NovelToon NovelToon

Aku Dambakan Cinta Suami Ku

Meninggal Dunia

Ayrazahra, wanita berumur 19 tahun yang sedang liburan di luar kota, hari ini harus kembali ke kota asalnya.

Ayrazahra yang kerap disapa Zahra itu mendapat kabar jika orang tuanya mengalami kecelakaan, mereka dinyatakan meninggal di tempat saat kecelakaan itu terjadi.

Zahra melewati perjalanan panjang untuk bisa sampai ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya, kegelisahan tak mampu ditutupinya meski Zahra masih bisa menahan air matanya saat ini.

Apa yang akan dirasakan seorang anak saat tahu orang tuanya telah meninggal dunia, yang ada pasti hanya kehancuran saja, tidak bisa percaya apa lagi menerima.

Zahra sudah berulang kali menolak kenyataan itu, tapi apa mau dikata jika Zahra telah melihat foto kedua orang tuanya yang telah terbalut kain kafan, dan tinggal menutup kepalanya saja.

Zahra tak bisa berfikir selain dari pada ingin pulang saja, tidak ada apa pun yang dibawanya selain dari pada tas kecil yang berisi dompet dan ponsel.

Zahra tidak bisa tenang untuk mengontrol apa saja yang akan dibawanya, saat mendengar kabar itu Zahra sedang makan siang, dan langsung berangkat untuk pulang saja.

Zahra mengendarai mobil dengan segenap kegelisahannya, ingin sekali Zahra sampai hanya dalam satu kedipan mata saja.

Zahra menghentikan laju mobilnya saat telah sampai di halaman rumahnya, di sana telah ramai orang yang pasti mengurus kedua orang tuanya.

Zahra lantas keluar dan berlari memasuki rumah, benar saja dua jasad itu telah terbaring di tengah orang yang sedang mendoakannya.

Zahra menggeleng, kini air matanya tak mampu lagi ditahan, cairan bening itu mengalir deras seketika saat melihat dua jasad itu.

Zahra berteriak dan memeluk dua jasad itu bergantian, salah apa Zahra sampai harus kehilangan kedua orang tuanya bersamaan seperti itu.

"Bangun, kalian jangan pergi seperti ini, ayo bangun jangan tinggalkan, Zahra, sendirian."

Zahra mengoyak tubuh tak berdaya itu bergantian, apa yang bisa didapatkan Zahra dari semua yang dilakukannya, karena tidak ada respon apa pun dari orang tuanya.

"Bangun, Mah, Pah, bangun, Zahra, tidak mau seperti ini, Zahra, masih butuh kalian berdua."

Zahra menunduk pada jasad papahnya, betapa hancurnya perasaan Zahra karena harus kehilangan cinta pertamanya.

Lelaki yang paling menyayangi dan mengerti Zahra lebih dari apa pun juga, lelaki yang selalu memanjakan Zahra dalam setiap hal yang dilakukannya.

Zahra tidak bisa kehilanga sosok lelaki sempurna seperti papahnya itu, Zahra berharap semua hanya mimpi dan mereka akan kembali bersama saat nanti Zahra tersadar dari mimpi itu.

Zahra berpindah pada jasad ibunya, tangannya terangkat mengusap lembut pipi wanita yang begitu dicintainya.

Wanita yang telah bertaruh nyawa melahirkan Zahra, wanita yang telah mengabaikan waktu istirahatnya demi mengurus Zahra.

Wanita yang selalu memasak dan menemani Zahra setiap saatnya, bagaimana bisa Zahra kehilangan dua orang yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Bangun, Mah, Mamah, sayang kan sama, Zahra, ayo bangun jangan seperti ini, Zahra, tidak mau hidup sendiri saja disini," ucap Zahra yang masih saja mengusap pipi itu.

Air matanya pun tak kunjung berhenti.

Mungkin sekarang mata Zahra sudah berubah sembab, tapi Zahra tak peduli, Zahra ingin mereka kembali dan melihat Zahra sekarang.

"Ayo bangun," jerit Zahra dengan sekeras suaranya.

