NovelToon NovelToon

No Me Ames : Elegi Cinta Kirana

Bab 1

Beginning

Semburat warna merah keemasan mulai terlihat di ufuk timur menandakan matahari mulai bertugas menggantikan bulan yang menyinari gelapnya malam.

Tetes embun membasahi dedaunan diiringi kicau burung dan ayam jantan yang mulai berkokok.

Surau, jalanan, dan pasar sudah menampakkan aktivitas rutinnya, begitu juga di sebuah rumah megah dengan pagar coklat berukir menjulang tinggi sudah menampakkan aktivitas di dalamnya.

Bau harum masakan tercipta dari tangan seorang wanita paruh baya sedang mengolah bahan makanan berkualitas menjadi hidangan yang lezat dan bergizi.

Di lantai atas rumah, terlihat seorang wanita sedang berjalan memutari lorong menuju kamar anak perempuannya.

“Kirana.”

Panggil wanita itu dari balik pintu yang pintunya terbuka sedikit. Mendengar namanya dipanggil, Kirana yang saat itu sedang berdiri di depan cermin seketika menoleh.

Tampaklah seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usianya yang menginjak kepala empat. Ya, dia adalah Melisa Wiratama, Ibu dari Ganendra Alvin Wiratama dan Kirana Indurasmi Wiratama buah pernikahan dengan Hadi Wiratama.

“Ya, sebentar lagi selesai, Ma,” sahut seorang gadis dengan senyum lebar menampilkan sederet gigi putih bersih.

Ibunya membalas sambil tersenyum, “Baiklah, kalau sudah selesai segera keluar. Papa dan Abang kamu sudah menunggu untuk sarapan.”

“Siap, Ibu negara. Sebentar lagi selesai,” jawab Kirana sambil mengoleskan kembali bedak ke wajahnya yang sempat tertunda.

“Sudah cantik, bisa-bisa pecah nanti kacanya,” ledek sang ibu.

“Ish, Mama,” jawab Kirana sambil menggembungkan pipinya yang sedikit berisi.

Ibunya hanya menggeleng pelan melihat tingkah anaknya.

“Ya sudah, kalau sudah selesai cepat turun ya.”

Mama Kirana membalikkan badannya untuk keluar kamar setelah mendapat acungan jempol sebagai jawaban.

“Sempurna.”

Setelah berkata demikian, Kirana menutup botol parfum kemudian meletakkan di tempatnya semula. Lalu beranjak menuju meja belajar, memeriksa kembali buku pelajaran q tugas membuat majalah dinding untuk pelajaran bahasa Indonesia.

Setelah di rasa lengkap, baru di masukan ke dalam tas sekolah, kemudian menyampirkan ke bahu sebelah kanan. Tidak lupa menggenggam gawainya lalu berjalan keluar kamar setelah menutup pintu.

Menuruni anak tangga sambil bersenandung kecil. Setelah sampai di bawah, langsung saja menuju meja makan yang terletak di belakang, jadi satu dengan dapur bersih.

“Pagi, PA. Pagi, Bang. Pagi, Ma,” sapa Kirana.

“Pagi Sayang,” sahut Papa, Mama Kirana serentak.

Sedangkan Kakaknya cuma menganggukkan kepala, karena sedang mengunyah.

Kirana langsung mengisi piringnya dengan nasi goreng dan telur mata sapi sebagai lauknya.

“Berangkat nanti aku nebeng ya, Bang.”

“Tumben, Bima ke mana?”

“Semalam kasih kabar kalau tidak bisa jemput, mobilnya masuk bengkel jadi dia berangkat sama Papanya.”

“Kan dia punya motor, pakai motornya dulu kan bisa,” sungut si Abang.

“Bilang saja kalau enggak boleh nebeng. Aku bisa berangkat sama Papa, boleh kan, Pa?” tanya Kirana pada Papanya.

“Boleh, habiskan dulu sarapanmu,” jawab Papanya.

Mendengar jawaban Papanya, Kirana mengulurkan lidah, mengejek Abangnya.

“Lagian, Bima enggak mau pacarnya yang cantik ini kepanasan.”

