Seorang pria tua berumur 55 tahun menghancurkan setiap benda yang ada di dalam rumah yang sudah lama menjadi targetnya. Broto adalah seorang Rentenir kejam yang sudah memiliki dua orang istri.
Dengan membawa dua orang algojonya Broto menagih janji kepada pemilik rumah. Janji ini bukanlah perihal uang, tapi janji menyangkut seorang gadis yang ingin ia persunting untuk ia jadikan sebagai istri ke tiga.
Broto duduk manis menyaksikan kericuhan itu, kaca mata berwarna hitam bertengger di pangkal hidungnya, sebuah tongkat terbuat dari kayu juga tidak pernah lepas dari genggamannya. Tidak ada seorang pun yang berani menghentikan perbuatannya.
"Sudah jam tiga sore, di mana calon istriku?" tanyanya setelah algojonya berhasil melakukan perintahnya.
Terlihat seorang pria yang masih berumur 48 tahun berdiri menundukan kepala di depan pintu, ia adalah yono paman dari Raisa.
"Sebentar lagi Pak...Sebentar lagi dia pulang Pak." Yono cuma bisa pasrah ketika kakinya dipukul menggunakan tongkat kayu pria tua yang ada di hadapannya.
"Aku tidak pernah menunggu, tapi demi calon istriku itu, aku akan mengulur waktu, kenapa kau masih mengijinkan dia bekerja sebagai pelayan di toko pakaian itu?" tanya Broto dengan wajah angkuhnya itu.
"Raisa sendiri yang masih mau bekerja Pak."
"Jadi, kapan aku bisa menikahi gadis itu?"
"Sebentar lagi Pak Broto. Biar saya bicara lagi dengan Raisa Pak."
Brak...
Tongkat itu ia pukulkan di meja yang terbuat dari kaca. Hingga serpihan kaca berderak di sekitarnya. Broto mendekati lebih dekat dengan Yono.
"Jadi... Gadis itu belum setuju menikah denganku, ya?!" Teriakan pria tua ini sampai terdengar ke luar rumah, sudah banyak para tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan keributan ini.
"Kasih saya waktu Pak, Raisa pasti akan menjadi Istri bapak," jawab Yono.
"Dua minggu, waktumu cuma dua minggu, aku rasa itu sudah sangat cukup, kalau sampai dalam waktu dua minggu ini gadis itu belum jadi istriku, maka kalian semua keluar dari rumah ini, rumah ini akan menjadi jaminannya!"
Pukulan kecil mendarat di pundak Yono, sang lintah darat pergi meninggalkan peringatan yang cukup keras untuk pemilik rumah.
Yono, pria yang suka mabuk mabukan ini merasa malu kepada para tetangga yang menyaksikan keributan di rumahnya.
"Anak itu bikin malu aja. Semua ini gara-gara Raisa! Anak itu harus bertanggung jawab!" kesalnya.
***
Menjelang petang, Jam di dinding menunjukan pukul 17.30 WIB. Raisa baru pulang dari rutinitas biasa. Setiap pagi Raisa pergi kerja jam 08.00 WIB.
Hampir satu harian penuh ia berada di luar rumah, namun gajinya tidak bisa mencukupi hutang orang tuanya kepada lintah darat yang sudah menjerat hidupnya.
"Sini kamu!" Belum sempat Raisa masuk kedalam rumah, Yono langsung menarik Raisa dan membawanya ke dalam kamar.
"Paman lepas ... lepaskan Raisa!" teriak Raisa, ia meringis merasakan sakit di pergelangan tangannya.
"Dasar gak tau malu, gak tau diri dikasih hidup enak gak mau !" bentak Yono.
"Salah Raisa apa paman?" teriak Raisa.
"Salah apa kau bilang? Pak Broto ngamuk karena kau terus menolak lamarannya, jangan buat masalah lagi, dua minggu lagi, kalian akan menikah!"
"Gak, Raisa gak akan pernah mau paman, sampai kapanpun Raisa gak akan pernah mau menikah sama dia!" Raisa menanggis pilu, ia tidak mau dijadikan istri laki-laki tua yang pantas ia panggil kakek.
