Di sebuah Desa di kaki bukit Pusu, terlihat sebuah rumah yang mewah dan besar. Jika di perhatikan diantara seluruh rumah penduduk yang ada di Desa Madat, maka rumah itulah yang paling besar dan mewah.
Hal itu tidak mengherankan karena memang rumah tersebut milik sebuah keluarga kaya raya bernama Juragan Mahmud, bahkan terkenal dengan sebutan Tuan Tanah terkaya di desa itu.
Keluarga Pak Mahmud meskipun kaya raya, namun hidup dalam keadaan sederhana. Hal itu terlihat dari pakaian dan makanan mereka sehari hari.
Pak Mahmud yang tinggal bersama istri, anak dan menantunya serta pembantu wanita di rumah besar itu sehari harinya berdagang di kota. Sawah ladang yang di sewakan kepada penduduk sekitar pun amat luas, puluhan bahkan ratusan hektar luasnya.
Berkat adanya Pak Mahmud di Desa Madat, Masyarakat sekitar pun hidup dalam keadaan yang berkecukupan.
Siang itu tampak Pak Mahmud, istrinya bernama Rikha serta ketiga anaknya yang masing masing biasa di panggil Sari, Salman dan Satria serta suami Sari yang di panggil Bang Amat bernama Muhammad sedang asyik duduk di teras rumah yang patutnya menjadi istana raja itu.
Di depan rumah mewah yang turun temurun di warisi Pak Mahmud dari ayah dan kakeknya itu, terdapat sebuah taman dengan kolam air mancur serta lapangan rumput dimana terdapat meja dan kursi yang indah. Mereka berenam duduk mengitari meja sambil menikmati hidangan makan siang.
"Ayah, Ibu, Saya dan Sari terpaksa berangkat ke Provinsi Solok karena pagi tadi menerima surat pindah tugas dari Direktur Utama" Terdengar suara Muhammad lembut di sela sela makan siangnya.
"Ibumu sudah bilang tadi. Kalau memang tuntutan tugas mengharuskan kalian pergi, apa boleh buat, mari makan. Sore nanti kalian berangkatlah". Terdengar suara Pak Mahmud agak berat melepas kepergian anak nya yang baru dua bulan menikah itu.
Saat sore hari tiba, Amat dan Sari segera berangkat diantar oleh keluarga Pak Mahmud hingga sampai ke Bandar Udara yang berjarak 300 kilometer.
Pada pukul 11 malam, tampak mobil Pak Mahmud telah kembali masuk garasi di bantu oleh Mbak Darmi.
Karena memang mereka sangat lelah. Maka tak lama setelah masuk, mereka semua segera terlelap di kamar masing masing. Hanya Mbak Darmi saja yang masih terjaga menonton Televisi di ruang belakang.
Baru setengah jam Pak Mahmud terlelap, tiba tiba dari arah belakang rumah yang memang sepi penduduk karena tersambung dengan Bukit Pusu itu terdengar suara gemerisik rumput dan ilalang.
Empat orang dengan wajah yang bengis dan kejam membawa golok, parang serta pedang menuju ke arah dapur sambil mengendap-endap.
Mereka adalah bandit-bandit yang terkenal sebagai perampok sadis di daerah selatan kota. Namun mengherankan jika mereka tampak di Desa Madat karena memang selama bertahun tahun belum pernah ada kejadian perampokan maupun pencurian di desa tersebut.
Melihat rumah besar itu, kepala rampok yang biasa di panggil Badu tampak menyeringai sambil mengintai suasana sekeliling rumah. Sedangkan ke 3 temannya sibuk mencungkil jendela belakang yang kini tampak telah terbuka dengan engsel lepas.
"Siapa?" Terdengar suara wanita dari ruang yang menembus dapur terhalang pintu yang terkunci.
Dengan agak terkejut Badu menempelkan telunjuknya di depan mulut. Dengan hati-hati sekali mereka berempat berjalan perlahan-lahan hingga kini berada di pintu dapur yang menembus ke dalam.
Saat itu Pak Mahmud terbangun karena mendengar suara ketokan pintu yang di lakukan oleh Mbok Darmi. Saat Pak Mahmud melihat bayangan dari bawah pintu yang tampak menembus ke belakang, dia pun berlari ke kamarnya seraya menggugah istrinya.
Dengan parang di tangan, Pak Mahmud menghampiri pintu dapur. Sedangkan Mbak Darmi sudah memegang alu menumbuk sayuran dan istri Pak Mahmud kini memegang sebatang pisau dapur.
Karena ketegangan di hati Pak Mahmud yang menyangka tentu ada maling atau mungkin juga binatang yang masuk ke dapurnya, maka dia memberanikan diri perlahan membuka kunci pintu dapur tanpa mengetahui ada 4 wajah di balik pintu sedang tersenyum puas bersiap siaga.
