NovelToon NovelToon

My Imperfection

Awal mula

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum, para reader setiaku. Kembali lagi bersama saya di sini. Semoga kalian suka dengan ceritanya.

Ini adalah kelanjutan kisahnya Tristan Delano. Saya sarankan untuk membaca SANG PELAKOR ( Kau selingkuh, aku mendua ) agar kalian mengerti dan tentunya tidak merasa bertanya-tanya kenapa tiba-tiba begini?

Mohon dukungannya dengan cara Like, Vote, dan masukin ke rak, ya.

*********

Semua berawal dari pertengkaran yang Tristan alami. Dimana dirinya ketahuan selingkuh oleh istrinya dan memilih selingkuhannya. Namun, apa yang ia dapatkan adalah sebuah penolakan karena ternyata wanita yang ia pilih enggan menikah dengannya.

"Sekarang aku dan Emily sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi. Apakah bisa kita menikah?" tanya Tristan seraya mengemudi. Dirinya berjanji akan setia pada Claudia menjadikan wanita itu satu-satunya ratu di hatinya.

"Sorry, aku tidak bisa menikah denganmu. Kita akhiri hubungan ini! Aku tidak mau menikah dengan orang tukang selingkuh sepertimu," tolak Claudia tegas sambil melipatkan tangannya di dada. Rasa sakit yang ia rasakan membuatnya enggan kembali pada pelukan Tristan. Apa yang ia lakukan hanyalah balas dendam untuk menghancurkan pernikahan Tristan.

"Apa maksudmu? aku sudah melepaskan Emily seperti yang kamu inginkan. Lalu, kenapa kamu masih menolakku, hah?" sentak Tristan emosi merasa di permainkan. Ini tak pernah di pikirkan olehnya. Dulu dirinya selalu mempermainkan wanita dan sekarang dia yang dipermainkan wanita.

"Kamu pikir selama ini aku masih mencintaimu, tidak! Sedikitpun cinta itu sudah tiada. Aku hadir di kehidupanmu hanya untuk membalas setiap perlakuan kalian padaku. Aku puaaas bisa menghancurkan rumah tangga kalian. Aku puass hahahaha aku puasss...." teriak Claudia tertawa keras tanpa beban.

"Claudia, kau...! Apa yang ku inginkan harus ku dapatkan maka kau akan menjadi istriku!" Tristan semakin emosi tanpa sengaja ia menginjak pedal gas terlalu kencang. Emosinya merasuk jiwa, urat-uratnya terlihat menunjukan betapa pria itu marah, dan juga kecewa.

Claudia menoleh terkejut Tristan melajukan mobilnya cepat melebihi kapasitas dalam berkendara. "Tristan, kau jangan gila aku tidak sudi menjadi istrimu. Hentikan mobilnya, aku mau keluar...!"

"Tidak akan ku hentikan sebelum kau menerima tawaranku. Menikahlah denganku!" Sentak Tristan melamar namun terdengar memaksa.

Claudia memegang setir ingin menepikan mobil Tristan. "Berhenti Tristan!"

"Diaaaam Claudia, ini bahaya!" Tristan terkejut Claudia malah mengganggunya ketika menyetir.

"Aku tidak peduli. Berhenti!" Claudia memutar-mutar setirnya dan Tristan berusaha melepaskan tangan Claudia. Mobil Tristan melaju tak tentu arah. Di saat keduanya saling berebut, Tristan tak sengaja menginjak pedal gas semakin bertambah melaju kencang di depan ada mobil lain yang juga tak kalah kencang.

Keduanya tersadar di saat suara klakson mengagetkan mereka.

Claudia dan Tristan terbelalak terkejut. "Aaaaaaaaaaaa," jerit keduanya.

Ckiiiiiiiitttttt...... Bruuuukkkkkk..... Braaaakkkkk.....

Kecelakaan pun tak terelakkan. Mobil Tristan menabrak bangunan membuat mobil tersebut mengeluarkan asap di depan mobil. Darah mengucur dari keningnya Tristan, tulang belakang pun merasakan dorongan kuat dari belakang karena dirinya tidak menggunakan sabuk pengaman.

