Sebuah legenda mengatakan bahwa, setiap 10 tahun saat malam bulan purnama tiba, akan lahir seorang bayi perempuan akan lahir dengan kemampuan melihat benang merah atau garis jodoh, baik itu milik orang lain maupun miliknya sendiri.
Dan entah kenapa meski hanya sebuah legenda, peristiwa itupun terjadi. Bayi perempuanpun lahir tepat saat rembulan dalam keadaan bulat penuh dan di beri nama Mauza.
Tangisan Mauza yang menggema dalam desa memecahkan keheningan malam. Para penduduk mulai merasa perasaannya bercampur antara senang dan takut, takut kalau-kalau jika legenda itu benar, itu artinya beberapa tahun kedepan akan terjadi peristiwa besar yang entah akan berdampak baik atau malah sebaliknya.
Di sisi lain, sebuah kastil yang megah terlihat menyeramkan bagi orang-orang yang melihatnya yang mana selain berada di dalam hutan larangan, kastil itu juga berada jauh di kedalaman hutan, hanya orang-orang yang tersesat saja yang pernah melihat keberadaan kastil itu.
Dan itupun akan berbeda dengan penglihatan orang yang tersesat lainnya. Ada yang mengatakan, kastil itu sangat seram seolah-olah ada sepasang mata merah menyala yang memperhatikan mereka, ada juga yang mengatakan kalau kastil itu terlihat seperti reruntuhan.
Namun ada satu orang yang mengatakan bahwa kastil itu terlihat sangat megah dan indah yang mana di sisi kanan kastil terdapat taman bunga beraneka macam dan warna, di sisi kirinya terdapat danau kecil dengan air yang sangat jernih.
Dan orang itu adalah ayah dari Mauza yang pernah tersesat kedalam hutan larangan karena berusaha menyelamatkan diri dari kejaran binatang buas di hutan larangan saat ia hendak pulang karena mendapat kabar bahwa istrinya akan segera melahirkan.
Karena ingin cepat sampai dirumah untuk menemani sang istri melahirkan, iapun mengambil jalan pintas melalui hutan, namun ayah Mauza salah mengambil jalan yang menyebabkannya tersesat.
Alasan keterangan ayah Mauza dengan yang lainnya tentang kastil itu adalah karena ayah Mauza memiliki hati yang baik, sedangkan yang lainnya hanya karena termakan isu bahwa ada harta karun di dalam hutan, entah siapa yang menyebarkan isu itu, sehingga dengan bodohnya mereka percaya begitu saja, hingga tak jarang mereka dengan sengaja masuk kedalam hutan larangan namun berakhir tersesat dan melihat ilusi yang tercipta dari hati mereka sendiri.
***
Dua tahun berlalu, Mauza yang kini berusia 2tahun mulai melihat benang-benang merah yang saling terhubung saat dia melihat para penduduk yang lewat.
Karena usianya yang masih terlalu kecil, Mauza hanya bisa tersenyum melihat keindahan benang merah yang menari-nari di jari jemari mereka.
Hingga di usianya yang ke-3tahun, Mauza mulai melihat benang merah yang memudar saat melihat benang merah milik kedua orangtuanya.
Dengan sedikit ragu Mauzapun bertanya pada orangtuanya perihal benang merah yang memudar di jari mereka.
Mendengar pertanyaan Mauza, sontak mereka terkejut sekaligus sedih karena mereka tau waktu yang mereka miliki tak banyak lagi.
Merekapun segera mempersiapkan semua yang mereka punya untuk memberikan kehidupan bahagia pada Mauza saat ia dewasa kelak.
Semua harta yang mereka punya mereka titipkan pada kepala desa untuk kelangsungan hidup Mauza nanti.
Mauza yang bingung melihat apa yang di lakukan kedua orangtuanya hanya bisa mendengarkan dengan patuh setiap ucapan dari orangtuanya.
Beberapa hari kemudian, seiring dengan benang merah milik kedua orangtua Mauza menghilang, kesedihanpun memenuhi desa.
Benar, saat benang merah mulai pudar maka kematianpun akan segera menghampiri si pemilik benang merah, itulah yang terjadi pada kedua orangtua Mauza.
