NovelToon NovelToon

The Murderer

BAB 1 - First Blood (Prolog Revisi)

Pinggiran kota Manggala, 27 Juli 2017

Suasana malam di pinggiran kota Manggala terasa sangat mencekam, cahaya bulan pun seakan enggan untuk menampakkan diri. Wanita berusia empat puluh tahun itu mempercepat langkah, ia merasa tidak aman seolah ada yang sedang mengikuti.

Langkah kakinya tiba-tiba terhenti dikarenakan sosok tinggi mengenakan mantel hitam berdiri di hadapannya. Wajah sosok itu tertutup tudung mantel, tapi seringai kejam terlihat jelas di bawah remangnya lampu jalan.

Ia mundur beberapa langkah dari orang asing tersebut. Apakah dia hantu? Mana mungkin ada hantu di jaman seperti ini. Ataukah perampok? Tapi ia hanya wanita miskin yang tinggal di sebuah gubuk kumuh di pinggiran kota. Dia berjalan mendekat, wanita tadi berbalik dan lari sekuat tenaga.

Dia terus berlari dan berlari kemudian berbelok ke setiap gang yang bisa ia lalui. Setelah merasa bahwa sosok itu tidak bisa mengejar, langkahnya melambat. Badannya gemetar hebat, ia begitu ketakutan, sementara dirinya tidak merasa sedang memiliki masalah apapun dengan siapa pun. Namun, seringai orang itu seakan ingin membunuhnya.

Iris mata abu-abu itu, memandang sekeliling, dia terlalu cepat berlari dan berbelok. Entah jalanan mana yang aman untuk dia pulang ke rumah. Perlahan dan waspada ia kembali berjalan.

“Siapa orang itu? Benar-benar mengerikan — apa yang ia inginkan dari wanita miskin sepertiku!” Ia setengah menggerutu karena ketakutan.

Akhirnya ia tiba di gubuk kecilnya. Suara berderit terdengar ketika ia membuka pintu gubuk itu. Napasnya sudah mulai teratur walau tubuh yang sudah menjelang renta itu masih gemetar.

Tangan kekar seseorang menahan tubuh wanita itu dan sontak membuat ia berbalik ke belakang. Lagi, sosok yang mengenakan mantel hitam itu muncul.

“Siapa kamu? To—hmmpph!”

Belum sempat ia berteriak sebelah tangan orang itu sudah membekap mulutnya.

“Suster Sandra!” sapa sosok itu dengan suara parau.

Mata wanita tersebut terbelalak. Sudah lama tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu.

“Hmmmph!” Ia memberontak, berusaha melepaskan diri.

“Jangan melawan atau nyawa Anda akan melayang!” ancam orang asing ini.

Suster Sandra mengangguk setuju. Seringai kejam itu kembali terlihat. Ia memelintir tangan wanita malang ini dan memaksanya masuk ke dalam rumah dengan kasar.

Malam sudah begitu larut, gang tempat tinggalnya pun telah sunyi. Hanya suara gonggongan anjing dan detik jam dinding yang terdengar. Pria itu perawakannya tinggi, tubuhnya tegap, ia seperti seorang olahragawan yang sangat terlatih.

Ia menyuruh suster Sandra duduk. Sial! Kenapa aku harus selalu berhemat dan memasang lampu yang tidak terang seperti ini! Mantan biarawati itu mengutuk dirinya sendiri karena ia selalu menunda waktu untuk mengganti bohlamnya yang tidak terang itu, sehingga saat ini dia tidak bisa melihat wajah sang peneror dalam cahaya yang remang dengan mata tuanya.

Kilauan logam stainless dari pisau kecil yang orang itu genggam membuatnya ketakutan. Ingin sekali ia berteriak, tapi pasti akan langsung kehilangan nyawa. Entah apa yang diinginkan orang ini darinya.

“Apa yang kamu inginkan?” lirih suster Sandra.

Pria tersebut tertawa kecil, suara seraknya menambah kengerian suasana malam itu. “Serahkan dokumen panti asuhan Benedict yang Anda pegang sebelum kebakaran itu terjadi!”

Kali ini ucapan orang itu benar-benar membuat suster Sandra terkejut. Tidak ada seorang pun yang tahu jika dia sempat menyalin beberapa dokumen, termasuk daftar donatur yang mengadopsi anak panti asuhan.

Dokumen itu hanya ada dua salinan. Satu dipegang oleh mantan suster kepala dan satu yang ada ditangannya.

