NovelToon NovelToon

Suamiku Bukan Milikku

1

Hari ini adalah hari kelulusan bagi murid-murid SMA BAKTI. Semua murid harus berkumpul di lapangan untuk mendengarkan pengumuman dan instruksi dari kepala sekolah.

Dia adalah Kirana Hapsari, gadis cantik yang selalu menjadi juara umum se-angkatannya. Tapi hari ini merupakan hari penentuan bagi seorang Kirana, walaupun selalu menjadi juara umum, untuk kelulusan ini tidak bisa dijadikan acuan bisa mendapatkan nilai baik ataupun tertinggi.

Banyak pepatah mengatakan 'Orang Bodoh itu akan kalah dengan Orang Pintar, tapi Orang Pintar akan kalah dengan Orang yang Berpengalaman, sedangkan Orang yang Berpengalaman akan kalah dengan Orang yang Beruntung'.

Kirana tetaplah Kirana, yang selalu memikirkan sesuatu hal dengan teramat serius. Otaknya selalu bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

"Kirana, kenapa harus terlinat panik seperti itu?" tanya Bella pelan saat berjalan menuju lapangan untuk berkumpul.

"Rasanya agak berbeda dari biasanya Bella. Kalau aku tidak bisa mendapatkan nilai terbaik, Ayahku tidak akan menguliahkan aku," ucap Kirana pelan dengan wajah sedih.

"Mustahil kalau kamu tidak menjadi yang terbaik. Lihatlah semua orang santai bahkan cuek saat ujian itu berlangsung sedangkan kamu, melihat kami saja tidak, hanya buku saja yang dibaca," ucap Bella mengingatkan Kirana yang belajar serius saat menghadapi Ujian Nasional.

"Woy... main tinggal aja. Tadi aku dengar pembicaraan guru, kalau ujian kali ini, nilai terbaik diraih oleh orang yang tidak biasa. Siapa ya?" ucap Mecca dengan polosnya.

Kirana langsung tertunduk lesu mendengar ucapan Mecca.

Melihat gerakan Kirana yang langsung melemas, Bella menyikut lengan Mecca dan mengedipkan satu matanya agar diam dan tak melanjutkan ucapannya.

"Maafkan aku, Kirana. Aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Mecca pelan meminta maaf. Mecca sadar, Kirana adalah gadis yang sensitif dalam hal pelajaran, bukan karena tidak mau tersaingi tapi orang tua Kirana selalu menuntut Kirana untuk menjadi yang terbaik.

Kirana hanya tersenyum mendengar permintaan maaf dari sahabatnya itu. Kirana tahu, Mecca sahabatnya hanya bercerita tentang apa yang diketahuinya bukan untuk memanas-manasi.

"Gak apa-apa Mecca, mungkin aku yang belum beruntung," ucap Kirana yang sudah pasrah dengan hasil Ujian Nasional nanti.

"Kirana, Mecca, lihat itu anak nakal pindahan dari sekolah lain. Mana ada yang mau berteman dengan dia. Bisa masuk sekolah ini juga karena Pak Tito adalah tetangga rumahnya. Itu yang aku dengar tapi kurang tahu juga," ucap Bella penuh semangat.

Kirana dan Mecca menatap lelaki itu dengan seksama.

"Tapi wajahnya tidak terlihat nakal. Memang ada kasus apa di sekolahnya terdahulu?" tanya Mecca yang ikut penasaran.

"Waduh, kalau itu kurang paham. Kemarin denger dari adik kelas, katanya sih tetangganya juga," ucap Bella antusias.

"Sudah ya, gak usah ghibah, dengerin tuh, Kepala Sekolah mau berorasi," ucap Kirana pelan sambil menutup bibirnya dengan jari telunjuknya tanda untuk diam.

Sudah setengah jam, Kepala Sekolah memberikan nasihat dan wejangan bagi murid-murid SMA BAKTI yang lulus pada hari ini.