*********

Kecelakaan yang di alami Tristan sudah sampai ketelinga orangtuanya. Mereka yang baru saja selesai menyelesaikan acara resepsi pernikahan putrinya di buat kaget dengan kabar kecelakaan Tristan.

Pengantin baru pun tak kalah terkejut membuat mereka berbondong-bondong ingin segera melihat Tristan. Sehingga, pengantin dan juga orangtua Tristan segera meluncur menuju rumah sakit.

*****

Rumah Sakit

Jihan, Marko, Andrian, dan Naya sudah berada di rumah sakit. Mereka terlebih dulu bertanya ke resepsionis dimana ruangan Tristan dan Emily berada. Mereka tergesa-gesa menuju ruangan dimana Tristan di rawat.

Mata Jihan tertuju pada sang anak yang terbaring lemah.

Marko dan Jihan masuk ke dalam sedangkan Andrian dan Naya berada di luar melihat dari kaca.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Jihan khawatir melihat pasien yang terbaring di atas brangkar.

"Anda orangtuanya?" tanya Dokter.

"Iya, dok. Saya Ibunya dan ini Papanya," jawab Jihan melirik Marko.

"Begini, Bu, Pak. Kecelakaan hebat yang di alami anak kalian menyebabkan putus urat syaraf di bagian pen*is atau di sebut difungsi ereksi. Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, baik sifat,fisik ataupun psikologis. Pada penyebab fisik diantaranya akibat adanya cedera atau trauma atau benturan yang terjadi pada tulang belakang yang dapat menimbulkan gangguan saraf."

"Mungkin istilah awam disebut putus urat saraf tetapi mungkin yang dimaksud adalah kerusakan saraf sehingga menimbulkan disfungsi ereksi, kemungkinan pasien mengalami impoten," jelas dokter.

"Apa! Impoten!" Marko dan Jihan terkejut. Tubuh Jihan terhunyung kebelakang dan Marko menahannya.

Menurut mereka ini sungguh tidak masuk di akal. Namun, ini semua memang sebuah kenyataan mengejutkan. Seorang pria akan berbangga bisa memuaskan wanitanya dan tentunya saja bisa memberikan keturunan. Tapi, apa yang terjadi pada Tristan sebuah peristiwa tak terduga. Dokter memponis impoten dan kemungkinan senjatanya akan sulit berdiri tegak.

********

Tristan kian mulai tersadar dari tidur panjangnya. Ia mengedarkan pandangannya meneliti sekitar. Bagian tulang punggung, kepala, bagian intinya terasa sakit.

"Rumah sakit?" gumamnya pelan. Matanya kembali memperhatikan pintu yang terbuka. Nampaklah Jihan dengan wajah menunduk masam.

"Mah," panggilnya sangat lirih namun masih bisa di dengar Jihan dan Jihan pun mendongak.

"Tristan, kamu sudah sadar, Nak." Jihan sedikit berlari menghampiri Tristan.

"Aku sedikit baik, Mah. Tapi, kepala dan...." Tristan merasa malu mengucapkannya.

"Dan apa?" tanya Jihan penasaran. "Katakanlah, biar Mama panggilkan dokter," desaknya menatap serius dan terlihat raut kecemasan tersemat di wajahnya.

"Kepalaku sakit dan juga....hmmmm senjataku sakit," lirihnya pelan malu juga.

Jihan mematung, ia bingung harus memulai bicara dari mana. Dia harus memberitahukan semuanya agar Tristan tidak syok ketika nanti berbuhungan badan.

"Tristan, kecelakaan yang kamu alami membuat kepalamu terbentur dan itulah yang menyebabkan kepalamu sakit atau pusing. Sedangkan senjatamu, karena benturan keras di bagian tulang belakang menyebabkan urat syarafnya terputus sehingga mengakibatkan senjatamu sakit dan dokter bilang kemungkinan kamu impoten dan juga sulit untuk mendapatkan momongan lagi." Jelas Jihan mau tak mau harus memberitahukan segalanya.