"Aku gak butuh persetujuanmu, suka atau gak, kau tetap akan menjadi istrinya, kau tau kan? Ibumu yang gak tau malu itu pergi meninggalkan hutang dalam jumlah besar!" Yono semakin mengeraskan suaranya, ia berulang kali membentak Raisa.
"Tapi hutang, tetaplah hutang, biar Raisa yang membayarnya, Raisa gak harus menikah sama dia kan?"
"Mau bayar pakai apa kamu hah...Sudah hampir 5 bulan, tapi kau belum juga bisa membayarnya, bahkan bunganya semakin bertambah, gajimu itu gak akan pernah cukup melunasinya, jangan sampai rumah peninggalan Nenekmu ini menjadi jaminannya!"
"Terserah Paman, yang pasti aku tetap gak akan pernah mau menikah sama rentenir tua itu!"
Plak.....
Tamparan keras mengenai pipi kanan Raisa. Ntah sudah yang berapa kali Raisa mendapatkan kekerasan ini, semakin Raisa menolak, semakin kejam juga perlakuan Yono terhadap gadis itu.
"Jangan pernah berani keluar dari kamar ini sampai hari pernikahanmu tiba!"
Brak!!!!
Yono keluar dan mengunci pintu kamar Raisa. Ia biarkan Raisa menangis di kamarnya. Yono resah memikirkan ancaman Broto.
"Anak itu, harus tetap menikah dengan Pak Broto," katanya kepada sang istri yang baru duduk di sampingnya.
"Apa gak ada cara yang lain, Pak? kasihan si Raisa." Bibi Raisa mencoba membujuk suaminya.
"Apa yang harus dikasihani, Bu? Kalau Raisa menjadi istri pak Broto justru hidupnya akan semakin makmur, Pak Broto orang berpengaruh di kampung ini, kita juga bisa menikmati harta yang diberikan untuk Raisa nanti kan?"
"Tetap aja, Ibu gak setuju, Raisa itu masih muda, sementara Pak Broto itu sudah tua dan sudah punya dua istri, cucunya juga sudah besar besar."
"Ibu mau rumah ini disita Pak Broto? Kita mau tinggal dimana Bu?"
"Cari jalan keluar yang lain, bagaimana pun masa depan Raisa masih panjang."
"Masa depan yang mana? Raisa tetap akan menikah dengan Pak Broto."
"Yasudah Pak, berikan kunci kamar Raisa, Dia pasti capek, ibu mau liat sebentar," pintanya sembari mengulurkan tangan.
"Jangan berani mengeluarkan dia dari kamar itu kalau bukan aku yang menyuruhnya!"
"Raisa keponakanku mendiang Ayahnya abang kandungku, mana mungkin aku biarkan dia kelaparan di dalam!"
Bibi Raisa merampas kunci kamar dari tangan sang suami kemudian membuka pintu kamar Raisa.
Sementara Raisa bersandar di kasur masih dengan pakaian kerja yang menempel di badan, pandangan gadis itu tampak kosong, ia semakin menangis memikirkan Ibu yang telah pergi tanpa meninggalkan jejak untuknya.
"Raisa, kamu mandi dulu ya, setelah itu kita makan malam," bujuk bibi setelah duduk di tepi tempat tidur.
"Untuk apa uang sebanyak itu? kenapa Ibu tega meninggalkan Raisa?" Raisa tidak mengindahkan ucapan Bibi. Ia tanyakan pertanyaan yang sama setiap hari, jawaban sama pula ia dapatkan.
"Bibi kan sudah bilang, Bibi gak tau untuk apa uang itu Nak. Kamu pasti lelah 'kan? Kita makan dulu sayang," bujuknya sembari memegang tangan Raisa.
"Lepas Bi...biarkan Raisa seperti ini, biarkan Raisa menanggung semua beban ini, Bibi tidak perlu mencemaskan aku."
"Bibi tidak akan biarkan kamu sendiri seperti ini.
"Memangnya, apa yang bisa Bibi buat untukku? Apa Bibi bisa menggagalkan pernikahan ini, gak bisakan, Bi? Selama ini juga Bibi gak berani membantah paman kan?" teriak Raisa putus asa.
