Siapa sih yang tidak ingin memiliki kekasih tampan dengan alis tebal yang bak semut beriringan, mata tajam namun memancarkan kehangatan, hidung mancung yang terlihat menawan, di tambah lagi dengan lesung pipi yang terukir indah saat dia tersenyum. Menambah garis sempurna di wajahnya. Setidaknya itulah yang Kian bayangkan saat bertemu Rendy. Rekan kerjanya yang memiliki ketampanan di atas rata-rata rekan pria lainnya. Namun sayangnya, jalan Kian untuk mendapatkan pria itu tidaklah mudah. Rendy sudah memiliki kekasih. Seorang wanita cantik, cerdas serta berpendidikan. Tapi selagi janur kuning belum melengkung, bolehkah ia berharap?
Setiap perjalanan selalu saja akan ada kerikil yang menghalangi. Tapi tak peduli seberapa banyak ia menghalangi, selagi kau terus berjalan, maka langkahmu pun akan sampai di tempat tujuan.
Hari masih pagi. Matahari masih terlihat malu-malu menampakkan diri. Tapi sinarnya sudah cukup menghangatkan tubuh dari dinginnya embun pagi. Jalanan juga masih terlihat lenggang dari padatnya transportasi di ibukota.
Kian sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan pagi ini. Dan menghindari kemacetan adalah cara terbaik agar ia segera sampai. Jika macet, Kian bisa memakan waktu hampir satu jam di perjalanan. Tapi sekarang, ia hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai dikantornya dengan menggunakan bis kota. Dia benar-benar lega karena jalanan sangat lenggang sesuai harapannya. Bis berhenti tepat di halte dekat pintu masuk halaman kantor. Setelah turun dari bis, Kian menatap gedung tinggi didepan yang menjulang dengan gagahnya. Tempat yang sudah menjadi mata pencahariannya selama dua tahun belakangan.
Ada beberapa gedung perkantoran lainnya yang dibangun disepanjang lokasi ini. Terlihat beberapa gerobak makanan juga sudah berjejer rapi di trotoar depan gedung, menunggu pelanggan yang datang. Beberapa orang yang mungkin tidak sempat sarapan dirumah.
Sambil melangkahkan kaki, Kian sempat beberapa kali menguap. Ia berniat mampir ke pantry untuk membuat secangkir kopi, menghilangkan rasa kantuk yang masih menerpanya. Diliriknya sebentar jam tangannya, masih ada waktu pikirnya. Ia memasuki lift bersamaan dengan beberapa orang yang sudah menunggu terlebih dahulu. Walaupun masih terlalu pagi, tapi sebagian orang sudah terbiasa berangkat sepagi ini. Setelah keluar dari lift, Kian berjalan melewati ruangan kerjanya menuju pantry yang terletak di ujung koridor. Ia sedikit buru-buru, hingga tidak menyadari kalau di pantry ada seseorang yang akan keluar bersamaan dengan dia yang menyelonong masuk.
"Argghh panas!" teriaknya saat tumpahan kopi yang di bawa orang itu mengenai tangannya.
"Maaf.. maaf aku ngga sengaja!" Orang itu meletakkan gelas yang dibawanya lalu mengambil tisu.
"Kak Rendy?" Ia sedikit kaget melihat Rendy yang ada di depannya.
"Sini di bersihin dulu!" Rendy meraih tangan Kian dan mengelapnya menggunakan tisu.
Nisa menatap tangannya gamang. Ada desiran halus yang mengusik hatinya saat Rendy dengan lembut membersihkan jemarinya.
"Maaf... Aku ngga bermaksud.." Rendy melepas tangan Kian perlahan saat menyadari mata Kian yang tidak berkedip sama sekali. Ia jadi merasa tidak enak karena telah menyentuhnya tanpa ijin.
"Ngga apa-apa, Kak. Biar aku bersihkan sendiri." Nisa mengambil alih tisu di tangan Rendy.
"Kamu mau buat kopi?"
Nisa mengangguk.
Lalu Rendy mengambil dua bungkus kopi instan dari dalam lemari gantung dan menyeduhnya dengan air panas. Salah satunya ia berikan pada Nisa.
