NovelToon NovelToon

GADIS CACAT SANG KAISAR

Awal Bencana

"Biaaa, bangun! Sudah jam berapa ini?! Memey dah jemput kamu tuh di depan!" teriakan melengking Bu Darma selalu menjadi alarm bagi Sabia untuk membuka mata.

Dengan sangat terpaksa, gadis berusia 19 tahun yang masih sangat lugu itu mengerjapkan mata beberapa kali dari atas ranjangnya yang empuk. Ya, Sabia adalah putri tunggal di keluarganya yang sangat sederhana. Pak Darma yang sehari-hari bekerja sebagai Guru di SMP Negeri dan Bu Darma yang menerima pesanan kue di rumah sangat menyayangi Sabia. Mereka selalu memperlakukan putri tunggalnya dengan spesial sehingga di usianya yang ke 19 tahun Sabia masih saja kekanak-kanakan.

“Biaaa ..."

"Iya, Ma! Bia udah melek, nih!"

Sambil berdecak, Sabia bangkit dari ranjangnya dan membuka pintu dengan wajah tertekuk. Tak sampai 5 menit, Sabia telah menyelesaikan ritual mandinya dan bergegas kembali ke kamar. Ia pun mengenakan blouse berwarna magenta dan ripped jeans berwarna baby blue.

Hari ini, ia dan Memey sudah janjian untuk ikut pelatihan menulis di Perpustakaan Kota. Sabia sangat suka menulis, ia memiliki cita-cita menjadi seorang penulis terkenal yang memiliki banyak buku cetak dan sukses di pasaran. Bukan tanpa alasan Sabia sangat suka menulis, sejak kecil sering dibelikan buku dongeng princess Disney dan bermimpi kehidupannya kelak akan seindah salah satu di antara mereka membuat imajinasi Sabia berkembang pesat di usianya yang belia.

"Ma, Bia berangkat, ya!" pamit Sabia dengan suara lantang karena suara mixer yang berisik mendominasi ruangan dapur.

Bu Darma menoleh pada Putrinya, ia memperhatikan penampilan Sabia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bila ada yang terbuka sedikit saja, Sabia tak akan lolos keluar rumah.

"Kamu nggak sarapan dulu? Tuh Mama dah bikinin Nasi Goreng Sosis kesukaan kamu," tunjuk Bu Darma dengan menggunakan dagunya.

"Nanti siang aja deh, Bia udah telat nih! Bia berangkat ya, Ma! Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

"Mey, ayuk berangkat!" panggil Bia sambil memasang sepatunya.

Memey menoleh. “Lama amat, sih! Sampe gue selesai masang oli nih," keluhnya dongkol.

Sabia meringis keki, ia menyelempangkan tas kanvas berwarna pink salem miliknya dan menghampiri Memey.

"Tunggu, gue cuci tangan dulu!" Memey ngeloyor masuk ke dalam rumah Bia untuk cuci tangan.

Memey adalah sahabat Sabia sejak kecil, namun perbedaan sifat di antara keduanya ibarat langit dan bumi. Bila Sabia cenderung feminin, maka Memey sangatlah maskulin. Memey menyukai hal-hal yang berbau otomotif dan sepak bola.

"Yuk berangkat!" Memey naik ke sadel motornya dan menyerahkan helm Sabia.

"Hati-hati, Mey!" seru Bu Darma dari teras begitu melihat putrinya sudah berada di atas boncengan Memey.

Memey mengangguk dan memutar handle gas. Sabia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar pada Mamanya. Mereka berdua pun melaju di jalanan kota yang padat oleh berbagai jenis kendaraan bermotor.

Sementara itu, di tempat lain. Di sebuah gedung perkantoran berlantai 15, seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan gagah sedang duduk di meja bundar mengawasi satu persatu anak buahnya.

"Jadi minggu ini belum ada progress apapun dari Divisi Resident?" ulang lelaki bermata coklat dengan alis tebal dan hidung runcing itu dingin.

Manajer Divisi Resident mengangguk takut, tak berani beradu tatap dengan COO (Chief Operating Officer/ orang kedua setelah CEO) mereka yang terkenal disiplin dan perfeksionis.

"Apa perlu saya mengganti anda dengan orang yang lebih berkompeten, Pak David?!"

David, sang Manajer Divisi Resident mendongak cepat. "Jangan, Pak. Beri kami waktu satu minggu lagi untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kami janji semuanya akan beres!"

Kaisar Mahaputra Syailendra, sang COO berusia 29 tahun itu masih menatap tajam pada David. "Baiklah. Bila dalam satu minggu tidak ada kemajuan. Silahkan anda mengajukan surat pengunduran diri!”