“Dokumen apa yang kamu maksud?” tanya suster Sandra pura-pura tidak mengerti.

“Jangan pura-pura bodoh! Berhenti menjadi biarawati apakah sudah menjadikanmu seorang pembohong?” gertak pria tadi dan membuat nyali suster Sandra menciut.

“Kebodohan, keegoisan, dan kesombongan orang dewasa membuat nyawa anak-anak pun terenggut ....” ucapnya lirih, ia memandang kosong sejenak ke langit-langit rumah reyot ini.

“Demi harga diri panti asuhan, lalu anak-anak yang menyiksa mereka, hidup enak dalam asuhan orang tua baru!” Kali ini ia melanjutkan dengan nada suara yang penuh emosi.

Tangan suster Sandra bergerak pelan untuk merogoh saku, berniat mengambil ponsel. Namun mata pria ini lebih cepat menangkap gerakannya, ia menusuk paha wanita tak berdaya itu. Darah segar merembes keluar dan mulai membuat kulot berwarna peach yang dikenakan suster Sandra berubah menjadi merah gelap.

“Jangan coba-coba berteriak dan jangan coba-coba bergerak!” Ia membentak sembari berlutut di hadapan suster Sandra.

“Dimana dokumen itu kamu simpan, dasar wanita j****g!” Emosi pria ini tidak terbendung lagi. Tangannya menarik kasar rambut suster Sandra. Dia benar-benar hilang kesabaran.

Suster Sandra sesungguhnya tidak ingin tunduk pada pria gila ini. Namun pahanya sudah mulai mati rasa. Darah begitu banyak mengucur dari tusukan pisau itu. Mantan biarawati itu mencibir. “Kamu akan tetap membunuhku baik aku menyerahkan atau tidak menyerahkan dokumen itu bukan?”

“Kamu tidak sedang dalam posisi bisa tawar menawar denganku. Dan ... ya, tanpa atau dengan dokumen itu, nyawamu akan tetap melayang!” Ia menyeringai jahat.

Suster Sandra kali ini memilih menyerah. Nyawanya sudah di tangan pria tersebut. Dia menyerahkan sebuah kunci. Lagipula selama sepuluh tahun ini, dia lelah dihantui dengan rasa bersalah.

“Di dalam lemari ada sebuah brankas kecil. Kombinasi kodenya adalah 270795,” ungkapnya setengah berbisik.

Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sudah bisa dipastikan nyawanya akan hilang malam ini. “Aku sudah lama hidup dalam rasa bersalah. Mungkin kematianku pun tidak cukup menebus semua. Namun, aku sudah lelah.”

Air mata menitik di sudut mata wanita ini, penjahat itu tersenyum — lebih tepatnya menyeringai penuh kemenangan. Dia menuju lemari yang si pemilik rumah tunjukkan, benar saja, dokumen-dokumen itu benar ada di sana. Kemudian ia kembali ke sang korban setelah mengambil benda yang ia mau.

“Tuhan memberkatimu suster Sandra. Jangan salahkan aku, salahkan takdir Tuhan yang begitu kejam terhadap anak-anakNya.”

Tikaman pisau tepat di jantung mengakhiri hidupnya. Ia pun menggoreskan tanda salib terbalik di telapak tangan korbannya, setelah itu— ia kembali mendudukkan suster Sandra di kursi plastik tadi.

Ia kemudian pergi meninggalkan rumah kecil tersebut tanpa jejak dan suster Sandra pun ditemukan setelah tiga hari tewas setelahnya.

Sampai saat ini, kasus pembunuhan mantan biarawati itu belum terpecahkan. Rumah kecil saksi kematiannya pun kini sudah di robohkan oleh pihak pemerintah untuk perluasan jalan, kepolisian Manggala menganggap kasus itu sebagai kasus beku. Tanpa bukti. Tanpa Jejak.

Tidak ada yang pernah tahu jika ini akan menjadi rentetan peristiwa yang mengerikan di masa depan, awal dari sebuah tragedi berdarah. Rangkaian pembalasan dendam yang akan membuat pihak kepolisian sibuk.

Di tempat lain, sang pembunuh menyimpan berkas yang ia ambil dari sang korban di sebuah lemari kecil, tapi ia memasukkan satu lembar kertas HVS yang sudah menguning karena usia ke sebuah amplop. Kertas berisi sebuah data anak panti asuhan dan keluarga yang mengadopsinya. Surat itu ia kirim ke sebuah alamat.