"Buat kamu."
Nisa menerima kopi buatan Rendy sambil tersenyum. "Terimakasih, Kak."
Setelah membasuh tangan, Kian beranjak meninggalkan pantry menuju ruangan kerjanya. Sementara Rendy, ia sudah lebih dulu pergi dari tempat itu.
Mengingat Rendy, membuat Nisa mengingat kejadian semalam. Semalam ia pulang telat karena harus lembur. Dan disaat yang bersamaan Rendy menawarkan tumpangan untuk dirinya. Karena hari sudah gelap, Nisa pun menerima tawaran itu dengan senang hati. Akhirnya salah satu harapannya berboncengan dengan pria itu bisa terwujud.
"Hei, kenapa senyum-senyum sendiri? Kamu habis kesambet?" Suara Dina, salah satu rekan kerjanya baru saja datang dan mengganggu lamunannya tentang Rendy.
"Apa sih, memang siapa yang senyum-senyum sendiri?"jawab Kian berusaha mengelak.
"Lihat tuh di kaca! Muka kamu dari tadi senyum-senyum sendiri tahu. Memang ada apa sih?" tanya Dina penasaran.
"Kepo!!," balas Kian dengan nada meledek. Membuat Dina yang ada disebelahnya berwajah masam.
Melihat wajah sahabatnya yang berubah seperti itu, akhirnya Kian mengalah. "Semalam, Kak Rendy mengantarku pulang sampai ke rumah. Dan hari ini aku bertemu dia di pantry. Kamu tahu tidak, dia bahkan membuatkan kopi untukku. Ya walaupun tanganku yang harus jadi korbannya dulu."
Dari dulu ia memang mengagumi pria itu. Mungkin sejak hari pertamanya bekerja disana. Selain tampan, baginya Rendy penuh kehangatan. Tidak heran banyak wanita yang mengejarnya.
"Serius???" tanya Dina tak percaya. Bagaimanapun dia tahu bahwa pria tampan itu sudah memiliki kekasih. Ya walaupun banyak wanita yang masih saja berusaha merebut perhatiannya. Tapi dia tidak ingin Kian berharap lebih apalagi jika ujung ujungnya akan terluka. Dina bukan hanya teman sekantor Kian tapi lebih dari itu, dia adalah sahabat terdekat Kian.
"Iya serius," jawab Kian dengan mata berbinar.
"Jangan terlalu baper Kian, kamu kan tahu sendiri dia sudah punya pacar. Belum lagi penggemarnya yang masih terus mengejarnya, memang kamu siap bersaing dengan mereka?" Dina mencoba mengingatkan sahabatnya.
Raut sumringah mendadak hilang dari wajah Kian, kini ia berubah murung seketika. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya lesu.
Ahh benar, seharusnya Kian lebih tahu diri. Mungkin saja Rendy mengantarkannya pulang semalam hanya karena kasian melihat gadis itu berjalan sendiri dimalam hari. Bagaimana mungkin ia berpikir Rendy akan menyukainya.
Matahari terus merangkak naik hingga memantulkan panas ke apa saja yang ada dibawahnya. Membuat orang-orang enggan berkeliaran diluar ruangan. Tapi tetap saja ada yang keluar sekedar mencari makan siang diluar sana. Sedangkan Kian memilih untuk menghabiskan bekal makan siangnya di ruang istirahat yang bersebelahan dengan Mushola. Kian lebih sering membawa bekal sendiri daripada beli diluar. Karena bibi selalu memasak untuk bekal paman, jadi sekalian dia membungkus untuk dirinya sendiri. Selain itu juga menghemat pengeluaran tentunya. Ada Dina di samping Kian yang terus bicara panjang lebar sambil mengunyah makanannya. Dina sendiri membawa bekal makan siang yang tadi pagi sempat dia beli di warteg dekat rumahnya. Katanya lebih murah daripada makanan yang dijual disekitaran kantor. Maklum saja bagi karyawan biasa seperti Kian dan Dina menghemat pengeluaran adalah salah satu yang wajib mereka lakukan jika ingin mempunyai tabungan. Terlebih makanan yang dijual disekitar kantor harganya bisa lebih mahal ketimbang mereka beli diluar.