"Bagi yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kalian harus lebih giat belajar agar menjadi orang yang sukses dan berguna bagi keluarga, nusa dan bangsa. Bagi yang tidak melanjutkan pendidikannya, bekerjalah kalian dengan baik dan jujur. Kunci orang suksea adalah kejujuran, selama kalian jujur dan amanah maka banyak orang yang akan memakai tenaga dan pikiranmu. Akhir kata Bapak ucapkan buat kalian semua dan beberapa murid yang mendapatkan nilai tertinggi hanya berbeda enol koma saja. Murid beruntung yang mendapatkan nilai tertinggi adalah MUHAMMAD SYAKIR, selamat untuk SYAKIR silahkan maju ke depan, dan nilai tertinggi kedua di raih oleh KIRANA HAPSARI, selamat untuk KIRANA silahkan maju ke depan. Ada hadiah dan cinderamata untuk kalian berdua," ucap Kepala Sekolah penuh semangat.

Syakir dan Kirana berjalan menuju ke depan. Semua murid bersorak-sorai dengan gembira. Banyak yang bersiul dan memanggil nama Kirana.

Kirana termasuk gadis cantik masuk dalam jajaran gadis yang digilai oleh kaum Adam di sekolahnya.

Syakir adalah murid pindahan yang dikeluarkan dari sekolah lamanya karena salah paham. Syakir adalah lelaki dengan IQ diatas rata-rata, sangat pintar tanpa harus belajar keras, hanya dengan mendengarkan Syakir mampu mengingat dengan baik.

Keduanya sudah berdiri di depan di dekat mimbar. Setiap murid diminta untuk memberikan sedikit pidato untuk kesan dan pesan selama bersekolah di SMA BAKTI.

Syakir mendapatkan waktu yang lebih awal untuk memberikan sepatah dua patah kata untuk sekolah tercintanya.

Setelah lima belas menit berlalu, giliran Kirana yang memberikan kesan selama bersekolah di SMA BAKTI.

Semua murid memberikan applaus luar biasa ramai, sorak-sorai gemuruh murid-murid menunggu waktu kelulusan akan dibacakan oleh Kepala Sekolah.

"Semua murid-murid yang Bapak sayangi, pagi ini kita mengucapkan rasa syukur kita kepada Allah SWT, karena kalian semua LULUS dengan nilai baik, Bapak ucapkan selamat kepada kalian semua," ucap Kepala Sekolah dengan lantang.

Saat semua murid berbahagia dengan melompat, berteriak, menjerit atau dengan salto sebagai ungkapan rasa bahagia atas kelulusan mereka semua.

Berbeda dengan Kirana yang masih terdiam di depan lapangan menatap kosong ke arah teman-temannya. Pandangannya beralih pada nilai ujian yang telah diterimanya. Nilainya bukan yang tertinggi dan juga bukan nilai yang sempurna. Konsekuensinya sudah sangat jelas, bahwa Kirana tidak bisa meneruskan pendidikannya apalagi harus mengejar cita-citanya sebagai perawat.

Syakir menatap Kirana dengan heran, disaat semua orang berbahagia, gadis cantik disampingnya malah terlihat lesu dan bersedih. Syakir memberanikan diri untuk memperkenalkan diri kepada Kirana.

"Namaku Syakir, kamu Kirana?" tanya Syakir pelan.

"Betul, aku Kirana. Salam kenal Syakir," ucap Kirana pelan.

"Ibumu sakit apa, Kirana?" tanya Syakir pelan yang tampak peduli kepada Kirana.

Kirana menatap Syakir dengan heran, darimana Syakir tahu tentang Ibu Kirana yang sedang sakit.

"Bagaimana kamu tahu tentang Ibuku, Syakir?" tanya Kirana kepada Syakir.

Syakir tersenyum lalu tertawa kecil menatap Kirana.

"Kamu tidak akan kenal aku, Kirana. Bagaimana kamu kenal aku, jika kamu tidak pernah keluar rumah. Rumah Nenekku hanya berbeda lima rumah dari rumahmu," ucap Syakir menjelaskan.

"Benarkah itu Syakir? Sebelumnya kamu sekolah dimana?" tanya Kirana pelan.

"Aku dari Bandung, Kirana. Aku dipindahkan oleh orang tuaku untuk menemani Nenekku. Tapi, aku harus kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliahku disana," ucap Syakir penuh semangat.

Sama seperti Kirana, Syakir juga harus mendapatkan nilai tertinggi jika ingin kembali tinggal bersama orang tuanya dan meneruskan kuliah disana.

Mendengar ucapan Syakir, Kirana hanya menundukkan kepalanya.

"Kamu kenapa Kirana? Tidak biasanya bersedih," tanya Syakir pelan.