"Sebuah pembalasan akan segera berlangsung. Ulangan 19:21 (TB) Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki. Biarkan ia yang beristirahat karena ketidak adilan tersenyum dalam tidur abadinya. Biarkan kita menjadi tangan Tuhan untuk menghukum mereka, satu persatu."

...****************...

BAB 2 - Panti Asuhan Benedict (Revisi)

Panti asuhan Benedict

Hujan mengguyur kota Manggala dengan derasnya di pagi hari. Gemuruh petir silih berganti bersahutan. Suara hujan yang jatuh begitu keras mampu mengubur suara apapun, termasuk isak tangis dari seorang anak yang meringkuk ketakutan di sudut gudang.

Tubuh gempal itu penuh luka, ia mendekap erat lututnya dengan badan yang gemetar, di bawah tatapan mengintimidasi dari beberapa anak sebayanya. Ia terus menangis, tapi — mereka tidak peduli dan malah tertawa senang.

“Gendut!”

“Gembrot!”

Anak ini sudah mengalami perundungan sejak ia kecil, entah itu berupa ejekan ataupun olok-olok, bahkan dirundung dengan kekerasan.

Raka — anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menderita keterbelakangan mental. Itu sebabnya, dia masih seperti anak berusia lima tahun. Dia adalah anak kembar yang sengaja ditinggalkan di depan panti sepuluh tahun lalu. Akan tetapi saudara kembarnya terlebih dahulu diadopsi oleh keluarga yang hanya menginginkan satu anak ketika mereka berusia enam tahun.

Gudang yang hanya disinari cahaya remang dari lampu bohlam kuning berdaya lima watt ini, menjadi saksi bisu apa yang selalu dilakukan oleh para perundung itu kepada Raka. Pihak panti sebenarnya sudah tahu, namun selalu menutup mata.

Kelima anak yang berusia sebaya Raka, tampak menatap dengan sorot mengejek. Salah satu dari mereka memegang balon yang Raka peroleh dari pengunjung panti, tanpa berpikir panjang, anak tersebut melepas balon yang sedari tadi ia pegang. Balon itu terbang dan menempel pada langit-langit gudang.

Tali pengikat balon itu menjuntai cukup panjang, namun masih terlalu jauh dari jangkauan Raka. Anak-anak tadi menyuruh ia naik ke atas bangku kayu yang sudah agak lapuk. Bangku itu tidak akan bisa menahan tubuh gempal anak itu. Benar saja—suara retakan kayu yang patah menggema di gudang. Tepat ketika Raka berhasil meraih tali balonnya, bangku tersebut patah.

Tubuh gempal itu terhempas jatuh dan terbentur sudut meja besar yang ada di belakangnya. Ia terbaring di lantai tak bergerak. Salah satu dari mereka terlihat sangat ketakutan, ia pun berlari memanggil suster pengawas panti asuhan.

Dari sisi lain, tampak seorang anak laki-laki menyaksikan kejadian itu dengan sembunyi-sembunyi. Suster pengawas tiba di gudang bersama anak yang tadi lari memanggilnya, seperti biasa para perundung tersebut mengatakan kalau mereka sudah melarang Raka naik ke atas bangku tapi tidak dihiraukan.

Tentu saja suster itu akan lebih percaya kepada anak-anak perundung tersebut. Bagi para pengurus panti, ucapan anak-anak nakal ini lebih bisa dipercaya, dibandingkan ucapan Raka yang memiliki keterbelakangan mental. Bahkan tidak jarang Raka justru malah mendapat hukuman karena perbuatan mereka.

Suster Sandra adalah pengawas panti yang sedang piket hari ini. Melihat anak asuhannya terkapar pingsan, ia kebingungan, suster muda tersebut lalu menghubungi rumah sakit terdekat. Tidak lama kemudian, ambulance datang bersama dua paramedis.

“Anak ini mengalami patah tulang belakang.” Salah satu paramedis itu menjelaskan keadaan Raka kepada suster Sandra. “Bagaimana ini bisa terjadi? Anak ini harus segera ditangani secara intensif di rumah sakit!” cecar petugas medis itu lagi.

Jemari lentik suster Sandra memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pening, ia takut jika mengambil keputusan sendiri, maka suster kepala bahkan pimpinan panti bisa marah padanya. Perundungan terhadap Raka bukanlah hal yang baru, tapi kali ini — anak tak berdosa itu terluka parah.

“Kalau begitu, kami akan membicarakannya pada suster kepala dulu,” ujar suster Sandra ragu.