"Kian, kamu tahu tidak minggu depan peringatan hari ulang tahun perusahaan lho!" ujar Dina antusias.
"Terus..?" tanya Kian datar. Seolah tidak begitu tertarik. Paling-paling hanya acara tahunan dengan berkumpul bersama para karyawan.
"Perusahaan bakal mengadakan gathering keluar kota untuk semua karyawan pusat. Dengar dengar sih mau ke puncak. Menurut kamu gimana?"
"Ya mau kemana saja asal gratis, buat aku ngga masalah!" Kian menjawab sekenanya. Membuat Dina mendengus sebal.
"Yaa itu mah ngga usah di tanya!"
"Toh lagian mau kemana aja panitia yang menentukan. Kita mah cuma ngekor di belakang," balas Kian sambil membereskan sisa bekal makan siangnya. Lalu berjalan ke mushola meninggalkan Dina yang masih menghabiskan makan siangnya. Selesai sholat dzuhur, Kian kembali ke ruang istirahat untuk mengambil tempat bekal makan siang yang tadi dia letakkan di meja. Baru saja hendak beranjak meninggalkan ruang istirahat, Kian terkejut saat seseorang memanggilnya.
"Kian," panggil orang itu.
Saat merasa namanya dipanggil, tentu saja dia menoleh.
"Eh iya, Kak Rendy," jawabnya setelah melihat siapa yang baru saja memanggilnya. Rendy baru saja keluar dari mushola saat Kian hendak meninggalkan ruang istirahat.
"Kamu istirahat disini?" tanya nya basa basi. Padahal dia sudah tahu setelah melirik tempat bekal yang dipegang Kian.
"I-iya kak," jawabnya malu-malu.
Walaupun mereka sering bertegur sapa, entah kenapa Kian masih saja merasa canggung setiap kali mereka bertemu. Dan anehnya rasa canggungnya justru membuat Rendy senang menggodanya. Terbukti saat mereka bertemu Rendy seringkali tersenyum penuh arti. Membuat Kian semakin salah tingkah. Setelah acara bertegur sapa selesai, mereka berjalan memasuki ruangan kerja sambil diselingi obrolan kecil. Tempat mereka bekerja berada dalam ruangan yang sama, hanya saja dibatasi pembatas setinggi dada di setiap bagian.
Kian dan Dina berada di bagian administrasi, sedangkan Rendy berada di bagian marketing. Selesai jam makan siang, sekarang waktunya mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Karena tempat mereka bekerja saat ini adalah kantor pusat dari sekian banyak cabang supermarket yang tersebar di Ibukota, maka suasana kantor akan terlihat sangat sibuk di jam kerja seperti ini. Beberapa di antaranya ada yang bertemu klien, mengangkat telepon dari cabang atau supplier, atau sibuk dengan file mereka yang tertumpuk di atas meja. Mereka memiliki peran masing-masing dalam pekerjaannya.
Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Kian sedang membereskan sisa file yang masih berserakan di mejanya. Hari ini pekerjaannya selesai lebih cepat sebelum jam pulang. Jadi dia tak perlu lembur seperti kemarin. Lagian sudah masuk musim penghujan, jalanan akan dua kali lipat lebih macet saat hujan turun. Ia tidak ingin menghabiskan waktu istirahatnya dengan tidur di dalam bis.
Setelah semua beres dan rapi, Kian mengajak Dina untuk pulang bersama. Berhubung karena arah rumah mereka sama. Mereka pun turun menggunakan lift sambil sesekali tertawa disela-sela obrolan mereka.
Begitu mereka keluar dari gedung, ternyata Dina sudah ditunggu oleh kekasihnya di parkiran halaman gedung. Dan itu artinya Kian akan pulang sendiri tanpa ditemani Dina.
"Maaf ya Ki, ngga jadi pulang bareng. Aku ngga tahu kalo Doni akan menjemput ku," ucap Dina dengan nada menyesal. Andai ia tahu kekasihnya akan datang menjemput, pasti ia akan mencegahnya.