"Tidak apa-apa Syakir. Selamat sudah mendapatkan nilai terbaik dan tertinggi di sekolah. Aku harus kembali pulang, untuk mengurus Ibuku yang sedang sakit," ucap Kirana pelan lalu pergi meninggalkan Syakir sendiri.

2

Siang yang begitu panas, Kirana kembali ke rumahnya. Kirana masuk ke dalam rumahnya, dan menemui Ibunya yang masih terbaring lemah di atas kasur tipis dengan selimut yang menutupi tubuhnya wanita paruh baya itu.

Kirana menangis dengan keras hingga Ibunya terbangun dari tidurnya. Kedua matanya terbuka dan mendengar suara Kirana sesegukan menangis di samping tubuh Ibunya yang lemah itu.

"Kiran? Pulang tidak mengucapkan salam?" ucap Ibundanya dengan suara lirih.

Tangannya sang Ibu ingin menggapai kepala Kirana agar bisa mengusapnya pelan.

Kirana menatap sendu wajah Ibunya yang semakin hari semakin lemah tidak berdaya.

"Assalamu'alaikum, Kiran pulang Bu, maaf Kiran melupakan salam karena Kiran sedang bersedih," ucap Kiran pelan. Kedua matanya sudah basah karena cucuran air mata yang begitu deras.

"Waalaikumsalam, ada apa Kiran? Kenapa harus sampai menangis seperti itu? Ada masalah? Bukankah hari ini hari kelulusan Kiran? Bagaimana, selalu menjadi juara umum kan?" ucap Ibu Asih pelan dan terbata-bata.

Kiran memeluk Ibunya dengan sangat erat, lalu menangis lagi sejadi-jadinya hingga seluruh kerudung dan pakaian seragamnya basah karena air mata.

"Kamu kenapa Kiran? Cerita pada Ibu?" tanya Ibu Asih dengan penuh kelembutan.

Kiran menggelengkan kepalanya di bahu Ibunya, rasanya dunia Kiran ingin berhenti begitu saja. Hari yang begitu pahit setelah semua kerja keras tidak ada artinya lagi.

'Bolehkah Kiran marah dengan Allah SWT atas takdir ini?' batin Kiran di dalam hati.

"Kiran? Ada apa sebenarnya?" tanya Ibu Asih pelan sambil mengusap kepala Kiran yang tertutup hijab putih.

"Kiran memang lulus, tapi Kiran tidak mendapat nilai tertinggi sesuai keinginan Bapak. Kiran tidak bisa melanjutkan kuliah, Bu," ucap Kiran dengan lirih. Suaranya pelan tertutup dengan tangisannya hingga terdengar terbata-bata.

Ibu Asih tersenyum lalu menangkup wajah Kiran dengan satu tangannya. Tubuhnya yang lemah dan terasa sakit sudah tidak dirasa lagi, karena kebahagiaannya mendengar Kiran sudah lulus, walaupun bukan dengan nilai tertinggi tapi sudah memberikan yang terbaik untuk diri Kiran sendiri atas jerih payahnya selama ini belajar dengan sungguh-sungguh.

Kiran menatap wajah Ibunya dengan heran.

"Ibu tidak marah? Ibu tidak kecewa? Ibu tidak menangis?" tanya Kiran kepada Ibu Asih yang tersenyum manis kepadanya.

Ibu Asih menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Untuk apa? Apakah ada untungnya jika Ibu menangis? Jika Ibu harus kecewa? Jika Ibu marah? Ibu malah bangga dengan Kiran yang selalu berusaha keras belajar dengan rajin dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan ujian nasional dengan baik. Adapun hasilnya, itu yang harus kita syukuri bukan disesali karena ini dan itu, cobalah menerima suatu keadaan yang sudah diberikan oleh Allah SWT, mungkin itu yang terbaik buat kita karena Allah SWT telah meridhoi bila jalannya seperti itu," ucap Ibu Asih dengan pelan menjelaskan.

Kiran menegakkan duduknya dan mengusap wajahnya dengan ujung hijabnya. Menatap Ibu Asih yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya seolah menjadi cambuk tersendiri bagi Kiran.

"Bapak kemana Bu?" tanya Kiran pelan mencari sosok Bapak Arif.

Keluarga Kiran adalah keluarga yang sangat sederhana, dan Kiran adalah anak tunggal dari pasangan Bapak Arif dan Ibu Asih.

