NovelToon NovelToon

Jiwanya Awan

Perihal Apa yang Di Awal

            Untuk apa yang ada pada keinginan, sejatinya tidak akan pernah hilang walau lama kelamaan semu. Tidak ada yang kebetulan pada apa yang sudah terjadi. Jika kebetulan terjadi pada pertemuan pun masing-masingnya pasti mempunyai rencananya sendiri. Bahkan pada apa yang baru disadari itu berarti sudah seharusnya terjadi.

            Ya seperti pada seseorang laki-laki yang dari tadi duduk di depan kursi kosong yang sudah ia perhatikan selama tiga hari sampai hari ini. Ini juga bukan hari di mana ada mata kuliahnya, tapi sejak dini pagi pintu perpustakaan kampus bergengsi di Kota Metropolitan ini dibuka, ia sudah masuk untuk bisa menemui seseorang perempuan yang hanya ia tahu rambut bagian belakangnya saja.

            Dari hasil cetakan foto kamera nikon fujifilm xa3-nya seminggu lalu, yang saat baru ia lihat-lihat menunjukan sesuatu yang mencuri perhatiannya. Bukan seseorang perempuan yang rambutnya bob itu, tapi dari apa yang lebih terlihat di depannya. Hasil gambar dari ipad-nya lebih menarik daripada apa yang sudah dipotret kameranya untuk referensi mata kuliahnya pada jurusan desain komunikasi visual.

            Ini menjadi ketiga harinya ia menunggu sampai sore hari. Setiap yang duduk di depannya selalu laki-laki. Perempuan yang ada di sekitarnya pun tergerai panjang rambutnya. Ia beranjak pergi bukan karena menyerah, dalam hatinya sudah berkeinginan untuk kembali besok pagi lagi.

            Lift yang sudah ia tekan untuk menuju lantai bawah dari lantai lima akhirnya terbuka. Tidak ada satu orang pun, sepertinya semua mahasiswa sudah ke luar jauh jauh waktu. Baginya tidak ada yang harus disesali

dalam setiap pencarian, kadang kita sendiri yang membuatnya menjadi penantian. Namun, tidak mungkin hanya dia yang tersisa belum ke luar dari perpustakaan. Di lantai tiga, pintu lift kembali terbuka.

            Laki-laki yang sudah ingin mengunjungi perpustakaan besok ini matanya terbuka lebar saat seseorang perempuan berambut bob coklat itu masuk dengan tas ipad yang ia peluk di dadanya. Dari baju kemeja tangan pendek dengan motif bunga pun suasananya seperti saat ia memutuskan memotret suasana pada kala itu. Saat itu juga matanya mengikuti perempuan itu berdiri di sampingnya. Perempuan tersebut merasa ada yang tidak beres dari laki-laki berkemeja hitam serta celana panjang hitam dengan kamera yang menggantung pada lehernya, “Kenapa?” tanya perempuan tersebut.

            “Kamu itu bawa ipad, kan?”

            Perempuan itu mengangguk.

            “Akhirnya, aku ketemu kamu juga.”

            “Emang kita pernah ketemu?”

            “Nanti aku jelasin di luar gimana? Lift-nya udah sampai.”

            Tapi laki-laki yang sudah seperti mengenal perempuan itu langsung ke luar tanpa menunggu jawaban, tapi perempuan tersebut memang mengikutinya.

            Mereka berdua yang saling tidak tahu diri itu berdiri di tepi tangga perpustakaan. Dengan percaya dirinya, laki-laki yang rambutnya hampir gondrong ini mengulurkan tangan, “Kenalin dulu, namaku Senandika Awan.

Panggil aja Awan.”

            Dengan tidak tahu harus memperlakukannya, perempuan ini masih menjawab uluran tangannya, “Ananta Jiwa, panggil aja Jiwa.”

            “Oh Jiwa, jurusan apa?”

            “Kenapa jadi kayak interview. Kamu cuma mau ngajak kenalan?”

            Awan tersenyum mendengarnya, “Nggak kok. Justru aku nanya itu karena mau nunjukin kamu ini.” Awan memperlihatkan selembar foto yang ada Jiwanya.

            Jiwa mengambilnya agar bisa melihat lebih jelas, lalu dahinya langsung mengerut, “Kamu mata-mata siapa?”

            Tapi Awan tertawa mendengarnya, “Aku mahasiswa di sini, jurusan Desain Komunikasi Visual, bukan mata-mata.”

