada dibenak Angga selama ini, pikir Andin kecewa.
Andin meraih handphone di tangan Angga lalu beranjak pergi meninggalkan Angga yang masih mematung, satu detik kemudian Angga sudah bergegas mengejar Andin.
Andin berjalan cepat menuju ruang ganti, menutup pintu kemudian mengganti baju dinasnya, tak butuh waktu lama andin pun selesai mengganti bajunya.
Andin membuka pintun ruang gantin mencari sosok Angga yang tadi mengejarnya, tapi tidak terlihat sama sekali , dia sedikit lega.
Cafe sudah terlihat sepi, yang tinggal hanya satpam yang bertugas mengunci pintu.
"kok telat non" tanya pak satpam saat Andin tiba di pintu Cafe.
"Iya pak ada yang tertinggal tadi" Jawab Andin sekenanya.
"Oohh, jadi ini sudah bisa saya kunci non"
"Sudah pak" jawab Andin, lalu beranjak pergi menuju tepi jalan, Andin berniat pesan ojol sebab tempat kosnya lumayan jauh kalau harus jalan kaki.
Andin tersentak kaget saat tangan kokoh menarik paksa lengannya berjalan kearah tempat parkir, tapi kemudian dia bisa mengenali sosok itu adalah sosok Angga.
Angga membuka pintu mobilnya untuk Andin, mau tak mau dia pun menuruti keinginan Angga.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, berjalan menuju tempat kos Andin yang tidak jauh dari cafe tempat dia bekerja.
"Din, Maaf. Kau taukan aku tak bermaksud begitu," tutur Angga dengan suara pelan.
Andin diam, pandangan matanya menerawang membus keluar jendela.
" Kau benar mas, wanita miskin sepertiku, tak seharusnya terlalu jual mahal. Tapi hanya itu untuk saat ini yang aku miliki mas, salahkah bila aku mempertahankannya?" ujar Andin lirih.
"Aku benar-benar tidak bermaksud berkata begitu sayang, pecayalah, aku hanya putus asa. Aku merasa kau tidak sungguh sungguh menyukaiku." ujar Angga sedikit gugup. Sorot mata penuh kecewa milik Andin membuat Angga cemas setengah mati.
"Mas.."
"Iya sayang."
"Tempat kos ku sudah lewat."
"Benarkah !," seru Angga seraya memijak rem dengan mendadak, membuat tubuh Andin sedikit terlonjak karena rem dadakan Angga. mobil Angga lalu kembali mundur kebelakang beberapa meter, berhenti tepat di depan kos Andin.
"Aku turun dulu mas, mas hati-hati di jalan ya," ujar Andin, kemudian turun dari mobil, berjalan menghampiri ke sisi sebelah Angga, Angga menurunkan kaca mobilnya setengah.
"Ada apa sayang..?"
Andin tak menyahut, dia mendekati Angga melabuhkan kecupan lembut di pipi Angga.
"Pulanglah hati-hati" ujar Andin setelahnya.
Angga mengangguk, tersungging senyum di bibir seksinya.
"Aku pulang sayang."
"He,em" jawab Andin, seraya melambai pada Angga yang sudah melajukan mobilnya meninggalkan Andin.
Angga melajukan mobilnya ke apartemennya. Seseorang sudah menunggunya di sana, saat dia mengikuti Andin ke ruang ganti , orang itu menelponnya memberitahu dia sudah menunggu di apartemen.
Handphone Angga berdering, tertera di layar panggilan masuk dari tamu di apartemen nya.
"Halo sayang, aku sudah di dalam lift" ujar Angga dengan mesrah.
"Bersiaplah" ujarnya lagi, lalu mematikan handphone nya, menyimpannya di balik jas nya.
Pintu apartemen terbuka, sosok wanita seksi menyambut kedatangan Angga. Angga terpana menatap gaun tipis yang membalut tubuh wanita di depannya.
"Sayang kenapa lama sekali," rajuk wanita itu seraya bergelatut manja.