Inilah kesalahan Pak Mahmud. Seandainya dia menunggu saja tanpa membuka kunci pintu, mungkin dia akan mampu melawan karena pastinya rampok rampok tersebut akan membuka paksa pintu yang langsung dapat di terjangnya.
Namun kini keadaan nya berbalik malahan. Saat pintu di buka, segera kepala rampok dan temannya menerkam ke arah Pak Mahmud. Perampok lain juga telah memukul tangan Mbak Darmi dan Bu Rikha dengan belakang golok dan parang yang ada di tangan mereka.
Tak lama berselang, ketiga orang itu telah ditelikung lengan nya oleh rampok yang bersuara mengancam agar jangan berani membuka suara.
Salman yang baru terbangun dari tidurnya melangkah ke luar kamar yang tentu saja langsung di sambut kepala rampok dengan tendangan saat dia berteriak.
Satria yang terkejut dari tidurnya terbelalak saat menyaksikan Abang nya yang baru berusia 12 tahun itu terlempar menabrak dinding.
Melihat hal itu, Pak Mahmud yang marah langsung menggigit bahu perampok yang memegangnya hingga dia terlepas dan langsung maju menerkam Badu si kepala rampok dengan ganas.
Karena memang rumah mereka berada agak ke dalam di kaki bukit maka tetangga lainnya tidak mendengar suara berisik perkelahian mereka. Apalagi halaman rumah Pak Mahmud memang sangat luas sekali.
Kini penghuni rumah yang berjumlah lima orang itu telah di ikat dalam ruangan yang menjadi kamar Salman dan Satria. Dengan bengis Badu berkata sambil mengacung acungkan goloknya,
"Kalau kalian ingin selamat, serahkan semua harta pada kami". Dengan wajah ketakutan Pak Mahmud berteriak,
"Lepaskan keluargaku, ambil seluruh harta untuk kalian"
"Siiiingggg..."
"Craaaak..."
Badu mengayunkan golok besarnya dan putus lah kepala Pak Mahmud di iringi suara berdebuk jatuhnya kepala bersamaan dengan teriakan suara Mbak Darmi, Bu Rikha dan Salman.
Karena panik anak buah rampok segera mengayunkan parang, golok dan pedang ke arah Salman yang tewas seketika. Sedangkan Mbak Darmi dan Bu Rikha mereka bekap mulutnya dan mereka perkosa secara bergantian di selingi tendangan dan tamparan ke arah Satria kecil yang ingin menyelamatkan ibunya.
"Lepaskan ibuku, kurang ajar, ku pukul kalian"
Terdengar suara halus Satria sambil memukul dan menjambak kepala rampok yang memperkosa ibunya dan Mbak Darmi.
Tak tersangka sangka, dada Satria terkena tendangan hingga kepala nya menabrak dinding beton dengan sangat parah. Namun bocah kecil itu bangun lagi dan seperti sebelumnya, kembali dia memukul dan menghantam perampok yang tidak begitu merasakan pukulan pukulannya.
Sungguh naas nasib Satria. Andaikata dia seperti kakak lelakinya langsung di bunuh, mungkin tidak begitu berat penderitaan nya. Namun kini dia seperti sengaja di siksa. Kadang dengan punggung parang dihantamkan ke tengkuknya. Kadang tendangan membuatnya terlempar menabrak meja, dinding, lemari dan lain sebagainya.
Pada suatu saat, Badu dan anak buahnya yang telah selesai mempermainkan Bu Rikha dan Mbak Darmi segera membunuh mereka berdua. Melihat tubuh ibu, ayah, abang dan Mbok nya yang bergelimpangan dengan darah mengucur dan kepala tangan terputus, Satria seperti hampir meledak dadanya.
Bagaimana mungkin bocah kecil yang tubuhnya telah penuh darah itu dengan luka luka yang berat masih dapat bertahan?
Melihat sikap Satria dari awal yang tidak pernah berteriak ketakutan, bahkan berani menentang pandang mata para perampok, Badu kagum hatinya sehingga sengaja tidak membunuh anak itu.
Namun hidup pun sepertinya Satria akan cacat bahkan mungkin gila, bagaimana dia bisa bertahan dalam kondisi badan dan mental yang mengerikan itu?
Sungguh kejam memang perampok perampok yang telah di gelapkan oleh nafsu yang dengan brutal dan ganas menghabisi keluarga Pak Mahmud dan mengambil semua barang berharga yang bisa mereka bawa.
Karena memang Pak Mahmud awalnya menyuruh mereka mengambil harta begitu saja, maka Badu yang cerdik tau bahwa tidak ada harta berharga yang di sembunyikan atau yang harus dibukanya dengan sandi khusus.