            “Terus ngapain kamu potret aku?!” Jiwa menegaskan kalimat tanyanya.

            “Nggak Jiwa. Sebenarnya bukan kamu objeknya. Aku cuma lagi foto apa yang ada di perpustakaan untuk referensi aku.”

            “Ya terus?”

            “Apa yang ada di ipad kamu bikin aku cari kamu.”

            Jiwa diam, tidak menjawabnya.

            “Kamu mahasiswa apa?” tanya Awan untuk yang kedua kalinya.

            “Bukan urusan kamu.”

            “Iya bukan urusan aku, tapi kita bisa jadi teman buat saling belajar.”

            “Aku gak mau kenalan sama orang asing.”

            “Justru gak ada yang asing, adanya gak kenal, Wa.”

            Jiwa meringis, “Jangan sok kenal!” ia pun pergi begitu saja.

            Namun untuk pertemuan pertama setalah penantian tiga hari. Sama sekali tidak membuat Awan hanya melihat Jiwa pergi saja. Ia mengikuti Jiwa dari belakang secara terang-terangan. Jiwa menyadarinya lalu melihat ke belakang dengan tatapan mengancam, tapi Awan bersama dengan senyumannya tetap berjalan mendekati Jiwa. Jiwa tidak peduli, lagi pula ia tetap harus pulang karena awan menggelapkan dirinya.

            Akan tetapi, ini memang jalan pulang untuk Awan juga. Ia sampai di halte bus melihat Jiwa yang membuang muka darinya. Awan tersenyum tipis akan itu, seperti sangat senang menemukan Jiwa. Bus datang lebih cepat dari yang Awan kira, ia pun menaiki bus yang ternyata lebih dulu dari Jiwa yang kemudian juga menaiki bus yang sama.

            Jam lima sore menjadi jam yang sangat sibuk. Tidak ada satu pun kursi yang kosong, bahkan pegangan untuk berdiri pun tidak banyak tersisa. Di bagian belakang pun ada untuk berdiri, tapi sudah tertutupi orang. Jiwa terpaksa berdiri di samping Awan yang sudah memperhatikan sejak masuk ke dalam bus.

            Jiwa kembali membuang pandangan. Tapi suara tetap akan terdengar walau tak terlihat.

            “Aku gak ngikutin kamu, Wa. Ini Bus ke arah rumahku.”

            Jiwa sama sekali tidak tertarik untuk menjawabnya. Tidak ada yang lebih menakutkan dari percakapan yang dapat membangun suasana yang tidak bisa hanya keinginan sebelah pihak.

            Sore hari rabu ini menjadi bagian halaman awal bagi Jiwa, tidak untuk Awan yang sudah memulai tiga hari yang lalu. Tapi tetap belum tentu, karena awal bisa saja saat Awan memotret Jiwa dari belakang itu. Dan

kini Awan melihatnya dari samping. Ingin rasanya ia kembali memotretnya dari samping, tapi ini fasilitas umum yang tidak hanya ia yang pakai.

            Saat sudah waktunya, Jiwa melangkah turun dari bus tanpa melihat dulu apa yang ia abaikan. Saat ia ingin lega dari apa yang sudah terjadi, ternyata tidak ada yang namanya kebetulan selain takdir.

            “Kamu rumahnya di mana?”

            Jiwa langsung balik badan mendengar suara Awan yang baru ia kenali, “Kamu ngikutin aku?”

            “Kan aku udah bilang kalau ini bus kea rah rumah.”

            “Ya kenapa bisa turun di halte yang sama?”

            “Ya nggak tahu Jiwa.”

            Jiwa menghela napas, “Emang rumah kamu di mana?”

            “Itu perumahan royal rose,” tunjuk Awan dengan mata karena tepat ada di seberang halte.

            “Kamu rumahnya di situ juga?”

            “Rumah kamu di situ?” Awan bertanya balik.

            Jiwa berdecik, “Kebetulan!”

            “Nggak ada yang namanya kebetulan, Wa.”

            “Ada. Buat apa ada kata kebetulan?!” lawan Jiwa dan langsung menyebrangi jalan raya ketika sudah lampu untuk pejalan kaki.

            Awan pun jalan di belakangnya. Awan memang begitu,

namanya menggambarkan apa yang ada di langit. Sebenarnya ia tidak seberani ini

kepada perempuan. Ini hanya karena rasa penasarannya pada apa yang ada pada

Jiwa. Ia sama sekali enggan untuk berjalan di samping Jiwa, ia memilih seperti

awan pada langit yang merupakan jiwanya.