"Baik, Pak. Saya mengerti!" David menghela nafas lega. Setidaknya ia masih memiliki waktu satu minggu untuk menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan yang menjadi kendala.

"Kalau tidak ada lagi yang mau dibahas, silahkan kalian kembali bekerja!" Kaisar bangkit dari kursinya dan menyerahkan tabletnya pada Diki, Sekretaris pribadinya.

Seluruh staf spontan berdiri dengan sigap ketika Kaisar melangkah lebar keluar dari ruangan meeting. Begitu tubuh sang COO menghilang di balik pintu, beberapa staf yang terkena omelan Kaisar mengelus dada dan menghembuskan nafas lega. Rapat di hari senin selalu membuat stress level mereka meningkat tajam.

"Apa jadwalku setelah ini, Dik?!" tanya Kaisar sembari tetap melangkah menuju lift.

"Jam 11 nanti ada meeting dengan Mr. Tori dari Jepang, Pak. Beliau dari kantor Biro Arsitek." Diki menerangkan sembari membaca buku notes kecil miliknya. "Setelah istirahat makan siang, ada jeda sampai jam 2. Pak Syailendra menunggu anda di ruangannya untuk membahas project di Bali."

Langkah Kai terhenti di depan pintu lift. Ia menghela dan menghembuskan nafas panjang.

"Apa tidak ada telefon dari dia?" Kai menoleh pada Diki yang berdiri di belakangnya.

Diki menggeleng ragu, ia menyerahkan ponsel Kaisar yang sedari tadi di titipkan padanya. Kai meraih ponsel itu dengan cepat lantas menekan angka 1 cukup lama. Panggilan darurat terhubung ke nomor Patricia, kekasihnya.

Tting.

Pintu lift terbuka bersamaan dengan Kai menempelkan ponselnya di telinga. Ia mengayunkan langkah masuk ke dalam lift sembari mendengarkan nada sambung yang terhubung ke ponsel Patricia. Tak ada sahutan hingga lift bergerak naik dengan perlahan. Kaisar berdecak kesal, ia memutuskan sambungan telefon itu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya lagi. Sudah seminggu ini Patricia sulit sekali di hubungi.

"Pak, kita sudah sampai," panggil Diki ragu ketika Bosnya itu hanya mematung dan tak beranjak keluar dari lift.

Kai menghembuskan nafasnya sekali lagi dengan berat dan bergegas keluar. Dia akan mencari tahu keberadaan Patricia nanti malam. Sudah cukup dua minggu ini Kai bersabar menunggu kabar darinya.

.

.

.

.

"Lah, di mana helm gue?!" Sabia mengitari motor Memey dengan panik saat helm pink hadiah ulang tahun dari Ayahnya tiba-tiba lenyap.

"Tadi lu taruh mana?" tanya Memey sembari mendekat.

Sabia tak menyahut, ia mengedarkan pandangan ke seluruh area parkir. Lokasi perpustakaan kota yang berdempetan dengan alun-alun kota memang ramai pengunjung, tempat parkirnya pun menyatu. Hati Sabia mencelos, helm kesayangannya pasti telah hilang dicuri.

"Pasti sudah hilang," desis Sabia lirih.

"Terus gimana, nih? Parkirannya juga nggak ada yang jaga," keluh Memey berdecak.

"Ya sudah nggak apa, Mey. Kita lanjut ke toko buku aja, ya. Lewat jalan tikus aja biar nggak kena tilang polisi," saran Sabia.

Memey mengawasi ekspresi wajah sahabatnya yang muram, ia tahu bila helm itu sangatlah berharga bagi Bia. Tapi mau mencari pun percuma, tak akan ada yang peduli karena tadi mereka tak menitipkan helm di tempat penitipan. Helm Memey yang buluk aman dari incaran pencuri, sementara helm Sabia yang terawat jelas-jelas menyita perhatian mereka.

"Ya sudah, ayo naik!" Memey lebih dulu menaiki motornya dan mulai menstarter.

Sabia yang mungil sedikit kerepotan saat menaiki motor Memey yang sudah dimodif menjadi lebih tinggi di bagian belakang.

"Pegangan!" perintah Memey seraya menarik dua tangan sahabatnya itu agar melingkari perutnya.

"Hahaha ... geli tahu, Mey! Kita kaya orang pacaran, ih."

"Bodo. Siapa yang peduli. Yang penting lu nggak jatuh pas gue ngebut!" elak Memey cuek.

Sabia mencibir, ia menurut dan melingkarkan kedua tangannya di perut Memey.

Greeeng greeng geregeeeng greeengg.

Motor yang dikendarai oleh Memey pun melaju menembus kemacetan kota dan berbelok ke jalan tikus. Di jam pulang kantor seperti ini, kemacetan adalah hal yang lumrah.