Kini setelah jam menunjukkan pukul 3.40 dini hari, ke empat perampok itu keluar lewat jalan yang mereka masuki tadi.
Setelah menghantamkan kepala bocah kecil bernama Satria itu sekali lagi dengan gagang golok, mereka pun membakar rumah tersebut dari dapur dan pergi meninggalkan mayat para penghuni rumah dalam keadaan yang mengerikan.
Api dengan cepat menjalar dari arah dapur. Saat hampir melahap setengah bangunan besar, tiba tiba Satria mengeluh lemah dari pingsannya. Dia berpikir apakah tadi dia bermimpi seram? Ketika melihat di hadapan nya bergelimpangan jasad keluarganya, hal itu menyadarkannya. Membuat Satria kecil tak ingin melarikan diri lagi.
Namun mendengar suara api dan hawa panas yang dirasakannya, bocah itu teringat kepada kakak perempuannya. Siapa yang akan melaporkan semua itu kepada Kakak dan Abang iparnya kalau dia ikut mati.
Maka dengan sisa tenaga yang dipaksakan, Satria pun kini merangkak ke depan terus menuju kamar orang tuanya yang di tinggalkan begitu saja oleh para perampok dengan pintu terbuka.
Dengan kemauan yang kuat, Satria kecil berhasil melompat lewat jendela depan kamar orang tuanya yang langsung bersambung dengan kolam air mancur dan air terjun di taman depan rumah.
Sesampainya Satria kecil di tempat itu, dia pun rebah pingsan tak sadarkan diri hingga berjam jam.
Bersambung ...
Saat itu pukul 5 subuh. Di tandai dengan gema azan berkumandang yang terdengar sayup. Namun orang ramai masih sibuk di sekitar rumah besar seluas istana yang kini tidak tampak seperti bangunan lagi. Karena selain pondasi dan besi besi perabotan yang tahan panas, bagian rumah megah itu sudah habis di makan api akibat di bakar orang.
Di sebuah rumah yang berjarak ratusan meter dan menjadi rumah terdekat dengan bangunan besar yang hangus itu, tampak orang ramai mengitari sesuatu. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang dapat di tandai dengan suara tangisnya.
Begitu melihat lebih dekat, tampaklah seorang bocah lelaki yang masih kecil rebah telentang dengan baju dan celana serta seluruh tubuh hingga kepala berlumur darah.
Sudah beberapa kali ada orang mencoba mendekati bocah tersebut, namun orang orang itu kembali menjauh karena ada yang di tendang, di gigit, di pukul bahkan diludahi.
Banyak orang yang merasa sayang kepada si bocah karena mereka memang mengenal anak tersebut.
Sebagian ada yang kagum karena bocah itu sejak bangun dari pingsan nya tak mau di obati. Namun tak pernah dia menangis, bahkan air matanya saja tidak tampak sedikitpun.
Selesai memadamkan api di rumah gedung, bahkan bisa di bilang padam sendiri dengan habisnya bahan yang di bisa di makan oleh api, para pria yang terdiri dari pemuda dan bapak bapak telah sampai di situ.
Karena mereka merupakan orang yang kuat tenaganya, mereka langsung mendekati Satria yang seperti orang kesurupan, tendang sana tinju sini gigit sundul hingga terlihat beberapa orang melangkah mundur.
Seorang bapak tegap merangkul dengan kencang sambil berteriak memanggil,
"Satria, sadar Nak,,, tenangkan dirimu. Sadar,,, sadar,,!!!"
Dengan suara hampir menangis, Pak Taufik merangkul Satria yang semakin kencang dan keras mengamuk menggoyangkan badannya.
Suatu ketika, saat Pak Taufik ingin mengambil selendang dari tangan seorang ibu yang memenuhi tempat itu untuk melibat dan mengikat tangan Satria kecil, tiba tiba tangan Pak Taufik kena digigitnya dan dia berhasil melepaskan rangkulan yang kokoh kuat itu.
Dengan tak tersangka sangka, bocah itu melompat ke arah orang orang di dekat pintu yang karena ketakutan, mereka seperti memberi jalan kepada Satria untuk lari keluar rumah.
Betapapun mereka semua mengejar, anak itu telah lari sekencang kencangnya ke arah rumahnya menembus ke bagian belakang menuju Bukit Pusu melewati perbatasan Kampung Madat dengan Kampung Pangkal Sawah yang di selingi oleh sebuah sungai selebar 50 meter.
Satria yang seperti anak gila itu terus berlari meski hari telah terang benderang karena bumi telah disinari Mentari pagi yang cerah dengan sedikit awan mendung.