            “Ma, Mama masih perwakilan perumahan bukan?” tanya Awan kepada Mamanya di tengah makan malam keluarga.

            Sekar mengangguk, “Kenapa emangnya, Dek?” Mama bertanya balik.

            “Mama kenal orang tua yang nama anaknya Jiwa?”

            Mama terlihat berpikir, “Mama kurang hapal nama anak-anak yang punya rumah di sini, tapi minggu kemarin emang ada penghuni baru.”

            “Itu kali, ya.”

            “Ada apa, Dek?” tanya Bima, Papa-nya Awan.

            “Ada mahasiswa yang sama di sini juga tinggalnya, Pa.”

            “Oh bagus dong buat kamu sharing pengalaman.”

            “Masalahnya cuma baru tahu namanya doang, Pa.”

            “Namanya juga cewek ya, Ma,” kata Papa kepada Mama.

            Mama mengangguk, “Jadi namanya Jiwa.”

            “Bukan gitu, Maaa,” rengek Awan yang dibercandakan orang tuanya.

            Keluarga yang belum lengkap karena anak pertamanya sedang koas di rumah sakit ini saling menertawakan bagaimana Awan menolak bercandaan orang tuanya di tengah waktu makan malam karena kerjaan selalu membuat mereka tidak ada pada pagi hari nanti.

            Kebetulan hari ini Awan ada kelas pagi. Bahkan sedini hari pun, orang tuanya sudah tidak ada karena ada rapat pagi yang tempatnya di luar kota. Itu yang membuatnya tidak mau sarapan di rumah, ia lebih memilih mencari makan di jalan atau di kampus. Ia pun sudah berjalan ke depan agar bus tidak mendahuluinya.

            Sebenarnya sudah dari awal semester perkuliahan, orang tuanya memberi akses mobil untuk ke kampus, tapi itu terlalu cepat untuk ia yang baru semester tiga. Ia sudah terbiasa dengan bus dan suasana paginya sejak SMA. Bus di halte depan perumahan pun tidak terlalu lama datangnya. Hanya berdiri beberapa menit saja, bus menuju kampusnya sudah datang.

            Dan waktu pagi pun, sangat jarang untuknya mendapatkan tempat duduk. Ia kembali berdiri seperti kemarin sore, dan ia kembali ingat bukan sama seperti kemarin sore. Karena sore kemarin itu ada bagian baru dalam suasana hidupnya.

            Sampai akhirnya ia turun di kampusnya. Awan langsung berpikir untuk ke kantin kampus, tapi ini baru jam tujuh pagi. Sudah ada seseorang yang tergesa-gesa membuka helm ojek online. Pantas saja rambutnya tidak ke luar seperti perempuan biasanya. Itu Jiwa yang datang dengan raut wajah yang baru Awan lihat. Baru saja Awan akan menyapanya, itu semua tertahan karena Jiwa langsung lari menuju gedung Fakultas Teknik. Sepertinya Awan hanya tinggal menanyakan kenalannya dari sana untuk tahu tentang Jiwa.

Kopi dan Kenyataan yang Ada

            Beruntungnya hari ini hanya ada satu mata kuliah, jadi tidak masalah dengan jam pagi. Tentu selama

mata kuliah tadi pun, Awan sudah berapa puluh kali berharap agar Jiwa tidak dulu pulang, agar bisa bertemu, agar bisa pulang bersama. Ia langsung mengepaki buku kecil ke tas map kulit berwarna coklat mudanya itu sambil bersiap untuk beranjak.

            “Kita mau ngopi ke mana?” tanya Genta, salah satu teman dalam circle-nya.

            “Ke belakang kampus aja,” jawab Doni yang juga temannya.

            Awan beranjak dari kursinya, “Sorry bro, kayaknya gak bisa ikut dulu, ada yang harus disamperin nih.”

            “Siapa, Wan? Cewek di foto itu belum ketemu aja?” tanya Satria.

            “Justru udah ketemu,” Awan menjawab dengan semangat berjalan ke luar.

            Teman-temannya meneriaki Awan karena belum tahu kemajuannya tapi tiba-tiba sudah bertemu. Dan Awan sekarang lari karena tidak ingin satu detik pun terlambat dari Jiwa, sekali pun itu lebih baik ia menunggu.

