NovelToon NovelToon

KISAH DI KOS-KOSAN CAMPURAN VERSI ANDRI

Gosip Miring

"Tunggu Ndri!" Romi mencegah saat aku hendak membuka pintu ingin keluar.

"Ada apa?"

"Dasimu miring!"

"Biarin ajalah, cuma dasi doang kok!"

"Nggak boleh Ndri. Klien kita kali ini terkenal dengan kerapiannya. Takutnya itu malah mempengaruhi kerja sama kita! Sini aku benerin!"

Romi pun mendekat ke arahku untuk membetulkan dasiku. Ia pun mulai mengotak-atik dasiku.

CEKLEK!

Tiba-tiba pintu terbuka. Sinta, resepsionis kantor mematung melihat kami berdua. Matanya terbelalak.

"M-maaf Pak! Saya nggak bermaksud mengganggu!" ucapnya buru-buru lalu kembali menutup pintu.

"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan Sin!" teriakku.

Aku segera menjauh dari Romi.

"kamu sih Rom! Lihat, Sinta jadi salah paham kan sama kita!"

"Aish! Lagi pula, siapa juga yang suka sama terong?! Masih normal aku!" sahut Romi.

"Aku juga masih normal kali!"

Saat membuka pintu dan keluar dari ruangan, nampak beberapa karyawan menatap kearahku dan Romi. Sesekali mereka juga terlihat berbisik-bisik.

"Tuh liat, mereka pasti lagi ngomongin kita yang aneh-aneh! Itu jadi tanggung jawab kamu untuk menjelaskannya pada Sinta dan mereka! Jangan sampai ada gosip aneh yang menyebar di kantor!"

"Lah, kok aku?!" tanya Romi.

"Terus siapa lagi?! Kamu kan asistenku!"

_________

Sejak kejadian itu, mulai menyebar gosip miring antara aku dan Romi.

Dan di saat makan siang, aku sempat mendengar kasak kusuk beberapa pegawai tentangku.

"Duh, sayang banget ya. Padahal Pak Andri itu ganteng!"

"Iya. Kenapa sih harus cowok ganteng? Kan jadi terbuang sia-sia kegantengan mereka!" timpal yang lainnya.

"Nggak tahulah! Di kantor ini kita di kelilingi oleh cowok ganteng. Tapi keberuntungan tidak berpihak pada kita. Ada Manager Yosua yang seperti oppa-oppa Korea. Tapi sayangnya dia kulkas dua belas pintu. Dingin banget! Yang satunya Pak Andri. Udah ganteng, mapan, ramah pula. Eh malah belok!"

"Hus hus! Orangnya ada di pojok sana tuh! Nanti kedengeran!"

"Aduh, semoga dia nggak denger! Bisa-bisa dipotong gajiku!"

Obrolan mereka pun terhenti setelah mereka mengetahui keberadaanku.

"Rom, gara-gara kamu nih! Kita jadi digosipin aneh-aneh kan!" protesku.

"Biarin ajalah Ndri! Ntar sebulan dua bulan juga hilang tuh gosip. Lagian aku udah punya pacar. Masa orang kantor nggak tahu sih!" jawabnya dengan tenang sambil mengunyah makanan di depannya.

Aku hanya mendengus kesal menatap pria berkacamata di depanku.

________

Pagi ini aku makan terburu-buru karena akan ada meeting di kantor.

"Pelan-pelan Ndri. Nanti keselek!" ucap Mama yang hanya kujawab dengan anggukan.

"Ndri, Papa mau nanya sama kamu!"

"Iya Pa, mau nanya apa?"

"Kok kamu nggak pernah kenalin pacar kamu ke Mama dan Papa sih Ndri?"

"Andri nggak punya pacar Pa," jawabku sambil terus mengunyah.

Kok tumben Papa nanya beginian. Perasaanku nggak enak nih!