Saat melewati sungai yang sangat luas jika dibandingkan tubuh nya yang masih kecil, bocah itu seperti hampir kehabisan tenaga. Namun secara kebetulan, seorang kakek menolong Satria naik ke sampan miliknya.
Kakek itu kebetulan baru pulang mencari ikan di laut dan akan pulang menggunakan sampan ke rumahnya pagi hari itu.
Kakek yang di kenal warga dengan sebutan Kek Rahmat itu segera membawa anak kecil yang kini kembali pingsan di atas sampan.
Setelah hampir setengah hari mendayung sampan, Kek Rahmat pun menepi dan segera mengangkat keranjang ikannya ke daratan seraya memikul tubuh bocah lelaki yang menggiriskan hatinya itu.
"Bu, Ibu, tolong Bapak bawakan keranjang ini"
Istrinya yang sudah berumur 50 tahunan itu segera keluar dan merasa aneh. Biasa nya suaminya pulang tak pernah menyuruhnya membawa keranjang dan langsung masuk ke dalam membawa keranjang ikannya sendiri.
Namun saat melihat sang suami memanggul tubuh seorang anak lelaki, dia segera berlari ke arah suaminya dan mengambil keranjang ikan sambil bertanya heran bercampur kaget,
"Aduh Pak, Anak siapa ini? Kok badan nya luka berdarah semua?"
"Nggak tau Bapak Bu. Tadi bapak dapatkan hanyut di sungai. Bentangkan tikar Bu, Bapak akan bersihkan luka lukanya." Jawab si kakek sambil berjalan ke dalam rumah.
Tampak nenek itu berlari meletakkan keranjang dan membentang tikar lalu segera berlari ke dapur memetik daun Cocor Bebek ( On Phahlan / On Gapah Iteek ) dalam bahasa daerahnya dan segera menggiling nya di campur air putih lalu di bawakan kepada si kakek untuk dibaluri ke seluruh tubuh Satria.
Satria yang sudah kehabisan tenaga dan seperti hilang daya tahan tubuhnya masih terlihat pingsan dengan nafas yang kadang teratur kadang memburu cepat seperti sesak.
Selesai di obati dengan obat kampung / obat herbal alami, Kakek itu segera mandi dan sholat dhuhur bersama istrinya.
Selesai sholat, mereka segera makan bersama dengan ikan hasil tangkapan si kakek. Mereka berdua hanya melihat saja ke arah Satria yang masih pingsan dan kini nafas nya telah teratur setelah dicekoki obat rebusan daun dan akar berkhasiat.
Sudah beberapa kali mereka membangunkan bocah itu. Namun Satria masih tertidur seperti dalam keadaan koma tidak sadar.
Sampai hari menjelang magrib, Kek Rahmat dan istrinya menunggu Satria, lalu mereka segera masuk ke dalam untuk melaksanakan Sholat Magrib dan membaca Yasin.
Satria yang masih tertidur itu kini mulai bergerak. Dengan lapat-lapat dia mendengar bunyi orang mengaji seperti suara ibunya. Mimpi kah aku? Seru Satria dalam hatinya.
Perlahan lahan dia bangun dan bau ikan goreng dan ikan gulai segera memasuki hidungnya. Di lihatnya bahwa di dekatnya terdapat sebuah tudung saji dan segera dibukanya.
Dengan cepat di ambilnya nasi itu sepiring penuh dengan ikan besar yang entah berapa potong di makannya. Sampai tiga piring Satria makan nasi dan minum air putih segelas penuh.
Rasanya tidak percaya kalau tidak melihat sendiri betapa anak itu menghabiskan banyak sekali nasi. Kini, lapat-lapat dia kembali mendengar suara orang mengaji yang sudah hampir selesai itu.
Dengan cepat Satria sembunyi di balik pintu sebelah luar saat mendengar langkah kaki dua orang keluar dari kamar.
"Waduh Bu. Dimana anak itu?"
Seru si kakek yang langsung menyambung suara kaki berlari si nenek ke arah tudung saji. Saat si nenek membuka tudung saji dan melihat, dia berkata kepada suaminya,
"Agaknya dia sudah pergi Pak setelah menghabiskan nasi"
Satria yang mendengar dari luar tetap bersembunyi tanpa ada suara sedikitpun yang keluar. Meski digigiti nyamuk, tetap di tahannya agar tidak ketahuan bahwa dia masih bersembunyi di situ.
"Sungguh aneh bocah itu, semoga saja tidak terjadi apa apa dengannya di luar sana".
Terdengar perkataan si kakek dengan suara agak lirih.