Bapak Arif seorang guru ngaji di kampungnya, terobsesi memiliki anak yang rajin, cerdas dan pintar. Didikan Bapak Arif selalu keras dalam hal belajar, entah pelajaran sekolah ataupun belajar mengaji. Kirana Hapsari, adalah putri semata wayang yang berhasil dididik sesuai dengan keinginan Bapak Arif, ditambah lagi Kiran memang memiliki tingkat kecerdasan diatas rata-rata.

Kembali lagi dengan yang namanya ridho Allah SWT, jalan takdir yang sudah tertulis untuk kita.

"Tadi pamit untuk mengajar di kampung sebelah," ucap Ibu Asih pelan.

"Ibu sudah makan?" tanya Kiran pelan.

Ibu Asih menggelengkan kepalanya pelan.

"Sepertinya Bapak tidak memiliki uang untuk membeli bahan makanan," ucap Ibu Asih pelan menyembunyikan rasa sedihnya dari hadapan Kiran dengan memejamkan kedua matanya.

Kiran beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur sempit itu untuk mencari bahan makanan yang bisa diolah untuk makan Ibu Asih.

Sepuluh menit berada di dapur, Kiran tidak menemukan apapun disana, beras tidak ada, bahan-bahan makanan lain pun juga tidak ada.

Kiran menatap sedih dengan keadaannya, baru sekarang Kiran perduli dengan kehidupannya. Biasanya Kiran tida memperdulikan, tugasnya hanya belajar, belajar dan belajar saja. Semua tugas dirumah sudah beres oleh Bapaknya karena Ibunya sakit keras.

Kiran masuk kembali ke dalam kamar Ibu Asih.

"Dirumah tidak ada apa-apa, lalu bagaimana ini, Bu?" tanya Kiran pelan kepada Ibunya.

Tidak seperti biasanya, Bapak selalu meninggalkan makanan untuk Istri dan anaknya walaupun hanya nasi dan kerupuk. Kiran tidak pernah mengeluh dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan itu. Bisa bersekolah di SMA BAKTI sebagai SMA favorit saja sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagi Kiran.

Kiran masuk ke dalam kamar tidurnya, hanya ada kasur lantai yang tipis dan sudah lusuh. Satu lemari pakaian yang terbuat dari bambu buatan Bapak Arif dan meja tulis yang penuh dengan tumpukan buku.

Selama ini, Kiran tidak pernah membawa bekal berupa uang ke sekolah, Kiran hanya membawa air minum didalam botol minum kesayangannya.

Kiran duduk di kasur lantai itu sambil memeluk bantal tipis yang sudah tidak layak dipakai lagi.

'Apa gunanya buku-buku ini saat ini, apakah bisa aku jual untuk membeli makanan dan obat untuk Ibu Asih,' batin Kiran dalam hati.

Kiran dengan segera mengganti pakaian seragamnya dengan rok panjang dan kaos berlengan panjang, tidak lupa hijab instant yang menutup hingga bagian perutnya.

Buku-buku tulisnya ditumpuk menjadi satu dan dimasukkan ke dalam kardus bekas.

Kiran berpamitan pada sang Ibu yang sedang beristirahat lalu pergi ke tempat pasar loak dekat jalan raya di ujung desa tempat tinggalnya.

"Assalamu'alaikum, Pak, mau jual buku-buku bekas bisa?" tanya Kirana pelan kepada salah satu pekerja pasar loak itu.

"Waalaikumsalam, bisa neng, tapi lihat dulu ya, itu putih apa buram, harus dipisah karena harganya juga beda," ucap pemilik pasar loak itu.

Satu pekerjanya mengambil kardus yang dibawa Kiran untuk dicek dan ditimbang.

"Ini uangnya neng," ucap pemilik pasar loak itu.

Kiran menerima uang puluhan sebanyak dua lembar. Nominalnya memang kecil, bahkan seperti tidak berarti. Tapi bagi Kiran, uang dengan nominal segitu bisa untuk digunakan makan selama dia hari.

Kiran meninggalkan pasar loak itu dan membawa dua puluhan uang itu untuk membeli beras dan bahan-bahan makanan lainya untuk dijadikan lauk.

Jarak tempuh dengan berjalan kaki kira-kira setengah jam saja untuk pulang dan pergi.