Paramedis yang datang saling berpandangan. Salah satu dari mereka mencecarnya dengan nada marah. “Ini bukan saat untuk berdiskusi! Nyawa anak ini terancam, jika ini hanya kecelakaan kenapa harus khawatir. Kecuali ... jangan katakan ini adalah peristiwa perundungan.”

Akhirnya suster Sandra mengijinkan mereka membawa Raka ke rumah sakit, panti asuhan ini akan bermasalah jika peristiwa perundungan yang mencelakai Raka itu sampai menyebar. Ia duduk di ruang tunggu depan ICU sembari terus berdoa untuk anak malang itu.

Tak lama kemudian suster Grace, sang Kepala Panti datang, dengan geram ia menarik suster Sandra ke sudut ruangan dan berbisik, “Berani-beraninya Anda mengambil keputusan sendiri suster Sandra!”

Sekian lama ia mengikuti kemauan suster Grace dan pemilik panti asuhan untuk menutupi kejadian-kejadian buruk di panti, tapi—kali ini ia tidak bisa diam. “A-anak itu terluka. Saya sudah tidak bisa membiarkan perundungan ini terjadi lagi! Ini tidak benar suster kepala!”

Suster Grace mendengus. “Anak itu tidak akan ada yang mengadopsinya. Ia cacat mental!”

“Dia juga manusia. Raka juga anak Tuhan sama seperti kita ....” lirih suster Sandra. Dia terus-menerus berdoa dengan rosario di genggamannya.

Dokter memanggil suster Grace sebagai wali Raka untuk menjelaskan keadaan anak malang itu, karena cedera yang dialami sangat serius sehingga menyebabkan anak itu koma. Beberapa pertanyaan mengarah ke adanya dugaan perundungan yang terjadi. Namun wanita berusia setengah abad itu membantah semua asumsi dokter tersebut.

Raka pun akhirnya di rawat selama beberapa pekan. Akhirnya — hari ini panti asuhan memutuskan untuk membawa pulang Raka, mereka meminta agar anak ini dirawat di panti saja. Sebuah kamar khusus sudah mereka siapkan, berharap suasana panti dan kebisingan anak-anak lain bisa membangunkan Raka.

Seorang anak laki-laki duduk di sisi ranjang Raka, matanya sendu menatap tubuh yang terbaring tak berdaya itu. Raka yang selalu ceria walau kerap ditindas, tawanya yang khas, selalu berbagi camilan yang ia peroleh dari para donatur.

“Kamu pasti kesakitan, Raka,” gumam anak itu sedih. "Tapi, aku mohon bukalah matamu, jadi kita bisa bermain lagi."

Ia menggenggam tangan pucat Raka. Anak inilah yang terus menerus setia di sisi bocah ini sejak dia dibawa pulang.

27 Juli 1995

Seminggu setelah kepulangan Raka.

“Suster! Suster Sandra! Raka, Raka ...!” Anak yang selalu di sisi Raka itu berlari ke ruangan pengawas sembari berteriak-teriak memanggil suster Sandra.

“Tenang dulu!” pinta suster Sandra melihatnya terengah-engah, “Raka kenapa?”

“Jari Raka tadi bergerak, lalu dia tiba-tiba membuka matanya dan tersenyum padaku,” jawab anak itu dengan mata berbinar. Lalu dengan semangat ia kembali ke kamar Raka.

Tanpa banyak bertanya, suster Sandra berlari mengikuti anak tadi. Namun sayangnya, takdir berkata lain. Mereka hanya mendapati Raka yang tertidur dalam keabadian dengan senyuman dan raut wajah bahagia. Ia tidak lagi bernapas maupun merasakan sakit.

Anak itu mendekati Raka, ia tertunduk menangis. “Kamu sudah tenang Raka, tidak ada lagi yang akan merundungmu. Tuhan akan selalu menjagamu.”

Pemakaman anak malang itu berlangsung tertutup. Toh, dia hanya sebatang kara, isu tentang perundungan di panti asuhan sempat berhembus di kalangan masyarakat. Tapi segera hilang dikarenakan sifat manusia pada dasarnya egois. Mereka cenderung hanya tertarik penderitaan orang lain untuk objek pembicaraan saja, kemudian ketika ada isu yang lebih panas, mereka segera melupakan isu lama.

Tahun demi tahun pun berganti, satu persatu dari anak panti asuhan itu diadopsi, termasuk 7 anak perundung Raka. Peristiwa kematian Raka seolah terlupakan begitu saja.