Tiba tiba mereka melihat pintu bergerak dan tampaklah bocah kecil itu keluar memandang Pak Rahmat dan istrinya sembari berkata,
"Terimakasih banyak, agaknya Kakek dan Nenek yang baik hati telah menyelamatkan saya. Mohon maaf karena saya lapar, saya telah menghabiskan nasi"
Satria berkata dengan suara yang teratur dan sopan sambil membungkuk ke arah kakek nenek tersebut.
"Tidak apa Nak. Memang makanan ini kami siapkan untukmu. Oh ya, Anak darimana dan siapa?" Tanya sang kakek dengan lembut.
Mendengar pertanyaan itu, Satria langsung berlari sambil mengucapkan terimakasih untuk kedua kalinya.
Si kakek yang mengejar, saat sampai di luar kehilangan jejak nya karena memang malam itu gelap gulita tanpa ada sepotong pun bulan.
Akhirnya dengan nada mengeluh, Kek Rahmat kembali masuk sambil memberitahukan kepada istrinya bahwa anak itu telah lari menghilang, anak yang sungguh aneh.
Satria terus melarikan diri menyusuri hutan di pinggir sungai menuju ke arah utara. Dia berlari seperti di kejar iblis tanpa melihat kemanapun.
Akan aneh jika ada orang yang melihatnya lari dalam keadaan gelap gulita tanpa penerangan. Namun tak pernah sedikitpun bocah itu tersandung akar pohon atau bahkan menabrak pohon yang banyak tumbuh di hutan pinggir sungai tersebut.
Satria yang kini berlari pun tak pernah menyadari bahwa dalam keadaan gelap gulita, dia dapat melihat segala yang ada di depannya tanpa terpengaruh kegelapan.
Setelah lama berlarian di pinggir sungai, bocah itu melihat sebuah lampu Serungkeng ( Patromaks ) di tengah sungai bergerak ke arah utara.
Saat telah mendekati tempat itu, Satria kecil segera menceburkan diri ke sungai sambil berenang ke tengah sungai setelah dia mendengar suara tertawa yang sangat di kenalnya yaitu suara si Badu yang menjadi kepala perampok yang telah mencelakakan seluruh keluarganya.
Saat Satria menceburkan diri, beberapa orang dari atas perahu besar itu melihat keluar perahu. Namun setelah melihat ke seluruh permukaan sungai yang airnya bergoyang, mereka kembali masuk ke dalam bilik perahu yang ternyata sedang ada pesta bersama gadis gadis yang mereka culik di dusun sebelumnya.
Satria terus saja berenang perlahan ke arah perahu dan menempelkan tubuhnya ke bawah perahu sambil berpegang pada tali jangkar yang tersembul keluar perahu.
"Hahahaha, cepat layani kami sebaik baiknya. Apa kalian mau ku bunuh seperti keluarga si Mahmud itu?, Hahahaha." Terdengar suara Badu diiringi gelak tawanya bersama 3 perampok lain.
Dengan teliti Satria mendengarkan segala kejadian di dalam bilik perahu. Anehnya, sampai suara nafas, gerakan, langkah kaki seperti terbayang di benaknya saat suara suara itu di dengarnya di samping suara tangisan kecil dan rintih ketakutan. Terdengar pula suara hembusan nafas penuh nafsu dari para perampok yang memuakkan itu.
"Bos, mengapa harus kita bunuh semua anggota keluarga si Mahmud itu. Kalau Bos membiarkan pelayan cantik itu ikut kita, tentu kita tidak kekurangan gadis di sini Bos"
Seru seorang anggota perampok yang langsung membuat marah Badu. Sambil menggebrak meja kecil yang penuh dengan minuman keras dia berkata,
"Bos besar memerintahkan menghabisi seluruh anggota keluarga sampai ke pembantunya. Apakah kau berani kehilangan nyawamu tidak melaksanakan tugas dengan baik?"
"Kan Big Bos tidak tau apa yang kita lakukan Bos"
"Tolol kau." Bentak Badu sambil menampar kepala anak buahnya.
"Siapa yang tidak kenal Bos Kunto. Jangankan kita yang menjadi bawahannya, keluarga sendiri pun di penggal kalau tidak menurut perintahnya. Sudah, diam kau."
Mereka terus berlayar sambil mabuk mabukan dan menikmati tiga orang gadis secara bergantian dan bergilir. Sedangkan Satria terus memegang tali jangkar sampai tiba ke sebuah dermaga di lautan dan mereka melempar sauh/ jangkar.
Melihat mereka turun hanya bertiga saja, Satria perlahan lahan naik ke kapal yang langsung di teriaki oleh bawahan si Badu yang tinggal menjaga tawanan.
Melihat dirinya ketahuan, Satria berlari ke arah darat yang langsung di hadang oleh Badu dan dua bawahannya.