"Ngga apa-apa. Sudah sana, gih! Kasian Doni sudah menunggumu," balas Kian.
Dina berjalan menghampiri Doni yang menunggunya di atas motor. Pria itu memakaikan helm ke kepala Dina lalu mengaitkannya. Setelah itu Doni menyalahkan mesin motornya. Sebelum pergi, Dina sempat melambaikan tangan pada Kian lalu motor pun melaju meninggalkan area parkir. Menyisakan Kian yang menatap mereka menghilang dibalik keramaian jalan.
Kian pun berjalan keluar halaman menunggu bis di halte depan gedung kantor. Di jam pulang para pekerja seperti ini biasanya jalanan ibukota sudah sesak oleh kendaraan. Kemacetan adalah hal yang tak bisa dihindari. Kian menghela nafas pelan, menatap langit yang mulai kemerahan. Hidup di ibukota ternyata tak seindah yang ada di khayalannya dulu sebelum dia memutuskan untuk merantau.
Waktu di kampung, Kian berkhayal ingin menjadi artis saat berada di ibukota layaknya film-film ftv yang sering ia saksikan di televisi. Namun apalah daya, khayalan ada di atas awan tapi kemampuan tidak sepadan. Dengan wajahnya yang pas-pasan dan bermodalkan ijazah SMA, bisa diterima di perusahaan ini saja sudah cukup bagus. Sudut bibirnya tertarik saat dia mengingat khayalan bodohnya itu.
Ditengah lamunannya Kian merasa ada sesuatu yang bergerak didepan matanya, melambai-lambai hingga akhirnya dia terkesiap melihat Rendy yang sedang menggerakkan tangan di depan wajahnya. Menyadarkan Kian dari lamunannya.
"Ehh kak Rendy, sejak kapan ada disini?" tanya Kian kaget. Dia mengusap wajahnya yang bersemu merah menahan malu.
"Sejak sejam yang lalu sambil melihat wajah kamu yang bengong," jawabnya dengan senyuman jahil.
Mendengar jawaban pria itu, Kian menundukkan wajah malu. Rendy pasti sudah melihat tampang bodohnya saat melamun.
"Haha,, aku bercanda, kok. Aku baru saja ada disini."
Kian menghela napas lega. Untuk sesaat ia menatap Rendy yang masih tertawa lepas karena berhasil menjahilinya. Tawa yang membuat dadanya berdebar-debar. Dimata Kian, Rendy sosok laki-laki sempurna yang membuatnya susah tidur selama berhari-hari.
"Emang Kak Rendy mau kemana, kok tumben ke halte?"
"Mau pulang."
"Lho bukannya biasanya Kak Rendy naik motor".
"Motornya lagi di servis, Kian"
"Ohh."
Saat mereka tengah asyik mengobrol, bis yang mereka tunggu pun tiba. Rendy masuk lebih dulu lalu mengulurkan tangannya membantu Kian menaikki bis. Kian tertegun menatap uluran tangan itu, tapi akhirnya menerimanya dan naik bersama Rendy.
Tidak hanya jalanan yang penuh sesak, bis yang mereka tumpangi juga berjejal para penumpang. Hingga penumpang yang tidak dapat kursi harus rela berdiri berhimpitan. Seperti Kian dan Rendy saat ini, mereka terpaksa berdiri di tengah sesaknya penumpang lain.
Kian yang tidak bisa menggapai besi pegangan, berpegangan pada sandaran kursi agar tidak jatuh. Namun seseorang memanfaatkan keadaan dengan memegang tangan Kian. Seolah ia juga ingin berpegangan disana. Kian ingin melepaskan tangannya, tapi ia hampir terjatuh saat supir mendadak mengerem.
Tiba-tiba seseorang meraih tangannya dan menariknya lebih dekat. Kian hampir saja memaki orang itu kalau saja ia tidak tahu tangan kekar yang saat ini menggenggam tangannya adalah milik Rendy.
"Kalau kamu jatuh, bahaya!" ujarnya.