.

.

.

Sementara itu di tempat yang berbeda, Kai baru saja turun dari mobil sedan hitam yang kali ini ia kendarai sendiri. Patricia tinggal di apartemen lantai 35 sejak tiga tahun yang lalu. Apartemen hadiah dari Kaisar di ulang tahun Patricia yang ke 26 tahun.

Kai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan living room begitu ia keluar dari lift. Suasana yang lengang dan sunyi tak membuat langkah Kaisar terhenti untuk menyusuri tiap ruangan yang bertema klasik eropa itu.

“Pat!" panggil Kai sembari membuka pintu kamar utama yang ditempati oleh kekasihnya.

Nihil, tak ada siapapun di kamar bernuansa navy itu. Kaisar menggeram kesal, ia mengeluarkan ponselnya sembari menutup kembali pintu kamar. Ia menekan angka satu dan panggilan otomatis terhubung ke nomor Patricia.

"Halo."

"Di mana kamu, huh!? Kenapa telefonku tidak pernah kamu angkat!" rutuk Kai penuh amarah ketika Patricia akhirnya mengangkat telefon darinya.

"Aku sibuk, Kai. Kita kan sudah sepakat untuk menjauh perlahan-lahan."

"Sejak kapan aku setuju dengan kesepakatan bodoh itu!? Pulang sekarang atau aku akan menjemputmu dimanapun kamu berada!"

"Aku masih harus melakukan sesi pemotretan sekali lagi. Tunggulah di apartemen!"

Tit.

Prak.

Kai membanting ponselnya ke lantai. Ia mengawasi layar yang remuk itu dengan tatapan nanar. Patricia selalu membuat emosinya naik turun, mengapa susah sekali membuat wanita itu menurut padanya!

Satu jam menunggu, suara dentingan pintu lift yang terbuka membuat Kaisar membuka mata. Ia sempat tertidur sebentar tadi setelah menenggak dua gelas wine yang selalu tersedia di lemari kabinet Patricia. Wajah yang sangat Kai rindukan berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin menusuk. Dengan sedikit gontai, Kai bangkit dari sofa dan menghampiri pujaan hatinya.

"Cukup, Kai. Jangan temui aku lagi!"

Langkah Kai terhenti tepat di saat Pat mengucapkan kata terakhirnya. Dua netra itu menelisik setiap perubahan mimik wajah si empunya suara. Namun, ekspresi Pat tak berubah, tatapan dinginnya masih menerjang relung hati Kaisar.

"Hubungan kita tidak akan berhasil, Kai. Kita hanya membuang waktu. Carilah perempuan lain yang bisa memenuhi ekspektasi keluargamu. Selamanya tembok kokoh di antara kita tidak akan pernah bisa dirobohkan!"

"Aku tidak peduli, Pat! Selamanya kamu adalah kekasihku, calon istriku! Tidak ada wanita lain!" seru Kaisar sengit.

"Hentikan omong kosongmu. Aku lelah dengan semua ini. Aku lelah dengan keegoisanmu, dengan segala sifat manipulatifmu, tinggalkan aku atau aku yang akan pergi meninggalkan apartemen ini."

"Apa ada laki-laki lain, Pat? Mengapa secepat ini kamu berubah??"

"Kamu tahu dengan jelas aku sangat mencintaimu, Kai. Berhentilah mencurigaiku. Aku sudah memberikan segalanya untukmu."

Kai menatap tajam pada dua manik mata Patricia, tatapan dingin tadi kini berubah sendu.

"Kita akan menikah tahun ini! Aku pastikan kita akan menikah. Aku akan mendapatkan restu dari orang tuaku bagaimanapun caranya."

"Tidak. Hentikan semua ini sekarang juga. Pergilah, aku lelah seharian ini," pinta Pat memohon. Ia beringsut duduk di sofa.

Kai mendekat ke tempat kekasihnya namun secepat kilat Pat menghindar, ia melangkah pergi dan masuk ke dalam kamar. Dengan gontai, akhirnya Kai pulang.

Jalan raya yang macet membuat Kai akhirnya berbelok ke jalan alternatif agar cepat sampai di rumah. Kepalanya pening berdenyut-denyut, mungkin karena ia sempat menenggak minuman memabukkan tadi di rumah Pat. Dengan kecepatan penuh, Kai mengendarai mobil sedan hitamnya menembus jalanan yang lengang. Ia menoleh pada jam digital yang menyala di audio mobil. Jam 8 lewat 15 menit.

Dengan sedikit kalap, Kai menginjak pedal gasnya lebih dalam. Spidometer pun telah menunjukkan kecepatan 100 km/jam. Pandangan yang mulai buram membuat Kai harus ekstra menajamkan penglihatan.