"Masa sih Ndri kamu nggak punya pacar? Nggak mungkin kan nggak ada perempuan yang suka sama kamu? Kamu kan ganteng, secara keturunan dari Papanya gitu lho!"

Mama terkekeh mendengar Papa memuji dirinya sendiri.

"Belum nemu yang cocok aja Pa. Nanti kalau udah nemu yang cocok pasti Andri kenalin kok!"

"Perasaan di kantor banyak perempuan yang cantik deh Ndri!" Sahut Papa.

"Nggak ada yang srek Pa!" sahutku sambil mempercepat kunyahanku.

"Kamu nggak belok kan Ndri?"

"Uhuk uhuk uhuk!" aku langsung terbatuk mendengar ucapan Papa. "Ya nggak lah Pa. Andri masih normal!"

"Papa kok ngomong gitu sih?!" tegur Mama. "Nggak mungkinlah anak Mama yang ganteng ini jeruk makan jeruk."

"Ya habisnya Papa lihat, kayaknya Andri nggak pernah jalan sama cewek. Setiap hari jalan sama Romi terus. Bahkan hari libur pun, dia keluar sama Romi!"

"Pagi Om, Tante!" seru Romi yang memang sudah kebiasaannya langsung masuk ke rumahku tanpa dibukakan pintu. Karena dia temanku sejak SMP.

"Nah, baru diomongin udah nongol orangnya!"

"Eh, ada apa Om?" tanya Romi bingung.

"Nggak ada apa-apa kok Rom. Yuk berangkat!" ajakku agar tak semakin lama pembicaraan konyol Papa.

"Rom!" panggil Ayah.

"Iya Om?"

"Om curiga sama kamu. Kamu setiap hari jalan bareng Andri. Berangkat kerja bareng, pulang juga bareng, bahkan libur kerja pun keluar bareng. Kalian nggak menyimpang kan?!"

"Papa!" seruku.

Romi sempat kaget mendengar ucapan Papa. Tapi sedetik kemudian ia terkekeh.

"Jijik kali Om! Masa terong sama terong! Romi masih normal Om!"

"Syukurlah kalau gitu!"

"Yaudah, Andri sama Romi berangkat dulu ya!" ucapku berpamitan.

_________

Setibanya kami di kantor, aku dan Romi beriringan berjalan menuju ruang kerja.

Aku menoleh ke Romi saat merasa ada yang beda darinya. Dan ternyata ia hari ini tak memakai kacamata.

"Tumben kamu nggak pakek kacamata Rom?" tanyaku sambil membuka pintu ruangan.

"Iya, aku mau coba pakai lensa kontak. Siapa tahu menambah kadar kegantenganku!" ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu yang kuduga itu adalah lensa kontak.

Aku hanya mencebik ketika mendengarnya memuji dirinya sendiri.

Terlihat Romi mulai memasang lensa kontak di mata kanannya saat sudah duduk di kursinya. Aku hanya melihatnya dari mejaku.

Saat memasang lensa kontak di mata kirinya, ia terlihat kesulitan.

"Kok susah banget sih! Perasaan kemarin gampang pas liat tutorialnya di YouTube!"

Aku hanya terkekeh mendengarnya.

"Ndri, kamu bisa pasang lensa kontak nggak?!"

"Nggak bisa!" sahutku cepat. "Pegang aja nggak pernah!"

"Ayo lah Ndri, gampang kok! Tinggal kamu taro di ujung jari, terus templokin ke mataku!"

"Ya kalau gampang kenapa nggak kamu lakuin aja sendiri?!"

"Ck, kalau dilakuin sendiri itu susah! Ayo lah Ndri. Bentaran doang kok!"

Dengan malas aku berjalan ke mejanya untuk membantu memasang lensa kontak.

Ia mulai menaruh lensa kontak di ujung jariku. Rasa dingin langsung terasa di ujung jari telunjukku.

Kupegang dagu Romi dan mulai mendekatkan lensa tadi ke matanya.

"Ndri?"