“Dih, pd amat,” ejek Abangnya. “cantik Sherly daripada kamu, Dik.”

“Ya lebih cantik Mama, lah,” sahut Papa Kirana tidak mau kalah.

Kirana dan Abangnya hanya bisa melongo, karena jarang sekali Papa mereka memuji istrinya di depan umum.

“Kalian kenapa? Terus pipi mama mengapa merah? Mama sakit?” pertanyaan bertubi dilayangkan saat melihat mimik wajah anak istrinya.

Mereka berdua mengalihkan pandangan ke arah mama mereka. Terlihat rona merah di kedua pipinya, tersipu malu.

“Cie, ada yang salting,” goda Kirana sedangkan abangnya bersiul.

“Memangnya salah, kalau Papa memuji mama?”

“Sudah-sudah, sana cepat berangkat, nanti terlambat,” potong mamanya supaya tidak berlarut-larut dalam menggoda. “bekalnya jangan lupa.”

Kirana, Alvin dengan patuh melaksanakan perintah sang mama, Kirana menghabiskan susu yang sudah di siapkan, Alvin mulai berdiri dari tempatnya dan mendorong kursi ke belakang.

“Ayo cepat, Dik. Abang juga mau jemput Sherly.”

Setelah berkata demikian, Alvin meraih tangan Mamanya untuk dicium, dan Kirana mengikuti apa yang di lakukan abangnya.

"Alvin berangkat dulu, Ma.”

“Kirana juga, Ma.”

“Hati-hati, yang pintar sekolahnya,” sahut mamanya sambil memberi nasihat.

“Siap Bos,” sahut mereka berbarengan.

“Eh, eh. Kenapa Papa di tarik begini?” protes Papa Kirana, karena Kirana menarik tangannya untuk segera berangkat.

“Biar cepat, jalanan macet, nanti aku terlambat,” sahut Kirana cepat. Sedangkan Alvin sudah berada di dalam mobil menunggu adiknya.

Setelah melihat adiknya keluar bersama kedua orang tuanya, Alvin membunyikan klakson

“Ayo cepat naik,” teriaknya dari dalam mobil yang kacanya terbuka.

“Katanya enggak boleh, gimana, sih!” protes Kirana.

“Buruan, Abang sudah di telepon Sherly, nih.”

“Sudah sana, berangkat sama Abangmu,” ucap Mama Kirana menengahi.

“Ok. Pa, Ma, Kirana berangkat,” pamitnya sekali lagi.

“Iya, hati-hati di jalan,” wejang sang Mama. “Alvin, jangan ngebut!” teriaknya kepada anak lelakinya yang berada di dalam mobil.

Kirana berlari kecil menuju mobil sedan berwarna merah menyala yang sudah terparkir di depan rumah, siap untuk melaju. Setelah sampai di samping mobil, Kirana membuka pintu depan, masuk dan memasang sabuk pengaman setelah menutup pintunya.

Mereka berdua melambaikan tangan kepada kedua orang tua yang masih berdiri di teras. Setelah melihat lambaian tangan sebagai jawaban, Alvin segera menjalankan mobil menuju sekolah Kirana terlebih dahulu sebelum menjemput pacarnya.

Namanya Kirana Indurasmi Wiratama, seorang gadis belia berusia 17 tahun, berparas cantik, berkulit putih, tinggi semampai, berhidung mancung dan mempunyai tahi lalat di bawah mata. Pelajar semester akhir di sebuah sekolah menengah atas favorit ibukota. Mempunyai hobi yang sama seperti Kakaknya yaitu mendaki gunung.

Sedangkan yang mengemudi adalah Kakak Kirana yang bernama Ganendra Alvin Wiratama. Pemuda tampan memesona, mempunyai rambut hitam selaras dengan matanya yang hitam legam dengan sorot mata yang tajam. Tingginya 180 cm, dan merupakan ketua klub basket dan pengurus mapala di Universitasnya. Kuliah di Universitas ternama mengambil jurusan arsitektur yang sekarang ini masuk semester enam.