Zahra kembali mengoyak dua tubuh itu bergantian, kenapa mereka tidak mau mendengar Zahra dan tidak mau menuruti keinginannya.

Ini kali pertama mereka mengabaikan Zahra, kenapa jahat sekali mereka, kemana kasih sayang dan perhatian yang kerap diberikan pada Zahra selama ini.

"Neng, sabar ya kasihan jangan seperti itu."

Zahra menolak tangan yang meraih kedua pundaknya, Zahra hanya ingin disentuh kedua orang tuanya, bukan oleh orang lain.

"Neng, harus kuat jangan seperti ini, biarkan mereka pergi dengan tenang," ucapnya mengusap pundak Zahra.

Zahra tak menggubrisnya, terserah saja karena mereka tidak akan bisa mengerti perasaan Zahra saat ini.

Mereka hanya bisa berbicara saja tanpa tahu maknanya, Zahra memeluk jasad mamahnya, ingin sekali Zahra merasakan belaian tangan ibunya di kepalanya saat ini.

Zahra masih berusaha membangunkan wanita itu meski dengan suara pelan, berbisik di telinganya memohon agar wanita itu mau membuka matanya.

"Neng, sudah Neng, sekarang lebih baik kita segera makamkan mereka saja, kasihan sudah dari tadi juga."

"Enggak, gak ada yang boleh bawa pergi mereka berdua, mereka akan bangun tunggu saja sebentar lagi."

"Jangan seperti ini, Neng, kehendak Tuhan tidak akan ada yang bisa merubahnya selain dari pada Tuhan sendiri."

Zahra menggeleng, dan tak lagi menolak saat orang itu menariknya mundur, Zahra menatap dua wajah itu dengan penuh luka di hatinya.

Zahra tidak bisa terima keadaan dan kenyataan saat ini, Zahra tidak akan pernah siap untuk kehilangan mereka, bagaimana cara Zahra melanjutkan hidup tanpa ada mereka berdua lagi.

"Ayo, Neng, mundur ya, biar mereka bisa urus jasad orang tua kamu."

Zahra ikut saja saat dibawa menjauh dari kedua jasad itu, Zahra tak bertenaga lagi bahkan meski untuk menopang tubuhnya sendiri.

Zahra benar-benar tak pernah berfikir jika mereka akan pergi begitu cepat, kenapa Tuhan begitu tega padanya karena telah mengambil harta berharga itu bersamaan.

Zahra tidak pernah meminta apa pun pada Tuhan, selain dari tetap membuat mereka bersama selama Zahra hidup.

Zahra melihat beberapa orang yang memang mengurus jasad orang tuanya, mengikat kafannya dengan sempurna, membawanya keluar dari rumah.

Apa yang harus difikirkan Zahra sekarang, semua terasa sangat gelap dan tanpa arah, Zahra tidak pernah siap untuk menjalani hidup sendiri.

Selang beberapa saat, mereka semua keluar dan terdengar suara ambulance di luar sana, Zahra diajak untuk keluar dan ikut ke pemakaman orang tuanya.

Tidak ada apa pun yang dilakukan Zahra, Zahra hanya mengikuti setiap kegiatan di hari itu, dan saat pemakaman selesai pun Zahra masih bertahan di pemakaman itu.

Zahra tak peduli dengan ajakan mereka untuk pulang, Zahra ingin di sana sampai ada keajaiban jika kedua orang tuanya akan kembali.

"Kenapa kalian seperti ini, kenapa tega sekali meninggalkan Zahra sendiri disini, lalu harus seperti apa Zahra sekarang setelah kalian tidak ada, tidak ada juga yang bisa Zahra jadikan petunjuk."

Zahra memeluk nisan mamahnya, dan satu tangannya yang lain mengusap nisan papahnya, inilah satu-satunya ujian yang akan Zahra akui selama hidupnya.

Ujian yang bahkan tidak akan ada akhirnya, tidak akan ada obat untuk lukanya, ujian yang hanya akan menghancurkan semuanya dalam hidup Zahra.