"Apa?"

"Kamu merasa ada yang aneh nggak sih?"

"Apanya yang aneh?" tanyaku bingung.

"Situasi kita sekarang!"

"Kenapa situasi kita?" tanyaku yang tidak mengerti.

"Saat kau memegang daguku seperti ini, dan kita yang saling tatap. Seperti sedang bermesraan!" ujar Romi terkekeh.

"Aish, anj**t!" segera aku melepas dagu Romi. "Pasang sendiri sana!" Aku sedikit menjauh dari Romi.

"Bercanda Ndri! Aku cuma bercanda!" sahut Romi yang malah tertawa. "Ayo cepet sini pasangin!"

"Nggak mau!"

"Ayolah Ndri. Bentar lagi udah mau meeting, sementara aku nggak bawa kacamata yang biasanya aku pakek. Gimana mau baca tulisan kalau nggak keliatan?"

Aku menghela nafas kesal dan kembali mendekat ke Romi. Aku mendudukkan diri di meja kerja Romi sambil meraih lensa kontak tadi dan mulai memasangnya.

"Melek Rom, jangan merem!" ucapku sambil mendongakkan wajah Romi

"Ini udah melek kali! Cepetan, pegel nih leher kelamaan!" protes Romi yang dagunya sedang kutahan agar mendongak.

Pas ketika aku berhasil memasang lensa kontak itu, tiba-tiba pintu terbuka.

"ANDRI!! Sedang apa kalian?!!" teriak Ayah.

Dijodohin?

"ANDRI!! Sedang apa kalian?!!" teriak Papa.

"Nggak Pa, ini nggak seperti yang Papa kira!" Aku segera beringsut menjauh dari Romi.

"Keterlaluan kamu ya! Jelas-jelas Papa lihat apa yang mau kamu lakuin ke Romi!" Mata Papa melotot sempurna.

Papa langsung mengayunkan tas berisi berkasnya ke arahku.

"Aduh! Beneran Pa! Andri nggak bohong! Papa salah paham!!" Aku berlari mengitari ruangan menghindari pukulannya. Tapi Papa tetap mengejarku.

"Dengerin dulu penjelasan Andri Pa!" teriakku sambil terus menghindari pukulannya.

"Apa lagi yang perlu dijelasin hah! Papa udah liat dengan mata kepalaku sendiri!!"

Papa ngos-ngosan dan berhenti mengejarku. Lalu ia pun duduk di kursiku.

"Keterlaluan kamu Ndri! Banyak perempuan cantik di luar sana! Tapi kenapa kamu malah milih cowok!"

"Om, Andri nggak bohong!" seru Romi.

"Diam kamu jala-- Ah, aku bahkan tidak tahu harus memakimu dengan sebutan apa!" sahut Papa.

Papa mengurut pangkal hidungnya. Aku masih belum berani mendekat ke arahnya.

"Untung Papa nggak punya riwayat penyakit jantung. Kalau punya, bisa mati berdiri Papa lihat kelakuan kalian berdua! Jangan-jangan pertemanan kalian selama ini cuma kedok untuk menutup hubungan kalian?!"

"Maaf ya Om! Tapi saya masih normal!! Nggak tahu kalau dengan Andri!" seru Romi.

Aku berdesis karena dia cuma membela dirinya sendiri.

"Om tadi itu cuma salah paham! Andri cuma mau bantuin pasangin lensa kontak saya! Saya normal Om, masih suka sama cewek! Saya juga udah punya pacar kok Om!"

Romi mengeluarkan hpnya. "Kalau Om nggak percaya, nih liat foto pacar saya!" ucap Romi sambil menunjukkan sebuah foto.

Papa melihat sebentar lalu berucap, "bisa jadi itu foto ngambil di google kan?!"

"Ya Allah Om! Nih kalau nggak percaya, Romi telfon orangnya!"

Setelah Romi memencet tombol telfon, tak lama telfon langsung tersambung.

