NovelToon NovelToon

IKHLASKAN AKU PERGI SUAMIKU

BAB 1 PROLOG

"Sejak awal sudah kuperingatkan. Jangan pernah masuk ke dalam hidupku, jika kehadiranmu hanya ingin menguji dan menciptakan luka baru. Kau tahu kenapa? Karena aku sudah pernah berjuang sedemikian rupa untuk bisa terlepas dari pedihnya trauma."

Di musim kemarau yang membakar, di saat hujan tak kunjung turun dan enggan untuk sekedar hadir menyirami tandusnya bumi yang mengering. Andhira (21 tahun), sedang asyik mengobrol dengan teman-teman pemotornya. Mereka mengobrol soal ini dan itu membahas tempat mana lagi yang akan mereka kunjungi dengan sesama anggota pemotor lain yang biasanya mereka lakukan di hari minggu pagi. Sunday morning riding, katanya. Ya, sebagai seorang gadis yang ceria dan memiliki banyak teman, tentu saja hidup Andhira sangatlah menyenangkan.

Sampai suatu hari, keluarga Andhira menghendaki sebuah perjodohan untuk Andhira. Dia dijodohkan dengan laki-laki bernama Daffa (24 tahun), yang diyakini mampu membahagiakan Andhira setelah menapaki biduk rumah tangga nantinya.

Malam itu, sekitar pukul 20.00 WIB. Keluarga Daffa datang ke rumah Andhira, untuk melamar. Keluarga Andhira sendiri bisa dibilang cukup mengenal baik orang tua Daffa. Sebab, mereka juga terhimpun dalam sebuah organisasi kemasyarakatan yang sama. Ide perjodohan ini murni datang dari keluarga mereka semata. Sementara, Andhira dan juga Daffa sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk menikah saat itu. Bahkan, memimpikannya saja tidak.

Percakapan seputar pernikahan yang terbilang begitu cepat pun berlangsung. Andhira duduk menyimak obrolan, dengan mimik wajah datar tanpa senyuman. Sebagai anak yang baik dan dididik oleh keluarga yang cukup taat dalam agamanya, Andhira berusaha menurut dan menerima saja perjodohannya dengan Daffa. Walau, sekali lagi di dalam hatinya dia sama sekali tidak menginginkannya.

"Sebenarnya dia bukan tipe gadis yang ingin aku nikahi, tapi Abah dan Ummi memaksaku untuk menikah dengannya. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah menerima semua ini," gerundal Daffa di dalam hati.

"Aku tidak tahu, apakah aku akan bahagia dengan pernikahan ini nantinya? Atau justru menderita. Aku tidak melihat ketertarikan di mata lelaki itu padaku," bisik hati Andhira.

Mereka pun mulai saling didekatkan melalui perantara. Untuk menyatukan visi dan misi dalam pernikahan yang akan mereka jalani ke depannya. Keduanya pun mulai berbicara mengenai niat menikah beserta tujuannya. Hingga mereka mendapat satu titik keselarasan, yaitu menciptakan rumah tangga yang bahagia sekaligus untuk sama-sama menguatkan mereka dalam segi ibadah kepada Tuhan.

***

Dua bulan kemudian, hari pernikahan pun digelar dengan pesta yang cukup meriah. Sepasang pengantin yang sudah melakukan ijab kabul itu duduk bersanding di pelaminan yang dihias indah. Para tamu berdatangan menyalami dan memberikan selamat atas pernikahan mereka. Raut wajah bahagia yang umumnya tersirat di wajah pengantin baru tidak tampak pada keduanya. Hanya kekakuan dan sesekali senyum tipis terulas di bibir mereka.

Tiga orang sahabat Andira yaitu Rere, Maya, dan juga Fahri. Turut hadir memenuhi undangan Andhira. Rere dan Fahri tersenyum dan memuji kecantikan Sang Mempelai pengantin wanita. Namun, lain halnya dengan Maya yang menunjukkan wajah masam dan tidak sukanya.

"May, berikan sedikit senyuman untuk menghormati sahabat kita," bisik Rere sembari mengguncang pelan lengan Maya.

"Sampai kapan pun aku tidak rela Dhira dinikahi oleh pria jelek itu," jawab Maya ketus.

"Ya ampun, Maya," ucap Fahri sembari menggelengkan kepalanya.

"Temanmu itu benar-benar aneh," kata Rere pada Fahri.

"Ya! Kurasa dia sahabatmu juga," balas Fahri tak terima.

"Jaga bicaramu, May. Kau boleh tidak suka, tapi yang menikah dengannya 'kan Andhira ... bukan kamu," peringati Rere dengan suara pelan.