Kembali Satria di pukuli habis habisan dengan tinju, tendangan, bahkan dengan kayu yang berserakan sampai bocah itu babak belur. Saat terdengar teriakan dari perahu bahwa salah seorang gadis menceburkan diri ke laut, Badu dan dua orang bawahannya lengah.
Saat itu di pergunakan oleh Satria yang merebut kayu di tangan badu lalu secepatnya di tusukkan ke perut anak buah rampok sebelah kiri. Satria pun kembali berlari kedua kalinya dalam keadaan yang sangat mengerikan dan memprihatinkan.
Saat sampai bocah itu di sebuah kaki bukit di Dusun Tani, kembali dia pingsan dan darah masih terus menetes di sekujur tubuh dan kepalanya.
Sekitar sejam kemudian, ada seorang petani yang ingin mengambil air di tengah bukit berjalan membawa timba bakul melihat seorang anak rebah berlumuran darah.
Sontak saja Pak Ari berteriak memanggil warga dusun, karena disangkanya mayat bocah yang tergeletak di situ.
Begitu di periksa, ternyata bocah itu masih hidup dan langsung di bawa ke Puskesmas terdekat.
Karena memang Dusun Tani ini dekat dengan daerah Kota, maka di situ terdapat peralatan kesehatan. Sampai sampai, Satria kecil mendapat tambahan tenaga bertahan hidup melalui selang infus di tangannya.
Bersambung ...
Pagi itu tampak seorang anak rebah di atas sebuah dipan dalam rumah yang tampak sederhana. Tak lama berselang, tampak pula seorang lelaki tinggi dan kekar melangkah perlahan ke dekat pembaringan.
perlahan lahan, mata bocah itu terbuka sambil sedikit menggeliatkan badannya.
Satria yang telah 2 hari lamanya di rawat di situ atas permintaan Pak Ari. Pria kekar petani dusun yang sebelumnya melihat bocah tergeletak di kaki bukit dalam keadaan sangat mengerikan. Luka di sekujur tubuh, darah bercampur debu mengering bahkan muka Satria yang babak belur tak dapat di kenali lagi oleh orang yang melihatnya.
Setelah melarikannya ke Puskesmas dan di rawat seadanya oleh para Suster Perawat di Puskesmas tersebut, Pak Ari meminta kepada perawat agar anak itu di rawat di rumahnya karena memang tidak ada yang menjaga nya di tempat itu.
Satria yang kini telah duduk segera mendengar suara Pak Ari,
"Rebahan saja Nak, kau belum pulih benar. Sebentar bapak ambilkan makan dan minum."
Kembali Pak Ari melangkah ke belakang dan tak lama berselang, Pak Ari dan istrinya kembali ke ruangan itu sambil membawakan makanan di talenan hidangan.
Satria yang kini telah duduk untuk kedua kalinya, segera makan dan minum tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Di iringi pandang mata kedua suami istri tersebut, Satria makan dengan lahap dan sopan. Sampai sampai tidak ada suara sendok berkerontangan sedikitpun.
Selesai makan dan minum, Satria kembali merebahkan dirinya dan memejamkan mata tanpa memperdulikan pertanyaan Pak Ari dan istrinya.
Kedua suami istri yang maklum bahwa bocah tersebut perlu istirahat, segera meninggalkannya untuk melanjutkan aktifitas harian mereka.
.---***---. .---***---. .---***---.
"Bodoh kalian semua." Bentak seorang pria tampan yang tampak garis kekejaman di wajahnya.
"Maaf Bos. Mereka di lindungi oleh pengawalan pihak berwajib Bos." Jawab seorang pria kekar dengan gaya menunduk takut.
"Panggilkan Bonar, suruh dia menghadap ke ruangan ku." Kembali terdengar suara lelaki berusia 40 tahun yang memakai baju sutra yang mewah.
"Baik Bos." Jawab bawahan lain yang berada di belakangnya.
Pria yang di panggil Bos itu segera meninggalkan taman belakang rumah untuk segera menuju ke ruangan dalam dimana ruang kerjanya berada.
Belasan menit kemudian, tampak seorang kekar lainnya bersama 6 orang yang berjalan di belakangnya menuju ke ruang tersebut.
"Masuk lah Bonar." Terdengar sapaan tegas dari dalam.
Tanpa banyak membuka suara, ketujuh orang itupun masuk. Sesampainya mereka di dalam, segera terdengar bunyi perintah dari mulut Bos mereka yang bernama Kunto Aji,
"Kalian ku tugaskan pergi ke sektor barat. Di toko ke 5 sebelah kanan jalan ada seorang pria china yang membandel. Ambil setoran dan bunganya sekalian. Sepulang dari sana, singgah di cafe Dam jalan Lilawangsa No 100. Serahkan bunganya kepada Pak Wandi dan ambil selebihnya buat biaya perjalanan dan juga sebagai upah kalian semua."