Sementara itu, di pertigaan jalan, Memey menarik tangan Sabia yang beberapa kali lepas dari perutnya.

"Malu, Mey!!" teriak Sabia terkekeh. Ia tak lagi murung setelah membeli beberapa buku cerita tentang kerajaan favoritnya.

"Diam. Atau gue turunin lu di pinggir jalan itu!" tunjuk Memey kesal pada area pertokoan yang gelap.

Sabia tertawa, ia memukul helm Memey dengan gemas.

Ciiiiitttt.

"Mey, awas!"

Ciiiitttt.

Bruak. Prak.

Tubuh mungil Sabia terpental setelah moncong mobil hitam itu menghantam bagian belakang motor Memey dan berhenti setelah menabrak tiang listrik.

Dalam gelap, Memey masih bisa melihat tubuh sahabatnya terkapar cukup jauh darinya dan tak bergerak lagi.

"Biaaaaaa!!!"

*************

Author’s Note:

Hai, teman-teman. Cerita ini sedang mengikuti kontes menulis di Noveltoon. Jangan lupa tinggalkan komentar positif, masukkan rak favorit dan tekan ❤️nya!

Terima kasih banyak 🫰🏻

Bencana Tak Terelakkan

Sejak dua jam yang lalu, Pak Darma dan istrinya duduk di ruang tunggu Rumah Sakit. Wajah panik dan sedih tersirat jelas di antara keduanya. Panggilan telefon dari Memey tadi sontak membuat keduanya lekas meninggalkan aktifitas malam masing-masing dan mengendarai motor ke Rumah Sakit.

Sementara itu, di sudut yang lain, Syailendra dan Mira, istrinya, juga sedang menunggu kabar dari Dokter yang memeriksa keadaan putranya. Telefon dari Diki tadi telah membuat acara makan malam bersama di keluarga Syailendra buyar seketika.

Polisi nampak menunggu di luar lorong dan memperhatikan dua keluarga itu dari jauh.

"Keluarga Kaisar?!" Seorang Dokter keluar dari ruang IGD dan menghampiri Pak Darma.

Syailendra berdiri dengan sigap, "kami keluarganya, Dok!" sahutnya sembari menghampiri Dokter itu.

Sang Dokter menoleh cepat. "Kaisar sudah siuman. Hanya ada cidera ringan di kening dan pelipis. Kami sudah melakukan Rontgen serta Scan MRI dan tidak ada luka serius."

Syailendra dan Mira menghembuskan nafas lega setelah mendengar penjelasan Dokter.

"Lalu putri saya bagaimana, Dok?!" Darma menarik lengan Dokter dengan tak sabar.

"Masih belum sadar, Pak. Kami sudah melakukan beberapa tes serupa dengan Kaisar. Hasilnya ada cidera kepala berat dan kerusakan di kornea. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

"Biaaaaa ..." rintih Bu Darma tak kuasa menahan tangis.

"Selamatkan Putri saya, Dok! Berapapun akan saya bayar asal Sabia tetap hidup bagaimanapun kondisinya!" pinta Pak Darma memohon sambil menadahkan kedua tangannya.

"Pasti, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Saya permisi," pamit Dokter itu sebelum kemudian berbalik dan kembali masuk ke ruang IGD.

Tatapan Pak Darma beralih pada Syailendra sekeluarga. Sejak tiba di Rumah Sakit tadi, polisi sudah menjelaskan padanya bila mereka adalah keluarga dari lelaki yang menabrak putrinya dan Memey.

"Kalian harus bertanggung jawab bila sampai terjadi apa-apa dengan Putriku!" rutuk Darma seraya menghampiri Syeilendra.

"Pak!" Bu Darma menarik lengan suaminya namun kekuatan lelaki yang sedang dikuasai amarah terlalu besar untuk ditahan oleh wanita seperti dirinya.

Diki yang sedari tadi hanya mengawasi dari jauh sontak mendekat ke arah Bosnya dan melerai keduanya.

"Aku pastikan anak kalian akan membusuk di penjara!!"

"Kami pasti bertanggung jawab, Pak. Tenanglah!" janji Diki seraya menahan Darma agar tak mendekat pada Bosnya.

Syailendra menghembuskan nafasnya berat, ia melepas cekalan Mira di lengannya dan menghampiri Darma yang merah padam.

"Pak, kami tidak akan lepas dari tanggung jawab. Putri bapak adalah putri kami juga mulai hari ini, kami pastikan dia akan mendapat perawatan terbaik hingga pulih seperti sedia kala," janji Syailendra dengan pasti.

Tubuh Darma yang semula tegang mulai merenggang perlahan setelah mendengar janji Syailendra. Bu Darma menarik suaminya agar kembali duduk di kursi tunggu seraya berdoa untuk kesembuhan dan kesadaran putri mereka yang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam ruang IGD.