Deg....

"I impoten?! su sulit mendapatkan momongan?!" bibirnya bergetar tak percaya dan Jihan mengangguk.

Mata Tristan terpejam menahan sesak, emosi, kecewa dengan apa yang terjadi. Tangannya terkepal kuat ingin marah namun bingung harus marah pada siapa. Dunianya seakan hancur berkeping dimana senjata yang selalu di banggakan kini telah loyo tak akan mampu berdiri tegak menusuk lagi.

"Hahaha aku impoten dan mandul." Tristan tertawa lirih menertawakan dirinya sendiri. Namun, satu tetes air mata menetes di sudut matanya. Hal yang paling di banggakannya kini telah tiada. Padahal senjatanya yang paling ia banggakan karena bisa memuaskan pasangannya.

Meminta Maaf

Semenjak tragedi Kecelakaan itu, Tristan menjadi pemurung. Sudah beberapa hari ini Tristan tinggal di rumah orangtuanya. Dia enggan kembali ke kediamannya mengingat di sana banyak kenangan bareng mantan istrinya.

Selama beberapa hari ini juga, Tristan melamun memikirkan kehidupannya yang tidak pernah merasakan kedamaian, kenyamanan, dan kebahagiaan.

"Kamu melamunkan apa?" Jihan tiba-tiba menghampiri Tristan yang sedang termenung di dekat jendela kaca memperhatikan burung beo milik Marko.

"Eh, Mah. Enggak, aku tidak melamun apapun."

"Jangan bohong, Tristan. Mama tahu pasti kamu sedang memikirkan sesuatu. Jujurlah, siapa tahu Mama bisa bantu!"

Tristan menoleh, dia menatap wanita yang sudah membesarkannya penuh kasih sayang. Dia paling manja jika di dekat Jihan.

"Kenapa hidupku jadi begini, Mah?" celetuknya bertanya serius.

"Mama tidak bisa menjawab dengan detail pertanyaan mu. Tapi, Mama hanya ingin bertanya, apakah kamu pernah menyakiti seseorang? jika iya, mungkin ini adalah salah satu balasan nyata dari Tuhan." Jihan menepuk-nepuk pundak Tristan lalu berdiri.

"Minta maaflah pada mereka yang kamu sakiti terutama wanita-wanita yang kamu hancurkan masa depannya. Itu saran Mama."

Jihan pergi membiarkan Tristan berpikir dan merenungi kesalahannya.

"Wanita yang ku sakiti? Claudia, Kanaya, Emily. Hanya mereka wanita yang pernah ku sakiti." Tristan semakin termenung bersalah, dia memejamkan mata, bayangan perlakuannya terhadap mereka berputar kembali bagaikan kaset di putar terus menerus.

"Tuhan, maafkan aku. Ternyata apa yang ku lakukan salah. Sekarang kau menghukum ku dengan cara seperti ini agar ku tak lagi berbuat Zina sesuka hati. Sekarang aku mengerti," gumamnya meneteskan air mata.

Tristan memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, ia ingin meminta maaf pada Naya terlebih dahulu. Dia beranjak pergi meminta alamat rumah Kanaya kepada Jihan. Awalnya Jihan tidak memberikan namun, setelah Tristan meyakinkan, Jihan memberitahukan alamatnya.

************

Tristan memperhatikan bangunan megah itu. Nyalinya menciut tak berani melangkah masuk. Tapi, hatinya berkata untuk tetap masuk meminta maaf kepada Kanaya. Tangannya terulur bergerak menekan bel.

Ting..... Tong....

Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membukanya.

"Mau cari siapa, Mas?"

"Kanaya nya ada?"

"Bu, siapa? apa suamiku udah pulang?" pekik Naya menghampiri.

"Bukan, Nay. Ini hanya seorang tamu pria." Jawab Bi Marni menoleh ke belakang. Naya mendekat dan ia menatap heran ada Tristan di depan rumah suaminya.

"Kamu?!"

"Nay, aku ingin bicara sama kamu sebentar saja," ujar Tristan memohon.