            Awan baru sadar, kenapa ia tidak mengenal Jiwa. Gedung fakultas keduanya terhalang oleh satu gedung Fakultas Psikologi. Awan yang berada di gedung Fakultas Seni dan Desain masih dengan kaki yang berlari ke

Fakultas Teknik. Akan tetapi, rasanya untuk Awan yang baru semester tiga terlalu canggung untuk berdiri di depan fakultas lain sendirian. Ia memutuskan duduk di kursi samping Fakultas Psikologi yang menghadap ke Fakultas Teknik.

            Akan hampir satu jam Awan duduk dan menyapa mahasiswa yang mengenalnya. Sesekali juga ia menangkap momen yang ada di sekitarnya dengan kameranya, apalagi bisa bertemu dengan Jiwa juga berkat apa yang ia abadikan.

            “Ngapain kamu?”

            Awan menengok ke belakang karena suaranya itu yang sedang ia hapalkan. Jiwa sudah berdiri dengan tumpukan lima buku di tangannya.

            “Nungguin kamu.”

            “Kalau gitu bantuin bawa ini.”

            Awan langsung berdiri dan mengambil alih empat buku dari tangan Jiwa, “Tapi abis ini kenalan, ya.”

            “Kan kemarin udah,” ketus Jiwa langsung berjalan mendahului Awan.

            “Kalau gitu cerita deh!” usul Awan sambil berusaha jalan dari belakang Jiwa.

            Jiwa sama sekali tidak menjawabnya, bahkan ia terus berjalan dengan memegang satu buku sementara Awan di belakangnya. Sampai akhirnya Jiwa berhenti tepat di pijakan depan perpustakaan, tempat mereka berkenalan kemarin.

            “Sini bukunya,” Jiwa mengambil kembali buku yang seharusnya ia bawa.

            “Aku bawain sampai dalam aja,” Awan meminta balik buku itu, tapi tidak diberikan.

            “Kamu pulang, udah nggak ada mata kuliah, kan?”

            “Di rumah juga nggak ada siapa-siapa.”

            “Di perpustakaan banyak orang yang mau pokus. Kalau kamu masuk, kamu gak bakal mau diem pastinya.”

            “Kalau aku diem?”Awan bertanya balik.

            “Nggak mungkin, Wan!”

            “Tadi kamu ngomong apa?”

            “Nggak mungkin.”

            “Bukan, abis itu apa?”

            “Wan?” tanya Jiwa tidak yakin semua akan baik-baik saja.

            “Akhirnya kamu manggil nama aku juga,” Awan tersenyum dengan kebanggaan yang terpencar.

            Jiwa berusaha sabar, “Udah kalau gitu kamu pulang!”

            “Aku juga ada perlu di perpustakaan.”

            “Perlu apa? mending kamu makan gitu.”

            “Gimana kalau kita makan bareng dulu?”

            Jiwa menggelengkan kepala, “Nggak akan ada hentinya ngomong sama kamu. Aku mau masuk!” ketusnya.

            “Ya udah aku tunggu di sini, di tempat kemarin.”

            “Terserah!”

            “Aku laki-laki paling setia di muka bumi tahu, Wa!”

            Jiwa tidak menghiraukan pengakuan itu. Ia sudah memasuki perpustakaan, tempat paling nyaman untuknya. Dengan demikian ia bebas dari kebisingan bumi, yang salah satu baginya itu kehadiran Awan.

            Sedangkan Awan masih berdiri di tempat yang menjadi kedua kalinya ia berhadapan dengan Jiwa. Ia tersenyum mengingat bagaimana frustasinya Jiwa menghadapi dirinya. Sepertinya, bahkan yang sebenarnya kita lakukan di kehidupan ini hanya menunggu, bergiliran, menetap, dan melepaskan.

            Hanya sampai dua buku saja Jiwa dapat pokus membacanya. Sisanya ia teringat apa kata Awan terakhir tadi dan itu membuat Jiwa memikirkan bagaimana keadaan Awan sekarang. Apalagi sekarang sudah lewat dari jam tiga petang. Dengan mengakui apa yang ia pikirkan, Jiwa bergegas lari dengan tiga buku yang belum ia baca.

            Yang benar saja, saat ia baru ke luar dari pintu keluar perpustakaan. Ia masih menemukan punggung yang tadi ia panggil di samping fakultas psikologi. Dan kini ia melakukan hal yang sama.