Dalam perjalanan ke sekolah, Kirana terlihat asyik berselancar di salah satu sosial medianya. Kadang tersenyum kadang tertawa meliat akun yang mengirim hal yang lucu.

“Kamu itu sudah seperti orang gila. Tertawa sendiri, ngomong sendiri, hadeh.” Sindir si Abang sambil geleng-geleng kepala.

“Suka-suka aku dong, Bang.”

Alvin tidak lagi menggubris adiknya, dia fokus menyetir. Meskipun cuek, dan sering jail, tetapi dia sayang sama adiknya.

Sekitar tiga puluh menit perjalanan akhirnya sampai di depan pintu gerbang sekolah. Alvin berhenti tanpa mematikan mesin mobil.

Kirana pamit dengan mencium punggung tangan kanan Abangnya. Hal yang terlihat kecil tetapi syarat akan makna dan sebuah adab yang harus di jalankan. Lalu membuka sabuk pengaman kemudian membuka pintu mobil untuk masuk ke dalam sekolah.

“Sekolah yang pintar, jangan pacaran saja!”

Kirana tidak menggubris teriakan Abangnya. Dia melanjutkan langkah menuju kelas yang berada di lantai dua. Tetapi sebelum sampai Kelas dan masih berada di bawah tangga, dia menghentikan langkahnya karena mendengar namanya dipanggil.

“Kirana!

Bab 2

XII IPA 1

“Pak Yusuf hari ini tidak masuk, jadi ini tugas dari beliau, jam pertama, kan? ” papar seorang wanita paruh baya sambil memberikan selembar kertas.

Kirana mengangguk, menerima kertas tersebut, lalu membacanya sekilas.

“Hari ini guru yang tidak masuk ada dua. Dan juga, nanti ada tamu dari dinas. Jadi saya tidak bisa mengisi jamnya Pak Yusuf,” jelasnya. “oh ya, Kirana. LKS tolong di bawa sekalian, dan ibu minta jangan ramai.”

“Baik, Bu. Saya izin pamit undur diri.”

“Silakan, sebentar lagi bel masuk. Saya juga mau mengajar.”

Kirana melipat kertas yang tadi di berikan guru piket lalu memasukkan ke dalam kantong baju kemudian melangkah ke arah meja Pak Yusuf yang ada di pojok ruangan untuk mengambil buku LKS.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, dia beranjak pergi dari ruang guru menuju kelasnya.

Ya, yang memanggilnya adalah guru mata pelajaran biologi yang sedang piket hari ini. Setelah keluar dari ruang guru, Kirana berjalan menyusuri koridor kelas. Karena bel masuk belum berbunyi, jadi masih ada murid-murid yang bercanda.

Waktu berbelok akan menaiki tangga, dia dikejutkan dengan tepukan dibahunya.

“Dor! Bawa apa, Neng?” seseorang mengagetkannya dari belakang.

“Kampret, Lo. Bikin kaget saja,” sungut Kirana.

"Sudah tahu bawa buku, pakai tanya segala. Bantu bawa kek, tekek kek.” Kirana mulai menggerutu sambil mengangkat kedua lengan karena menopang setumpuk buku dan mulai terasa pegal.

“Dih ogah, deritamu kali. Aku duluan ya, dada. Selamat berolahraga.” Ejek temannya sambil berlari menaiki dua anak tangga sekaligus.

“Oi, Dit, Dita, bantuin Dit. Awas kamu ya!” teriak Kirana nyaring.

Setelah sampai di anak tangga paling atas, Dita menjulurkan lidah untuk mengejek Kirana. Lalu melanjutkan jalannya menuju kelas.

Kirana tersenyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah konyol sahabatnya. Sahabat yang dia punya dari masa putih biru hingga saat ini. Seorang gadis tangguh produk dari perceraian.

Orang tuanya bercerai saat dia masih sekolah dasar. Sekarang dia tinggal dengan nenek dari pihak ibunya. Dita tidak ingin ikut ayah maupun ibunya, karena kedua orang tuanya masing-masing sudah menikah lagi dan memiliki anak dari pernikahannya.