Naya menoleh ke Bi Marni lalu menoleh ke Tristan. Dia berkata, "Hanya sebentar."

Tristan tersenyum, meski sebentar tak mengapa asalkan ada waktu untuk meminta maaf pada Kanaya.

"Kita bicara di depan saja, aku tidak mau memasukan pria asing kedalam rumah tanpa ada suamiku. Bu, aku minta tolong buatkan minuman buat tamu kita!" nada bicara Naya berubah saat bicara pada Bi Marni.

Tristan menunduk lalu ia mengangguk mengerti.

"Apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?"

Tristan mengatur nafasnya terlebih dulu mengumpulkan keberanian untuk meminta maaf kepada Naya.

"Aku mau meminta maaf atas apa yang pernah ku lakukan kepadamu dulu. Maafkan aku yang pernah menyakitimu lahir dan batin. Maafkan aku, Nay. Maafkan aku," lirihnya menunduk tak berani menatap wanita berhati lembut.

"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Karena ku sadar, bahwa apa yang kamu lakukan bukan sepenuhnya salah kamu melainkan salahku yang tidak bisa menjadi istri yang kamu inginkan. Semuanya sudah berlalu dan aku sudah tidak ingin mengingatnya lagi." balas Naya tersenyum kepada Bi Marni yang sedang menyimpan minuman dan beberapa cemilan di atas meja.

"Apa kamu benar memaafkanku?" tanya Tristan meyakinkan.

"Aku berusaha memaafkan mereka yang pernah menyakitiku. Tuhan saja maha pemaaf dan kita umatnya harus bisa memaafkan. Karena dengan meminta maaf atau memaafkan, hatiku menjadi lebih tenang dan damai."

Tristan sedikit menyunggingkan senyum. Hatinya merasa sedikit lega mendengar Kanaya sudah memaafkannya. Beban pikirannya seakan berkurang, hatinya sedikit plong. Tinggal kepada dua wanita lagi.

***********

Tristan kembali meneruskan tujuannya yaitu rumah dimana Emily tinggal, lebih tepatnya kediaman mereka.

Tristan melihat Emily sedang meringkuk di sofa. Hatinya terenyuh melihatnya, dia sadar, apa yang terjadi pada Emily merupakan ulahnya.

"Emily," panggilannya.

Emily yang mendengar suara seseorangpun bangun. Dia kaget ada Tristan di sana.

"Tristan," lirih Emily tak bisa bohong kalau ia merindukan Tristan. Tristan menjauhkan wajahnya mencium bau yang keluar dari mulut Emily. Bau minuman keras.

"Aku minta maaf, Em."

"Maaf? hahahaha kau minta maaf setelah apa yang terjadi. Aku tidak butuh maaf mu. Yang ku butuhkan sekarang hartamu!" pekik Emily mendorong keras tubuh Tristan sampai tersungkur ke lantai.

"Apapun yang kau inginkan akan ku berikan asalkan kamu memaafkanku," balas Tristan tulus dari dalam hati.

"Kau yakin ingin mendapat maaf dariku?" tanya Emily berdiri sempoyongan dan Tristan mengangguk.

"Ada dua hal yang harus kau lakukan. Pertama, seluruh hartamu harus menjadi milikku. Kedua, kau harus membantuku untuk mendapatkan Andrian kembali!"

"Kau gila! Aku tidak mungkin membantumu mendapatkan Andrian termasuk memberikan harta padamu." pekik Tristan menolak keras permintaan Emily.

"Kenapa? kau itu kaya, kau seorang manager, dan aku ingin Andrian menjadi milikku lagi baru ku akan memberimu maaf."

"Aku memang kaya tapi itu semua milik orangtuaku. Dan untuk semua syarat yang kau berikan aku tidak mau memenuhinya. Terserah kau mau memberikan maaf atau tidak itu hak mu. Tapi yang penting, aku sudah tulus meminta maaf atas apa yang telah ku perbuat padamu walau ku sadar bahwa kata maaf tak akan mengembalikan semuanya."