Tidak akan ada lagi warna dan kehangatan setelah mereka pergi untuk selamanya, Zahra akan sepi dan tanpa arah setelah ini

Tidak Terima

Keesokan hari, Zahra terbangun dari tidurnya, di rumah sebesar itu Zahra hanya hidup sendirian saja, tidak ada lagi suara kedua orang tuanya.

Mereka yang selalu berisik ketika Zahra telah bangun, mereka yang selalu berebut mengisi piring makan Zahra, mereka yang selalu berisik mengingatkan Zahra agar tetap berhati-hati dalam setiap keadaan.

Mereka telah tiada sekarang, yang tersisa untuk Zahra hanyalah kenangan manis bersama mereka, yang ada sekarang hanyalah sepi dan luka yang entah kapan akan pulih.

Zahra berjalan menuruni tangga rumahnya, tidak ada lagi aroma masakan yang menyenggol hidung Zahra, tidak ada lagi sapaan hangat papahnya saat Zahra pertama turun tangga.

Semua kosong, hanya keheningan yang ada di sana, di rumah itu dan hati Zahra semua hanya kegelapan.

Kring .... Zahra menoleh saat mendengar bunyi bel rumahnya, Zahra memejamkan matanya sesaat, semoga saja keajaiban Tuhan akan datan sekarang.

Orang tuanya akan kembali lagi sesuai dengan keinginannya, Zahra berjalan dan membuka pintunya dan terlihat tiga orang disana.

Zahra diam memperhatikan mereka, siapa dan ada apa, Zahra tidak mengenal mereka tapi kenapa mereka datang sekarang.

"Permisi," ucap salah satu dari mereka.

Zahra mengangguk tanpa mengatakan apa pun juga, biarkan saja mereka mengatakan apa yang menjadi tujuan kedatangannya.

"Saya Kemal, ini istri saja Kania, dan ini anak saya Bian anak saya."

Zahra kembali mengangguk setelah melirik mereka bergantian, bukan kedatangan mereka yang Zahra inginkan sekarang.

"Kamu anak dari Pak Bima?"

"Iya."

"Mungkin saja orang tua kamu sudah memberi tahu kamu tentang rumah ini?"

Zahra mengernyit, memberi tahu apa, Zahra tidak bertemu mereka selama satu minggu dan saat bertemu pun mereka telah meninggal dunia.

"Pak Bima menjaminkan rumah ini pada saya, dia memiliki banyak hutang pada perusahaan saya, dan dia mengatakan jika tidak mampu membayarnya maka rumah ini akan diserahkan pada saya."

Zahra mengangkat kedua alisnya, kalimat macan apa itu, sejak kapan orang tuanya memiliki hutang dan sampai harus menjaminkan rumah seperti itu.

"Semua telah hilang sekarang, termasuk juga rumah ini, jadi sekarang silahkan kamu pergi dari rumah ini karena anak saya akan menempatinya."

Zahra seketika melirik anak yang dimaksud lelaki itu, Zahra menatapnya, benarkah seperti itu, lalu harus kemana Zahra pergi sekarang.

Tidak ada yang bisa jadi tujuannya saat ini, luka itu masih sangat kuat, dan bagaimana bisa Zahra berfikir.

"Silahkan kemasi barang kamu dan segera pergi."

Zahra menggeleng, tidak bisa seperti itu, Zahra tidak pernah tahu tentang hutang orang tuanya, jadi kenapa Zahra yang harus menanggung semuanya.

"Surat rumah ini sudah atas nama saya, jadi saya berhak mengusi kamu dari sini, dan mumpung saya masih baik jadi silahkan kamu pergi tanpa harus saya usir dengan tidak hormat."

"Jangan Pak, saya mohon, saya tidak punya siapa-siapa lagi dan saya tidak punya apa-apa lagi selain dari pada rumah ini."

"Saya tidak peduli, saya yang berhak atas rumah ini, jadi saya bisa mengusir siapa pun yang tidak saya kehendaki untuk tinggal di rumah ini."

Zahra menunduk, saat duka kehilangannya belum usai, sekarang sudah harus ada permasalahan ini.

"Silahkan pergi."

Zahra kembali menoleh, dan berlutut dengan menyentuh ujung sepatu Kemal.