Kian tidak bisa menolak. Karena tidak sedikit orang-orang yang memiliki niat buruk mengambil kesempatan di saat seperti ini. Dengan berpegangan tangan, orang akan berpikir mereka sepasang kekasih.
Tak dipungkiri, Kian merasa kali ini jantungnya berdegup lebih kencang karena posisinya yang terlalu dekat dengan Rendy. Ia bahkan bisa mencium aroma Citrus dari tubuh laki-laki itu. Kian merasa heran, padahal sudah bekerja seharian, tapi bau keringat tidak tercium sama sekali dari tubuhnya.
"Kian, Kiandra.. Bisnya sampai di depan komplek nih." Rendy kembali melambaikan tangannya didepan wajah Kian. Membuat gadis itu terperanjat kaget. Ternyata sedari tadi Rendy sudah mengetuk besi dengan koin sebagai tanda berhenti untuk sopir. Hanya saja Kian tidak menyadarinya. Ia terlalu asyik menikmati aroma yang khas dari tubuh Rendy.
"Ehh iya Kak, terimakasih banyak. Aku turun duluan ya." Kian tergagap. Ia pun turun dari bis dengan cepat sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Menutup pipinya yang nyaris saja meledak karena rona merah.
"Dasar bodoh! Bagaimana aku bisa bengong sambil menikmati aroma tubuhnya. Aku pasti sudah gila." Rutuk Kian.
Tanpa Kian sadari dibalik punggungnya, ada seseorang yang tersenyum melihat tingkahnya.
"Dia terlihat manis saat tersipu."
***
Keesokan harinya Kian memutuskan untuk tetap berangkat lebih pagi dari biasanya. Rasanya lebih nyaman karena bis tidak di penuhi penumpang. Ditambah lagi cuacanya yang belum terlalu terik. Tahu sendiri kan Jakarta, jam masih menunjukkan angka 8 saja panasnya sudah membuat keringat bercucuran.
Baru saja Kian sampai didepan komplek, tiba-tiba seorang pengendara motor datang mendekat, mensejajari langkahnya. Kian melirik sekilas. Namun karena pria itu menggunakan helm full face, membuat Kian tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Kian berusaha untuk tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan langkahnya, tapi pengendara motor itu masih saja mengikutinya.
"Hai, boleh kenalan?"
Kian memutar bola mata jengah saat orang itu berusaha menggodanya. Namun ia sama sekali tidak menanggapi. Ia hanya mempercepat langkahnya agar sampai di halte depan komplek.
Ada sesuatu yang mengganjal Kian, ia merasa seperti mengenal suara orang itu. Suara bariton yang tidak asing di telinganya. Saat ia menatap orang itu lagi, Kian baru menyadarinya.
"Kak Rendy?" Suara Kian terdengar ragu, tapi ia tetap mengucapkannya untuk memastikan pria yang ada didepannya ini benar Rendy atau bukan. Lalu pria itu membuka helmnya dan tersenyum lebar melihat raut bingung di wajah Kian. Setelah melihat wajah siapa dibalik helm itu sebenarnya, Kian refleks melayangkan pukulan di bahu Rendy. Membuat pria itu meringis kesakitan.
"Aduhh." keluhnya sambil mengusap bahunya.
"Lagian siapa suruh pagi-pagi sudah iseng."
"Iya..Iya maaf. Yauda ayo berangkat," ucap Rendy sambil menyerahkan helm lain yang dia bawa.
"Kemana?" tanya Kian bingung.
"Ke Kantor lah masa ke KUA."
"Ke KUA juga aku ngga nolak!" balas Kian dengan nada meledek.
Rendy hanya tersenyum samar mendengarnya. Setelah Kian naik, ia menarik pedal gas dan motor melaju menyusuri jalanan Ibukota. Sebenarnya Kian heran apa penyebab Rendy ada di depan kompleknya pagi ini. Tidak mungkinkan laki-laki itu sengaja menjemputnya? Oh ayolah, dia tidak mau sepercaya diri itu. Tapi tetap saja Kian menurut dan menerima ajakan Rendy. Lumayan dapat tumpangan gratis, batinnya.