*******

"Claudia, tunggu! Aku mau bicara sama kamu." Pekiknya memegang pangkal lengan Claudia.

"Mau apa lagi? kita sudah tidak punya urusan. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi!" tolaknya menepis kasar tangan Tristan dan terus melangkah.

"Sebentar saja, aku ingin meminta maaf padamu," ucapnya tak pantang menyerah.

Claudia menatap tajam mata Tristan penuh kebencian.

"Aku memaafkanmu, biarkan aku pergi! Minggir!" jawabnya tegas.

"Tidak, kau belum sepenuhnya memaafkanku terlihat dari caramu menghindari ku."

"Kau sudah tahu jawabannya, tidak mudah bagiku memaafkan dirimu. Semakin kau berusaha mendekatiku semakin besar pula rasa benciku terhadapmu. Minggir!" jawabnya tajam.

Tristan menggeleng tak ingin pergi. Dia yakin kalau wanita di hadapannya ini belum memaafkan terlihat dari caranya memandang dirinya. Namun, ada yang membuat ia penasaran yaitu anak yang berada di gendongan Claudia. Mata dia dan balita itu beradu sampai membuat hatinya seketika bergetar.

"Siapa anak ini?" celetuknya tiba-tiba tak bisa menahan diri untuk bertanya.

Claudia tersenyum sinis, hatinya tercubit Tristan tak bisa mengenali anaknya sendiri.

"Kau ingin tahu siapa anak ini?" tanya Claudia memicingkan mata setajam elang dan Tristan mengangguk.

"Dia anakmu yang tidak pernah kau ketahui, puas!" pekiknya lantang membuat Tristan terkejut.

Deg....

********

Sejak saat itulah Tristan mulai serius untuk memperbaiki diri dan dia pun mengetahui sebuah fakta jika ia memiliki anak dari wanita yang pernah ia sakiti.

Dari sanalah Tristan belajar jika karma itu ada, hukum Tuhan itu nyata dan dia merasa apa yang ia alami adalah hukuman dari Tuhan atas apa yang pernah ia lakukan pada wanita-wanita yang ia sakiti. Sejak kejadian itu pula Tristan berjanji untuk tidak menyakiti wanita lagi.

Alana

"Andrew kita bangunkan Ayah, kamu gelitiki di kakinya kakak gelikiti di kupingnya menggunakan bulu kemoceng ini."

"Baik Kak Alil, atu mengelti." balita kecil berusia 2 tahun itu mengangguk mengikuti arahan dari kakaknya.

Keduanya bersiap siap melakukan aksi membangunkan Tristan dengan cara mereka. Ariel anak berusia 4 tahun itu melangkah pelan-pelan mendekati di mana Ayah nya tidur.

Andrew mengikuti langkah Ariel dari belakang, anak bawang itu mau saja diajak asalkan kakaknya mau bermain dengannya.

"Andrew kemocengnya kamu gesek-gesekan ke kaki Ayah! Kalau kakak ke telinga Ayah tapi jangan berisik, ya?" kata Ariel berucap pelan dan Andrew mengangguk. Keduanya saling lirik lalu menghitung secara mundur.

"Satu.. dua.. tiga... mulai!" ucap Ariel mengorek telinga Tristan menggunakan bulu ayam dari kemoceng sedangkan Ariel menggelitiki kakinya Tristan.

Tristan yang merasa tidurnya terganggu menggeliat menepis rasa geli di telinga dan juga di hidungnya. Kedua balita itu cekikikan memberhentikan kegiatan keduanya sebentar lalu kembali mengorek-ngorek bulu kemoceng itu ke lubang hidung dan telinga.

"Siapa sih ganggu tidur saja?" lenguh Tristan terganggu. Perlahan matanya terbuka, sedangkan kedua bocah itu tengah sembunyi di samping sofa tempat di mana Tristan beristirahat. Keduanya cekikikan sambil menutup mulut.

Tristan mendudukkan bokongnya menggeliat, menguap, lalu berdiri siap melangkahkan kakinya menuju toilet. Kedua bocah yang tengah bersembunyi itu menggerakkan tangannya menghitung.