            “Beneran masih nunggu ternyata.”

            Awan berdiri saat Jiwa sudah di sampingnya, “Kan kata aku juga, aku manusia paling setia.”

            “Terus?”

            “Ya ayo pulang.”

            “Aku mau minum kopi dulu.”

            “Ikut!”

            “Aku nggak ngajakin kamu.”

            “Tapi maksud kamu itu sama aja kayak ngajakin.”

            “Aku nggak pernah minta, justru kamu yang selalu minta.”

            “Kamu mintanya secara nggak langsung, Wa. Makanya harus aku yang nanya.”

            “Iya, anggap aja balasan tadi bawain buku,” ujar Jiwa sambil melangkah jalan.

            Awan mengikutinya dari belakang sambil memotret yang di sekelilingnya. Jiwa berhenti jalan, “Jalannya di samping aku, Wan.”

            “Nggak apa-apa?”

            “Justru adab sesama manusia itu seperti itu.”

            Dengan begitu, ini menjadi kali pertama Awan berjalan di sampingnya, lebihnya lagi ia bisa menatap Jiwa lebih dekat. Awan tersenyum, “Kenapa nama kamu Jiwa?” menyadari betapa indahnya nama perempuan di sampingnya.

            Jiwa juga tersenyum, “Kata Ibu, almarhum Ayah mau banget punya anak namanya Jiwa.”

            “Maaf, aku terlalu mau tahu.”

            “Nggak apa-apa, Wan. Justru aku seneng banget ngakuin nama aku emang indah.”

            “Kamunya juga indah, Wa.”

            “Makasih,” balas Jiwa seperti biasanya. Jiwa memang satu di antara banyaknya bagaimana perempuan yang indah, yang selalu menjawab apa adanya. “Kalau kamu, kenapa Awan? Benda di langit juga ada bintang.”

            “Mama aku lebih bijak daripada ribuan penyair wanita di seluruh dunia ini, Wa. Kata Mama ‘Awan itu satu-satunya benda di langit yang selalu ada, mau siang atau malam. Dan seperti manusia, dia bisa cerah dan mendung tiba-tiba’.”

            “Pasti kalau yang ngomongnya Mama kamu lebih bijak deh,” canda Jiwa.

            Awan menertawakan dirinya, dan Jiwa ikut tertawa mendengarnya. Mereka juga sesekali melihat langit secara bergantian. Menyadari apa yang diutarakan Mamanya Awan, benar. Awan juga sedang cerah layaknya tidak ingin mendung untuk hari yang belum berakhir, tapi sudah berjalan sangat indah.

            Hanya berjarak berapa ratus meter saja, Jiwa dan Awan sudah masuk ke dalam café dengan wangi kopi yang sepertinya melekat di setiap dinding berwarna hitam dan coklat tua ini. Ini pertama kali untuk Awan ke sini, tapi kelihatannya tidak untuk Jiwa yang langsung menuju meja di sudut jendela yang menghadap ke luar.

            “Duduk di sini aja,” ujar Jiwa, kemudian duduk.

            Awan pun duduk di kursi yang menjadikannya berhadapan dengan Jiwa. Sungguh Awan langsung tersenyum dapat melihat wajah Jiwa dengan jelas, yang ternyata ia memiliki tahi lalat di atas sudut kanan bibir. Hari ini juga pakaian keduanya sama-sama santai, Awan yang menjadikan kemeja sebagai outer, dan Jiwa menggunakan outer rajut berwarna putih yang serasi dengan celana jeans denimnya.

            “Kamu mau minum kopi apa? Aku yang bayar,” kata Jiwa sambil memberikan daftar menu.

            “Latte less sugar aja.”

            “Oh kamu pecinta latte.”

            Awan mengangguk, “Emang kamu pecinta apa?”

            “Espresso.”

            “Tapi emang nggak akan terasa pahit kalau kamu yang minum.”

            Jiwa menyunggingkan satu sudut bibirnya, “Espresso di sini paling bersahabat sama lambung, mau coba gak? Kamu gak pernah ke sini kan.”

            “Semester sebelumnya aku baru perkuliahan hybrid, jadi belum tahu banyak.”

            “Iya makanya kamu harus cobain ini.”

            “Iya, Wa.”

            Jiwa pun beranjak untuk memesan apa yang sudah diinginkan ke kasir. Dan kembali sambil melihat struk pembayaran.