Bersambung.
"Kamu boleh marah sama Bibik, tapi kamu jangan lupa kalau Bibik sudah anggap kamu seperti anak kandung Bibik. Percaya sama bibik, Raisa. Bibik ngak akan menghancurkan masa depanmu," ucap wanita berhati lembut yang sampai saat ini belum memiliki anak.
"Kenapa takdir mempermainkan aku?" Raisa semakin menangis, sungguh ia lelah menghadapi kenyataan yang melelahkan, namun apalah daya ia tidak bisa melawan keadaan.
Belum hilang gundah gulana Raisa, tiba-tiba Yono meneriaki namanya.
"Raisa!!!" teriak Yono sembari mengetuk pintu kamar. "Raisa ada pengganggu yang mencarimu, sudah berapa kali Paman bilang, akhiri hubunganmu dengan laki-laki yang tidak punya masa depan itu! Temui dia jangan sampai Pak Broto tau ada laki-laki lain menemuimu!"
Setelah mengatakan itu, Yono langsung pergi keluar rumah, tentu saja untuk mencari kesenangan, duduk di warung tetangga yang sudah ramai dipenuhi bapak-bapak lain yang sedang menikmati minuman keras, semua warga tahu kalau hampir setiap malam Yono pulang dalam keadaan mabuk, pengangguran abadi ini hidup semaunya sendiri.
Tenang ... masih ada istrinya yang sibuk mengetuk pintu ke pintu untuk mencari cucian. Tenang ... sebentar lagi Raisa, keponakan yang cantik itu akan menjadi Nyonya Broto. Tenang ... hidup Yono akan senang dan tenang tenang saja. Itu lah yang ada di kepalanya.
"Itu pasti Yudha Bi...." Raisa mengusap air matanya, semangatnya kembali muncul.
"Pergi mandi, setelah itu temui Yuda. Biar Bibik buatkan teh hangat untuk calon menantu Bibik." Ia belai rambut Raisa dengan sayang.
***
Beberapa saat kemudian, Bibi datang dari dapur membawa nampan kecil berisi segelas teh panas dan juga sepiring pisang goreng yang sempat ia buat di dapur.
Bibi tersenyum ramah melihat Yudha duduk tenang di ruang tamu. "Minum Nak Yudha, teh ini masih panas," ucap Bibi saat meletakan nampan itu di kursi yang ada di samping Yudha.
Mau bagaimana lagi ! satu satunya meja yang ada di ruang tamu sudah hancur di tangan Pak Broto si tua tua keladi, sudah tua tapi semakin menjadi.
"Terima kasih, Bik," jawab Yudha dengan sopan.
"Omongan Paman tadi jangan di masukan kedalam hati ya....Paman itu memang suka gak waras, suka bicara seenaknya," kata Bibik setelah duduk di kursi lain tepat hadapan Yudha .
"Iya, Yudha sudah terbiasa sama semua sindiran Paman." Pemuda tampan ini masih bisa tersenyum, padahal Paman Raisa sudah sangat menghinanya.
Siapa yang tidak sakit hati dianggap sebagai seorang pemuda yang tidak punya masa depan? Sedangkan masa depan Paman Raisa saja MADESU , atau masa depan suram.
"Nunggu lama, ya? tanya Raisa kepada kekasihnya yang terlihat semakin tampan.
"Anaknya sudah datang, ya sudah Bibi tinggal ke dapur dulu!" Pamit Bibi kepada keponakannya
"Duduk sini!" Yudha tersenyum manis ia menarik tangan Raisa hingga duduk di sampingnya.
Yudha memperhatikan pipi Raisa yang merah menganga, cap jari masih terlihat jelas di wajah cantik Raisa.
"Ini pasti sakit. Paman memukulmu lagi ? Dia sudah sangat keterlaluan!" Yudha tidak terima kekasihnya diperlakukan sangat kejam oleh pamannya sendiri.
Raisa memalingkan wajahnya ke sembarangan arah. "Sudah biasa dan ini bukan apa apa! Apa kamu malu dengan hubungan kita ini? Semua orang di kampung sudah tau perbuatan ibuku yang pergi membawa uang orang lain!"