Setelah kematian orangtuanya, Mauza pun tinggal bersama kepala desa sesuai dengan permintaan kedua orangtua Mauza sebelumnya, karena Mauza masih terlalu kecil untuk hidup sendiri.
Hari demi hari berlalu, Mauza yang masih merasa sedih atas kematian orangtuanya tengah duduk di bawah pohon besar yang tak jauh dari rumah kepala desa.
Mauza melihat tajam benang merah di jarinya yang hanya separuh dan bergumam.
"Sebenarnya benang merah apa ini, kenapa tidak bisa terlepas?" gumam Mauza sembari mencoba melepaskan simpul benang merah itu dari jarinya.
Melihat usahanya sia-sia, Mauzapun kembali termenung di bawah pohon yang rindang itu sambil menangkupkan wajahnya diantara lutut dan sesekali menyeka airmata yang menetes di pipinya.
Melihat hal itu, kepala desa dan warga yang lain hanya bisa menghela nafas. Di usianya yang masih kecil Mauza sudah harus kehilangan orangtuanya, itulah yang terucap dalam hati para warga saat melihat Mauza.
...~to be continued~...
Empat belas tahun berlalu, terlihat seorang gadis mengenakan gaun putih yang berenda dengan rambut hitam panjang yang tergerai tengah duduk di bawah pohon yang masih rindang seperti dulu, dia adalah Mauza.
Sesekali ia tersenyum saat melihat ke arah remaja-remaja seusianya yang berada di sebuah sungai kecil tak jauh dari bukit tempat pohon rindang itu tumbuh.
Bukit itu adalah tempat favorite Mauza sejak kecil karena selain sejuk, dari atas bukit itu juga Mauza bisa melihat rumah-rumah penduduk yang tersusun beraturan dan sungai jernih yang saat ini banyak remaja yang bersuka cita disana.
Alasan Mauza tersenyum adalah karena di antara remaja-remaja yang tengah berkumpul ada benang merah yang terhubung satu dengan yang lainnya, mereka adalah Anya dan Enzi.
Untuk sejenak Mauza merasa senang karena kemampuan yang di milikinya, namun di sisi lain dia juga merasa benci dengan kemampuannya, karena dia akan melihat sesuatu yang tak menyenangkan seperti benang merah yang memudar karena kematian akan segera menghampiri.
Bukan hanya itu, bahkan saat Mauza masih berusia 15tahun, dan tiba-tiba berita tentang kecantikannya terekspos keluar desa, sejak saat itu banyak para orangtua baik dari kalangan biasa maupun kalangan bangsawan yang mengirimkan surat lamaran untuknya.
Pada awalnya Mauza ingin menerima lamaran itu, namun setelah bertemu dengan para putra mereka, benang merah mereka tidak ada yang terhubung dengannya, maka dengan terpaksa Mauzapun menolak lamaran-lamaran itu.
Menghadapi itu semua terkadang membuat Mauza membenci bukan hanya kemampuannya, tapi juga membenci dirinya sendiri yang merasa itu bukanlah kemampuan melainkan kutukan baginya.
Saat ia merasa seperti itu, Mauzapun hanya bisa pergi ke bukit dan menangis sembunyi-sembunyi untuk menenangkan hatinya dan melupakan kesedihannya.
Di tengah-tengah lamunannya, Mauza di kagetkan oleh suara kepala desa yang terus memanggilnya untuk cepat kembali, karena upacara kedewasaan akan segera di mulai, dengan segera Mauzapun menyambut panggilan kepala desa dan mengikuti langkahnya menuju aula.
Meski hanya desa kecil, namun desa itu memiliki tempat yang cukup luas untuk di jadikan aula, di aula itulah upacara kedewasaan akan di adakan.
"Kakek!" seru Mauza pada kepala desa membuka suara.
"Ada apa?" balas sang kepala desa yang sudah agak bungkuk itu.
"Upacara kedewasaan itu seperti apa?" ucap Mauza ingin tau.
Dengan perlahan, kepala desapun menjelaskannya sembari melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah selama di perjalanannya menuju aula yang cukup jauh dari kediamannya agar tidak bosan. Muzapun mendengarkan semua penjelasan kepala desa dengan seksama.
"Jadi begitu, lalu kenapa kakek mengatakan kalau berjalan lancar? Apa maksudnya?" ucap Mauza menelisik.