"Satu.. dua.. tiga...

Ngeeeekkk nguueeeekkk..

Tristan terkejut kakinya menginjak suara bunyi ngueek ngueek. Dia melihat di bawah kakinya, ada beberapa mainan anak yang bunyi.

Tristan mengambil mainan bunyi tersebut. "Ini pastilah kedua bocah semprul itu," uacapnya mencari-cari anak dan juga keponakannya.

"Ariel, Andrew, kalian di mana? jangan main-main ya sama Uncle Ayah? kalau kalian tidak keluar juga Uncle Ayah tidak akan membawa kalian jalan-jalan lagi ke kebun binatang."

"Uncle Ayah tahu loh kalau kalian sedang bersembunyi. Sini keluar?" panggil Tristan duduk kembali menunggu kedua bocah itu penampakan dirinya

"Kak atu mau lihat jelapah. Kalau Uncle Ayah malah tita tidak akan dibawa jayan-jayan yagi," ucap Andrew berbisik khas suara balitanya masih cadel.

"Ya, sudah deh, kita menyerah saja daripada nanti tidak dibawa bermain sama Ayah." Kedua anak kecil itu menyerah takut tidak diajak saat pergi jalan-jalan.

Tristan tersenyum mendengar bisik-bisik dua bocah di belakangnya, dia menunggu kedua bocah itu menampakan dirinya.

"Andrew, Ariel kalau tidak keluar uncle Ayah tidak akan membawa kalian. Satu.. dua.. ti...

"Ayah kami di sini."

"uncle tami di cini." keduanya menampakan diri di belakang Tristan.

Tristan tersenyum "Nah, gitu dong. Kalian memang anak-anak yang baik."

"Kalau begitu buruan ayo kita main ke kebun binatang.". Ajak Ariel anak berusia 4 tahun.

"Iya uncle, ayo main." timpal Andrew anak berusia 2 tahun. keduanya menarik-narik lengan Tristan.

"Iya, iya, sabar, ya. Uncle Ayah mau mandi dulu. Masa jalan-jalan bau acem seperti ini?" Tristan terkekeh melihat kegemasan dua balita itu.

Di hari Sabtu ini, Anak dan juga keponakannya selalu bermain bareng dia di rumah baru yang ia beli beberapa bulan yang lalu. meskipun orang tuanya menyuruh dia tinggal bareng mereka namun Tristan ingin merasakan tinggal di rumah yang ia beli hasil dari kerja kerasnya selama ini.

walau terkadang setiap hari minggu selalu kumpul di rumah orang tuanya. untuk dua balita ini selalu bersama dia di hari Sabtu untuk menemani dirinya tidur satu hari di rumahnya.

Andrew Geraldo, keponakannya dan Ariel Delano, anak kandungnya. Kedua pria kecil inilah yang selalu menemani Tristan di atas keterpurukannya atas penolakan Claudia. Kedua pria kecil ini selalu menghiburnya di tengah lelah habis bekerja dan lelah berharap pada wanita.

*******

"Ayah, aku mau melihat badak bercula."

"Atu mau yiyat jelapah," timpal Andrew.

Tristan tersenyum mendengar celotehan kedua pria kecil ini. "Iya, pokoknya hati ini kita akan mengunjungi kebun satwa dan melihat hewan apa saja yang akan kalian lihat.

"Hoyeee.. Uncle Ayah memang paying baik, deh. Atu cayang Uncle tapi tetap Mama cama Papa atu yang paying atu cayang."

Tristan hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia membawa kedua anak itu berkeliling kebun binatang seperti yang mereka inginkan.

*******

"Bu, Alana pulang."

Ibu Alana menggeram, amarahnya memuncak. Kedua tangannya bertolak pinggang menatap tajam Alana. "Darimana saja kamu, hah? Jam segini baru pulang? Keluyuran kemana kamu? Sudah tahu di rumah banyak kerjaan menumpuk, tidak ada makanan malah keluyuran gak jelas." Sentak Ibu tirinya yang bernama Dewi.