            “Mahal gak? Biar aku yang bayar aja, Wa,” ujar Awan.

            Jiwa duduk di kursinya, “Kan aku udah bilang…”

            “Iya iya,” Awan menghentikannya sebelum Jiwa mengeluarkan ceramahannya.

            Sambil menunggu, tiba-tiba Jiwa mengeluarkan ipad dari tas selempangnya. “Kata kamu dari sini yang buat kamu nyari aku, ya.”

            Awan mengangguk, menyadari kenapa Jiwa begitu tak menghiraukan soal apa katanya saat pertama kali bertemu, “Udah, Wa. Lagian kita juga pasti ketemu karena satu perumahan.”

            “Belum tentu, Wan. Aku pindahan minggu lalu ke sana.”

            “Kenapa kamu pindah?”

            Jiwa hanya menggelengkan kepala, menolak membalasnya. Awan pun diam, tidak berbicara lagi. Jiwa seperti mencari yang ada dalam ipad-nya. Sampai tiba-tiba, “Ini bukan?” kata Jiwa dan menunjukannya ke hadapan Awan.

            Awan melihatnya dengan bahagia. Sebuah sketsa rumah dua lantai yang di sekitarnya banyak pepohonan dan segerombolan manusia yang beraktivitas. Yang membuat ia begitu suka adalah dari bagaimana detail rumah yang sederhana tapi pasti menarik perhatian banyak orang. Saat Awan hendak memujinya, kopi terlebih dulu datang ke atas meja, seperti ingin melengkapi suasana yang sudah ada. Jiwa meneguk lebih dulu, dan mempersilakan Awan untuk menikmati dua gelas kopinya. Awan lebih dulu mencoba latte keinginannya.

            “Ini kamu yang buat?” tanya Awan setelah tegukan pertamanya.

            Jiwa hanya mengangguk.

            “Kenapa bikin ini? kamu kan fakultas teknik.”

            “Itu fakultasnya, Wan. Aku Jurusan Arsitektur.”

            Awan baru menyadari itu dan merasa malu, kenapa ia bisa se-tidak peka itu. Ia pun mencoba expresso yang juga dipesankan untuknya. Sebenarnya hanya latte yang Awan sukai, tapi tidak ada yang salah untuk

mencoba. Setelah tegukan pertama dan berusaha rileks menikmatinya, ia baru sadar kenapa Jiwa ingin memesankannya dua gelas kopi.

            “Enak juga,” kata Awan.

            “Bukan enak, tapi nikmat, Wannn.”

            Awan tersenyum dan Jiwa juga. Kopi menjadi bagian penting dalam hidup keduanya. Apalagi Jiwa dengan segudang tugas praktik kuliahnya. Awan juga tidak ingin kalah dengan seleranya, ia meminta Jiwa mencoba kopi lattenya atau ia akan membelikan yang baru untuknya. Jiwa yang tidak mau berisik di café yang mulai dinikmati banyak orang, ia pun mengangguk.

            “Nih minumnya di bagian yang lain, jangan bagian bekas aku, Wa.”

            “Iya, Awann,” tegas Jiwa, tapi pasrah.

            Jiwa pun mencoba meminum di bagian yang Awan tunjukan. Setelah gelas di letakkan kembali, Jiwa mengangguk layaknya perempuan lain saat menyukai apa yang ia makan atau minum, “Enak juga. Nggak terlalu manis. Biasanya aku gak mau pesan latte karena suka nggak pas.”

            “Tapi, jujur ini di sini latte-nya beda. Kayak bukan latte,” Awan tertawa kecil.

            Jiwa mengangguk, “Itu yang aku suka.”

            “Terus kamu suka apa lagi, Wa?”

            “Banyak.”

            “Kali-kali kalau kamu mau buat sketsa, ajak-ajak aku dong.”

            Jiwa menggeleng, “Aku sibuk.”

            “Nggak sesibuk presiden kan, Wa.”

            “Aku lagi nyusun judul buat skripsi.”

            Awan tersentak di tengah kesadaran mendengarnya. Bagaimana mungkin ia juga tidak memikirkan kemungkinan itu. Awan baru memulai semester tiga, tapi Jiwa sudah hampir sampai garis finish. Bukan, bukan karena perbedaan jarak saja, tapi ini kali pertama Awan tertarik dengan yang tidak ingin sampai ia lakukan.