"Baik Big Bos. Segera kami laksanakan".
Berangkatlah 7 orang di pimpin oleh Bonar yang memang sering mendapat tugas kerja dari Kunto sebagai Bos mafia terbesar se Nusantara itu.
Saat hari menjelang sore, Bonar pun sampai ke tempat yang diperintahkan dan langsung saja mengambil apa yang menjadi perintah majikan mereka dengan cara yang kasar.
Koh Ahong yang telah kena pukul dan tampar beberapa kali tidak berdaya, terpaksa menyerahkan uang yang di minta. Pihak Polisi yang menjaga pun tidak berani berkutik. Selain mereka telah di lumpuhkan oleh kelompok Bonar, juga oknum atasan mereka selama ini menjadi tameng bagi mafia kenamaan Kunto Aji dan semua bawahan tingkat atas seperti Bonar dan Badu, si kepala rampok yang juga menjadi kaki tangan Kunto.
Sepulangnya Bonar dan kawanannya, mereka singgah di jalan Lilawangsa dan setelah memarkirkan mobil, Bonar melangkah memasuki tempat tersebut. Tak lama mereka menunggu di dalam ruangan itu, tampaklah seorang berpakaian mewah keluar dari pintu belakang menghampiri mereka.
"Selamat datang." Seru tuan rumah sambil mengambil tempat di kursi besar.
"Apakah kami berhadapan dengan Tuan Wandi?" Tanya Bonar tanpa tedeng aling aling.
"Benar." Jawab pria bernama Wandi.
"Kami hanya ingin mengantarkan ini kepada anda sesuai pesanan Bos."
Kembali Bonar berseru sambil melihat kawannya bernama Kurna menyodorkan sebuah amplop tebal berisi 50 juta rupiah.
Pak Wandi yang menjadi Toke bisnis transaksi narkoba itu pun menerima amplop tersebut seraya tersenyum puas,
"Sangat senang melakukan transaksi dengan kalian. Sampaikan salam ku pada Bos Kunto. Ayo, silahkan minum"
Selesai menenggak minuman beralkohol yang di sediakan Pak Wandi, Bonar segera mohon izin untuk melaporkan hasil kerjanya.
Setelah menerima biaya jalan sebanyak 3 juta rupiah dari Tuan Wandi, Bonar kembali ke tempat Kunto.
Pukul 9.23 malam Bonar dan ke enam kawan nya sampai ke rumah Bos Kunto. Sebagai mana perjanjian awal, Bonar mendapatkan upah 33 juta dari hasil kerjanya.
Begitulah Kunto, seorang mafia yang tidak memikirkan untung semata. Dia rela menghamburkan uang hanya untuk menyogok dan membayar kacung bayarannya.
Baginya, bisnis haram yang di kelolanya harus tetap berjalan. Selain menjadi Bos Mafia yang di takuti seluruh preman dan bandit bandit, Kunto menjalin persahabatan dengan pihak Polisi, Tentara, dan beberapa oknum pemerintahan, tentu saja yang bisa dia sogok.
Karena ada juga orang yang tak mempan di sogok dan selalu saja Kunto mempunyai cara menghadapi mereka, baik secara lembut maupun kasar.
.---***---. .---***---. .---***---.
Malam itu, kembali Satria terjaga. Dia di bangunkan oleh seorang gadis berusia 9 tahun yang cantik dan lucu,
"Hei, orang aneh, bangun... Jangan tidur saja"
Satria yang terkejut membuka matanya, dia melihat seorang anak yang cantik manis wajahnya. Satria langsung bangun karena memang tenaganya sudah banyak pulih.
"Kau siapa?" Tanya Satria ketus.
"Kenalkan, aku Dewi, ayah ku yang menolong dan membawamu ke sini." Sahut gadis cilik bernama Dewi sambil meluncurkan tangannya untuk bersalaman.
Satria yang tertarik dengan gadis cilik ini, segera melanjutkan
"Mau apa kau membangunkan ku? Aku harus banyak istirahat"
"Untuk apa tidur terus terusan, mending kita mengobrol, main dan melakukan hal lain. Untuk apa kau tidur berhari hari? Mana makan mu banyak sekali lagi"
Dewi yang tersenyum nakal bertanya dan di jawab oleh Satria sekenanya saja
"Tengah malam nanti aku harus pergi"
"Apa? Namamu saja aku belum kenal, buat apa buru buru pergi ha?"