Mereka tidak menyadari jika masih ada satu anak yang masih mengingat peristiwa tersebut, orang-orang dewasa egois ini — hanya perduli dengan nama baik mereka, tanpa memperdulikan hak anak panti untuk dilindungi. Dia menjadi anak panti terakhir yang diadopsi sebelum panti itu akhirnya terbakar habis. Seluruh dokumen penting tentang panti asuhan diduga hangus terbakar semua. Dan Raka, hanya tinggal sebuah nama yang terlupakan.

...----------------...

25 tahun kemudian.

Temaram sinar bulan perak menyinari sepinya jalanan Manggala. Sekarang sudah lewat larut malam, hanya segelintir anak manusia yang terlihat masih lalu lalang. Beberapa anak jalanan dan gelandangan yang tidak memiliki tempat tinggal, karena hanya sedikit yang perduli akan nasib mereka.

Suara Alicia Keys terdengar renyah dan menggema di sudut-sudut mobil, Toyota Camri hitam itu melaju dengan mulus di jalanan aspal distrik P. Sampai kemudian tiba-tiba mesin mobil tersebut mati tepat ketika mendekati terowongan flyover.

Wanita anggun yang mengenakan setelan blazer tampak turun dari mobil, ia membuka kap mesin, lalu kembali mencoba menyalakan mobilnya tapi gagal. Karena kesal, ia mengambil ponsel dan menekan sebuah nomer, lalu duduk di tepi trotoar yang sepi.

Arloji Gucci original yang melingkar di pergelangan tangannya menandakan kalau dia dari kalangan menengah atas. Kemungkinan dia tinggal di sebuah perumahan mewah di kawasan Boulevard.

Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomer bengkel langganannya namun tidak dijawab, dengan jengkel ia menutup kembali kap mesin mobilnya. Apa yang salah dengan mobil ini? Apa hari ini hari sial untukku? Setelah tadi pagi seorang anak klien menumpahkan kopi di tas Hermesku, lalu sekarang mobil ini mogok tanpa sebab! Ia terus menggerutu dalam hati.

Sorot cahaya lampu mobil lain terlihat dari kejauhan, wanita itu memberanikan diri menahannya, mobil Pajero sport putih itupun menepi. Kemudian, seorang pria yang bisa dikatakan sangat tampan turun dari mobil tersebut dan berjalan menghampiri wanita yang menahannya tadi.

“Mobilnya kenapa mbak?” Pria itu bertanya dengan ramah kepadanya.

“Entahlah, saya juga tidak tahu, mobil ini mogok tiba-tiba.” Dibanding nada mengeluh, wanita ini lebih seperti sedang merajuk.

Pria itu terlihat berpikir sejenak. “Kalau mbak percaya sama saya, kita hubungi mobil derek saja. Nanti saya yang antar mbak pulang,” usulnya.

“Ini kartu nama saya. Nama saya Andrian, Andrian Setyabudi.” Pria tampan itu menyodorkan selembar kartu nama.

Wanita dengan tubuh tinggi semampai ini mengambil kartu nama yang disodorkan. Raut wajah dan sorot matanya masih menyiratkan kecurigaan.

dr. Andrian Setyabudi, Sp.An.

(Dokter spesialis bedah anastesi)

Meski masih ragu, ia berusaha berpikir positif. Dia mengulurkan tangan dan balas memperkenalkan diri. “Kinanti. Kinanti Candhrawati.”

Terlihat bibir pria bernama Andrian tersebut membentuk segaris senyuman. Ia mengambil ponsel dari dalam mobilnya lalu menghubungi layanan mobil derek.

Tidak lama kemudian mobil derek bengkel pun datang. Walau masih ada rasa takut, Kinanti tetap menaiki mobil Andrian, mereka pun melaju membelah gelap malam tengah kota Manggala. Menuju kediaman Kinanti.

Pajero sport milik Andrian itu berhenti di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan mewah. Dengan sopan pria itu turun dan membukakan pintu untuk Kinanti. Melihat keramahan pria ini, ada rasa bersalah pada diri Kinanti karena mencurigainya.

“Terima kasih! Ini kartu nama saya.” Kinanti memberikan selembar kartu nama pada Andrian.

“Kapan-kapan saya traktir minum kopi atau makan siang. Dan—maaf saya sempat curiga tadi,” tutur Kinanti dengan nada sesal. Andrian hanya menanggapi dengan senyum.

Dalam perjalanan pulang, dokter muda ini merasa tidak asing dengan wajah wanita yang baru saja ia antar. Wajah itu, bentuk mata itu, mengingatkan pada teman masa kecilnya. Akan tetapi langsung ia tepis. Karena mustahil wanita kaya sekelas Kinanti berasal dari tempat yang sama dengannya.

