"Will you marry me?"
Lelaki muda dengan paras rupawan berlutut di hadapan kekasihnya, menyodorkan kotak beludru warna biru yang berisi cincin permata.
Dia adalah Reyvan Altan Arkatama, pemilik Arkatama Group—perusahaan properti terkemuka di Kota Jakarta. Di usia yang baru genap 30 tahun, dia sudah sukses dengan bisnis pribadinya. Tak heran banyak kaum hawa yang kagum dan terang-terangan mengejarnya.
Namun, Reyvan adalah pribadi yang dingin dan tertutup. Ia selalu menjaga jarak terhadap orang-orang yang menurutnya tidak penting, terlebih pada wanita yang berniat merayu. Selama ini, satu-satunya wanita yang berhasil meluluhkan hatinya hanyalah Elleane Zee—gadis berdarah Spanyol dengan mata biru menawan.
Kini, di hadapan Reyvan, Elle terlihat gusar. Mata birunya mengerjap cepat seiring remasan di ujung gaun yang begitu kuat. Bibir mungil nan ranum hanya bergerak pelan, tak menyuarakan kalimat atau sekadar gumaman singkat.
"Elle," tegur Reyvan dengan senyum yang tetap mengembang.
Elle tak menyahut, hanya memejam sesaat, lalu mengambil alih kotak beludru yang ada di tangan Reyvan. Meski sedikit tremor, tetapi ia berhasil melakukannya dengan baik.
"Maaf, Rey. Aku tidak bisa menerima ini." Elle menutup kotak beludru dan meletakkannya begitu saja di atas meja—di antara lilin-lilin kecil yang menjadi saksi dinner romantis mereka.
Reyvan terkejut. Dia tak menyangka Elle akan menolak lamarannya, mengingat hubungan mereka yang sudah terjalin selama dua tahun. Selama itu, tidak ada pertengkaran atau selisih paham yang besar, justru kisah manis yang terbingkai indah dalam setiap harinya.
"Elle, candaan ini tidak lucu." Reyvan bangkit dan menatap paras kekasihnya.
Elle adalah gambaran wanita yang sempurna. Postur tubuhnya ideal dengan kulit yang putih nan mulus. Hidung mancung, bibir mungil ranum, serta mata biru bening yang berpadu dengan bulu-bulu lentik. Di samping wajah dan tubuh yang penuh pesona, Elle juga dianugerahi rambut yang indah—panjang bergelombang dengan warna cokelat terang.
"Apa aku terlihat bercanda?" tanya Elle.
Reyvan terdiam. Sejak tadi Elle tidak mengulas senyuman, justru wajahnya dipenuhi gurat keseriusan. Namun, mengapa? Apa salahnya?
"Duduklah! Aku ingin bicara," perintah Elle.
"Elle." Reyvan masih terdiam di tempatnya.
Dia berusaha menyelami mata biru Elle yang malam ini penuh kemelut. Akan tetapi, sang empunya tak memberi sempat. Hanya dalam hitungan detik, Elle sudah membuang pandangan.
"Duduklah!" perintah Elle untuk kedua kalinya.
Tak ada pilihan, Reyvan kembali duduk di tempatnya. Dengan perasaan yang masih kacau, dia menatap setangkai mawar putih yang tadi menjadi pemanis dalam hidangan mereka. Masih terngiang jelas betapa indahnya senyuman Elle ketika mereka menyantap hidangan, tetapi dalam waktu singkat senyum itu hilang dan berganti sikap dingin yang asing.
"Aku ingin kita berakhir, Rey. Aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini."
Ibarat petir di antara terik matahari, ucapan Elle bagaikan belati yang menusuk tepat di ulu hati.
"Kenapa? Apa salahku?" tanya Reyvan dengan tatapan tajam.
"Kamu tidak salah, hanya saja perasaanku sudah berubah. Aku tidak mencintaimu lagi, Rey. Aku sudah bosan dengan hubungan ini," jawab Elle tanpa menatap Reyvan sedikit pun.