‘Aku lebih memilih hidup susah dengan orang yang menyayangiku daripada hidup mewah tanpa ada cinta dan kasih sayang'

Ucapan Dita yang masih diingatnya sampai saat ini, waktu perkenalan pertama kali pada masa orientasi siswa, waktu sekolah putih biru.

Semua kelas tiga di tempatkan di lantai dua. Ada 4 kelas, dan kelas XII IPA 1 berada paling pojok. Kirana sedikit mempercepat langkahnya karena bel masuk sudah berbunyi.

Kirana masuk kelas di sambut dengan tingkah teman-temannya yang absurd. Ada yang tidur, ada yang main bareng di pojok, saling cerita , tik tok, dan melakukan siaran langsung tutorial make-up lewat Instagram.

Meletakkan buku di meja guru, mengambil kapur kemudian mengambil kertas yang dikantongi tadi lalu lanjut menulisnya ke papan tulis, setelah selesai dia mengambil penghapus dan memukulkannya ke papan untuk menarik atensi teman-temannya.

Setelah tenang dan perhatian warga kelas tertuju kepadanya, baru dia berkata, “Pak Yusuf gak masuk, dan ini tugasnya. Kalian semua punya kaki, jadi, LKS ambil sendiri-sendiri,” jelasnya sambil berkacak pinggang. “silakan lanjutkan apa yang tertunda!”

“Elah, sue lo Ketu. Gagal kan siaran Gue!” protes Angel si ratu sosial media.

“Ketu kampret, enak-enak mimpi di samperin Angelina Jolie, malah di bikin kaget,” kali ini Andika si tukang molor yang protes.

Dan masih banyak lagi protes yang dilayangkan teman-temannya. Kirana tidak menggubris, dia tetap berdiri di depan sambil bersedekap dan memendarkan pandangannya ke penjuru kelas, mengabsen teman-temannya.

Meskipun begitu, mereka patuh akan perintah Kirana sang ketua kelas. Satu persatu maju untuk mengambil buku yang ada di atas meja kemudian kembali ke bangku masing-masing dan mulai mengerjakan tugas yang ada di papan tulis.

Setelah memastikan teman-temannya mengerjakan tugas, barulah dia berjalan menuju ke bangku yang berada di deret ke tiga lurus dengan meja guru.

Kirana mendudukkan bokongnya di kursi sebelah Dita, mengeluarkan buku kemudian mulai menulis.

Warga kelas tahu tabiat sang ketua, kalau dipersilakan itu berarti sebuah larangan. Jadi apa yang di ucapkan ketua kelasnya tadi di depan adalah larangan untuk tidak berbuat onar.

Hening, hanya ada suara goresan pena dan lembaran buku yang dibuka. Inilah yang disuka oleh para guru, meskipun jam tidak ramai. Ketegasan ketua kelas juga patut diacungi jempol. Kelas 3IPA4 terkenal murid yang paling aneh. Otak anak IPA tapi kelakuan seperti anak IPS.

Moto mereka ‘belajar, main dan tidur' dan itu di terapkan di kelas, aneh bukan? Tapi itulah mereka, meskipun mereka bertindak sesuka hati tapi prestasi yang ditorehkan tidak main-main.

Merasa ada pergerakan dari kursi sebelah, Kirana menoleh. Terlihat Dita yang duduknya tidak tenang, dan bibirnya meringis seperti menahan sakit. Mata Kirana tertuju ke arah tangan Dita yang memegang perutnya dengan erat.

“Perut kamu, sakit?”

“He'em, lagi ‘m'. Padahal belum tanggal untuk keluar.”

“M?”

“Iya, menstruasi.”

Kirana diam mencerna apa yang diucapkan Dita. Menstruasi? Apa itu menstruasi? Banyak sekali tanya di pikirannya. Kenapa sampai sekarang aku belum merasakan apa itu... Menstruasi

Bab 3

Mulai Mencari

Setelah makan malam tadi, Kirana langsung menuju kamar. Kamar berukuran sedang, tembok kamar dan plafon di cat dengan kombinasi warna biru dan putih. Dan semua perabotan berwarna abu-abu dan itu pun tidak banyak.