"Macet sayang," jawab Angga seraya melabuhkan kecupan lembut di pipinya. Menggandeng dengan mesrah sosok seksi itu kedalam kamarnya.
"Sayang aku dengar dari sekertaris mu, tadi sayang mampir ke Cafe, ada masalah apa?"tanya wanita itu, seraya membantu Angga membuka dasinya.
"Tidak ada sayang hanya mampir "
"Benar hanya mampir? kamu jangan macam-macam di belakangku dengan kariawan cafe ya sayang!" Ancamnya dengan raut wajah tegas.
"Kamu apa-apaan sih Bella" dengus Angga kesal. Sembari menepis sentuhan wanita itu di tubuhnya.
"Aku hanya memperingatkan mu sayang." ujar Bella dengan manja.
"Tetap saja aku tidak suka ancaman mu," ujar Angga berang.
"Iya, iya, aku minta maaf , aku kemari mau bersenang-senang dengan mu sayang, bukan malah berdebat begini." rengek Bella.
Bella bergelayut manja pada bahu Angga, sementara angga tak tinggal diam, tubuh molek yang terpampang nyata di hadapannya, sayang rasanya kalau tidak nikmati, Bella juga terlihat menginginkannya.
Tak butuh waktu lama kamar megah berukuran luas itu berubah hangat oleh gairah mereka yang membara, desah- desah kenikmatan menggelitik telinga yang mendengarnya.
hingga dua insan itu terkulai tak berdaya bermandi keringat, mereguk nikmat dunia.
Bella kembali mengenakan pakaiannya, setelah memebersihkan diri terlebih dahulu.
"Sayang aku pulang ya," ujar Bella seraya memberi kecupan lembut pada Angga yang masih terbaring dengan tubuh tertutup selimut.
"Heemm" jawab Angga seperti bergumam.
Bella pun berlalu pergi meninggalkan apartemen Angga.
Angga meraih handphone di atas meja, berusaha menghubungi seseorang.
"Halo sayang," sapanya begitu lembut.
"Halo mas"
"Kamu lagi apa sayang"
"Cuci baju mas" jawab Andin di sebrang telpon.
"Malam-malam begini sayang cuci baju?!" seru Angga, sedikit kaget.
"Mas kan tau siang aku mana ada waktu," ujar Andin, siang andin kuliah, pulang kulaih dia langsung kerja, hanya malam sepulang kerja waktunya untuk berberes di kamar kos nya.
"Ya sudah di lanjut kerjamu ya sayang"
"Iya mas"
"Cium dulu sayang" rengek Angga.
"Gak Ah" goda Andin
"Ayolah sayang" rengeknya lagi.
Andin terpaksa mengikuti kemauan Angga, memberi ciuman hangatnya di udara, Anggan pun tersenyum puas.
Apa sebenarnya yang ada di hati angga, memberi cintanya pada gadis polos seperti Andin, di sisi lain bermadu kasih dengan Bella saling bertukar kehangatan.
Bersambung
Udara dingin terasa menusuk tulang, selimut sepertinya tak mampu menahan rasa dingin yang mendera tubuh Andin.
"Din, Andin...!".
Terdengar suara ketukan di pintu kamar Andin berulang kali. Juga teriakan seseorang di balik pintu. Dengan mata masih sedikit terpejam Andin beranjak turun dari tempat tidur.
"Asrdit, ada apa?," tanya Andin saat sudah membuka pintu, dengan suara serak khas orang bangun tidur, bahkan matanya saja belum sempurna terbuka.
Astrid yang tidak di persilakan masuk, nyelonong aja tanpa permisi masuk ke kamar Andin. Andin mengikuti langkah Astrid yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Din kamu ada kuliah hari ini?" tanya Astrid pada Andin.Andin mengeleng.
"Din kamu bilang kamu mau pindah kerja, dan mau kerja apa saja, yang penting gak jual diri," ujar Astrid.
Andin tersenyum mendengar kalimat terakhir Andin, mesti rupanya dia memperjelas hal itu.
"Terus.." tanya Andin tak sabar.