Maya hanya menatap sinis ke arah Daffa. Lalu, ketiga sahabat Andhira itu pun duduk menikmati jamuan pesta yang tersedia. Kemudian, mereka pamit pulang usai memberikan beberapa hadiah sebagai kado pernikahan kepada Andhira.

"Terima kasih ya, Re, May, Fah. Sudah menyempatkan waktu untuk datang ke pernikahanku," tutur Andhira dengan sorot mata yang menyiratkan keberatannya. Dia sebenarnya ingin ditemani lebih lama lagi oleh ketiga sahabatnya tersebut.

"Sama-sama, Dhira. Semoga kebahagiaan senantiasa membersamai kalian berdua," ucap Rere.

"Aamiin," jawab Andhira singkat.

"Rere, cepat sedikit. Perutku sangat mual berada terlalu lama di sini," sarkas Maya.

Fahri mencubit kecil tangan Maya sampai dia mengaduh kesakitan. Baik Rere maupun Fahri, tidak tahu pasti mengapa Maya demikian benci kepada Daffa. Maya juga sama sekali tidak menoleh lagi kepada Suami Andhira itu. Bahkan, dia mengabaikan uluran tangan Daffa saat hendak bersalaman, hingga Daffa merasa malu sendiri.

***

Malam pertama bagi Andhira dan Daffa sebagai pengantin baru. Tidak banyak yang terjadi. Keduanya masih sama-sama canggung, karena mereka memang belum terlalu mengenal satu sama lain.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Daffa menarik Andhira dengan kasar dan membantingnya ke kasur. "Aku mau hakku," tuntut Daffa dengan mata menyala merah.

Sikap kasar Daffa itu sontak membuat Andhira kaget dan ketakutan. Dia berusaha meronta, bukan bermaksud menolak melakukan kewajibannya untuk melayani Daffa. Hanya saja, Andhira ingin Daffa melakukannya dengan lebih pantas. Bukan dengan paksaan dan kekerasan seperti itu.

"Pelan-pelan, Mas!" teriak Andhira dengan berurai air mata.

Namun, Daffa tidak mengindahkan permohonan Andhira tersebut. Dia terus berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan. Tanpa memikirkan rasa sakit Andhira akibat ulahnya.

"Akhhhh ...," pekik Andhira kala Daffa berhasil mendobrak mahkota paling berharganya.

Dunia dan seisinya seakan runtuh kala itu. Meski mereka sudah sah menjadi suami istri. Namun, perlakuan kasar Daffa membuat Andhira merasa terhina.

Daffa tertidur pulas usai menggagahi Andhira dengan brutal tanpa belas kasihan. Sementara, Andira masih menangis tersedu-sedu. Wajah Andhira pucat pasih, tangannya meremas kencang ujung bantal yang dia tutupkan ke wajahnya. Bagian inti tubuhnya terasa perih dan teramat sakit kala itu.

"Kenapa kau memperlakukanku begitu kasar? Padahal, aku tidak memberi penolakkan yang membuatmu tersinggung. Aku juga tahu kewajibanku, tapi kenapa kau bersikap seolah kau marah padaku ... kenapa?" ratap Andhira dengan suara parau yang menyayat hati.

Bersambung ....

BAB 2 Apa Salahku?

Andhira tertidur dalam keadaan kusut. Meski matanya terpejam, tapi jiwanya bergemuruh seakan ramai oleh kegaduhan. Bayangan perlakuan Daffa yang sangat kasar, membuat Andhira memeluk ketakutan, menyesap kepahitan di awal pernikahan yang seharusnya jadi momen bahagia.

Dini hari, pukul 02.00 WIB. Kala sepi menyelimuti seluruh ruangan di rumah tempat mereka tinggal, Daffa terbangun. Dia terperanjat kaget melihat ada wanita yang tidur dengan posisi nyaris terjatuh di tepi ranjangnya.

"Ahh, siaal! Aku lupa kalau sekarang aku sudah menikah," cicit Daffa tersadar. Dia menepuk dahinya pelan.

Daffa menggeser tubuh Andhira agar lebih ke tengah. Kemudian, ditatapnya lekat wajah Wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu. "Aku tidak tertarik sama sekali padamu. Jadi, jangan berpikir dengan aku menidurimu akan merubah perasaanku. Selamanya kau hanyalah pakaian kusut bagiku," hardik Daffa dengan senyuman tidak simetris.

Laki-laki itu bangkit dan mengambil segelas air putih. Dengan hanya menggunakan celana boxer dan bertelaanjang dada, dia meneguk air minumnya sampai habis tak bersisa. Lantas, dia duduk kembali di tepi ranjang pengantinnya.

"Ayaaah, tolong Dhira, ayah," igau Andhira dengan suara yang sangat ketakutan.

"Dasar anak manja. Ayahmu sudah tidak ada lagi di dunia ini," cerca Daffa seraya memicingkan matanya ke arah Andhira.