"Jika kau hanya gadis biasa tanpa kemampuan melihat benang merah, itu akan berjalan lancar-lancar saja, namun kau bukan gadis biasa."
"STOP! Aku mengerti kakek, jangan bahas itu lagi."
"Bagus kalau kau mengerti."
"Mmm, kakek apa aku bisa menolak arwah itu jika dia tiba-tiba datang untuk menjemputku?"
Perkataan Mauza sontak membuat kepala desa itu terkejut, karena sekali saja penolakan itu terucap, maka entah malapetaka apa yang akan menimpa desa Shinpi, namun tak bisa di pungkiri sang kepala desapun tak rela sebenarnya jika harus menyerahkan Mauza begitu saja pada arwah yang entah jahat atau baik itu.
"Kek! Kakek! Seru Mauza sambil menggoyang-goyangkan lengan baju kepala desa yang terlihat melamun.
"Ah, maaf, tadi kakek sedikit melamun." ucapnya yang tersadar dari lamunan.
"Jadi bagaimana, bisa atau tidak aku menolaknya?" ucap Mauza kembali bertanya.
Beruntung mereka sudah sampai di aula, sehingga sang kepala desa tak perlu menjawab pertanyaan Mauza tadi.
Meski takut dengan malapetaka yang akan terjadi saat penolakan itu terucapkan, tapi sang kepala desa tak bisa mengatakan sebenarnya pada Mauza.
Begitu juga dengan para warga yang tak ingin menyerahkan Mauza pada arwah itu, dan mereka sudah siap dengan resikonya.
Malam harinya upacarapun di gelar, disisi lain, sesosok makhluk misterius tengah menatap tajam ke arah bulan dengan bola matanya yang berubah menjadi hitam.
"Sepertinya, sudah waktunya aku menjemput pengantinku!"
Dengan segera sosok itu memanggil kedua pengawalnya si hitam dan si putih. Tak butuh waktu lama untuk mereka datang.
"Apa titah anda yang mulia?" ucap keduanya bersamaan.
"Cain, Rain, lakukan tugas kalian, bawa pengantinku kemari!"
Dalam sekejap keduanyapun menghilang dari hadapan sosok itu yang tak lain adalah Kenzi sang arwah penghuni kastil, atau yang lebih dikenal dengan "YUREI NO O".
Meskipun Kenzi seorang arwah, namun dia memiliki paras tampan yang bisa membuat para gadis bertekuk lutut di hadapannya hanya dengan senyumannya saja.
......~to be continued~......
Kembali ke desa Shinpi, pesta semakin meriah seiring malam yang semakin larut.
Namun, di tengah-tengah pesta, angin mulai bertiup semakin kencang, para pendudukpun mulai di liputi ketegangan.
Dalam sekejap mata dua sosok hitam dan putih sudah berada di hadapan para penduduk dan mengamati setiap gadis remaja yang tengah berkumpul, pandangan kedua sosok itupun terhenti pada Mauza.
"Ketemu!" ucap Rain yang menatap tajam kearah Mauza.
Mauza yang merasa tatapan Rain mengandung bahaya, Mauzapun mundur beberapa langkah dan bersembunyi di belakang kepala desa.
"Rain hentikan itu!" seru Cain.
"Baiklah, baiklah." ucap Rain patuh.
Setelah di rasa cukup tenang, Cainpun mengatakan tujuan kedatangannya yang tak lain untuk menjemput Mauza.
Mauza yang merasa kehidupannya akan berakhir jika menuruti mereka, berusaha keras mencari alasan untuk menolaknya.
Setelah berbagai alasan yang Mauza rasa cukup masuk akal namun di tolak oleh Rain dan Cain, akhirnya Mauzapun meminta pada mereka untuk memberikannya waktu agar Mauza bisa memikirkanya dengan baik.
Mendengar permintaan Mauza yang tak terduga membuat Rain dan Cain berada dalam dilema, disisi lain mereka tidak bisa menolak perintah Kenzi namun mereka juga tak mau menggunakan kekerasan untuk memaksa Mauza.
Di tengah-tengah kebimbangan Rain dan Cain, sebuah suara yang tak lain adalah suara Kenzipun bergema hingga terdengar ke seluruh desa, sebuah suara yang begitu tegas namun terdapat penekanan di dalamnya, membuat seluruh desa bergidik ngeri.