"Ada yang minta di carikan orang kerja buat ngurus istrinya, sebab yang lama sudah pulang kampung, aku ketemu yang mau, eh tadi dia nelpon gak jadi, sementara yang nyari hari ini keluar kota selama dua hari."
"Memang istrinya kenapa,?" tanya Andin
"Lumpuh Din,"
"Terus kamu mau aku menjaga istrinya, sampai dia kembali dari luar kota begitu,?" ujar Andin pada teman kuliahnya tersebut.
"Ya langsung pindah kerja juga ngak apa, gajinya lumayan gede Din,!"
"Emang berapa?"
"Empat juta sebulan, kalau mau kau boleh tinggal di situ."
"Baiklah, tapi aku gak langsung pindah kerja ya liat dulu dua hari ini," ujar Andin, menerima tawaran Astrid.
"Ya udah bersiaplah, biar aku pesan Ojol buat anter kamu" ujar Astrid menepuk bahu Andin, lalu keluar dari kamar kos Andin.
Andin memang berniat keluar dari cafe tempatnya bekeja. dia capek tiap hari harus menghadapi kecemburuan para karyawati, karena dia pacaran dengan Angga.
Tapi bukan pekerjaan merawat orang lumpuh yang dia inginkan mengganti pekerjaannya. tapi tidak apa dua hari ini dia coba jalani dulu , kalau cocok dia akan teruskan, mengingat gaji lumayan besar.
Setelah bersiap, Andin menunggu Ojol yang sudah di pesan Astrid guna mengantarnya sesuai alamat yang di berikan Astrid padanya.
berhubung masih pagi buta, jalanan pun tidak terlalu ramai.
Setelah dua puluh menit berkendara akhirnya sampai juga. Andin turun dari Ojol yang sudah di bayar Astrid, memastikan kembali alamat yang di berikan Astrid padanya.
Benar ini rumahnya, Andin menekan Bel yang ada dinding pagar, Andin menunggu lumayan lama, kemudian sosok pria muda membukakan pintu pagar untuknya dan mempersilahkan masuk.
"Maaf ibuk yang di kirim mbak Astrid ya?" tanya pria itu Sopan.
Andin yang mengenakan jaket tebal dan masker, segera melepaskannya guna menjawab perkataan lelaki itu.
"Iya," jawab Andin singkat.
Lelaki itu tampak kaget melihat Andin, dia menatap Andin lekat dari ujung rambut hingga kaki.
"Kamu, gak salah mbak Astrid ngirim kamu !?."
ujarnya merasa tak yakin.
"Memang anda kenal dengan saya ?," tanya Andin, yang merasa kalimat si pria seakan sudah mengenalnya.
"Bukan, maksudku kenapa wanita muda sepertimu yang di kirim mbak Astrid, untuk menjaga istriku." Ujar pria itu menjelaskan.
Istrinya, batin Andin, kalau gitu yang dia jaga nanti wanita muda, bukan nenek-nenek jompo seperti bayangannya.
"Maaf mbak," tegur pria itu membuyarkan lamunannya.
"Iya."
"Ya sudahlah waktunya juga sudah terlalu mepet saya tidak punya pilihan, kamu saya trima kerja di sini, mari saya antar kekamar istri saya," ujar lelaki itu seraya beranjak masuk yang di ikuti Andin.
Di Kamar yang mewah dengan ukuran yang sangat luas, terlihat seorang wanita duduk dikursi roda tengah menatap kedatangan mereka.
Kalau dilihat dari wajahnya wanita ini terlihat lebih tua dari suaminya, atau mungkin karena penyakitnya membuatnya terlihat lebih tua dari usianya.
"Re, ini penganti bik Dartik," ujar pria itu dingin, tidak ada kehangatan di balik nada suaranya saat bicara pada istrinya.
"Renata," ujar wanita itu seraya mengulurkan tangan pada Andin.
"Andin" sambut Andin memperkenalkan diri.
"Ya sudah aku pergi dulu Re, dan kamu andin kau tanya saja pada Renata apa tugasmu," ujar pria itu , lalu pergi tanpa memberikan salam perpisahan pada istrinya.