Selama diperjalanan mereka saling diam membisu, hanya terdengar suara mesin kendaraan yang saling bersahutan di sisi mereka. Hari masih terlalu pagi. Jalanan belum begitu macet, jadi mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai dihalaman kantor.
Setelah melepas helm, Kian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu mengembalikan helm tersebut kepada Rendy, ia melirik gerobak bubur ayam yang ada di trotoar jalan sambil memegangi perutnya. Kian belum sempat sarapan pagi ini.
"Kamu belum sarapan?" tanya Rendy saat melihat Kian memegangi perutnya.
Kian menggeleng. "Belum, Kak." jawabnya mengulum senyum.
"Kalo gitu kita sarapan dulu, baru naik keatas," ajak Rendy sambil berjalan keluar halaman menuju trotoar dimana gerobak bubur ayam berada. Sedangkan Kian hanya mengikuti dari belakang.
"Pak, bubur ayam dua ya," ucap Rendy sambil mengacungkan dua jarinya ke penjual paruh baya itu.
"Oke Mas siap," balasnya dengan senyum lebar, hingga deretan giginya terlihat jelas. Tidak butuh waktu lama 2 porsi bubur ayam sudah selesai dibuat.
"Ini buat Mas, ini buat Mba." Sambil memberi mangkok bubur ayam dengan hati-hati.
"Terimakasih, Pak," jawab Rendy dan Kian hampir bersamaan. Lalu mereka menyantap bubur mereka masing-masing dalam keheningan.
"Rendy!" Terdengar seorang wanita memanggil nama Rendy dari kejauhan. Saat mereka menoleh, gadis itu sedang melambaikan tangannya kearah Rendy. Lalu berjalan menghampiri. Tubuhnya yang tinggi dibalut blazer hitam dengan dalaman berwarna merah cerah serta rok span yang menutupi hingga lutut membuat auranya sebagai wanita karir memancar sempurna. Belum lagi wajah cantik dengan kulit putih bersih, membuat Kian merasa ciut untuk berharap lebih pada Rendy. Ia jelas tidak ada apa-apanya dibanding Viona.
"Tumben kamu berangkat pagi banget, Sayang?" ucap wanita itu sambil tersenyum pada Rendy. Untuk sesaat dia tidak menyadari keberadaan Kian disebelahnya. Atau memang sengaja untuk tidak memperdulikannya.
"Mmhh.. Ada pekerjaan yang harus ku kerjakan pagi ini. Kamu sudah sarapan?"
"Seandainya pun aku sudah sarapan, rasanya aku tetap ingin sarapan bersamamu. Tapi sayangnya aku sedang buru-buru karena akan ada rapat. Mungkin next time, Sayang," ucap wanita itu.
Jujur saja, sebenarnya Kian merasa ingin muntah saat mendengar Viona berkali-kali memanggil Rendy dengan sebutan Sayang. Kalau di bilang cemburu, tentu saja ia cemburu. Tapi ia tidak punya kapasitas untuk itu.
"Hmm..baiklah," jawab Rendy. Sebelum Viona pergi, ia sempat mencium pipi Rendy di depan Kian. Membuat Kian yang melihat pemandangan itu hanya bisa menelan ludah sendiri.
"Ekhem." Kian berdehem untuk mengalihkan pandangan Rendy dari Viona yang sudah menghilang dari jangkauan mereka. Berhasil, pria itu pun beralih menatap Kian.
"Maaf Kian, itu tadi Viona..." menghentikan ucapannya sejenak. Seperti ragu untuk melanjutkan.
"Pacar Kak Rendy kan?" Sambung Kian seolah tahu apa yang akan diucapkan pria itu.
Sementara Rendy terlihat kaget. "Kok kamu tahu?"
Bagaimana bisa ia tidak tahu, kalau gosip Rendy memiliki kekasih yang bak model saja sudah menyebar ke seluruh kantor.
Demi menjawab pertanyaan Rendy, ia hanya menyunggingkan senyum tipis.
Namun wajahnya yang sedari tadi terlihat ramah mendadak berubah dingin. Perasaan cemburu tak bisa di sembunyikannya. Kian ingin segera pergi dari situ sebelum Rendy menyadarinya. Gadis itu menyelesaikan sarapannya dengan cepat, setelah itu mengeluarkan selembar uang dan membayarnya. Kian berniat pergi dari tempat itu.