Memey hanya mendapat luka lecet di tangan dan kaki. Ia selamat dari cidera kepala karena mengenakan helm, sementara Sabia yang terpental kala itu membentur aspal dengan cukup keras.

Keesokan hari, Kaisar sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Sementara Sabia yang masih belum sadar dipindah ke ICU.

Pak Darma yang tak tidur sejak semalam tetap berangkat kerja di keesokan hari, sementara Bu Darma tetap menunggui putrinya di luar ruang ICU. Mulutnya komat-kamit membaca doa yang tak berhenti setiap ia membuka mata. Hatinya ngilu membayangkan betapa sakitnya Sabia berjuang sendirian di dalam sana.

"Tante."

Bu Darma menoleh cepat pada asal suara di sebelahnya. Memey berdiri di situ seraya mendekap erat paperbag di dadanya. Bu Darma berusaha menarik ujung bibirnya ke atas dengan sekuat tenaga, ia tak ingin menampakkan kesedihan di depan Memey.

"Kemarilah, apakah lukamu sudah diobati?" tanya Bu Darma seraya mengulurkan tangan pada Memey dan meminta gadis itu untuk duduk di sebelahnya.

"Sudah, Tante. Bagaimana keadaan Bia hari ini?" tanya Memey balik sembari duduk.

"Dia masih belum sadar, Mey. Dokter semalam bilang bila kornea matanya tergores dan mengalami kerusakan. Sepertinya Bia tidak akan bisa melihat lagi, hiks," tangis Bu Darma kembali pecah tanpa bisa ia kontrol.

Memey memeluk tubuh wanita yang sudah ia kenal di lebih dari separuh usianya itu untuk menenangkannya. Bu Darma kembali menumpahkan air mata yang susah payah ia tahan di depan suaminya. Ia tak ingin Pak Darma semakin bersedih bila melihat istrinya terus menerus menangis. Bayangan senyum terakhir Sabia kemarin kembali melintas di ingatan dan membuat hati Bu Darma tersayat-sayat. Mungkinkah itu akan menjadi senyum terakhir putrinya?? Putri yang susah payah ia besarkan dengan penuh kasih sayang, yang selalu ia bebaskan dalam membuat keputusan, yang sangat ia sayangi melebihi dirinya sendiri.

"Sabia kuat, Tante. Dia pasti bangun dan kembali pada kita," bisik Memey berusaha menenangkan.

Namun nyatanya, hingga seminggu kemudian, Sabia tak kunjung sadar dari komanya. Kaisar telah diamankan di kantor polisi begitu pulang dari Rumah Sakit. Pak Darma ingin lelaki itu mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia perbuat pada putrinya.

"Bagaimana keadaanmu, Kai?" tanya Syailendra yang datang mengunjungi putranya bersama dengan Diki.

Kaisar tak menyahut, ia membuang muka sembari menahan amarah yang menumpuk di dalam hati. Ia tak bersalah, gadis itu yang menyebrang dan membuatnya banting setir tiba-tiba.

"Gadis itu masih belum sadar, kita akan kesusahan untuk mengajukan damai. Bertahanlah dulu sampai gadis itu sadar, oke?!"

"Aku tidak bersalah, Pa! Mereka yang lalai dan membuatku kehilangan kendali!"

"Kamu mabuk, Kai. Mau beralibi seperti apapun, hasil urinemu tidak bisa berbohong. Kamu tetap berada di pihak yang salah karena sudah menyetir di bawah pengaruh alkohol!" cecar Syailendra lugas.

Kaisar tak menyahut, ia memang sempat menenggak wine dan membuat semuanya jadi kacau balau.

"Bertahanlah dulu, Papa akan melakukan apapun asal kamu bisa keluar dari sini. Satu-satunya jalan adalah mengajukan damai pada keluarga gadis itu agar tidak menuntutmu."

"Lalu bila mereka menolak?" tanya Kai sinis.

Syailendra menghela dan menghembuskan nafasnya berat. "Kamu harus keluar bagaimanapun caranya. Perusahaan membutuhkanmu."

Drtttt ... drrtt ...

Ponsel Diki bergetar di dalam saku jasnya, ia lekas mengeluarkan benda pipih itu dan memperhatikan nama yang muncul di layar.

"Halo?" sapa Diki ragu.

Kaisar dan Syailendra memperhatikan lelaki berkacamata di samping mereka. Wajah Diki yang tadinya redup sontak berbinar. Ia pun menutup sambungan telefon itu dan menatap dua bosnya dengan sukacita.