Dada Reyvan bergemuruh hebat melihat sikap Elle yang sangat tenang. Emosi yang sedari tadi dipendam, sekarang mendesak untuk diluapkan. Dengan tangan yang mengepal, Reyvan bangkit dan menghampiri kekasihnya.
"Pendengaranku terganggu, coba katakan sekali lagi!" geram Reyvan.
"Jangan menyulitkan! Soal hati tidak bisa dipaksakan. Jika cinta sudah tidak ada, untuk apa bertahan?" ucap Elle. Kali ini, dia makin berpaling, sehingga Reyvan tak bisa melihat bagaimana ekspresinya.
"Kamu tidak boleh pergi dariku! Kamu mencintaiku, Elle!" Reyvan membentak sambil mencengkeram lengan Elle.
"Itu dulu, tidak untuk sekarang," sahut Elle.
"Sekarang pun kamu masih mencintaiku. Jangan bicara dusta, katakan apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Elle!" Reyvan menarik tangan Elle dan memaksanya bangkit. Kini, mereka berdiri berhadapan dengan jarak yang dekat.
"Aku tidak berdusta. Rasa cinta itu sudah hilang dan aku merasa bosan dengan hubungan ini," jawab Elle dengan pandangan yang tetap berpaling.
"Tatap mataku dan katakan kamu tidak mencintaiku, Elle! Jika kamu bisa melakukannya, maka aku akan percaya." Reyvan meraih dagu Elle dan memaksa gadis itu untuk menatapnya.
Cukup lama Elle terdiam, sekadar bola matanya yang bergerak-gerak. Reyvan menatapnya dengan lekat, berusaha mencari jawaban atas perubahan sikap yang kontras. Namun, mata itu penuh kemelut yang tak bisa diselami. Reyvan hanya menemukan setitik kebencian yang terselip di permukaan.
"Kamu tidak bisa mengatakannya, kan?" Reyvan tersenyum getir. "Elle, hal apa yang membuatmu seperti ini? Katakan padaku," sambungnya.
"Aku tidak mencintaimu lagi, Rey. Aku ingin pisah darimu," ucap Elle setelah puluhan detik beradu pandang dengan Reyvan.
Reyvan tersentak mundur, bahkan cengkeramannya turut mengendur. Dia tak menyangka Elle berhasil mengatakannya walau dengan suara yang sedikit gemetaran. Itu artinya, perasaan Elle memang berubah. Padahal, beberapa saat lalu Reyvan yakin bahwa Elle masih mencintainya.
"Kenapa?" bisik Reyvan.
"Jangan tanyakan alasan. Ini pilihan hati, aku tidak bisa mengendalikan. Seperti dulu saat aku mencintaimu, semuanya mengalir begitu saja. Sekarang pun demikian, perasaanku berubah dengan sendirinya," terang Elle.
Reyvan tak berkata-kata. Dia hanya menunduk sambil menenangkan gemuruh dada yang makin menjadi.
"Yang harus kukatakan sudah kukatakan. Jadi ... aku pergi," pamit Elle tanpa menghiraukan kekecewaan Reyvan.
Elle melangkah pergi selagi Reyvan masih bergeming di tempatnya. Dia terlalu angkuh dan tak mau menoleh, sehingga tak melihat ekspresi sendu yang terlukis jelas di wajah Reyvan.
Beberapa detik kemudian, Reyvan menoleh dan menatap punggung Elle yang makin jauh darinya. Tak ada sepatah kata atau sekadar tatapan sekilas, yang Elle sisakan hanyalah bunyi ketukan high hells yang makin samar.
"Kamu sungguh kejam, Elle!" bisik Reyvan.