"Aku gak malu, tolong jangan pernah berfikiran seperti itu." Yudha menggenggam tangan Raisa. Hingga Raisa melihatnya lagi.
"Tidak ada yang bisa dibanggakan dari keluarga berantakan seperti ini. Aku bukan Raisa yang dulu kamu kenal! "
Raisa merasa tidak pantas menjadi kekasih Yudha yang berasal dari keluarga harmonis. Ayah Yudha tergolong Orang tua yang disegani di kampung ini.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, aku akan menerimamu dalam keadaan apapun, aku sudah berniat melamarmu jadi sebentar lagi kita akan menikah."
Pemuda berusia 27 tahun ini sudah menjalin kasih dengan Raisa selama hampir satu tahun. Meskipun orang tua Yudha tidak pernah merestui hubungan mereka, tetapi Yudha tidak perduli dan tetap memertahankan hubungannya dengan Raisa.
Raisa sedikit lega mendengarnya, ia bahagia memiliki kekasih seperti Yudha yang selalu ada untuknya. Meskipun Raisa sudah berulang kali minta putus dari Yudha, tapi pemuda tersebut tetap mempertahankan dirinya.
.
.
.
.
.
Sementara Yono sudah hampir tidak sadarkan diri, ia masih memegang botol minuman keras, entah sudah berapa botol minuman keras yang sudah ia tenggak.
"Hei....sebentar se se sebentar lag lagi ak aku ak akan men menjadi orang kaya hahahah huek ! " Yono menepuk nepuk dada di depan beberapa orang yang juga sudah hampir tidak sadarkan diri.
"Mana bisa jadi orang kaya! Mas Yono saja pengangguran!" sahut penjaga warung.
"Hahahaha aku ti ti tidak perlu be bekerja, aku sudah punya ladang duit!" Yono kembali meresapi botol minuman sampai tandas.
"Ladang duit siapa? Istrimu saja cuma seorang buruh cuci." Perempuan itu semakin meremahkan Yono.
Pyar....
Yono membanting botol sampai pecah membuat sebagian para pekerja wanita di sana ketakutan.
"Jangan remehkan aku, keponakanku akan menikah dengan orang kaya di kampung ini! Dia akan menjadi istri ke-3 Pak Broto hahahahah!" tawanya setengah sadar.
Orang-orang di sana sudah biasa melihat Yono mabuk, bahkan terkadang ia tertidur di warung dan pulang menjelang pagi.
***
"Huek ... buka pintu!" teriak Yono tepat di teras rumah.
"Hei....Buka pintunya sialan!" umpat Yono terus menggedor pintu." Cepat buka!" teriaknya lagi.
Suara Yono berhasil membangunkan Raisa dari tidurnya. Raisa mengikat rambutnya asal, kemudian dengan mata yang masih mengantuk Raisa bergegas membuka pintu.
"Kenapa kau lama sekali? Kau sengaja membuat Paman kedinginan di luar?" Yono menjambak rambut Raisa sampai Raisa meringis kesakitan.
"Aghh, sakit! Lepaskan rambutku," pinta Raisa memelas.
"Dasar gak berguna!" Yono menghempaskan Raisa sampai kening Raisa membentur dinding. Ejekan yang menyinggung hatinya di warung tadi masih terngiang di telinga hingga membuat ia semakin emosi saat melihat Raisa.
"Agkhhhh!" Raisa kembali merasakan sakit atas perlakuan Paman yang kejam.
"Seharusnya aku menjualmu, itu pasti akan sangat menguntungkan!"
"Jangan jual aku, Paman! " Raisa memohon dan menyatukan kedua telapak tangannya. Ancaman itu sangat menakutinya.
"Kita lihat saja, sampai kapan kau bisa menolak Pak Broto!" teriak Yono sembari menolak bahu Raisa. "Kalau tidak menikah dengan Broto. Kau jual di rumah bordir," ucapnya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
Raisa hanya bisa menangis meratapi nasip dan pasrah menerima kekejaman Yono.