"Pak, gadis itu sudah sadar! Mari kita segera ke Rumah Sakit!" jelas Diki seraya bersiap dan merapikan beberapa berkas yang tadi ia bawa ke tahanan untuk di tandatangani oleh Kaisar.

"Benarkah?" tanya Syailendra berbinar.

"Betul, Pak. Pak Kai pasti bisa segera keluar dari sini. Mari kita pergi!"

.

.

.

Di Rumah Sakit, Syailendra tiba tepat di saat Pak Darma sedang berbincang dengan Dokter dan Polisi di depan kamar Sabia.

“Nah, itu dia orangnya! Hukum putranya seberat-beratnya, Pak Polisi. Pastikan putranya membusuk di penjara hingga masa depannya hancur seperti masa depan putri saya!” geram Pak Darma seraya menunjuk wajah Syailendra.

Polisi tersebut menahan lengan Pak Darma agar tak terjadi keributan, emosi lelaki itu meletup-letup setelah tahu putrinya divonis buta oleh dokter. Masa depan Sabia telah hancur! Sehancur hatinya saat pertama kali mendengar pernyataan Dokter Alex.

“Tenang dulu, Pak. Mari kita bicarakan hal ini baik-baik. Saya dan Kaisar akan bertanggung jawab penuh atas kehidupan dan masa depan putri bapak, tolong kasihani kami.”

“Kasihani?! Manusia tak berotak seperti putramu tidak berhak dikasihani! Menyetir dalam keadaan mabuk, mengebut dan mencelakakan putri saya, lantas sekarang minta dikasihani??”

Syailendra menghela napas panjang. Ia mengawasi Diki yang berdiri di depannya untuk melindunginya.

“Akan tetapi, Mbak Sabia juga tidak mengenakan helm yang merupakan kewajiban bagi pengendara motor, Pak. Itu juga perlu di garis bawahi.” Diki tiba-tiba bersuara.

“Apa!? Kurang ajar ya kalian! Jadi kalian tidak mau bertanggung jawab!?”

Pak Polisi maju dan berdiri di antara Syailendra dan Pak Darma. “Pak Darma, Pak Syailendra, mari kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Tidak perlu memakai emosi. Kita akan temukan jalan tengah yang tidak merugikan pihak manapun.”

“Kami akan bertanggung jawab, Pak Darma. Kaisar bersedia menikahi Sabia untuk menjamin masa depannya. Kami akan mencarikan dokter terbaik agar Sabia dioperasi dan bisa melihat lagi.”

“Tidak. Tanpa kalian pun, saya masih bisa menanggung biaya operasi putri saya, saya akan mengoperasi dia secepatnya!”

“Transplantasi kornea ini tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu, mengingat stok kornea terbatas, sedangkan daftar antrean pasien yang membutuhkan lebih banyak. Kami biasanya akan mendahulukan yang sudah mengantri di awal, Pak!” Dokter Alex menengahi.

Pak Darma menghembuskan nafasnya geram.

“Pak, kami mohon. Mari kita selesaikan ini dengan baik-baik. Kaisar memang bersalah, namun putri anda juga menyalahi aturan dalam berkendara. Saya akan jamin masa depan putri anda bila menikah dengan Kaisar. Saya berjanji!”

Pernikahan Tak Direncana

Sejak kecil, Sabia yang selalu berpikiran positif dan ceria tak pernah bermimpi akan mengalami musibah seperti ini. Ia sadar dari tidur panjangnya dan tak lagi bisa melihat indahnya dunia. Impiannya untuk menjadi penulis pudar sudah, hidupnya telah hancur tepat di saat mobil itu menabraknya minggu lalu.

“Bia.”

Panggilan lembut dari suara yang sudah sangat Bia kenal membuatnya tersentak. Ya, ia harus mulai terbiasa mengenali orang dari suara, bukan lagi dari wajah. Hati Sabia mencelos.

“Memey,” lirih Sabia sendu.

“Bia, maafin gue ya. Gara-gara gue—“

“Jangan bilang gitu, Mey! Lu nggak salah, laki-laki itu yang udah nabrak kita! Dan gue juga salah karena nggak pake helm malam itu,” potong Sabia.

Memey mengawasi sahabatnya dengan sedih, ia pun duduk di samping ranjang Sabia.

“Laki-laki itu udah dipenjara kok, Bia. Dia sudah dihukum. Dia pasti akan membusuk di penjara! Perusahaannya pasti hancur!”

“Perusahaan??”

“Iya, di calon CEO pengganti ayahnya. Yang gue denger sih begitu kemarin!”

Sabia mengerjap takjub, jadi CEO-CEO itu memang ada?? Ia pikir hanya ada di novel saja!

“Dia ganteng nggak, Mey?” tanya Sabia penasaran.