Lantas, dia menatap meja makan yang masih dipenuhi sisa dinner romantis. Kemudian, matanya terpaku pada kotak beludru yang dicampakkan Elle. Perlahan, Reyvan mengambilnya. Lalu membuka dan memandang lekat cincin permata yang dia pesan khusus pada desainer ternama.
"Kupikir malam ini kita akan melewati sesuatu yang manis, tapi ternyata ... ah, janjimu palsu, Elle," batin Reyvan.
_____________
Tepat tengah malam, Elle tiba di rumahnya. Entah ke mana saja dia, padahal meninggalkan Reyvan sekitar jam delapan.
Elle melangkah cepat memasuki pintu utama. Dia lelah dan ingin tidur secepatnya. Namun, niat itu tertunda karena kehadiran sosok rupawan yang berjalan dengan kursi roda.
"Kamu belum tidur?" tanya Elle dengan gugup.
"Kamu dari mana?" Lelaki itu balik bertanya, lengkap dengan tatapan tajam dan menelisik.
"Aku lembur, di kantor sedang sibuk," jawab Elle.
Lelaki itu tak menjawab, hanya berpaling sambil tersenyum masam. Dia tahu Elle sedang berbohong, karena mana mungkin bekerja dengan mengenakan gaun mewah.
"Selama ini, Elle-ku tidak pernah bohong. Apa sekarang sudah berubah?"
Mendengar sindiran itu, Elle langsung menjatuhkan tubuhnya di lantai, di hadapan sang lelaki. Lantas, Elle mendongak dan menatapnya dalam-dalam.
"Tidak ada yang berubah dengan diriku, aku tetap menyayangimu seperti dulu. Jika hari ini aku berbohong, itu karena kejujuran terlalu menyakitkan." Elle memberikan penjelasan sambil mengusap air mata yang jatuh tanpa permisi.
"Apa kamu___"
"Tidak." Elle menyahut cepat sembari menggeleng.
"Baguslah." Lelaki itu tersenyum, lalu meraih kepala Elle dan merebahkannya di pangkuan.
"Aku sangat menyayangimu. Aku tidak rela jika kamu melakukan itu," sambungnya.
"Tidak akan."
Usai menjawab singkat, Elle memejam dan menikmati sentuhan lembut di puncak kepalanya. Namun bukannya tenang, dia justru sesak dan sakit, hingga air matanya tumpah dan membasahi pangkuan sang lelaki.
"Kenapa menangis? Kamu ada sesuatu yang disembunyikan dariku?"
"Tidak ada, hanya ingat masa lalu." Elle kembali berdusta.
"Ingat sewajarnya, jangan berlebihan! Kamu harus fokus pada masa depan." Lelaki itu bicara sambil menggenggam erat tangan Elle, menunjukkan bukti kasih yang tidak main-main.
"Iya." Elle mengangguk pelan.
"Maafkan aku yang tak menghiraukan ucapanmu. Aku mengambil jalan yang sangat kamu larang. Tapi, aku tidak ada pilihan lain," sambung Elle dalam batinnya.
Bersambung...
Asap berbau nikotin mengepul dari balik bibir tipis yang menggoda. Seakan cita rasa teramat nikmat, ia mengisap batang rokok lebih kuat lagi.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi ia belum sedetik pun memejam. Sejak menginjakkan kaki di rumah mewah miliknya, lelaki dengan sejuta pesona itu hanya duduk di balkon kamar, menikmati dinginnya malam sambil merenungi sisa-sisa kenangan yang berserakan.
Di sekitar kakinya, puluhan puntung rokok berceceran. Entah sekuat apa jantungnya, hingga berani mengonsumsi nikotin melebihi batas wajar.
"Aku selalu nyaman setiap kali bersamamu, Rey. Aku sangat menantikan hari di mana kamu melamarku dan menikahiku."
Lagi-lagi ucapan Elle yang bernada manja terngiang dalam pikiran Reyvan. Kala itu, Elle menyandarkan kepala di bahunya, sedangkan dirinya mengusap mesra lengan mulus nan memikat.