Sebelum sampai di rumah, Kiran mampir ke sebuah warung untuk membeli beras dan telur untuk menyuapi Ibunya.

3

Kirana kembali ke rumahnya setelah membeli beberapa kebutuhan pokok dengan uang yang ada.

"Kirana?" panggil Syakir dari tetas rumahnya saat Kirana melewati rumah Nenek Syakir.

Kirana menoleh ke arah Syakir dan tersenyum ramah. Syakir berlari ke arah jalan untuk menemui Kirana.

"Kamu dari mana Kirana?" tanya Syakir pelan kepada Kirana.

"Kiran habis belanja Syakir, untuk Ibu," ucap Kiran pelan.

"Kiran mau melanjutkan kuliah dimana?" tanya Syakir pelan menatap wajah Kiran yang langsung berubah sedih saat Syakir menanyakan tentang kuliahnya.

Kiran menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Kiran tidak melanjutkan kuliah Syakir, mungkin Kiran akan bekerja saja membantu mencari nafkah," ucap Kiran dengan suara lirih.

"Boleh Syakir mengantar Kiran sampai rumah, Syakir ingin berkenalan dengan orang tua Kiran," ucap Syakir lembut.

"Untuk apa? Bapak tidak ada, Ibu Kiran sakit dan hanya berada di atas kasur," ucap Kiran melemah.

Syakir tersenyum manis, Kiran adalah sosok gadis sholehah dan penurut. Setiap hari Nenek Syakir bercerita tentang Keluarga Bapak Arif, tidak lain Bapak Kiran.

Kegigihan Bapak Arif dalam mencari nafkah untuk membiayai sekolah Kiran dan pengobatan sang Istri. Alasan itu yang membuat obsesi Bapak Arif menuntut Kiran untuk menjadi yang terbaik.

"Ayahku seorang dokter Kiran, biarkan Syakir melihat kondisi Ibu Asih secara langsung," ucap Syakir pelan meyakinkan.

Kiran tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Baiklah bila itu demi kesembuhan Ibu, silahkan datang dan temui Ibu," ucap Kiran dengan lembut.

Kiran dan Syakir berjalan beriringan menuju rumah Kiran yang sederhana. Rumah mereka hanya berbeda sekitar lima rumah saja, namun pertemuan itu mempunyai arti yang sangat berarti bagi keduanya.

Mereka bukan teman dekat di sekolah, hanya saling mengamati dan sekedar tahu, dipertemukan saat berada di depan lapangan sebagai murid teladan dan murid terbaik dengan nilai tertinggi, namun asa salah satu dari keduanya harus terhenti karena sebuah janji.

"Assalamu'alaikum, Ibu, ada Syakir teman Kiran," ucap Kiran pelan langsung memasuki kamar Ibu Asih.

Syakir ikut mengucapkan salam dan masuk ke dalam kamar tidur Ibu Asih mengikuti Kirana.

"Waalaikumsalam, Kiran? Halo Syakir," ucap Ibu Asih lirih sambil melambaikan tangan kanannya. Tatapannya sendu melihat keduanya masuk ke kamar Ibu Asih.

"Ini Syakir Bu, Cucu Nenek Sugondo, putra semata wayangnya Bunda Ayu dan Ayah Basith," ucap Kiran menjelaskan dengan pelan.

Syakir menoleh ke arah Kirana yang masih menatap lekat kedua mata Ibunya.

"Kamu tahu Syakir itu siapa? Hapal dengan kedua orang tuaku?" tanya Syakir pelan kepada Kirana.

Kirana menoleh ke arah Syakir dan tersenyum.

"Siapa yang tidak mengenalmu dan keluargamu Syakir," ucap Kirana pelan.

"Keluargaku sederhana Kiran, jangan kamu anggap berbeda dengan yang lain," ucap Syakir lembut.

"Syakir, Ibu, Kiran mau membuatkan makan siang untuk Ibu. Kiran tinggal sebentar," ucap Kiran pelan lalu beranjak dari duduknya menuju dapur untuk memulai mengolah bahan-bahan makanan yang tadi dibelinya.

Syakir berdua dengan Ibu Asih, saling bertanya dan berbagi cerita. Syakir yang dewasa dengan segala pemikirannya memiliki sikap yang lembut dan bijak.

"Syakir teman sekolah Kiran?" tanya Ibu Asih pelan dan lembut menatap Syakir.

Syakir mengangguk pelan.