“Mana gue tahu! Gue dah panik pas kita kecelakaan, jadi nggak memperhatikan keadaan dia waktu itu. Tapi kalo lu mau, gue bisa carikan data dia di situs bisnisnya dia!”

“Boleh, cari tahu gih!” perintah Sabia cepat. Ia penasaran seperti apa lelaki yang sudah mencelakainya.

Memey mengeluarkan ponselnya, ia membuka situs pribadi milik lelaki bernama Kaisar itu dan tercengang tak percaya melihat foto profilnya.

“Gilak!” rutuk Memey.

Sabia reflek menoleh pada suara Memey yang memekik kaget. “Kenapa, Mey?”

“Dia ganteng banget, Bia! Tapi sayangnya bukan selera gue sih! Dia terlalu maskulin!”

Sabia semakin penasaran, sayangnya keadaannya kini sudah berbeda. “Dia secakep artis siapa?? Biar gue bisa bayangin.”

“Hmmm, campuran wajah Reza Rahadian dan Edward Cullen, sih! Lu bayangin aja kek mana wajahnya!”

Sabia tersipu, seganteng itukah??

“Keluarganya mau nikahin dia sama lu buat tanggung jawab dan agar dia bisa bebas dari penjara, sayangnya bokap lu nolak!”

“Kenapa nolak?!”

“Emang lu mau nikah sama dia?”

Sabia mengangguk cepat. Apa salahnya menikah muda, toh sama orang kaya dan ganteng pula!

“Gila lu, Bia! Lu bahkan belum kenal dia orangnya kaya gimana. Kalo dia psikopat gimana?!”

“Bilangin sama Ayah gue, Mey! Gue bersedia nikah sama dia.”

Dan keesokan harinya. Pernikahan itu benar-benar terjadi. Di kamar Rumah Sakit yang sederhana ini, keluarga Darma sudah siap sejak beberapa jam yang lalu. Meski Pak Darma menentang keras pernikahan Sabia, namun pada akhirnya ia mengalah ketika Bu Darma mengatakan bila Sabia sudah dewasa dan sudah waktunya ia bertanggung jawab atas pilihan hidupnya.

Kaisar yang tadinya menolak untuk menikahi gadis cacat itu, akhirnya menyerah dan memilih untuk mengalah karena ia tak mau kehilangan jabatan sebagai calon CEO di perusahaan properti Mahaputra Group. Ancaman hukuman yang ia hadapi tidak main-main, berkendara hingga menyebabkan korban luka berat bisa dipidana dengan hukuman 10 tahun. Belum lagi ancaman hukuman karena ia mengemudi di bawah pengaruh alkohol, bisa-bisa ia tua dipenjara! Tak mengapa menikahi gadis cacat itu sekarang, toh dia buta, kan? Jadi Kaisar masih bisa hidup bebas karena gadis itu tidak bisa melihat apapun!

“Saya terima nikah dan kawinnya Sabia Raysha Binti Darma Bagaskara dengan mas kawin perhiasan seberat 100 gr dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!”

Dalam satu kali helaan nafas, Kaisar dengan lancar mengucapkan ijab kabul itu tanpa kesalahan. Ia pun heran, bagaimana bisa ia mengucapkan kalimat yang baru ia hafalkan selama di perjalanan menuju Rumah Sakit dengan sangat lancar dan lugas.

“Bagaimana saksi?” tanya penghulu pada Diki dan Pak Polisi yang menjadi saksi pernikahan.

“Sah!!” Diki menyahut bersamaan dengan saksi lain.

“Alhamdulillah.”

Ucapan syukur terdengar dari seluruh keluarga yang menghadiri pernikahan siri antara Kaisar dan Sabia. Mereka akan menikah secara sah di KUA setelah semua berkas siap seminggu lagi. Jadi demi Kaisar segera bebas, akhirnya mereka pun menikah secara agama terlebih dahulu.

Sabia yang mendengar pernyataan ijab kabul dari Kaisar tadi tanpa terasa meneteskan air mata. Ia memang tak mengenal lelaki yang kini menjadi suaminya itu, tapi entah mengapa hati kecilnya seolah berbisik bila langkah yang ia ambil sudah tepat. Mungkin inilah jalan dari Tuhan, jodoh yang selalu ia panjatkan setiap malam.

“Aku ingin menikah dengan lelaki seperti pangeran dari negeri dongeng, Tuhan. Tolong kabulkan doaku, aamiin!”

Doa itu kembali terngiang di telinga Sabia tepat setelah Kaisar dengan lancarnya mengucapkan janji suci yang mengikat keduanya di hadapan Tuhan. Ya, inilah jodoh yang Tuhan kirimkan.