Indah, satu kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan suana saat itu. Namun, siapa sangka dari keindahan itu tercipta luka yang sangat menyakitkan.
"Kenapa hatimu berubah secepat ini? Padahal aku tidak main-main dengan perasaanku," ucap Reyvan yang hanya mendapat jawaban dari angin malam.
Setelah puas menyiksa diri dalam kenangan kelam, Reyvan bangkit dan masuk ke kamar. Dia berjalan menuju ranjang dan menghempaskan tubuhnya di sana. Tanpa melepas tuksedo dan sepatu pantofel, Reyvan memejam dan berusaha tidur.
Keesokan harinya, Reyvan terbangun selagi fajar baru menyingsing. Dia merendam tubuhnya dalam air hangat sebelum bersiap ke kantor.
"Baguslah, perasaanku jauh lebih baik dibanding semalam," ucap Reyvan ketika menatap bayangannya di dalam cermin.
Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk dari luar. Disusul ucapan sopan dari ART yang bekerja di rumahnya.
"Tuan Rey, Tuan Izal sudah menunggu Anda di meja makan."
"Iya. Sebentar lagi aku akan turun," sahut Reyvan.
"Baik, Tuan."
"Aku terlalu lama berendam, sampai-sampai melupakan hal sepenting ini." Reyvan membatin sambil menyemprotkan parfum floral woody ke tubuhnya.
Usai memasukkan ponsel dan dompet ke dalam saku, Reyvan menyambar tas kerja dan membawanya ke luar kamar. Lantas, dia menuju meja makan dan menemui sekretarisnya—Faizal Magani.
"Selamat pagi, Tuan," sapa Izal.
"Pagi." Reyvan duduk di hadapan Izal. "Silakan makan!" sambungnya.
"Iya, Tuan."
Tak ada perbincangan lagi di antara mereka, hanya denting sendok dan kecapan lidah yang terdengar samar-samar.
Di rumah besar dan megah ini, Reyvan hanya tinggal bersama enam ART dan satu sopir pribadi. Orang tua dan adiknya tinggal di tanah kelahiran—Kota Malang, sedangkan kakaknya tinggal di Pulau Dewata. (Untuk yang ingin tahu kisah orang tua dan kakaknya Reyvan, ada di novel Noda season 1 dan 2)
"Kata Pak Tommy, kita tidak perlu buru-buru, Tuan. Beliau punya banyak waktu untuk menunggu," ujar Izal usai menghabiskan sarapannya.
Reyvan mengernyit, lalu menatap sekretarisnya sekilas.
"Menurutmu, apakah sikapnya itu wajar?"
"Maksudnya, Tuan?" Izal balik bertanya.
"Proyek Royal Garden, semua orang tahu aku mengincar itu. Tapi, dalam pelelangan aku kalah jauh dengan Linzy. Sekarang, dengan tiba-tiba dia menyerahkan proyek itu tanpa mengambil keuntungan. Bukankah dia terlalu mulia untuk hidup di zaman sekarang?" terang Reyvan.
Izal berpikir sejenak.
"Latar belakang Linzy sangat buruk. Bertahun-tahun berdiri, perusahaan itu tidak pernah berkembang, hanya jalan di tempat. Bahkan, banyak karyawan yang resign karena gaji yang rendah. Malam itu, dengan tiba-tiba Tommy menawarkan harga yang fantastis untuk Royal Garden. Aku curiga, jangan-jangan ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Hanya saja, aku belum bisa menebak apa motif orang itu," sambung Reyvan.
"Dari hasil pemeriksaan saya, tidak ada hal yang mencurigakan, Tuan. Pak Tommy menggunakan uang pinjaman untuk mendapatkan proyek itu. Tapi, karena kemampuan yang rendah, beliau tidak berhasil mengembangkan. Daripada rugi, maka proyek itu dilempar kembali." Izal memberikan penjelasan terkait proyek Royal Garden.