Ranjang berada di tengah, meja rias ada di sisi kanan ranjang bersebelahan dengan kamar mandi. kemudian meja belajar tepat berada di samping pintu. Lemari baju yang merupakan lemari tanam berada tepat di sebelah kiri ranjang.

Saat ini Kirana sedang duduk di tepi ranjang dan posisi kaki bersila. Membuka laptop yang Kirana ambil dari meja belajar dan menyalakannya.

Waktu di sekolah tadi, dia tidak sempat mencari informasi terkait hal yang mengusiknya. Alhasil baru malam ini dia bisa fokus mencari.

Membuka halaman pencarian pintar, dia mulai memainkan jari-jemari di atas papan huruf mengetikkan kalimat :

‘Kapan haid didapat pertama kali'

Dalam hitungan detik artikel muncul di layar.

[Menstruasi pertama kali datang lebih cepat ataupun lambat. Siklus pertama dimulai di usia 12 tahun atau dua-tiga tahun setelah pa4yud4r4 tumbuh]

“Eh, usia 12 tahun? P4yud4r4 tumbuh?” gumam Kirana. “kenapa di usiaku yang sekarang aku belum dapat menstruasi, ya? Padahal payudaraku sudah tumbuh, montok lagi.” Ucapnya, dan tanpa sadar kedua tangannya memegang p4yud4r4.

“Haish, sue bener dah. Ngapain pakai pegang kedua gunung kembar segala,” gerutu Kirana.

Kirana tidak berpuas diri, dia mencoba mencari lebih banyak informasi mengenai hal ini. Hingga ujung jemarinya berhenti pada sebuah artikel yang berjudul :

'8 Penyebab Telat Haid yang Tidak Berkaitan dengan Kehamilan'

Menekan alamat web yang tersedia, menunggu sesaat kemudian keluar kalimat demi kalimat menerangkan ke delapan penyebab telat haid. Fokus, itulah yang dilakukannya saat ini, mencoba menangkap apa yang tertulis di artikel tersebut.

Mengembuskan napas, lalu menjatuhkan tubuhnya ke belakang masih dengan posisi kaki bersila. Tidur telentang sambil menatap langit-langit kamar. Setelah selesai membaca artikel hingga akhir, pikirannya kacau.

Pandangannya tiba-tiba gelap, tangannya terangkat untuk mengambil benda yang menutup kedua matanya. Ternyata sebuah bantal dan pelakunya tidak lain adalah abangnya.

Bola mata Kirana seketika membola, langsung dia bangun dan duduk tepat berada di belakang abangnya. Kirana kaget , karena melihat Alvin tengah menunduk di depan laptop yang layarnya masih menyala dan memperlihatkan artikel yang di bacanya tadi.

“Bang, minggir.” Kirana mencoba meraih laptop untuk mematikan layarnya, tetapi dihalau sama si abang.

Abangnya menoleh dengan ekspresi wajah terkejut. “Kamu hamil, Dek?” Tanyanya menyelidik.

“Enggaklah, memangnya aku cewek apaan,” sanggah Kirana tidak Terima dengan tuduhan yang dilayangkan.

Alvin tidak percaya begitu saja dengan omongan adiknya. Dia menegakkan badan, menaruh tangannya bersedekap, mencoba mengintimidasi adiknya yang masih tetap duduk di ranjang. Tatapannya mulai menyelidik, mengamati ekspresi wajah Kirana sampai pandangan matanya turun ke perut Kirana.

“Kenapa lihat-lihat perutku!” sungut Kirana.

“Sungguh?”

“Iya, Bang. Sungguhan, aku enggak hamil.” Katanya meyakinkan.

“Terus, ini apa?”

“Itu untuk pelajaran biologi besok, Bang. Di kelas, pelajarannya berupa kuis cerdas cermat. Bosan materi terus.”

Masih dengan tatapan penuh selidik, Alvin bertanya sekali lagi, mencoba memastikan,

“Bener?”

“Bener, Bang, suwer.” Ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf v.

“Ok, awas kalau bohong.”