...****************...

BAB 3 - Pengacara yang Tewas (Revisi)

Keributan terjadi di sebuah kantor firma hukum. Seorang pria yang cukup tua tampak mengamuk dan entah memaki siapa di dalam lobby. Sesekali ia meneriakkan nama Kinanti.

“Maaf pak, jangan membuat keributan disini. Atau kami terpaksa memanggil sekuriti!” Salah satu resepsionis memperingatkan pria tersebut.

“Ibu Kinanti akan menemui bapak setelah rapat dengan kliennya, Pak. Jadi mohon bapak tenang dulu!”

Orang tersebut seperti sedang kesetanan dan tidak bisa tenang. Dia terus menerus memaki dan sesekali menendang kursi di lobi.

“Dasar pengacara mata duitan! Demi segepok uang dia rela membela seorang pemerkosa!” Ia terus saja berteriak dan menyuruh pengacara Kinanti keluar menemuinya. "Keluar kamu Kinanti!!"

Resepsionis terpaksa memanggil keamanan karena pria ini tidak mau tenang. Keamanan gedung itu, tiba bersamaan dengan Kinanti yang juga keluar untuk menemui orang yang sedang membuat onar ini. Dengan langkah angkuh, ia mendekati pria depresi berusia lima puluh tahunan tersebut. Senyum sinis tersungging di bibir Kinanti melihat betapa kacaunya pria tersebut.

Dengan tenang dan bernada dingin, Kinanti memberi bantahan kepada tuduhan yang dilontarkan orang itu. “Pengacara hanya bertugas membela kliennya. Keputusan sidang tergantung pada bukti jaksa penuntut, apakah lengkap atau tidak!”

“Kasus anak Anda cacat hukum — kurang bukti dan saksi. Jadi bukan salah saya jika klien saya bebas.” Masih dengan wajah angkuh dan sorot mata dingin, Kinanti berseloroh enteng. “Kenapa Anda tidak mengajukan banding.”

“Dasar, perempuan berhati es!” Pria itu menunjuk wajah pengacara wanita tersebut dengan geram. Ia sudah akan memukul Kinanti, tapi ditahan oleh pihak keamanan.

Mereka pun kemudian menyeret orang tadi dan memaksanya keluar. Meski begitu, ia terus saja berteriak mengutuk Kinanti. “Semoga Tuhan segera mencabut nyawamu dengan pedih atau aku yang akan mencabut nyawamu!”

Kinanti kembali masuk ke ruangannya tanpa rasa bersalah, dia memang terkenal sebagai pengacara bertangan dan berdarah dingin serta licik. Semua kasus yang dia tangani berhasil menang dan orang tadi hanya satu dari segelintir pihak lawan Kinanti yang pernah mengamuk di kantor ini. Tidak satu pegawai pun terkejut dengan peristiwa yang terjadi barusan, karena mereka sudah terbiasa.

...----------------...

28 Desember 2020

Warga Manggala dikejutkan oleh penemuan mayat seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun di kawasan hutan pinus Awan Rante Karua, tiga hari setelah natal. Seorang petani tua yang pertama kali menemukan mayat tersebut ketika dia hendak berangkat ke ladangnya. Melihat seorang wanita terbaring di pinggiran hutan membuat ia berlari ke aparat desa terdekat untuk melapor.

Tim kepolisian segera tiba di lokasi penemuan mayat tersebut bersama beberapa petugas forensik. Mereka pun langsung menutup area tersebut dengan garis kuning polisi.

Beberapa dari petugas forensik mengambil foto dari mayat dan beberapa mencari bukti kalau itu adalah tindak kejahatan ataupun kecelakaan, kondisi TKP yang medannya masih agak berkabut menyulitkan para petugas untuk menyisir seluruh tempat itu sekaligus. Akan tetapi melihat bekas luka di tubuhnya, itu menandakan tindak kejahatan pembunuhan.

Patah tulang belakang, bekas cekikan, dan luka lebam di tangan juga kakinya, memperlihatkan bahwa dia sempat melakukan perlawanan sebelum tewas. Mustahil jika peristiwa kecelakaan akan menghasilkan bekas luka cekikan, beberapa luka goresan terdapat di betis dan tumitnya seperti ia diseret ketika pingsan atau tewas.