"Cukup logis, tapi tidak ada salahnya kita waspada. Bisnis sangat keras, Izal, jangan sampai kita salah langkah."
"Iya, Tuan, saya mengerti." Izal mengangguk patuh.
Tuannya memang orang yang sangat berhati-hati meski sebenarnya juga ambisius. Dalam hal bisnis, dia selalu mengincar posisi tertinggi, tak peduli sesulit apa pun tantangannya. Tak heran bisnis yang ditanganinya berkembang pesat, bahkan sekarang jauh lebih besar daripada perusahaan milik ayahnya.
Setelah menghabiskan sarapan, Reyvan dan Izal berangkat menuju lokasi proyek.
"Tom Linzy, entah kamu punya maksud tertentu atau tidak, yang jelas aku tidak bisa memercayaimu. Tapi, Royal Garden adalah proyek yang sangat menguntungkan, aku tidak bisa melepasnya begitu saja," batin Reyvan.
Sejauh ini, Reyvan tidak pernah gagal dalam mengambil pilihan. Namun, entah untuk sekarang. Meski berhati-hati, tetapi ambisi yang lebih mendominasi. Akankah dia bisa selamat andai Royal Garden menyimpan jebakan keramat?
Royal Garden adalah proyek besar di sekitaran Pulau Seribu. Menawarkan hunian mewah di tempat yang strategis, sungguh bisnis yang menguntungkan.
Awalnya, proyek ini berada dalam naungan Golden Group—perusahaan properti yang cukup berpengaruh di Ibu Kota. Namun, karena ada kesalahan internal, keuangan perusahaan tersebut lumpuh dan tak bisa meneruskan proyek.
Demi menutupi kerugian yang sangat besar, Golden Group melelang proyek tersebut. Sempat terjadi persaingan sengit antar pebisnis, termasuk Reyvan. Mereka saling mengungguli demi mendapatkan Royal Garden. Namun, siapa sangka pemenang lelang tersebut malah perusahaan kecil—Linzy Group.
Reyvan sempat kecewa. Baginya, proyek tersebut cukup mumpuni untuk dijadikan batu loncatan. Namun karena gagal, dia harus mencari pijakan lain untuk melompat lebih tinggi.
"Jangan terlalu dipikirkan, masih ada jalan lain yang lebih baik. Kamu pasti bisa." Kalimat semangat yang diucapkan Elle saat itu.
"Ah, kenapa ingat lagi." Reyvan membatin sembari memijit kepala yang tiba-tiba pening.
"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Izal yang tak sengaja memergoki aksi tuannya.
"Ya, aku tidak apa-apa." Reyvan menjawab sambil membuang pandangan. Dia menatap gedung-gedung tinggi demi mengalihkan ingatan yang lagi-lagi tertuju pada Elle.
Namun, tindakan itu sia-sia. Bayang-bayang Elle tetap menghantui, memaksanya mengenang kisah manis yang sebenarnya tak layak untuk dilupakan.
"Sebentar lagi kita sampai, Tuan," ucap Izal.
"Iya." Reyvan menjawab singkat.
Tak lama kemudian, mobil memasuki area pembangunan. Izal menghentikannya di dekat tumpukan material. Lantas, dia keluar dan membukakan pintu untuk tuannya.
Dengan gagah, Reyvan turun dari mobil. Pandangannya menyapu ke segala arah, menilik satu demi satu kerangka bangunan yang dipenuhi anyaman besi. Untuk kedua kalinya, dia mengagumi desain tersebut.
"Selamat datang, Tuan Rey. Bagaimana kabar Anda?"
Reyvan menoleh dan mendapati sosok pria dewasa yang belum lama mengalahkannya—Tommy. Entah di mana posisinya tadi, mengapa begitu cepat menghampiri.
"Saya baik." Reyvan menjawab sambil menyambut uluran tangan Tommy.