Kirana hanya tersenyum lebar memperlihatkan sederet gigi putih bersihnya.

“Abang kesini ada perlu apa?”

“Oh, Abang mau naik. Mau gabung?” Alvin mengatakan alasan dia ke kamar adiknya seraya berbalik untuk duduk di kursi yang ada di depan meja rias

“Kapan? Gunung apa?” Kirana bertanya sambil mengubah posisinya menghadap abangnya.

“Kalau enggak ada rintangan sih, bulan depan. Ke Gunung Merbabu,” jawab Alvin enteng.

“Wah mau, Bang. Tapi, untuk izin kepala sekolah dan Pak Tony bakal susah. Kan, sempat ada pendaki yang hilang.”

“Coba bikin proposal yang isinya PA kamu bakal join sama mapala Abang, terus coba ajukan ke guru pembimbing dan kepala sekolah,” terang Alvin mencoba memberi solusi. “kalau sudah, beritahu Abang, nanti Abang ke sekolah kamu untuk pemantapan materi.”

“Ok, aku coba bicarakan sama anak-anak dulu, mau apa enggak. Kalau aku sih ok, ok saja. Kepingin ke sana lagi.”

“Mangkanya Abang ajak kamu, sekalian ajak anggota PA supaya punya pengalaman menaklukkan Gunung Merbabu. Abang tunggu kabarnya, biar Abang bisa menentukan berapa personil yang mau dibawa.”

“Ok, siap komandan.”

Alvin berdiri dari duduknya, tapi tidak lekas beranjak, dia masih ingin memastikan Kirana berbohong atau tidak.

Kirana mendongak, karena merasa tatapan abangnya mulai mengintimidasi lagi. Kirana mencoba bersikap wajar dengan bertanya kepadanya. “Apa ada lagi hal yang perlu di sampaikan, Bang?”

Alvin masih diam mengamati setiap gerak-gerik dan ekspresi wajah Kirana. Mengembuskan napas pelan kemudian dia berkata, “Jangan berbohong sama abang, apalagi sama Mama, Papa. Kalau ada apa-apa bilang, jangan menyembunyikan sesuatu. Mending kita tahu di awal jadi bisa cari solusi yang tepat.”

“Iya, paham, Bang.”

“Baiklah, lekas tidur besok sekolah.”

“Ok.”

Setelah berkata demikian , Alvin beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu meraih gagangnya lalu menarik daun pintu untuk ditutup. Akan tetapi, belum sampai menutup sempurna, dia menyembulkan kepala dari balik pintu.

“Apalagi, Bang?”

“Dek.”

“Ya.”

“Arga ikut naik.” Lalu cepat-cepat ditutup pintunya. Kemudian mulai menghitung. “Satu, dua, ti-ga.”

“Abang!” teriak Kirana nyaring sampai terdengar dari luar kamar.

Alvin tertawa cekikikan karena telah berhasil menjahili adiknya.

Arga adalah nama Guru Olahraga Kirana waktu SD dan dengan konyolnya Kirana memintanya untuk menunggu sampai dia lulus kuliah agar bisa menikah dengan Kirana. Padahal Arga sendiri sudah berkeluarga.

Mendengar nama Arga disebut, membuat pipi Kirana merona, dia membenamkan kepalanya ke bantal. Kirana malu kalau mengingat kejadian itu.

Mendadak Kirana memiringkan kepala, tidak ada senyum di bibir apalagi rona merah di pipi. Yang ada adalah wajah datar dan dingin bercampur jadi satu. Ingatannya kembali pada artikel yang dia baca beberapa jam yang lalu.

“Besok saja aku tanya ke Dita sama Mama. Sekarang sudah malam, mereka pasti sudah tidur,” gumamnya.

Dengan malas dia bangun dari posisinya, mengambil laptop kemudian berdiri dan berjalan ke meja belajar untuk di taruh.

Setelah selesai, Kirana berbalik untuk mematikan sakelar dan mengunci pintu. Lalu berjalan menuju ranjangnya, merangkak naik, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya.

“Semoga aku tidak kenapa-kenapa.” Ucapnya lirih. Lalu mulai menutup mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!