"Masuk ke kamar!" teriak Yono saat melihat istrinya ingin mendekati Raisa, Bibik Raisa tiak tega melihat Raisa, tapi ia juga tidak berdaya membantu karena takut Yono juga memukulnya seperti yang sudah-sudah.
Jam 8 pagi Raisa sampai di toko tempat ia bekerja. Di sana sudah ada pemilik toko yang baru saja membuka toko pakaiannya.
"Pagi, Bu," sapa Raisa dengan ramah .
"Pagi, wah sepagi ini kamu sudah datang?" Wanita separuh baya itu tersenyum melihat Raisa yang selalu datang ke toko lebih awal dibandingkan para pekerjanya yang lain.
"Iya, Bu." Raisa bergegas masuk ke dalam toko untuk merapikan beberapa manekin sebelum para pelanggan datang memenuhi tempat tersebut.
Menjelang siang hari , toko sudah ramai dikunjungi pembeli. Raisa terlihat cekatan melakukan proses tawar menawar pakaian , ia selalu berhasil membuat pembeli tertarik dengan dagangannya.
Selama satu minggu ini, Raisa tidak pernah bertemu dengan Pak Broto, tentu saja itu membuatnya lebih tenang, tapi hari ini, Broto datang dan mencoba mendekatinya.
Kehadiran Broto mengejutkan Raisa, hingga ia tidak sengaja menjatuhkan manekin.
"Pak Broto," lirih Raisa, tubuhnya bergetar mengingat ucapan paman yang mengatakan akan menikahkan dirinya dengan laki-laki tua ini.
"Kenapa terkejut Raisa? Apa kamu gak kangen sama calon suamimu ini?" tanya Broto, ia terus memperhatikan penampilan Raisa dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
"Sudah aku bilang, sampai kapanpun aku gak akan pernah mau menjadi istri Pak Broto," jawab Raisa dengan nada suara sekecil mungkin agar Bu Yanti tidak mendengar ucapan Pak Broto yang memalukan.
"Kamu memang menggemaskan, Raisa. Aky semakin penasaran denganmu, kamu gak perlu malu bertemu denganku."Broto hampir menyentuh dagu Raisa, tapi gadis itu langsung menepis tangannya.
"Jangan ganggu aku!" ketus Raisa.
" Kenapa? kamu ini calon istriku. Harusnya kamu gak perlu repot repot kerja seperti ini. Bilang saja berapa uang yang kamu butuhkan, aku pasti akan mencukupi semua kebutuhanmu, sayang!"
"Jangan keterlaluan Pak Broto! Jangan seenaknya memaksakan kehendak Pak Broto sama orang lain!"
"Hahahah orang lain siapa? Kamu ini calon istriku, satu minggu lagi, kita akan menjadi sepasang suami istri !" Broto mencolek sekilas dagu Raisa.
"Jangan bermimpi ingat sama anak cucu dirumah, Pak!" jawab Raisa sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam toko.
Broto tersenyum sinis melihat Raisa masih jual mahal. Akhirnya ia dan kedua algojonya pergi meninggalkan tempat itu.
***
Sepulang kerja, Raisa mengurung diri di kamar. Ia masih memikirkan cara untuk melunasih hutang ibunya kepada Broto. Namun, ketukan pintu membuat kepalanya pusing dan tidak fokus berfikir.
Tok.....Tok...Tok...
"Buka pintunya!" Yono berteriak di luar pintu kamar Raisa.
"Ada apa paman?" Raisa menjawab dengan malas.
"Pergilah ke rumah Pak Broto. Dia baru saja tetepone akan melunasi hutang Ibumu itu!" ucap Yono.
"Melunasi hutang ibu?" Raisa bergegas membuka pintu kamar untuk memastikan kalau ia tidak salah dengar.
"Tapi ini sudah hampir jam sembilan malam Paman, apa gak bisa ditunda?"
"Harusnya kamu senang karena Pak Broto mau berbaik hati melunaskan seluruh hutangmu, cepat datang ke rumahnya untuk menandatangani beberapa surat perjanjian yang sudah disiapkan pak Broto, jangan lupa kau harus memastikan semua berjalan baik ya, jangan sampai Pak Broto berubah pikiran."