[ Halo sayang, tumben telfon siang-siang gini, kamu lagi libur kerja? ] terdengar suara cewek dari seberang telfon.

"Aku cuma kangen sama suara kamu aja kok! Yaudah, aku kerja lagi ya..." setelah kalimat itu, Romi langsung memutuskan sambungan telfon.

"Tuh, Romi nggak bohong kan Om!"

Aku sedikit bernafas lega saat Papa terlihat mulai percaya.

"Syukurlah kalau memang salah paham. Om minta maaf ya Rom udah salah paham sama kamu!"

"Iya, nggak papa kok Om!"

"Ke aku nggak minta maaf nih Pa?" tanyaku yang seperti terabaikan. Tapi Papa malah melirikku dengan tatapan tajamnya.

Sebenarnya anaknya Papa itu aku atau Romi sih?!

Terdengar Papa menghela nafas panjang.

"Gosip buruk memang cepat beredar. Sepanjang di koridor tadi, para karyawan gosipin kalian berdua!" ujar Papa.

"Cuma gosip doang Pa. Nanti sebulan juga udah lupa mereka. Ya kan Rom?" Romi mengangguk menyetujui ucapanku.

"Jangan pernah menyepelekan masalah ini Ndri! Kalau sampai para kolega kita tahu, ini bisa mempengaruhi bisnis kita! Apa lagi kalau sampai pesaing bisnis kita tahu. Mereka akan menjadikan gosip ini untuk menjatuhkan kita!"

Kenapa ini terdengar jadi tambah serius?

"Kita harus memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini!" ujar Papa.

"Iya, Papa tenang aja. Romi pasti akan cari solusinya kok Pa! Ya kan Rom?" sahutku sambil menepuk pundak Romi.

Romi menoleh ke arahku. "Kok aku?" tanyanya.

"Nah, ini nih yang bikin orang salah paham!" tiba-tiba Papa menunjukku yang sedang menepuk pundak Romi.

Gila, sejak kapan nepuk pundak jadi bikin orang salah paham?! Ini semua gara-gara netizen yang suka main hakim sendiri! Tanpa tahu kebenarannya!

"Mulai sekarang, jaga jarak kalian! Jangan terlalu dekat, sampai gosip ini hilang!" titah Papa sebelum dia mengangkat telfonnya yang berdering.

Setelah selesai ngobrol di telfon, Papa langsung keluar dari ruangan.

Tapi baru dia membuka pintu ruangan, ia menoleh kepadaku.

"Dan kamu Ndri, mulailah mencari pacar! Kalau tidak, Papa yang akan carikan perempuan untukmu!" ultimatum yang penuh dengan penekanan.

_________

Saat akan keluar untuk makan siang, aku dan Romi berhenti di resepsionis. Untuk membicarakan sesuatu dengan Santi.

"San, kamu gimana sih! Kan aku udah jelasin kalau yang kamu lihat itu cuma salah paham aja! Terus kenapa gosipnya masih tetep nyebar?!" tanya Romi ke Santi.

"Maaf Pak, saya udah jelasin kok Pak. Tapi nggak tahu kenapa gosipnya masih tetep aja kesebar!" jawab Santi sambil menunduk.

"Mana gosipnya ditambah-tambahin lagi!" ujar Romi kesal.

"Ya kan Bapak tahu sendiri, kalau kita ngasih pisang ke orang, pas balik ke kita lagi udah jadi kolak!" timpal Sinta.

"Pokoknya, kalau kamu dengar ada karyawan yang gosip tentang kita berdua, kamu harus tegur mereka dan jelaskan kesalahpahaman itu!" tegasku ke Sinta.

"Baik Pak," jawab Sinta sambil mengangguk.

_________

Sesampainya di kafe terdekat, Papa menelfonku. Katanya dia ingin membicarakan sesuatu.

Tak lama setelah menunggu beberapa saat, Papa akhirnya sampai.