Dalam beberapa saat, mereka saling berbasa-basi dan melemparkan senyuman yang entah tulus entah tidak. Lantas, Tommy mengajak Izal dan Reyvan menuju mess yang biasa digunakan untuk istirahat para pekerja.
"Ini surat-suratnya, silakan diperiksa!" Tommy menyerahkan beberapa berkas kepada Reyvan dan Izal.
"Anda sama sekali tidak mengambil keuntungan. Boleh saya tahu apa alasannya?" selidik Reyvan.
Tommy tersenyum, "Tempo hari saya terlalu berambisi, sampai-sampai tidak memikirkan konsekuensi. Perusahaan saya terlalu lemah untuk menyelesaikan proyek ini. Lihatlah, sudah satu bulan penuh, tapi tidak ada satu pun yang bisa saya kerjakan. Jika bersikeras mempertahankan ini, maka saya akan hancur. Untuk itu, saya melemparnya kepada Anda. Saya tidak mengambil keuntungan karena saya belum melakukan apa pun. Saya hanya ingin uang itu cepat kembali, jadi bisa digunakan untuk menangani proyek lain yang saya mampu."
Reyvan hanya menanggapinya dengan anggukan. Lantas, dia kembali fokus dengan berkas-berkas yang ada di tangannya. Setelah diteliti dan dipahami, dia menyimpulkan bahwa semuanya aman. Lalu tanpa ragu, Reyvan menandatangani kontrak tersebut.
"Tidak ada yang salah dengan poin-poinnya, pasti ini bukan jebakan," batin Reyvan penuh keyakinan.
Di hadapan Reyvan, Tommy tersenyum sambil menatap penuh arti. Sementara di seberang mereka—di balik lemari penyekat, dua orang sedang mengawasi gerak-gerik Reyvan.
"Kau puas dengan pemandangan itu?" tanya pria dewasa kepada seseorang yang berdiri di sampingnya.
Namun, orang itu tidak menyahut, hanya menunduk sambil mengepal erat.
"Menentukan nasib orang selemah dia bagiku sangat mudah, bahkan tidak lebih sulit dari menjentikkan jari. Kau ... pandai-pandailah menjaga sikap!" sambung sang pria dengan tegas.
Bersambung...
Tepat tengah hari, Reyvan dan Izal tiba di Kantor Arkatama. Namun, hanya Reyvan yang turun dari mobil, sedangkan Izal kembali pergi untuk menemui klien yang sudah menunggu di restoran luar kantor.
Dengan langkah tegap, Reyvan berjalan memasuki lift dan menuju ruangannya yang ada di lantai tujuh. Tak banyak karyawan yang dia temui, mungkin mereka sedang makan siang di bawah. Namun, ada salah seorang yang langsung menyambut sebelum dia masuk ke ruangan.
"Tuan Rey!"
Reyvan menoleh. Ternyata Zara yang datang. Dia adalah wanita muda yang cantik dan cerdas. Meski penampilannya sederhana, tetapi sangat memikat, terlebih jika sedang berbicara. Suaranya merdu, tetapi tidak mendayu, menjerat seseorang untuk kagum tanpa memikirkan hal tabu. Tak heran dia sangat sukses dengan jabatannya—supervisor marketing.
Reyvan terus menatap langkah kecil yang makin mendekat ke arahnya. Lantas, selembaran kertas cokelat berhiaskan pita disodorkan padanya.
"Ada undangan dari Perusahaan Shan Senor, tadi resepsionis menitipkannya ke saya," ujar Zara.
"Terima kasih." Reyvan menjawab seraya mengambil undangan tersebut. Lantas, membawanya ke dalam ruangan.
Shan Senor adalah perusahaan industri elektronik terbesar di negara ini. Konon kabarnya, sudah ada beberapa kantor cabang yang didirikan di negara tetangga. Namun, entah benar atau tidak, sang pemilik tak pernah memberikan klarifikasi. Satu hal yang pasti, hasil produksi Shan Senor sudah menguasai pasar internasional. Bukan hanya di Asia, melainkan juga di benua lainnya.