Raisa berfikir sejenak. "Kalau gitu Raisa ajak Bibik, ya ...."
"Bibi pergi mengantarkan cuciannya, sudah pergi sendiri saja sebelum malam semakin larut."
"Baiklah, Raisa pergi dulu." Raisa tidak punya pilihan lain. Ia pergi untuk menghapuskan hutang-hutang ibunya.
Setelah 20 menit menempuh perjalanan menggunakan motor matic, sampailah Raisa di depan rumah Broto, pintu rumah itu masih tertutup rapat. Suasana di sekitar tampak sunyi seperti tidak berpenghuni.
Pintu terayun dari dalam setelah gadis ini mengetuk pintu, terlihat Pak Broto hampir tidak berkedip melihat Raisa.
"Udah datang cepat juga, ya!" Pak Broto menggeser sedikit tubuhnya untuk mempersilahkan Raisa masuk ke dalam rumahnya. "Masuk lah! " katanya lagi.
Raisa masih mematung di tempat, ia sedikit curiga melihat tingkah Pak Broto.
"Tenang saja, istri dan anakku ada di dalam. Ayo, duduk dulu." Broto menunjuk sofa di ruang tamunya.
Raisa lega mendengarnya, ia duduk di tempat yang ditunjuk Broto. Kemudian, Broto juga duduk tidak jauh darinya.
"Paman bilang pak Broto mau menganggap lunas hutang Ibuku?" tanya Raisa tanpa basa-basi.
"Iya, itu benar," jawab Pak Broto sembari menganggukkan kepala.
"Klau begitu bisa aku minta berkas yang harus aku tandatangani?"
"Kenapa buru buru? kamu baru sampai dan belum minum apa pun 'kan?"
"Terima kasih tidak perlu repot, Pak," tolak Raisa sehalus mungkin, ia berpindah tempat duduk saat Broto mendekatinya.
"Kenapa menjauh?" tanya Broto, ia menatap Raisa lekat.
Raisa merinding melihat wajah mesum Broto. Namun, ia mencoba sembunyikan ketakutannya.
"Mana berkasnya, Pak?" tanya Raisa sembari menengadahkan telapak tangan. "Biar saya tanda tangani secepatnya!" pinta gadis yang memakai sweater warna hitam tersebut.
"Ada di dalam, nanti aku ambil setelah kita bahas berapa jumlah hutang yang ditinggalkan ibumu. Kamu tahu jumlahnya?"
Raisa menganggukkan kepala.
"Bagus kalau kamu tahu," ucap Broto.
"Memang 150 juta, Pak?" Sebenarnya Raisa tidak yakin, apalagi ibunya tidak pernah mengungkit jumlah hutangnya kepada Broto.
"Kenapa kamu tidak yakin? Itu jumlah uang yang banyak, bahkan saya pikir sampai kapan pun kamu tidak akan bisa melunasinya, benar 'kan?"
"Sebelum Pak Broto berencana menghapuskan hutang-hutang ibu saya, selama ini aku sudah berusaha mengumpulkan uang untuk melunasinya asalkan Pak Broto mau bersabar menunggu," terang Raisa.
"Tapi aku rasa aku tidak bisa terlalu lama menunggu waktu itu, sayang...."
"Sebenarnya, untuk apa pak Broto menyuruh aku datang kesini? Kalau memang tidak ada yang harus aku tanda tangani lebih baik aku pulang saja."
Raisa berdiri tapi Pak Broto memegang pergelangan tangannya, hingga ia kembali duduk seperti semula. Raisa mulai menyesali datang ke rumah ini.
Umur Pak Broto memanglah tidak muda lagi, tapi tenaganya masih cukup kuat. Sampai Raisa tidak bisa melepaskan tangannya dari cengkraman laki laki yang sudah menjebaknya.
Ternyata keputusan Raisa datang ke rumah ini adalah keputusan yang salah.
"Pak Broto menjebak aku? Lepaskan!" teriak Raisa penuh emosi. Tubuhnya merinding melihat Broto menatapnya tanpa kedip.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!