"Papa mau ngomong apa?" tanyaku tanpa basa-basi untuk mempersingkat waktu.

"Tentang masalah tadi pagi. Untuk menyelesaikan gosip miring itu, gimana kalau Romi keluar dari kantor kamu!"

"Apa?!! Maksudnya Papa mecat Romi?!" tanyaku terbelalak. Romi pun terlihat sangat terkejut. Namun ia tetap tak buka suara.

"Nggak bisa gitu dong Pa! Romi itu asisten aku! Papa nggak bisa seenaknya mecat dia!" protesku dengan nada tak terima.

"Siapa bilang Papa mecat Romi?"

Aku mengenyit bingung tak mengerti. "Terus maksud Papa bilang keluar tadi apa?!"

"Makanya dengerin dulu, baru ngomong! Maksudnya, Papa ingin memindahkan Romi ke kantor Papa! Dengan begitu, tidak ada orang yang melihat kalian berdua berinteraksi lagi. Dengan begitu gosip itu pasti terbantahkan! Dan nggak ada lagi kesempatan bagi pesaing bisnis kita untuk menghancurkan kita dengan gosip miring itu!"

"Terus aku gimana Pa?"

"Tenang, nanti Papa cariin asisten baru untuk kamu! Papa akan pilihin perempuan yang cantik!"

"Jangan yang perempuan Pa! Yang laki-laki aja!" tolakku yang langsung mendapat tatapan tajam dari Papa.

"Papa jadi curiga lagi sama kamu. Jangan-jangan kamu--"

"Andri cuma lebih nyaman seruangan sama laki-laki aja kok Pa! Nggak ada maksud lain!" potongku cepat agar Papa tidak melanjutkan ucapannya.

"Papa justru tambah curiga setelah mendengar alasanmu barusan!"

Aku hanya bisa mengusap wajahku kasar karena tidak tahu lagi harus menjawab apa.

_________

"Gimana Ndri? Kamu udah punya pacar?" tanya Papa ketika kami duduk santai di teras rumah. Menikmati hari libur.

Ini sudah hari ketiga sejak aku mendapat ultimatum dari Ayah untuk mencari pacar.

"Belum Pa, Andri masih fokus sama proyek yang baru di pusat kota! Jadi nggak ada waktu!" jawabku sambil menyesap teh melati.

"Baguslah kalau begitu!" sahut Papa.

"Eh?!" Aku langsung menoleh ke Papa karena terkejut mendengar ucapannya barusan.

"Aku nggak salah denger kan Pa? Bukannya Papa tempo hari nyuruh aku buat cepet-cepet cari pacar ya?" tanyaku bingung.

"Sekarang, kamu nggak perlu repot-repot cari pacar lagi Ndri!" sahut Papa santai. "Karena Papa sudah menemukan perempuan yang cocok buat kamu!"

"Uhuk uhuk uhuk! Apa maksud Papa?!"

Papa tersenyum padaku lalu menjawab, "Papa menjodohkan kamu dengan anaknya teman lama Papa!"

"APA?!!"

Keluar Dari Rumah

"APA?!" mataku terbelalak mendengar ucapan Papa barusan.

"Kok kamu mendadak budek sih Ndri. Papa jodohin kamu sama anak temennya Papa."

"Andri nggak setuju Pa!" tolakku tegas dan cepat.

"Apa maksudmu Ndri?" terlihat jelas raut wajah Papa langsung berubah.

"Andri nggak mau dijodoh-jodohin!"

"Wong kamu belum tahu anaknya kok udah main nolak aja."

"Ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi Pa! Lagi pula, Andri itu laki-laki! Aku bisa cari sendiri!"

"Dia cantik lho Ndri. Nggak neko-neko juga. Apalagi dia juga wanita karir. Kurang apalagi coba?"

"Kurang kenal Pa!"

"Gampang, tinggal kenalan aja kan?"