"Ulang tahun perusahaan," gumam Reyvan usai membaca lembaran tersebut.
Dia mengulum senyum. Sebuah penghargaan mendapat undangan resmi dari Shan Senor, mengingat perusahaan mereka bergerak di bidang yang berbeda, juga status sosial yang berada jauh di atasnya.
Reyvan tak akan melewatkan kesempatan. Dia pasti akan datang dan meninggalkan kesan yang baik, syukur-syukur ada celah untuk mendapatkan relasi baru.
Pada saat yang sama, di tempat yang berbeda, Elle duduk di bangku mobil sambil menggenggam tangan lelaki yang amat disayangi—Alroy Kenedrick Zee. Meski pikirannya sangat kacau, tetapi Elle berusaha setenang mungkin. Dia tidak ingin membebani kakak lelakinya.
"Kulihat-lihat sejak tadi kamu gelisah, ada apa?" tanya Alroy.
"Kamu akan pergi lama, tentu saja aku sedih. Aku pasti merindukanmu, Kak," dusta Elle. Sesungguhnya, saat ini dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dari rasa rindu untuk kakaknya.
"Doakan semuanya berjalan lancar, maka aku akan cepat kembali."
"Aku selalu berdoa untukmu. Tapi, aku takut Tuhan tidak menjawab doaku," jawab Elle.
"Kamu meragukan kebesaran Tuhan?"
"Tidak." Elle menyandarkan kepalanya di bahu Alroy. "Hanya saja ... kenyataan ini membuatku tak berani berharap lebih," sambungnya dalam hati.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di bandara internasional. Sang sopir turun dan mengambil kursi roda di bagasi, lalu membantu tuannya untuk duduk di sana.
Kebetulan penerbangan mereka tidak lama lagi. Jadi, sang sopir langsung membawa tuannya ke ruang pesawat dan memastikannya aman di wheel chair. Setelah itu, dia kembali menemui Elle dan menyerahkan kursi roda padanya.
"Pastikan dia aman sampai tujuan. Kabari aku setelah kalian tiba di sana. Perkembangan sekecil apa pun ... sampaikan padaku," ucap Elle.
"Baik, Nona." Sang sopir mengangguk patuh. Lalu pergi meninggalkan Elle.
Sepeninggalan sopir, Elle menatap ke sekeliling, ke arah orang-orang yang berlalu-lalang. Lantas, dia tersenyum getir, merasa miris dengan hidupnya yang tak sebebas mereka. Ada lingkaran tak kasatmata yang menjebaknya dalam kerapuhan, bahkan untuk memperjuangkan cinta saja ia tak sanggup.
Ketika Elle masih merenung, tiba-tiba ponselnya berdering, satu nama kontak yang sangat dihindari terpampang di layar.
"Hallo," sapa Elle.
"Kau di mana, Elle?" tanya seseorang dari seberang sana.
"Aku masih di bandara, Kak Alroy baru saja masuk." Elle menjawab sambil memejam, berusaha menepis rasa sesak yang mengimpit rongga napasnya.
"Aku sudah menunggumu di Diamond."
"Bolehkah aku menunggu sampai Kak Alroy take off?" tanya Elle dengan penuh harap.
"Aku tidak suka membuang waktu."
Tanpa menunggu jawaban, orang tersebut memutus sambungan telepon secara sepihak. Elle mencengkeram ponselnya dengan erat. Dia ingin sekali meluapkan emosi, tetapi tidak tahu harus ke mana.
"Ahh!" geram Elle.
Dengan air mata yang hampir berjatuhan, Elle menyimpan kursi roda dan kemudian melajukan mobilnya. Meski hati tak pernah menghendaki pilihan ini, tetapi keadaan memaksanya untuk melakukan hal itu.