Di sisi mayat ada berserakan beberapa barang pribadi yang diduga milik korban. Tas kecil yang terbuka berisikan dompet, ponsel dan buku agenda. Tidak ada tanda-tanda pemerkosaan, bahkan jika ini sebuah peristiwa perampokan, maka ponsel wanita ini tidak akan ada di dalam tas, begitu pula dengan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

“Perkiraan waktu kematiannya kapan, Bar?” Faisal, polisi berpangkat Inspektur Dua itu, bertanya kepada seorang dokter forensik bernama Bara.

Bara mengerutkan dahi. Ia memandang sebentar ke arah mayat yang tergeletak tak berdaya itu. “Sekitar pukul 11 malam.”

Salah satu petugas forensik lain mengambil tanda pengenal korban dan juga kartu nama yang ada di dalam dompet.

Kinanti Candhrawati, S.H, M.H

(Advokat)

“Ternyata wanita ini adalah pengacara dari firma hukum M di jalan Lily.” Petugas tadi menyodorkan temuannya kepada Bara.

Bara mengembalikan kartu pengenal dan kartu nama tersebut untuk dikembalikan ke dalam dompet, benda-benda tadi di masukkan ke kantong barang bukti. Tentu saja orang pertama yang menemukan mayat itu tidak luput dari rentetan pertanyaan polisi, petani tua yang masih terkejut itu sedikit kebingungan. Ia melihat iba ke arah jasad beku Kinanti, ia mungkin tidak berani membayangkan jika yang terbaring di sana adalah putrinya.

“Faisal!” Bara berseru memanggil Faisal yang sedang bersama petani tua tadi. “Coba lihat ini! Ada yang aneh!”

Faisal yang sedang meminta keterangan petani tua tadi, segera menghampiri Bara. Sekilas tidak ada yang aneh selain pakaiannya yang masih rapi.

Namun, ketika mereke menyingkap bagian belakang blouse putihnya — terlihat sayatan-sayatan pada punggung wanita itu, sayatan tersebut membentuk sebuah kalimat. Entah itu dibuat sebagai lelucon ataukah memang pembunuh ini sengaja memberi petunjuk.

Ulangan 19:21 (TB) Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki."

Dahi Faisal mengkerut, dia terlihat sedang berpikir keras. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Apakah motif pembunuhan ini karena dendam? Jika dendam siapa pelakunya? Mata ganti mata, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, kutipan ayat Al-Kitab itupun merujuk pada hukuman kepada seorang pendosa. Kesalahan ataukah dosa apa yang sudah dilakukan oleh pengacara muda itu sampai menghadapi nasib tragis seperti ini?

Inspektur dua ini meminta kembali agenda yang sudah di amankan oleh petugas forensik, ia berharap ada sedikit petunjuk di dalamnya. Faisal membuka lembar demi lembar agenda milik korban. Ini hanya agenda biasa, hanya saja — ada satu janji temu menarik perhatian Faisal.

27 Desember 2020

dr. Andrian, Sp.An

De Coffee Time cafe-Mall P, 07.00pm

Waktu pertemuan ini empat jam sebelum korban dibunuh, Faisal memasukkan nama dokter tersebut dalam daftar pemeriksaan, semua kemungkinan tidak boleh terlewatkan. Matahari semakin tinggi dan kabut hutan pinus tadi mulai menghilang sedikit demi sedikit. Faisal menjauh dari TKP sejenak.

Dia mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya sembari bersandar di sebuah pohon pinus, ia menghisap dalam-dalam gulungan nikotin itu. Masih banyak misteri tentang kenapa, apa dan bagaimana, lantas siapa pelaku pembunuhan ini. Kemudian apa maksud kutipan ayat Al-Kitab yang ditorehkan pelaku melalui sayatan di kulit korban?

Faisal sedang menyusun strategi tentang penyelidikannya dan siapa saja yang akan ia minta keterangannya nanti. Akan tetapi, konsentrasinya terusik oleh keributan yang terjadi di sisi lain garis polisi, itu disebabkan oleh wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahunan yang sedang berusaha masuk ke TKP dengan menerobos garis polisi.

Jaket kulit hitam dan dalaman kaos putih polos, dipadukan dengan celana cargo berwarna hijau army, memberi kesan maskulin pada wanita bertubuh tinggi semampai itu. Ia tetap memaksa untuk masuk ke lokasi kejadian yang tertutup untuk umum.

Faisal benar-benar terusik sekarang. Ia membuang puntung rokoknya dengan kasar lalu berjalan mendekat ke arah keributan terjadi.

“Maaf, wartawan untuk sementara belum diijinkan meliput!” Faisal bersikap tegas kepada wanita tadi.