"Kak Rendy, aku naik duluan ya. Sekali lagi terimakasih atas tumpangannya." Belum sempat Rendy menjawab, gadis itu sudah berlalu meninggalkannya. Pria itu hanya menatap punggung Kian, bingung melihat perubahan sikapnya.
Hari sudah mulai siang, para karyawan juga sudah berdatangan. Setelah acara briefing dadakan selesai, mereka kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Kian, setelah tadi pagi melihat kemesraan Viona bersama Rendy, ia jadi tidak bersemangat. Saat briefing pun Kian tidak benar-benar mendengarkan apa yang disampaikan. Ia hanya berkutat dengan pikirannya sendiri.
Kian berjalan sambil memegang tumpukan file ditangannya. Menghentakkan kaki untuk melampiaskan kekesalannya. Entah kenapa hari ini dia benar-benar kesal. Meskipun selama ini dia tahu Rendy sudah memiliki kekasih, tapi hari ini rasanya berbeda saat melihat mereka bersama.
"Bruggg."
Seseorang menabrak Kian hingga tumpukan file yang ia pegang berserakan dilantai. Rasanya Kian ingin sekali memaki orang yang ada dihadapannya ini, namun urung karena melihat file yang berantakan. Dia memilih mengumpulkan filenya terlebih dahulu. Saat ia tengah berjongkok mengumpulkan file, orang yang menabraknya lah yang justru memakinya.
"Apa mata mu buta?"
Bukannya membantu atau meminta maaf, seseorang yang menabrak Kian malah memakinya lebih dulu. Membuat emosi Kian yang sempat tertahan, kembali tersulut.
Ia meletakkan kembali file dilantai dengan kasar. Lalu bangkit. "Apa kau tidak waras? Kau yang menabrakku, tapi malah kau yang memakiku. Bukankah seharusnya kau membantuku mengumpulkan file ini atau paling tidak kau bisa meminta maaf, kan?" cecarnya pada orang itu.
Orang yang di depannya hanya melotot tidak percaya saat Kian mencecarnya.
"Kau bilang apa barusan?" tanya pria itu sambil memiringkan kepalanya. Ia berpikir apa wanita di depannya ini berlagak bodoh atau memang tidak tahu.
"Apa telingamu tuli?" Kian mendengus kesal. Sungguh ia tidak ingin menambah masalah. Tapi karena orang di depannya ini yang mulai mengatainya duluan, ia tidak bisa terima. Atau memang ia sengaja melampiaskan kekesalan yang sejak tadi ia tahan.
"Maaf Tuan saya terlambat," ucap seseorang sambil membungkuk.
Kian mengenali orang itu, dia adalah Pak Dan. Danto Kiswontoro. Orang yang mengurus perusahaan ini. Konon, dia adalah asisten kepercayaan Tuan Wijaya, Presiden Direktur dari Wijaya Group. Namun laki-laki di sebelah Pak Dan, ia sama sekali tidak kenal.
"Apa yang sedang Tuan lakukan disini?" lanjut Pak Dan lagi.
"Gadis bodoh ini baru saja meneriaki ku, karena aku menabraknya," ucap pria yang dipanggil tuan oleh Pak Dan dengan nada datar. Masih menatap Kian lekat. Sorot matanya yang tajam seolah mampu membuat lawan bicaranya membeku di tempat.
"APA!!" Pak Dan membelalakkan matanya. Kini beralih menatap tajam Kian.
"Sudah berapa lama kamu bekerja disini?"
"Dua tahun, Pak," jawab Nisa sambil menunjukkan wajah cemas.
Pak Dan mendesah berat. "Selama itu bahkan kamu tidak tahu siapa pimpinan di perusahaan ini?"
Kian tertunduk diam. Yang ia tahu hanya Tuan Wijaya. Tapi pria itu sudah pensiun hampir dua tahun. Dan selama ini ia tidak tahu siapa yang menggantikannya karena setiap laporan akan dikirim ke Direktur Utama melalui Pak Dan.