"Namaku Satria, Satria Putra Mahmud. Sekarang kau sudah kenal, lekas pergi sana"
Mendengar jawaban Satria, bocah bernama Dewi itu pun melotot, namun pada pandangan Satria, gadis kecil itu malah tampak lucu dan semakin cantik dengan gayanya tersebut.
"Benar benar kau orang yang tidak kenal budi. Seharusnya aku yang mengusir mu karena ini rumahku. Malah kau yang menyuruh ku pergi."
Setelah berkata begitu, kini kembali Dewi terperanjat kaget setengah mati. Karena tiba tiba Satria kecil merenggut lepas jarum infus yang terpasang di lengannya.
"Baiklah aku akan pergi." Sambil berkata begitu, Satria kini telah turun dari pembaringan.
"Eh, kau mau kemana? Aku hanya bercanda"
Seru Dewi yang masih belum hilang kagetnya.
"Sampaikan terimakasih ku kepada ayah ibumu." Ucap Satria yang berlari menuju pintu samping.
"Tunggu. Namaku Dewi Puspita anaknya Pak Ari, semoga kita berjumpa lagi"
Pak Ari dan Bu Ana kini telah ada di situ menyaksikan anak kecil yang berlari ke arah kegelapan malam dengan sangat kencangnya.
Dewi kecil kini menutup pintu dan masuk lalu bercerita tentang percakapannya dengan bocah lelaki bernama Satria itu.
"Aneh sekali. Apapun yang kami tanyakan belum pernah di jawabnya. Kau malah berbicara panjang lebar dengannya Dewi"
Seru Pak Ari menghela nafas panjang.
Satria yang terus berlari kini mengambil jurusan ke Barat. Dia terus berlari menyusuri sepanjang jalan berhutan yang sangat gelap.
Seluruh panca inderanya menegang, matanya menatap ke depan yang kadang kadang melirik ke kiri dan kanan.
Satria berlari terus sampai melihat jalan raya dimana banyak kendaraan. Namun, begitu menjumpai jalan besar, kembali dia masuk ke hutan. Arah larinya kini seperti di bawa oleh hati yang kosong yang selalu menuju ke arah barat.
Sudah sekitar 4 jam dia berlari dan kini, agaknya tengah malam telah tiba.
Satria yang sangat kelelahan diterpa lapar dan dahaga di tambah rasa perih dari luka lukanya yang belum sembuh benar, bahkan ada luka yang masih belum kering sama sekali.
Namun kebulatan tekadnya memang sangat besar. Tak lama dia duduk sambil mengipasi dirinya, kini dia berpikir. Aku tak bisa begini terus. Aku harus mencari minum dan makanan.
Kebetulan saat itu, Satria melihat dirinya berada di tengah hutan yang sangat lebat sekali. Karena memang malam itu tampak bulan sepotong kecil melintang, maka pandangan Satria menelusuri jauh ke arah barat, sangat jauh namun masih dapat di lihatnya, tampak gunung seperti kembar berdampingan.
Satria tak pernah menyangka sedikitpun bahwa dalam perjalanannya yang hanya sekitar seminggu itu dia hampir sampai ke Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kini Satria tidak begitu kencang larinya. Dia hanya berjalan saja sambil matanya terus mencari cari ke sana kemari.
Setelah sejam dia berjalan, akhirnya tampak potongan bulan di bumi. Satria di hadang sebuah rawa yang sangat besar. Dengan girang Satria mendekat dan meminum air sepuas nya.
Di sebelah kirinya dekat batu karang di pinggir rawa terdapat jamur berwarna ungu dan merah muda. Jamur itu bersih dan besar.
Melihat jamur berbentuk payung itu, Satria teringat kepada ibunya yang pernah mengatakan bahwa jamur banyak mengandung khasiat apalagi kalau di makan mentah mentah. Namun jarang ada orang yang memakan jamur mentah karena bau amis. Selain itu, ada juga jamur beracun yang kandungan racunnya pun bermacam macam.
Ada yang membuat mencret. Ada yang menyakitkan perut, namun ada juga jamur yang dapat mematikan jika dimakan.
Mengenang kembali kelembutan suara ibunya, Satria menitikkan air mata. Setelah berpikir sejenak, di ambilnya jamur jamur itu dan dimakan nya dengan lahap. Awalnya dia hampir muntah karena merasakan amis menyengat dari kedua macam jamur tersebut.
Namun lambat laun, Satria mampu menelannya juga. Dia menghabiskan 3 buah jamur pink dan 3 buah jamur ungu yang hampir sama besarnya.
Selesai menghabiskan makanan alami tersebut dan meminum banyak sekali air jernih, Satria bangun dan kembali melanjutkan perjalanannya.
Baru dua langkah berlari, dia jatuh pingsan karena serangan semaput ke kepalanya yang tiba tiba itu.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!