"Satu minggu! Kuberi kau waktu satu minggu untuk memikirkannya." seru Kenzi tanpa wujud.
"I-itu terlalu cepat." ucap Mauza keberatan.
"Tiga hari! Rain, Cain kembali." perintah Kenzi.
Mendengar hal itu membuat Mauza kesal dan berfikir untuk tidak menggubrisnya, hingga Cain angkat bicara karena mengetahui pikirannya.
"Hei nona, lebih baik kau menghentikan rencanamu itu jika tidak ingin para penduduk desamu mengalami hal buruk yang bahkan para iblis takut untuk membayangkannya." ucap Cain memperingatkan.
Setelah mengucapkan hal itu, sosok Rain dan Cainpun menghilang dari hadapan mereka dan menjadi udara.
Mauza yang tak pedulipun hanya mendecakkan lidah dan menganggap itu hanya omong kosong yang di buat untuk menakut-nakutinya.
Tiga haripun berlalu, Mauza yang tak mengindahkan peringatan dari Rainpun tetap tinggal di desa, hingga tepat dihari ketujuh hal buruk yang di katakan Cainpun terjadi.
Mulai dari orang-orang terdekatnya yang terkena penyakit menular dan menyebabkan kematian mereka, para binatang buas yang tiba-tiba menyerang desa dan para penduduknya hingga badai besar yang meratakan seluruh desa yang hanya menyisakan Mauza sendiri yang selamat.
Mauza yang melihat itu semuapun menyadari kesalahannya yang menyebabkan para penduduk menjadi korban atas keegoisannya sendiri dan membuat mereka tewas tepat dihadapannya.
Desa yang dulu sangat indah dan hijau kini berubah menjadi puing-puing.
Di tengah-tengah kesedihannya, sebuah suara terdengar di telinganya yang mengatakan "bukankah sudah kuperingatkan sebelumnya" sebuah suara yang tak asing bagi Mauza, membuat ia semakin merasa bersalah.
***
Dua tahun berlalu setelah malapetaka yang menimpa desa Shinpi, selama dua tahun pula Mauza harus menjalani hidup dalam rasa bersalah yang semakin bertambah karena setiap desa yang dia tinggali akan mengalami hal yang sama seperti sebelumnya.
Disisi lain di kediaman Kenzi, Cain berusaha membujuk Kenzi untuk menyudahi hukumannya pada Mauza dengan alasan agar Mauza mau menjadi istrinya.
Setelah cukup lama, akhirnya Kenzipun luluh dan meminta Rain menjemput Mauza, sedangkan Cain di minta untuk menyiapkan segala sesuatu yang di butuhkan Mauza.
Disisi Mauza, Rainpun datang dan segera membawa Mauza ketempat Kenzi tanpa berbasa basi agar Mauza tidak lagi memberi penolakan yang akan membuatnya semakin merasa bersalah.
Mauza yang menyadari semua itupun tak lagi bersikap keras kepala dan mengikuti Rain menuju sebuah tempat yang tak lain adalah sebuah danau yang berada di kedalaman hutan larangan yang sudah berubah menjadi sebuah kastil megah.
Sesampainya disana, Mauzapun terkejut dengan apa yang di lihatnya.
"I-ini,,, ano, a-apa kita salah tempat? Bukankah seharusnya kita ke danau?" ucap Mauza segan.
"Ah, benar juga, aku lupa menjelaskannya padamu nyonya muda." ucap Rain sopan.
Rainpun menjelaskan semuanya pada Mauza. Setelah mendengar penjelasan yang cukup panjang dari Rain, ada perasaan yang tak bisa di jelaskan dengan kata-kata di hati Mauza, karena selama ini, yang dia tau Kenzi adalah arwah penghuni danau.
Namun setelah mendengar penjelasan Rain tentang Kenzi membuat Mauza marah dan menyesal ikut dengan Rain, karena ternyata Kenzi adalah seorang pria yang kejam, yang rela melakukan apapun bahkan menggunakan taktik licik hanya demi ambisinya, namun disisi lain Mauzapun merasa kasihan pada Kenzi.
...~to be continued~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!