Bukannya takut, ia malah balik menatap Faisal dengan tatapan yang menantang dan tidak kalah tajam dari tatapan petugas polisi ini, kemudian ia pun mengeluarkan sebuah tanda pengenal dari saku jaketnya. Setelah membaca tanda pengenal wanita tersebut, refleks polisi yang berada di TKP — tanpa terkecuali Ipda Faisal memberi hormat. Ternyata wanita ini adalah kapten Tim A pindahan dari Medan, Iptu Citra Deborah Hutabarat.

Melihat para bawahannya itu sudah mengerti, ia berjalan ke arah korban. “Bagaimana kondisi jasad?”

“Siap! Ada yang aneh dengan jasad, di punggungnya terdapat sayatan yang membentuk kutipan ayat Al-Kitab, Komandan!”

Citra berjalan mendekati jasad wanita itu, ia menyingkap kembali blouse putih yang dikenakan korban. Membaca dengan seksama tulisan itu. Meneliti sejenak kondisi korban, lalu ia kembali ke tempat Faisal.

“Identitas korban?”

“Siap! Kinanti Candhrawati. Seorang pengacara dari firma hukum M!”

“Ada alat atau bukti yang ditinggalkan pelaku?”

“Siap! Nihil, Komandan!”

Citra menghela napas panjang, iris mata berwarna hazel itu menyapu sepanjang hutan yang terjangkau dengan pandanganya. Ia berkeliling, mencari sesuatu dan berharap sang pelaku melakukan sedikit kecerobohan.

“Ada satu sayatan lagi aku temukan di telapak tangan korban. Sebuah salib terbalik,” bisik Bara ketika Citra sudah agak jauh. “Dari goresannya, aku rasa dia seorang yang ahli dan teliti.”

Mata Faisal terbelalak. Sebuah tanda salib terbalik yang sepertinya tidak asing, ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?

...----------------...

Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Gelas kopi Citra sudah kosong lagi, ini adalah gelas kesekian yang ia teguk untuk menjaga matanya tetap terbuka. Kasus hutan pinus itu membuat tim A terjaga semalaman.

Faisal tampak tertidur di atas berkas-berkas kasus itu sementara beberapa anggota timnya ada yang masih terjaga, ada juga yang tertidur kelelahan di atas sofa ruangan mereka.

Tidak ada sidik jari, tidak ada bukti sama sekali. Kasus ini seperti diselimuti kabut. Citra membatin sembari menelisik tiap foto korban dan TKP yang terpampang di atas papan penyelidikan. Rasa penat membuatnya merasa butuh sedikit asupan udara segar.

“Saya mau cari udara segar sebentar di luar.”

“Siap, Ndan!”

Ia menarik napas panjang, menghirup udara malam di taman kantor. Citra menjatuhkan tubuh di bangku taman. Matanya memandang kosong ke langit malam lalu terpejam namun tidak tidur, memori ingatan Citra berputar pada saat ia akan masuk ke akademi kepolisian setelah lulus kuliah dan keluarganya begitu menentang keinginan Citra.

“Kopi, Ndan?” Suara Faisal membuat Citra tersentak. Ia menengadah dan menatap bawahannya yang sedang memegang dua gelas kopi panas.

Ia menyodorkan satu gelas kopi kepada sang komandan. Citra menerima gelas tersebut dan kembali bersandar di bangku taman.

“Terima kasih,” ujar Citra. "Siapa sangka hari pertama malah mendapat kasus yang sangat rumit ...."

“Anggap saja welcome present dari kota ini, Ndan.” gurau Faisal tersenyum kecil, Citra tertawa pelan. Lelah, hanya itu yang bisa ia katakan, hari ini adalah hari pertama ia bertugas di Polrestabes Manggala.

"Wanita itu ... dosa apa yang sudah ia lakukan dulu, sehingga ia disiksa bahkan setelah dia mati." Citra bergumam sendiri.

Faisal baru ingat jika tulang belakang jasad Kinanti remuk karena benda tumpul. Apakah dia dicekik setelah disiksa ataukah wanita itu disiksa setelah mati dicekik. Lalu kenapa baju wanita itu masih bersih dan rapi, seperti baru saja dipakaikan padanya setelah tewas.

“Dia pasti sangat kesakitan. Dari wajahnya terlihat jika dia sangat tersiksa sebelum meninggal,” gumam Faisal pelan. Mereka kembali terdiam di kesunyian malam. Sibuk dengan dugaan mereka masing-masing.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!