Ya, ayah Andhira memang sudah meninggal sejak beberapa tahun yang lalu. Sampai saat ini, Andhira masih berkabung duka dan sangat terpukul atas kepergian ayahnya tersebut. Walaupun, Andhira tidak pernah menceritakan seberapa besar kesedihannya pada siapa pun, kecuali pada ketiga sahabatnya saja.

Semakin lama, suara Andhira semakin sering menyebut-nyebut nama ayahnya. Namun, matanya tetap terpejam. Entah mimpinya yang terlalu buruk dan menyeramkan sehingga Andhira terus mengigau, atau mungkin rasa takutnya yang begitu besar setelah menerima perlakuan kasar dari Daffa kepada dirinya.

"Berisik sekali," keluh Daffa yang terus mendengar igauan Andhira.

Lantas, Daffa menyeringai licik dan mendekatkan wajahnya kepada Andhira. "Akan kusumpal mulutmu dengan bibirku, Sayang," ujarnya bengis.

Daffa melancarkan aksinya itu dengan meraup buas bibir Andhira yang sedang mengalami mimpi buruk. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki berwajah bengis tersebut, hingga dia tampak senang dan menikmati permainan kasarnya itu. Andhira yang kala itu kesulitan untuk bernapas pun terbangun dan mendapati Daffa yang sedang memaagut bibirnya dengan liar.

"Eemmmph ...," dengus Andhira dengan mulut yang tersumpal bibir Daffa. Dia mendorong tubuh Daffa agar menjauh darinya.

Daffa meraih lengan Andhira dan mencengkeramnya dengan kuat. "Beraninya kau padaku," kesal Daffa dengan tatapan membunuh.

"Aduuuh, sakit, Mas," raung Andhira dengan air mata yang kembali menghujani pipinya.

Daffa kemudian menghempaskan lengan Andhira dengan kasar. Tatapan mata Daffa dipenuhi amarah yang menggelora. Baru malam pertama setelah menikah, tapi Daffa sudah mengukir kesan buruk di hati Andhira.

"M-maaf, Mas. Apa sebenarnya kesalahanku? Mengapa kamu begitu kasar padaku?" tanya Andhira lirih, diiringi tangis yang begitu sedih.

"Kau mau tahu apa kesalahanmu?" tandas Daffa seraya mendekatkan wajahnya ke telinga Andhira.

Andhira menunduk dalam dengan rasa tidak nyaman. Dia tidak berani menatap Daffa yang seolah memiliki dendam padanya. Dia tidak berbicara lagi. Hanya suara tangisan yang berusaha dia tahan sekuat tenaga agar tidak keluar. Dan percayalah, itu terasa begitu sesak di dalam dada.

"Tatap mataku, Bodooh!" bentak Daffa.

Andhira terperangah dan langsung mengangkat wajahnya. Ceruk matanya terlihat penuh oleh genangan air mata. Bibirnya bergetar dengan perasaan takut yang semakin menjadi.

"Kesalahanmu adalah menjadi istri yang tidak pernah aku harapkan!" tegas Daffa penuh penekanan.

Kata-kata Daffa menjadi pukulan yang sangat menyakitkan bagi Andhira. Kalau boleh jujur, dirinya pun sama perihal tidak mengharapkan pernikahannya dengan Daffa terjadi. Namun, Andhira masih punya hati untuk menjaga perasaan Daffa. Lagi pula, mengapa Daffa tidak mengatakan sejak awal kalau dirinya tidak ingin perjodohan itu berlanjut? Shingga, kemungkinan untuk tidak menikah akan mudah bila dari awal Daffa menyatakan keberatannya. Akan tetapi, saat itu Daffa mengiyakan semuanya seolah dia memang menginginkan pernikahannya dengan Andhira.

Lalu, kalau memang Daffa tidak menginginkan Andhira, mengapa dia mau merenggut kegadisan Andhira? Bukankah itu membuat dirinya tampak seperti orang yang munafik?

Bersambung ....

BAB 3 Kecewa Yang Berulang

Jika kalian jadi Andhira, tentu saja akan ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benak kalian mengenai sikap Daffa yang penuh misteri. Ya, itu pula lah yang kini sedang Andhira rasakan. Dia menyimpan banyak pertanyaan yang belum mampu dia utarakan. Untuk saat ini, Andhira hanya berani meneguhkan segenggam harap semoga ke depannya Daffa bisa berubah menjadi lebih baik, itu saja. Apa itu terdengar bodoh? Mungkin iya, tapi itulah Andhira. Dia bukan hanya memikirkan perasaannya sendiri, melainkan memikirkan perasaan seluruh keluarganya termasuk keluarga Daffa. Karena itulah, dirinya akan mencoba bertahan membersamai Daffa sampai pada batas kemampuannya.