"Betul sekali, Syakir teman sekolah Kiran, Syakir baru saja pindah ke sekolah Kiran beberapa bulan yang lalu, tapi kini Syakir harus kembali ke Bandung untuk kuliah kedokteran disana," ucap Syakir pelan menjelaskan.

Ibu Asih tersenyum.

"Selamat ya Syakir, semoga cita-citamu bisa terwujud tanpa halangan apapun dan Allah SWT meridhoi perjalanan hidup dan karirmu," ucap Ibu Asih pelan sambil terbatuk-batuk yang ditutup dengan selembar kain.

Kain itu langsung ditutup agar tidak terlihat oleh Syakir, namun sisa darah dari mulutnya menempel pada bibir Ibu Asih.

"Ibu sebenarnya sakit apa?" tanya Syakir lembut sambil memegang tangan Ibu Asih.

Ibu Asih hanya tersenyum dengan wajah sendu.

"Hanya sakit biasa, mungkin masuk angin," ucap Ibu Asih berbohong. Nadanya lirih dan melemah.

Syakir menatap lekat kedua mata Ibu Asih dan mengeratkan genggaman pada tangan wanita paruh baya itu.

"Ibu Asih bisa saja membohongi Bapak Arif dan Kirana, tapi tidak dengan Syakir. Ibu Asih memiliki penyakit serius, batuk dengan darah menggumpal itu bukan sakit ringan, itu penyakit kronis," ucap Syakir pelan dan lembut dekat telinga Ibu Asih.

Sakit dengan mendekatkan wajahnya ke arah wajah sendu wanita paruh baya yang lemah itu.

Ibu Asih menangis, air matanya dengan mudah sudah mengalir deras, rasanya sudah tidak kuat menahan sakit dan ingin lepas dari rasa sakit ini.

"Jangan katakan apapun pada Kirana, Ibu tidak ingin Kirana terbebani dengan penyakit Ibu. Sudah cukup hari ini Kirana menangis dan mengadukan kekecewaannya karena tidak bisa mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya. Impiannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi pun hilang seketika. Kirana adalah gadis penurut, sifat ambisiusnya terdidik dari Bapak Arif yang selalu menuntut Kirana harus menjadi yang terbaik di manapun juga sejak kecil," ucap Ibu Asih pelan menjelaskan.

Syakir mengangguk pelan tanda paham dan mengerti apa yang dijelaskan oleh Ibu Asih.

"Ibu tahu siapa yang mendapatkan nilau tertinggi di sekolahnya?" tanya Syakir menyelidik.

Ibu Asih menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Kirana tidak bercerita, dan Ibu juga tidak perlu tahu. Menurut Ibu, ini semua sudah kehendak Allah SWT, apapun yang terjadi pada kita itulah yang terbaik untuk kita," ucap Ibu Asih pelan.

Satu tangan Ibu Asih memegang bagian dadanya yang terasa sakit dan sesak, namun tetap ditahan dan tetap bertahan demi Kirana.

"Ibu Asih sesak?" tanya Syakir melihat Ibu Asih dengan napas yang sudah terlihat sulit.

Ibu Asih tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.

"Jaga Kirana untuk Ibu, jauhkan Kirana dari Bapak Arif. Ibu tidak tega Kirana selalu disiksa karena tidak bisa mendapatkan yang terbaik di sekolahnya," ucap Ibu Asih pelan menjelaskan.

"Sebenarnya ada apa Ibu, bisa ceritakan pada Syakir? Insha Allah, Syakir akan amanah menjaga Kirana untuk Ibu Asih. Ceritakan ada apa sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Syakir pelan dengan rasa penasaran terus memaksa Ibu Asih bercerita.

Ibu Asih memejamkan kedua matanya sejenak. Rasanya berat untuk menceritakan aib keluarga kecilnya sendiri tapi mungkin ini adalah cara terbaik untuk membuat lega pada hati dan pikiran Ibu Asih. Selama ini ibu Asih memendam beban perasaan dan beban moral yang sangat besar, tapi demi sebuah cinta semua dilakukannya walaupun tanpa restu dari keluarga.

Kedua mata itu semakin terlihat sayu dan lemah, Ibu Asih membuka mata itu dengan perlahan menatap kedua mata Syakir seolah memohon agar bisa menjaga Kirana sebelum maut kematian merenggut nyawanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!