"Jangan usir saya dari sini, saya tidak punya tujuan lain, saya tidak ingin kehilangan rumah ini tolong mengerti, saya sudah kehilangan orang tua saya."

Mereka bertiga saling lirik, apa mereka harus kasihan pada wanita itu, semua adalah kesalahan orang tuanya sendiri.

Wanita itu bukan urusan mereka sekarang, karena yang jelas mereka ingin agar rumah itu kosong dan bisa ditinggali oleh mereka.

"Sudahlah jangan seperti ini," ucap Kania membangunkan Zahra.

"Kami masih baik-baik meminta kamu pergi, kami bukan tidak mengerti dengan keadaan kamu saat ini, tapi kami juga akan menggunakan rumah ini, jadi tolong silahkan kamu pergi."

Zahra menggeleng, sejahat itukah mereka mengusir orang yang jelas sedang berduka, dimana hati nuraninya itu.

"Silahkan, jangan buat suami saya marah."

"Aku tidak mau, aku tidak akan pergi dari rumah ini, aku tidak sangkut pautnya dengan hutang orang tua ku, jadi kalian tidak bisa mengorbankan aku dalam urusan itu."

Zahra menatap ketiganya bergantian dan kembali masuk dengan mengunci pintunya, Zahra kembali menangis dalam di sana.

Tuhan benar-benar merenggut semuanya, bahkan rumah pun dirampasnya, Zahra tak bisa lagi berfikir baik tentang Tuhan.

"Saya beri kamu waktu sampai besok malam, kalau kamu masih ada di rumah ini besok malam, jangan salahkan saya jika saya akan mengusir mu dengan kasar."

Zahra diam mendengar kalimat itu, mungkin tidak akan ada lagi orang baik dalam hidupnya, karana memang hanya orang tuanya yang baik pada Zahra.

Zahra mendengar deru mobil di luar sana, mereka pasti sudah pergi sekarang, lalu harus bagaimana Zahra sekarang.

Apa Zahra bisa mempertahankan rumah itu untuk tetap jadi satu-satunya yang dimiliki, tapi apa bisa Zahra melawan mereka besok malam, entah apa yang akan dilakukan mereka untuk menyingkirkan Zahra dari rumah itu.

"Zahra harus gimana Mah, Pah?"

Zahra duduk bersandar pada pintu, dengan kedua kali yang dipeluknya, Zahra menunduk pada lututnya dan menangis sejadi-jadinya di sana.

"Tidak perlulah melakukan itu, kita masih ada rumah yang lain kan," ucap Bian.

"Diam saja kamu, lagi pula rumah mana yang cocok buat kamu?" tanya Kemal.

"Aku tinggal dimana pun tidak masalah, selagi itu nyaman."

"Lalu bagaimana dengan istri mu nanti?"

Bian memejamkan matanya seraya berpaling, istri mana, Bian tidak berniat untuk menikah sekarang.

"Sudahlah Bian, kamu tidak perlu menghindar lagi, terima saja perjodohan kamu dengan Sintia,"ucap Kania.

"Gak, aku gak mau terima sampai kapan pun juga."

"Kenapa sih, apa kurangnya Sintia, dia cantik, baik, pintar juga."

"Tapi aku gak cinta sama dia."

"Cinta itu belakangan Bian, kamu akan mencintai Sintia saat kalian telah tinggal satu rumah dan terbiasa bersama."

"Mamah kenapa sih maksa banget, Bian sudah bilang kalau sampai kapan pun, Bian tidak akan terima perjodohan ini."

"Tapi itu tidak akan merubah apa pun, kamu akan tetap menikah dengan Sintia dua bulan lagi," ucap Kemal.

"Terima saja Bian, lagi pula kan hanya untuk 1 tahun saja, hanya sampai perusahaan itu kembali ke tangan papah kamu."

"Ya kenapa harus Sintia, masih banyak wanita lain."

"Siapa, siapa wanita lain itu, kamu saja tidak punya pacar sampai sekarang, cuma Sintia yang mau sama lelaki dingin seperti kamu."