Pagi mulai menjelang, bersambut rekah senyum yang berusaha Andhira hadirkan. "Selamat pagi, Mas," sapa Andhira sembari mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.

Daffa mendengus seolah tak senang. Dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Lelaki itu tampak begitu egois dan tidak punya rasa empati.

"Sabar, Dhira ... bukankah Tuhan bersama orang-orang yang tercabik-cabik hatinya?" gumam Andhira menghibur dirinya sendiri.

Andhira merapikan tempat tidurnya yang berantakan. Lantas, dia tersentak hingga sukmanya seolah melayang. Andhira teringat lagi tentang betapa kasarnya Daffa pada dirinya ketika melihat bercak darah segar yang menempel di seprai. Itu adalah sebuah tanda khas yang nyaris terjadi pada semua wanita kala kegaadisannya terlepas. Disentuhnya bekas darah yang sudah mengering itu sembari mengulas perih di dalam hatinya. "Andai suamiku melakukannya dengan rasa cinta," ratap Andhira dibarengi lelehan air mata.

Tidak lama kemudian, Daffa keluar dari kamar mandi. Dengan tubuhnya yang hanya berbalut handuk di bagian bawahnya. Lelaki berperawakan tinggi semampai itu berdiri di belakang Andhira yang masih terpaku melihat jejak Daffa semalam.

"Apa kamu tidak ada pekerjaan lain yang lebih berguna?" ujar Daffa membuyar hening yang semula menyita ruangan.

"M-maaf, Mas," gagap Andhira dan langsung menyelesaikan pekerjaannya.

"Membosankan!" cerca Daffa pelan. Namun, masih bisa terdengar oleh Andhira.

Rasa ngilu semakin menggerogoti perasaan dan hati Andhira. Ternyata, Daffa bukan hanya berperilaku kasar, tetapi juga kata-katanya sangat tajam mengoyak dinding jiwa Andhira. Napas perih kembali dihelanya. Percayalah, kata-kata Daffa itu terdengar sangat menyakitkan dan begitu semena-mena.

"Mas, aku akan membuat sarapan dulu," tutur Andhira meminta izin.

"Huh, kamu tidak perlu izin dariku hanya untuk hal yang remeh temeh seperti itu," jawab Daffa sembari mengenakan bajunya.

"Baik, Mas, tapi aku rasa hal yang kau anggap remeh temeh itu adalah sesuatu yang penting," tukas Andhira dengan kesabaran yang di ambang batas.

Daffa seketika terdiam. Dia menoleh ke arah Andhira dan mulai ingin mendebatnya. Akan tetapi, Andhira lebih dulu pergi meninggalkan Daffa yang terlihat mengatupkan bibir, mungkin dia merasa kesal.

Sesampainya di dapur, Andhira mulai berkutat dengan bahan-bahan masakan yang akan dia olah untuk membuat sarapan. Walau, memasak bukanlah kebiasaan yang biasa dilakukan Andhira di masa lajangnya. Namun, kali ini dia sadar posisinya sudah menjadi istri seseorang. Maka dari itu, sebisa mungkin Andhira akan berupaya menjadi istri yang baik dan bisa memberikan baktinya pada Daffa, termasuk dalam hal menyiapkan makanan.

Selepas memasak, Andhira menyajikan makanan yang dia masak ke meja makan. Sambil tersenyum bangga, Andhira memetikkan jemarinya. "Akhirnya, selesai juga," tutur Andhira.

Wanita cantik pemilik hidung mancung itu pun bergegas ke kamar, berniat untuk memanggil Daffa dan mengajaknya sarapan. Tapi, baru separuh perjalanan ternyata Daffa sudah keluar dari kamar, sehingga mereka saling berpapasan. Andhira melemparkan senyuman pada Daffa, meski balasan yang didapatnya hanyalah mimik wajah dingin dengan mata yang enggan menatap pada dirinya.

Andhira menarik garis bibirnya semakin lebar, untuk menepis kecewa yang berulang-ulang dia dapatkan. Dia pun berjalan mengekor di belakang Daffa. Kemudian, Andhira menghidangkan makanan ke piring Daffa setelah mereka sampai di meja makan. "Silakan dimakan, Mas," ucap Andhira santun.

"Tanpa kamu persilakan pun, aku akan tetap memakannya," jawab Daffa, lagi-lagi dia mematahkan perasaan Andhira.

"Ya, tentu saja ...," lirih Andhira yang perlahan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Baru satu hari dan satu malam aku menjadi istri Daffa. Namun, aku sudah berparut seribu luka. Tak apa, aku terima bagian ini sebagai jalan takdirku," batin Andhira sembari mengelus dadanya yang terasa lebam dan ngilu.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!