Aku menghela nafas berat. "Cinta itu nggak bisa dipaksain Pa! Batalkan saja perjodohan itu!"

"Nggak bisa gitu dong Ndri!" suara Papa naik satu oktaf. "Papa udah bicarain ini matang-matang dengan teman Papa itu! Pokoknya kamu harus nurut!"

Aku segera beranjak ingin meninggalkan Papa. Aku tidak ingin melanjutkan obrolan sepihak ini. Dimana pendapatku tidak akan diterima.

"Mau kemana kamu?"

"Mau mandi!"

"Papa belum selesai bicara!"

"Nggak ada lagi yang perlu dibicarain Pa! Andri nggak setuju dengan perjodohan itu!"

"Duduk! Papa belum selesai ngomong!" titah Papa dengan nada tinggi saat aku sudah di ambang pintu.

Mulai sudah sifat otoriternya!

Aku berusaha tetap tenang dengan menarik nafas dalam.

"Pa, Andri udah dewasa! Tolong--"

"Apa? Dewasa?" potong Papa sambil tertawa dengan nada mengejek.

"Sampai saat ini, kamu selalu berada di bawah naungan Papa!! Kau pikir ada yang bisa kau lakukan tanpa nama Papamu ini?!"

"Jadi maksud Papa Andri nggak bisa apa-apa tanpa Papa gitu?'

"Tanpa Papa jawab pun kau pasti sudah tahu jawabannya! Bahkan karena Papa juga kamu bisa masuk ke perusahaan!"

Hatiku tercubit mendengar ucapan Papa. Padahal, aku melepas cita-citaku karena Papa menyuruhku untuk meneruskan bisnisnya.

"Baiklah, mulai hari ini aku keluar dari perusahaan! Akan aku buktikan kalau aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri!" tegasku.

Papa terlihat kaget mendengar keputusanku. Tapi ia segera mengubah ekspresi wajahnya.

"Baiklah kalau itu maumu. Papa mau lihat apa yang bisa kamu lakukan tanpa Papa!"

Hari itu juga aku mengemasi barang-barangku.

"Kita lihat, berapa lama kau akan bertahan tanpa Papamu ini!" ucap Papa ketika aku melangkah keluar dari rumah.

Tak kuhiraukan lagi teriakan Mama yang tidak ingin aku pergi. Sebenarnya aku tak tega mendengarnya menangis sambil memanggil namaku.

Aku menoleh kearahnya sebelum akhirnya aku melangkah keluar dari rumah.

Kulajukan motorku meninggalkan rumah. Motor yang aku beli dengan gaji pertamaku dulu.

Aku tidak membawa pergi mobil yang biasa aku pakai karena itu adalah pemberian dari Papa.

Papa mencabut semua fasilitas yang pernah dia berikan padaku.

Untungnya aku dulu rajin menabung. Jadi aku masih punya simpanan uang yang lumayan.

Saat ini tujuanku cuma satu. Ke rumah Romi. Untuk sementara waktu aku akan menumpang tinggal di sana sebelum aku mencari tempat tinggal.

_________

Kutatap bangunan berlantai dua yang ada di depanku. Kos-kosan yang lumayan besar. Tampak seperti rumah susun dari luar.

Aku turun dari sepeda dan menuntunnya masuk ke halaman kos-kosan setelah sebelumnya membuka gerbang yang tidak dikunci.

Aku nggak salah alamat kan? Kok ini penghuninya cewek semua?

Di halaman yang lumayan luas ini ada segerombolan cewek yang sedang senam bersama.

Tapi seketika mereka langsung menghentikan aktivitasnya setelah melihat kehadiranku.

Duh, kenapa pada ngeliatin aku sih?!

Salah satu dari mereka ada yang mesam-mesem nggak jelas. Bahkan ada yang mengedipkan satu matanya padaku.

Kelilipan kali dia ya?

Segera kutelfon Romi. Barangkali ternyata dia salah memberiku alamat kosannya.