Bian tak menjawab, Bian memilih memperhatikan jalanan saja, masa bodoh dengan semuanya.

Mungkin Lebih Baik

Mereka keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke rumah, Bian memilih lebih dulu masuk dan meninggalkan mereka berdua.

"Anak itu susah sekali di kasih tahu, padahal semua juga akan kembali pada dirinya."

"Ya sudahlah, Pah, biarkan saja namanya juga anak muda pasti memiliki pemikiran yang berbeda dengan kita."

"Ya tapi tetap saja, Bian harus mau menikah dengan Sintia karena kalau tidak, semua akan menghilang untuk selamanya."

Kania hanya mengangguk saja menjawab ucapan Kemal, tidak ada gunanya untuk berdebat dengan suaminya itu, bukankah meski Bian menolak pun pernikahan itu akan tetap terjadi.

Jadi biarkan saja Bian dengan keinginannya saat ini, karena pada akhirnya Bian akan menuruti mereka juga, menikah dengan Sintia dan akan membantu mengembalikan perusahaan itu lagi.

Keduanya duduk di ruang tengah, tak terlihat lagi Bian di sana, lelaki itu pasti sudah sampai di kamarnya dan memilih diam di sana.

"Bi, bawakan minum," teriak Kania.

"Sekarang mana anak itu?"

"Paling juga di kamar, mau dimana lagi kalau tadi Bian masuk lebih dulu."

Kemal menggeleng dan memijat pelipisnya, pusing sekali Kemal jika saat seperti itu, Bian selalu saja membantah perjodohan itu.

"Lusa, orang tuanya Sintia akan datang kesini, mereka akan membahas tentang pernikahan itu."

"Ya sudah, kamu harus pastikan kalau Bian akan ada di rumah."

Kania mengangguk, tentu saja Kania akan pastikan Bian ada di rumah, dan akan menemui tamu kehormatan itu.

Bian harus mau menikahi Sintia, karena mereka juga menyukai Sintia, dan setuju sekali jika mereka berdua menikah.

"Silahkan minumnya," ucap mbak rumah.

"Terimakasih ya, Bi," ucap Kania.

ART itu lantas pergi meninggalkan keduanya, karena minumnya pun telah diantarkan jadi urusannya telah selesai.

"Diminum dulu, Pah."

Kemal menoleh dan mengangguk, ia lantas meraih gelasnya dan meneguk airnya, sedikit memberikan ketenangan.

"Papah, besok ke Kantor kan?"

"Ya iyalah, kalau gak ke Kantor siapa yang akan mengerjakan semuanya, Bian kan masih saja tidak peduli dengan semua itu."

Kania mengangguk, itu memang benar, sejak perusahaan yang diurus Bian itu direbut oleh kakeknya, Bian jadi enggan bekerja bahkan untuk membantu Kemal sekali pun.

"Ya sudah, Papah, jangan terlalu memikirkan tentang itu, mungkin besok lusa Bian bisa berubah dan mau bantu, Papah."

Kemal mengangguk, tentu saja harapan itu akan tetap ada sampai kapan pun, Kemal

menyimpan gelas itu kembali ke meja.

"Pah, soal wanita tadi, apa kita tidak jahat padanya, dia sedang berduka."

"Apanya yang jahat, rumah itu sudah atas nama Papah dan itu sudah sejak lama, Papah diam karena memang kemarin Bima masih ada, Papah menghargai dia saja meski pun Bima tak lagi mampu membayar hutangnya."

"Iya, tapi kan benar apa kata wanita itu, jika dia memang tidak ada hubungannya dengan hutang orang tuanya."

"Bagaimana tidak ada hubungannya, jelas saja ada hubungannya, orang tua dia yang berhutang dan sekarang tinggal dia yang ada, memangnya dia bisa bayar hutang orang tuanya."

Kania terdiam, itu memang benar adanya, wanita itu pasti tidak akan mampu membayarnya, lagi pula Kania lihat dia masih sangat muda.

"Sudahlah tidak perlu memikirkan itu, biarkan saja lagi pula itu rumah kita dan kita berhak menentukan siapa yang boleh tinggal dan tidak."