Kian menggeleng. " Maaf Pak, saya tidak tahu," jawab Kian polos. Seketika wajah sangarnya tadi berubah menjadi pias. Dia benar-benar tidak tahu siapa pria yang ada dihadapannya sekarang. Tapi jika pria ini dipanggil tuan oleh Pak Dan, itu artinya dia bukanlah sembarang orang.
"Apa kau benar-benar tidak mengenali Tuan Arkan?" Kali ini Pak Dan menekan kata-katanya agar gadis didepannya ini segera menyadarinya.
Seperti tersambar petir, Kian baru menyadari kebodohannya. Bagaimana bisa dia tidak menyadari bahwa pria yang ia maki tadi adalah Arkan Saguna Wijaya penerus tunggal dari Wijaya Group sekaligus Direktur Utama.
Kian merasakan kakinya lemas seketika, sendinya seperti berlarian entah kemana. Memikirkan bagaimana nasibnya kelak. Kian menundukkan kepalanya, berharap dia tenggelam didasar kerak bumi yang paling dalam. Tidak akan pernah muncul ke permukaan.
"Maaf Tuan Arkan. Maafkan saya. Maafkan atas kebodohan saya." Kian terus mengulang permintaan maafnya sambil membungkukkan badannya. Berharap pria itu mau memaafkan kebodohannya.
"Berlutut!" Meski pelan, suara itu ibarat petir yang menyambar.
"Apa?" Kian masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Apa kau tuli?" Arkan meraih dagu Kian. "Berlutut atau aku akan menghancurkan mu." Lalu mencengkeram dagu itu kuat.
Glek. Kian menelan ludah, lidahnya terasa kelu. Dia tidak tahu apa yang dimaksud dengan menghancurkan oleh pria di depannya. Tapi Kian tahu pria itu tidak sedang bergurau. Dengan kekuatan dan kekuasaan, apapun bisa ia lakukan semudah menjentikkan jarinya.
Kian tidak punya pilihan. Dengan tubuh gemetar ia berlutut di depan pria itu. Matanya mulai berkaca-kaca, siap menumpahkan air yang sudah tertahan di pelupuk mata.
"Maa-af-kan saa-ya tu-an," ucap Kian dengan sesenggukan.
Dia tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti ini dalam hidupnya. Harga diri dan rasa malunya seperti terhempas ke dasar lautan. Terlebih saat matanya beradu pandang dengan tatapan Rendy. Pria itu terlihat mengepalkan tangannya geram. Namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, bagaimanapun ia bukan lawan yang sepadan dengan Arkan.
Pria yang menyuruh Kian berlutut, kini juga setengah berlutut. Meraih dagu Kian lalu mencengkeramnya lagi. Melud*hi wajah Kian yang sudah menitikkan air mata. Para karyawan yang sedang menyaksikan hanya bisa terperangah melihat kejadian itu. Mereka bahkan tidak berani berbicara sepatah kata pun.
"Lain kali jaga sikapmu." Selesai melud*hi Kian yang membuat gadis itu semakin terisak, tuan muda itu berlalu meninggalkannya. Sambil sesenggukan Kian kembali membereskan file yang masih berserakan dilantai. Lalu datang Rendy dan Dina yang membantunya. Rendy memapah Kian menuju ruang istirahat, sedangkan Dina melanjutkan mengumpulkan file.
Rendy mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengusap wajah Kian yang terlihat berantakan. Pria itu menghapus air mata Kian yang masih jatuh, sambil mengusap lembut pipi gadis itu.
"Apa Tuan yakin tidak ingin memecat gadis itu?" tanya Pak Dan pada Arkan.
"Biarkan saja. Kejadian tadi sudah cukup memberinya pelajaran," jawabnya sambil menyandarkan diri di sofa. Sementara Pak Dan keluar ruangan setelah diperintah Arkan.
"Bagaimana bisa dia tidak mengenaliku? Apa saja yang sudah dia lakukan selama bekerja disini?"
Arkan menarik nafas dalam, lalu menghembusnya kasar. "Dasar bodoh!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!