'Lelaki gak romantis' batin Andin, seraya menatap pungguk lelaki yang terbilang sangat tampan itu hingga menghilang di balik tembok.
Andin beralih pada istrinya yang juga sedang menatap kepergian suaminya. lalu beralih menatap Andin, memperhatikan dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Berapa usiamu?" tanya Renata dengan senyum ramahnya.
"Dua puluh tahun buk," jawab Andin dengan sopan.
"Aku sudah terlihat setua itu ya Din." ujar Renata di barengi tawa renyah, karena sebutan ibuk yang di sematkan Andin padanya.
"Maaf saya tidak bermaksud .."
"Tidak apa Din, tapi aku lebih suka di panggil mbak aja biar berasa muda," ujar Renata memotong ucapan Andin.
"Baiklah kalau begitu saya akan memanggil mbak," jawab Andin.
"Kamu memang sudah total kerja atau gimana Din, oh ya duduklah ntar kesemutan berdiri terus" ujar Renata seraya menjalankan kursi rodanya menuju sofa yang ada di kamar itu, di ikuti oleh langkah kaki Andin.
"Tepatnya kuliah sambil kerja mbak" jawab Andin, lalu duduk di hadapan Renata.
"Ooh gitu, trus kuliahmu pagi atau siang,"
"Pagi mbak"
"kamu punya motor ..?" tanya Renata lagi. Andin menggeleng.
"Kamu bisa pakai motor mbak, pulang dan pergi kerja jadi gak usah naik ojol lagi," ujar Renata yang kebetulan melihat Andin turun dari ojol tadi pagi.
"Tapi saya belum tau mau kerja berapa lama di sini," ujar Andin sedikit ragu.
Renata menatapnya intens, gadis ini Renata menyukainya, dia hanya butuh teman ngobrol dan Andin sepertinya cocok dengan kepribadiannya.
"Kenapa? kamu gak suka dengan saya,?" tanya Renata dengan mimik sedihnya.
"Bukan mbak, saya kuliah sementara pekerjaan saya merawat mbak, gimana kerja saya bisa maksimal kalau hanya paruh waktu, hari ini aku bisa kemari sepagi ini karena lagi gak ada mata kuliah mbak." jelas Andin panjang lebar.
Renata tersenyum, dia menganguk-anggukkan kepalanya pelan.
"Aku hanya butuh teman ngobrol, sesekali butuh bantuan kecil, tapi selebihnya aku bisa melakukannya sendiri, jadi aku kira kau bisa melakukannya." Ujar Renata dengan tatapan memohon.
Melihat mimik wajah Renata, Andin tak tega menolak permintaannya. "Baiklah, kalau memang mbak tidak keberatan dengan setatus aku, aku bersedia kerja di sini," ujar Andin dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Terima kasih Din" ujar Renata dengan raut wajah sumringah.
"Apaan sih mbak, harusnya saya yang berterima kasih, karena mau nerima saya kerja di sini," ujar Andin.
"Tugas pertamaku apa ini mbak," tanya Andin, Renata mengedikan bahunya.
"Gak ada sambil nunggu sarapan pagi dari bibik, kita bisa ngobrol bentar, abis itu kamu temani aku beresin bunga hias di belakang rumah," jelas Renata dengan senyum ramahnya yang menjadi khas dari dirinya.
Andin menganguk kecil, memulai tugas pertamanya menemani Renata ngobrol, wanita yang bagi Andin terbilang biasa saja dalam masalah penampilan dan wajah, berbanding terbalik dengan suaminya yang berwajah sangat tampan dan keren dalam penampilan. Ada sedikit rasa penasaran di hatinya tentang rumah tangga mereka, tapi hanya sebatas penasaran tidak lebih, dia bukan tipe orang yang hobi mencampuri urusan pribadi orang.
Saat ini hanya tinggal memikirkan bagai mana bicara pada Angga yang keras kepala itu, bahwa dia sudah Resign dari cafe..
Happy reading
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!