Kania tersenyum dan mengangguk, baiklah memang tidak ada gunanya juga mendebat Kemal, karena semua yang diinginkannya memang harus selalu di dapatkannya.

"Mamah, keberatan?"

"Enggak, terserah saja, Mamah ikut gimana Papah saja."

Kemal mengangguk, baguslah kalau seperti itu, karena memang sudah seharusnya Kania mendukung saja suaminya.

Kania meraih gelasnya dan meminum airnya perlahan, sekarang lebih baik Kania fokus saja memikirkan bagaimana caranya agar Bian mau menemui Sintia dan orang tuanya.

"Terserah saja, aku tidak peduli, itu bukan urusan ku, itu urusan kamu dan orang tua aku saja."

Bian menutup sambungannya dan menyimpan ponselnya, kenapa keadaan terus saja menekannya, Bian tidak ingin menikah dalam waktu dekat.

Tapi kenapa keadaan justru memaksanya untuk menikah, Bian memang tidak punya kekasih dan itu memang pilihannya.

Bian masih ingin dengan kebebasannya, lagi pula Bian baru 24 tahun dan menurut Bian usia itu masih sangat muda untuk menikah.

Kenapa orang tuanya itu tidak mengerti, kalau Bian menikah pasti kebebasannya akan terenggut, dan Bian harus disibukan dengan urusan rumah tangganya itu.

"Menyebalkan sekali," ucap Bian kesal.

Sudah banyak cara Bian lakukan untuk menghindari pernikahan itu, bahkan sudah terang-terangan juga Bian menolak perjodohan itu di depan mereka semua.

Tapi kenapa justru pernikahan itu semakin di depan mata, dua bulan lagi Bian akan menikah dengan wanita yang tidak pernah diinginkannya.

Bian merebahkan tubuhnya di kasur, pusing sekali Bian jika sedang mengingat perjodohan itu, semua sangat memuakan baginya.

Bian teringat dengan wanita itu, wanita yang berlutut pada papahnya saat diminta pergi dari tempat tinggalnya.

***

"Surat rumah ini sudah atas nama saya, jadi saya berhak mengusir kamu dari sini, dan mumpung saya masih baik jadi silahkan kamu pergi tanpa harus saya usir dengan tidak hormat."

"Jangan Pak, saya mohon, saya tidak punya siapa-siapa lagi dan saya tidak punya apa-apa lagi selain dari pada rumah ini."

"Saya tidak peduli, saya yang berhak atas rumah ini, jadi saya bisa mengusir siapa pun yang tidak saya kehendaki untuk tinggal di rumah ini."

Zahra menunduk, saat duka kehilangannya belum usai, sekarang sudah harus ada permasalahan ini.

"Silahkan pergi."

Zahra kembali menoleh, dan berlutut dengan menyentuh ujung sepatu Kemal.

"Jangan usir saya dari sini, saya tidak punya tujuan lain, saya tidak ingin kehilangan rumah ini tolong mengerti, saya sudah kehilangan orang tua saya."

***

"Wanita itu sangat mempertahankan rumahnya, padahal sudah jelas jika rumah itu sudah berganti pemilik."

Bian kembali duduk dan mengusap wajahnya, apa Bian memanfaatkan keadaan wanita itu saja untuk membantunya terbebas dari perjodohan.

"Dia tidak akan mau menikah, dan aku juga tidak mau menikah, tidak akan terjadi apa-apa dalam pernikahan itu dan tidak akan ada kekangan apa pun juga."

Bian tersenyum dan mengangguk, benar juga pemikirannya itu, Bian bisa manfaatkan wanita itu untuk membantunya.

"Dia terlihat masih muda, paling umurnya 19 dan gak mungkin umur segitu mau nikah, tapi dia tidak mau meninggalkan rumah itu meski telah diusir."

Bian menepuk tangannya seraya bangkit, tepat sekali pemikirannya, jika Bian menikah dengan Sintia maka kebebasannya akan terenggut karena Sintia memang menginginkan pernikahan itu, tapi dengan wanita itu .....

"Ya .... hu hu hu, pintar sekali, yes aman Bian."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!