Mana Adanya yang Berkelanjutan

            Sebenarnya tidak ada yang salah dari perbedaan, tapi bagi Awan sekarang ini hal yang kaget. Walaupun

di samping itu hatinya mengakui ketertarikan kepada Jiwa. Namun, itu tidak berarti perasaan lain tidak tersa.

            “Makanya, aku bilang dari awal jangan dekat sama aku. Kamu shock, kan,” ucap Jiwa dengan sedikit menertawakan Awan yang masih diam. “Hmm, udah mau jam dua, aku ada bimbingan dosen. Aku duluan.”

            Dan Jiwa beranjak pergi. Awan sama sekali tidak seperti biasanya, yang selalu mengikuti. Kini ia berubah diam, seperti yang berusaha melupakan. Selang beberapa menit dari perginya Jiwa, Awan baru beranjak untuk

pergi. Padahal kopi keduanya sama-sama belum habis. Baru satu tegukan, setelah itu berubah seperti bukan kopi seperti biasanya.

            Dan Awan memilih pulang, juga dengan bus. Ia menunggu di halte bus, dan merasa seperti menunggu seseorang juga. Tapi ia tidak ingin seseorang itu ada, untuk kali ini. Rasanya langit belahan sini kosong tanpa

awan, hanya biru. Tidak terlalu biru, tapi redup. Bus sudah datang, dan ia langsung bersyukur di saat yang pahit tapi juga manis. Bus juga seperti sengaja cepat-cepat karena penumpang tidak memenuhi kursi. Ia pulang dengan perasaan dan kenyataan baru lagi.

Lima hari kemudian.

            Tepat di saat hari yang mana judul skripsi Jiwa sudah disetujui oleh dosen pembimbingnya. Ia menghabiskan waktu dengan membantu Ibunya membuat kue untuk sedekah sebagai keberapa tahun Ayahnya meninggal. Mereka berdua dibantu oleh Bi Ros setiap harinya, dan sudah menjadi pembantu sejak Jiwa SD.

            Kue yang dibuat hanya beberapa, di antaranya kue karamel, kue ketan, dan kue beras. Semuanya itu dibagi menjadi beberapa dan dimasukan ke dalam kotak untuk dibagikan ke setiap rumah di perumahan ini.

            Dibalik semua itu, apa yang ia langsung pikirkan saat membagikan kepada tetangga adalah Awan. Ini sudah hari ke lima ia tidak ke kampus dan enggan ke luar rumah, sejak hari itu karena dosen pembimbingnya

langsung memberi persetujuan. Ibunya sudah pasti lelah untuk keliling perumahan daripada Jiwa yang masih muda.

            “Kamu bagiin ini ke setiap rumah, ya. Berurutan biar gak ada yang kelewat,” ujar Sandra, Ibunya Jiwa.

            “Iya Bu, siap.”

            Jiwa membawa beberapa kotak kue itu dengan keranjang. Ia berkeliling dari rumah yang paling dekat. Kalau ada yang bisa membaca perasaannya, sepertinya sudah terbaca jika ia amat gugup jika tiba-tiba yang ke luar adalah Awan. Bagaimana Awan akan bersikap kepadanya? Tapi sepertinya Awan sedang tidak ada di rumahnya.

            Kotak kue hampir habis dari keranjangnya, dari empat puluh lima rumah, sisa lima rumah lagi yang kemungkinan akan ke luar Awan. Ternyata waktu tidak lama seperti apa yang dirasakan, sudah tinggal tiga kotak

lagi yang belum diberikan. Tepat ia akan memencet bel rumah berikutnya, ternyata perkiraan ia salah. Justru Awan muncul dari luar rumah.

            “Jiwa,” ucap Awan yang baru sampai di depan rumahnya usai dari kampus.

            “Awan.” Tangan Jiwa sedikit gemetar saat akan memberikan kotak kue kepada Awan, “Ini ada pemberian dari keluarga aku. emmm, semua rumah juga dapat kok.”

            “Kamu dari mana aja? Aku gak pernah lihat kamu.”

            “Aku di rumah aja. Judul skripsiku udah disetujui.”

            “Oh, kalau gitu aku mau minta maaf soal kejadian di café.”

            “Nggak ada yang salah, Wan.”

            “Kita bisa temenan gak, sih?”

            “Tapi, sebaiknya jangan berteman sama aku, Wan.”

            “Kenapa?”

            “Aku sebenarnya egois. Kamu nggak akan tahan.”

            “Kita cuma temenan doang, nggak lebih juga.”