Kaisar yang sedari tadi tegang karena gugup, perlahan mulai santai dan rileks. Ia menoleh pada gadis belia yang minggu lalu ia tabrak. Gadis bernama Sabia yang kini telah sah menjadi istrinya itu kini sedang duduk dengan pandangan kosong, diapit oleh dua orang wanita. Salah satu gadis yang seumuran Sabia menatap tajam pada Kaisar. Sejenis tatapan dingin dan membunuh.

“Silahkan mempelai wanita dibawa kemari,” perintah penghulu pada Bu Darma.

Kaisar mengawasi setiap gerak-gerik Sabia yang nampak kikuk, Bu Darma mendorong kursi roda Sabia untuk mendekat.

“Titip Sabia ya, Nak Kaisar. Meskipun kamu belum mengenal dia dengan baik, jangan pernah lukai hatinya setitik pun,” pinta Bu Darma setelah berdiri di depan Kaisar.

Kaisar mengangguk, bibirnya tiba-tiba kelu. Melihat Sabia yang duduk di kursi roda dengan pandangan lurus ke depan tanpa ekspresi membuat hatinya tiba-tiba ngilu.

“Hai Sabia,” sapa Kaisar kikuk sambil berdiri di depan kursi rodanya.

Sabia tersenyum, wajah yang sedari tadi diam tanpa ekspresi itu menyunggingkan senyum tercantik yang pernah Kaisar lihat. Tidak, bukan yang tercantik, karena di mata Kaisar yang tercantik hanyalah Patricia seorang. Mimpi apa ia sebulanan ini hingga harus menikah dengan gadis ingusan macam Sabia! Bahkan keanggunannya hanya seujung kuku kaki Patricia!! Cih.

“Hai, Kaisar.”

Nyes.

Suara mungil yang lembut itu seolah menyiram hati Kaisar yang panas dengan air es. Adem seperti minuman pereda panas dalam!

“Kalian sekarang sudah sah sebagai suami istri. Nak Kaisar, bimbinglah istrimu dengan baik karena surga dan nerakanya istri berada di tangan suami.” Pak Penghulu memberi wejangan.

Kaisar mengangguk, meski dalam hati masih dongkol namun ia berusaha menutupinya.

Dan malampun tiba. Semua tamu sudah pulang termasuk kedua orang tua Sabia. Kini tinggallah Kaisar yang harus menemani istri cacatnya seorang diri. Besok Sabia sudah boleh pulang, dan keluarga Syailendra akan memboyong menantu barunya ke rumah mereka yang megah bak istana.

“Kai, apa kamu sudah tidur?” tanya Sabia dari atas ranjangnya.

Kaisar yang sedari tadi tiduran di sofa tak menyahut, toh gadis itu tak bisa melihat, biar saja dia menganggap Kaisar sudah tidur.

“Sudah tidur, ya? Hmm, baiklah. Selamat malam,” lanjut Sabia lirih, ia kembali merebahkan kepalanya ke bantal dan memejamkan mata. Sejak tadi usai acara pernikahan mereka, ia bahkan tak sempat berbincang-bincang dengan Kaisar.

Keesokan paginya, Mira dan Bu Darma kembali ke Rumah Sakit untuk menjemput Sabia pulang. Kaisar tidak bisa ikut karena ia harus kembali ke kantor setelah hampir dua minggu ini ia tinggalkan. Bu Darma mengantar Sabia ke rumah barunya di kediaman keluarga Syailendra yang megah bak istana. Halaman yang luas dengan berbagai macam tanaman bunga tumbuh di sisi kanan, sementara di sisi kiri ada lapangan golf mini. Andai Sabia bisa melihat, dia pasti akan berdecak kagum sejak memasuki pagar rumah mewah ini. Bu Darma mendorong kursi roda putrinya masuk ke dalam.

“Sebenarnya kamar Kaisar ada di lantai atas, tapi karena kondisi Sabia maka kami memindahkannya di lantai bawah,” terang Mira sembari memerintahkan Bik Yati membawa tas koper milik menantunya.

Bu Darma hanya menanggapi perkataan Mira dengan senyuman dan anggukan. Sabia yang sejak tadi hanya diam membisu, membuat Bu Darma mulai khawatir.

“Sabia, kamu lelah? Mau langsung beristirahat?” tanya Bu Darma was-was.

“Iya, Ma. Sabia pusing.”

Mira menoleh pada menantunya dengan khawatir. “Kamu belum terbiasa ya, Bia? Istirahat di kamar ya?”

Sabia mengangguk. Mira langsung mengajak besan dan menantunya ke kamar. Tepat di saat mereka berdua akan mengangkat Sabia ke tempat tidur, seseorang tiba-tiba masuk dan mengetuk pintu kamar.

“Hai, selamat datang Kak Bia!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!