Meskipun sudah lama berteman dengannya, tapi ini baru pertama kali aku mengunjungi kosannya.

Duh, ini Romi kemana sih?! Kenapa telfonnya nggak diangkat?!

Aku masih berdiri di halaman itu sambil terus menghubungi Romi.

"Masnya mau ngekos di sini ya?" tanya cewek berambut pendek yang mendekat ke arahku.

Belum juga aku menjawab, ada satu cewek lagi yang mendekat.

"Sana minggir! Biar aku aja yang ngomong sama Masnya. Aku kan anaknya ibu kos!" ia menyenggol cewek berambut pendek tadi.

"Ayo Mas, aku antar ke kamar yang kosong. Ibu masih keluar. Jadi biar aku yang tunjukkan kamarnya. Masnya mau lihat-lihat kamar dulu kan?" tawarnya.

"Kenalin Mas, aku Ita," ujarnya seraya mengulurkan tangannya.

Belum juga aku menjabat tangannya, ia sudah disenggol oleh cewek yang lain.

Dan dalam sekejap, semua cewek pada mendekat dan memberitahukan namanya padaku.

Kenapa jadi tiba-tiba absen nama? Udah kayak guru aja aku!

Jika biasanya guru yang menyerukan nama muridnya, ini malah sebaliknya.

"Waduh, kenapa antrian sembako jadi pindah kesini?!" seru seseorang yang aku kenal.

"Romi!" seruku memanggilnya.

"Lho, Ndri, kamu ngapain ke sini?" ia menerobos kerumunan cewek.

"Nanti aku ceritain. Yang penting kita masuk ke kamar kamu dulu yuk!" ajakku agar segera terbebas jadi guru dadakan.

Romi pun membawaku pergi dari sana. Meninggalkan murid dadakan yang nampak kecewa.

"Kamu seriusan ngekos di sini?" tanyaku setelah mulai masuk.

"Iya, kenapa?"

"Aku pikir tadi aku salah alamat. Karena yang kulihat penghuninya cewek semua!"

Romi terkekeh mendengar tuturanku.

"Di sini memang kos-kosan campuran. Lantai satu dihuni khusus cewek. Lantai dua khusus cowok," terang Romi.

Kami pun mulai menaiki tangga menuju lantai dua.

"Kenapa kamu nggak beli rumah atau ngontrak aja Rom? Gaji dari kantor kan lumayan?"

"Aku kan cuma tinggal sendiri ngapain ngontrak? Mending uangnya aku tabung buat ngelamar pacar! Kalau soal rumah, aku masih nyari yang bagus!"

Kini kami telah sampai di lantai dua. Romi merogoh sakunya hendak mengambil kunci.

"Mas Romi! Dia siapa?!" Aku langsung menoleh mendengar suara yang seperti kodok kejepit.

Seorang cewek berdiri di belakang kami. Ada yang aneh dengan cewek ini. Entah perasaanku saja atau apa.

Tapi yang pasti, terlihat di punggung tangannya urat-urat yang menonjol. Belum lagi mukanya yang siang, tapi lehernya malam.

"Kemarin-kemarin nolak aku! Sekarang malah bawa cowok masuk ke kamar! Tega kamu Mas!" seru cewek berambut cokelat itu.

Ada apa dengan suaranya itu? Apa dia nelan kodok ya?

"Ngawur! Dia itu teman aku!" sahut Romi.

"Oh, teman. Kirain cem-ceman kamu!" dia memandangku dengan senyum lebar, lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Yanti. Kamarku pas di depan kamar Romi," ucapnya sambil menunjuk kamar yang berhadapan dengan kamar Romi.

Aku menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku. Awalnya aku sedikit terkejut mengetahui tangannya lebih besar dari tanganku.

"Rom, kata kamu tadi lantai dua khusus buat cowok. Lha ini si Yanti kok nyasar kesini?" bisikku ke Romi.

"Ini bukan Yanti, tapi Yanto!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!