            “Tetap aja, semuanya bisa berubah.”

            “Ya udah, kalau itu mau kamu. Tapi aku yakin kita pasti bisa dekat,” jawab Awan sambil mengambil apa yang diberikan Jiwa, “Makasih, ya.”

            Awan kembali berjalan, karena seharusnya dia tidak berhenti se-lama itu. Awan seharusnya mengingat apa yang ia pikirkan selama tidak bertemu dengan Jiwa. Seperti ada yang hilang, tidak bisa ia bohongi. Tapi

sepertinya tidak akan berjalan semulus dongeng Nabi yang menceritakan nabi yang mempunyai istri lebih tua darinya.

            Keesokan harinya, Awan masih harus ke kampus. Ia ingin makan bubur, tapi sambil menunggu bus di halte, ia memakan beberapa kue beras yang diberikan Jiwa. Ia sudah siap lebih awal, jadi tidak langsung naik bus. Ia sudah menghabiskan dua kue beras. Saat akan memakan kue ketiga, dari sebrang jalan sana ia melihat Jiwa akan menyebrangi jalan.

            Jiwa pastinya berhenti di halte, dan pagi ini dia sudah tersenyum, “Kue berasnya enak, gak?”

            Aku masih mengunyah, dan baru menjawabnya dengan mengangguk.

            “Masih banyak di rumah. Kalau mau, ke rumah aku aja.”

            “Emangnya boleh? Kita kan bukan teman.”

            “Ya udah kalau gak mau kue.”

            “Iya, nanti aku ke sana. Sebagai apa?”

            “Sebagai Awan.”

            Bus tiba datang. Jiwa langsung naik, dan Awan melahap satu kue beras sekaligus agar bisa masuk ke dalam bus. Jiwa tertawa tipis melihat pipi Awan yang gemuk karena kue beras. Tapi ia langsung menyembunyikannya saat Awan akan menengok kepadanya. Namun, Awan tahu, dan dia tersenyum melihat Jiwa yang mendapatkan tempat duduk dari tempatnya berdiri.

            Bus berhenti. Awan sengaja turun mendahului Jiwa. Tidak ada hal yang berarti selain dapat berbicara dengan Jiwa, jiwanya. Jiwa turun sebagai penumpang terakhir yang berhenti di kampus.

            “Wa, katanya kamu udah beres ngajuin judul skripsi, kenapa ke kampus?”

            “Kamu mau tahu?”

            “Banget.”

            “Kalau gitu kamu harus datang.”

            “Ke mana?”

            “Nanti sore ada seminar di fakultas aku. Suka ikut seminar, gak?”

            “Suka dong!”

            “Ya udah, nanti jam empat.”

            “Iya, jam empat kita ketemu lagi.”

            Jiwa hanya mengangguk dan jalan duluan ke gedung fakultasnya. Namun, bukan karena ia ingin buru-buru pergi dari Awan, karena ia pergi dengan senyuman. Tanpa Awan tahu, tapi yang Awan tahu ia akan bersama Jiwa kembali.

            Yang benar saja, cara membahagiakan manusia sangat mudah. Apalagi untuk Awan yang ingin bersama Jiwa. Ia sangat bersemangat menanyakan di mana ruangan seminar sore ini kepada mahasiswa lain. Ia berharap Jiwa sudah ada di sana. Awan masuk ketika sudah lumayan kursi yang terisi. Sisanya lebih

banyak yang di depan, tapi sepertinya Jiwa lebih menyukai duduk di depan. Ia pun duduk di barisan kedua, dengan menandakan kursi di sampingnya dengan buku untuk Jiwa duduk.

            Sudah hampir lima belas menit Jiwa belum muncul di pintu masuk, dan seminar akan segera dimulai–kata pembawa acara. Yang benar saja, seminarnya dimulai saat Jiwa belum ada. Jiwa yang meminta ini kepada Awan. Dan Awan paling tidak suka dibuat percuma begini. Ia merasa malas dan ingin ke luar

dari barisan kursi. Saat ia baru akan beranjak, background seminar baru ia lihat. Dan ternyata Jiwa lah yang menjadi pembicara di seminar seni ini. Dengan begitu Awan mengerti. Tidak lama kemudian, Jiwa masuk dengan jas biru muda dan celana hitam. Rambutnya sangat pantas dengan apa yang ia kenakan. Tidak, lebih tepatnya Jiwa sangat cantik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!