_____________
Setengah jam lebih menempuh perjalanan, rasanya sangat singkat bagi Elle. Maklum, dia tidak mengharapkan pertemuan dengan seseorang yang menunggunya di Diamond, bahkan jika boleh, ia ingin menghindari orang itu selamanya.
"Aku pasti kuat. Kalaupun tidak bisa membahagiakan diri sendiri, setidaknya aku bisa membahagiakan orang-orang di sekitarku," ucap Elle sebelum turun dari mobil.
Setelah hatinya lebih tenang, Elle melangkah turun dan mencuri perhatian beberapa pasang mata. Paras yang cantik dengan rambut cokelat terang, tampak anggun berjalan di bawah terik matahari. Postur tubuh ideal dibalut dress pendek warna merah, sangat serasi dengan kulitnya yang putih mulus.
Elle terus berjalan, tanpa memedulikan tatapan orang, baik yang menyiratkan kekaguman maupun kedengkian. Dia tak akan menambah beban dengan memikirkan tanggapan orang tentangnya.
Di kejauhan, Elle melihat sosok pria yang memiliki tatapan mematikan. Aura ketampanan masih terpancar jelas meski usianya tak lagi muda. Akan tetapi, Elle tak kagum sedikit pun. Dia sudah punya sosok pujaan yang senantiasa mengisi ruang hati, sekarang, esok, ataupun nanti.
"Maaf aku terlambat, tadi___"
"Pilih mana yang kau suka!" pungkas pria itu tanpa mau mendengarkan penjelasan Elle.
Elle mengembuskan napas panjang sambil menyelipkan anak rambut yang menghalangi pandangan. Lantas, dia mendekati etalase dan menatap lima cincin limited edition yang dipamerkan di sana.
Elle tak terlalu mendengarkan penjelasan pramuniaga terkait cincin itu. Entah desainernya, bahan-bahannya, atau harganya, tidak ada yang penting menurut Elle. Bahkan jika bisa, dia tak ingin mengambil salah satu dari cincin itu, juga cincin lain yang berkaitan dengan pria di sampingnya.
"Aku mau yang ini, Mbak." Elle menjatuhkan pilihan asal pada cincin dengan batu permata warna merah. Siapa sangka, ternyata cincin itu yang paling mahal.
"Pilihan yang sangat bagus, Nona. Di negara ini tidak ada duanya. Hanya ada sepasang dan tidak dijual terpisah. Anda sangat beruntung jika memilikinya, Nona," ucap pramuniaga dengan senyuman lebar.
Usai membalas senyum sekilas, Elle beringsut dan menghampiri prianya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini yang paling mahal. Apa sebaiknya ditukar saja?" bisiknya.
"Ambil saja. Aku bukan pria miskin," sahut lelaki itu dengan cepat.
Elle memejam sesaat, berusaha meredam emosi yang lagi-lagi bangkit. Arogan karena kekuasaan membuat Elle makin muak dengan pria tersebut, terlebih lagi dengan sifatnya yang sangat pemaksa.
Setelah membayar cincin tersebut, pria itu menggandeng Elle dan mengajaknya menuju mobil.
"Berikan kunci mobilmu, biar dia yang membawa!" perintah sang pria seraya melirik sopirnya sekilas.
"Iya." Elle mengangguk.
Usai menyerahkan kunci mobil, Elle duduk di samping kemudi. Dia diam meski tidak tahu akan dibawa ke mana.
"Aku sudah memesan gaun terbaik untuk acara pertunangan kita. Kau jangan menolak! Acara kita dihadiri banyak orang dan aku ingin kau tampil menawan."
"Iya," jawab Elle
Dia pasrah karena tahu menolak pun percuma. Dalam kondisi ini, pria itu yang punya wewenang mengambil keputusan. Sementara dirinya, terima ataupun tidak, tetap harus terima.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!