"Maaf, Bu. Di pasarnya ramai." gadis itu menunduk menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat sedih.

"Halahh, alasan saja kamu. Sekarang masuk ke dalam rumah! kerjakan semua pekerjaan rumah ini sampai bersih." Usir ibu Alana seraya mendorong tubuh kecil itu hingga terjatuh ke lantai.

Alana menunduk menyembunyikan rasa sedihnya. Sedih karena Ibunya tidak menyayanginya. Mata Alana berkaca-kaca tak mampu lagi menyembunyikan rasa sesak di dada.

"Malah masih duduk di situ, buruan kerjakan! Pergi sana ke dapur jangan lupa siapkan makanan untuk Ibu dan juga Kakakmu!" Sergah Dewi menyeret lengan Alana membawanya ke dapur dan kembali mendorong tubuh kecil itu. "Kerjakan!"

"Ba baik, bu.

"Buruan jangan lama-lama, saya dan Ica sudah sangat kelaparan."

Dengan tertatih menggunakan tongkat sebagai alat bantu berjalan di tangan kirinya, Alana menyeret paksa kakinya berjalan menuju dapur mencari bahan masakan untuk ia olah menjadi sebuah hidangan. Meski di tengah keterbatasannya, Alana mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah mulai dari mencuci baju, mencuci piring, mengepel, memasak hingga berbelanja sayuran.

Di tengah kesibukannya mengolah makanan, Ica tiba-tiba datang. "Hei, cacat, mana makanan saya?"

"Makanan belum jadi, kamu tunggu saja di situ kalau sudah jadi aku akan panggil kan."

Braak...

Ica malah menggebrak meja saking kesalnya makanan belum juga matang. "Aku maunya sekarang! Buruan mana?"

"Kenapa kau marah-marah, Kak? Aku lagi memasak dulu tapi, kamu sabar sedikit dong. Kalau sudah matang pun pasti akan ku kasih tahu."

Grep..

Ica mencengkram dagu Alana membuatnya mendongak keatas meringis kesakitan. "Berani-beraninya kau melawan ucapanku."

"Sakit Kak, lepaskan aku!" Ringis Alana memegang rambutnya berusaha melepaskan cengkraman Ica.

"Hei, Ada apa ini? Bukannya masak malah berantem"

"Ini Bu, Alana berani melawan ucapanku. Aku sudah lapar tapi dia malah santai." Ica mengadu berharap Ibu mau membantu dirinya memberikan pelajaran.

Dan benar saja apa yang Ica inginkan tercapai. Dewi mencengkram dagu Alana menusuk kulit nya menggunakan kuku jari jempol. "Jadi sekarang kau berani melawan kami?"

"Bu bukan begitu aku hanya ingin Kak Ica menunggu sebentar saja."

"Halah, bilang saja kau tidak ingin melayani kami lagi. Jika kau sudah bosan tinggal di rumah ini enyahlah dari sini! Kami tidak membutuhkan wanita pincang seperti dirimu, menyusahkan saja." Hardik Dewi seraya mendorong dagu Alana membuat wanita itu mundur ke belakang terbentur wastafel.

"Tidak Bu, Alana masih ingin tinggal di sini aku akan melakukan apapun asalkan Ibu tidak mengusir Alana." Hanya ini satu-satunya tempat tinggal yang Alana miliki.

"Makanya buruan!" Sergah Ica sembari mendudukkan bokongnya di kursi meja makan. Sama halnya dengan Dewi yang juga ikut duduk menunggu makanan matang.

Setelah menunggu beberapa saat makanan itu pun matang Alana membawa dan bersiap menyimpan masakan yang ia bawa ke atas meja. Ica memperhatikan Ibunya yang menunduk melihat ponsel. Kaki Ica sengaja ia rentangkan ke depan sehingga membuat Alana tersandung dan makanan yang dibawanya pun tumpah berserakan di lantai.

Praaang...

"Alana....! Apa yang kau lakukan, hah? Bisa-bisanya kau menjatuhkan makanannya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!