Matahari masih terasa terik. Angin semilir yang sesekali berhembus meniup lembut wajah cantik Hafiza ketika keluar dari kamarnya. Di teras rumah, terdengar pembicaraan kecil yang sesekali diiringi tawa renyah ayah serta orang-orang yang biasa bertamu ke rumahnya. Biasanya, dia akan langsung hafal pemilik suara-suara yang sering bertamu ke rumahnya. Namun ada satu suara yang tak biasa ia dengar namun terdengar familiar di telinganya. Tapi entah, ia masih ragu. Hafiza mengernyitkan dahinya. Ia mencoba menghilangkan rasa penasarannya dengan menyimak setiap kali suara seseorang itu terdengar. Yah, Hafiza mengernyitkan keningnya dan mengangguk kecil. Sepertinya ia memang mengenal suara itu. Penasaran. Ia mencoba menengok sejenak, tapi ayahnya keburu melihatnya.
“Hafiza, sini Nak.” Hafiza mendekat. Ketika Hafiza menatap ke arah tamu ayahnya, ia begitu terkejut. Seorang laki-laki tampan tampak tersenyum ke arahnya. Hafiza menunjuk. Spontan Ia mendekat, hampir-hampir saja ia akan memeluk tubuh laki-laki itu karna kegirangannya. Hafiza menyalami laki-laki itu dan mencium tangannya.
“Kak Raka? Benar ini kak Raka?" setengah berteriak Hafiza seperti tak percaya. Orang yang dipanggil Raka hanya tersenyum mengangguk.
“Kemana saja Kak. Kenapa baru sekarang Hafiza melihat Kakak."
“Kak Rakamu kesini untuk bercerita bahwa kini ia sudah bercerai dengan istrinya.” Tiba-tiba Pak Abbas menyela . Raka tersenyum menunduk malu. Hafiza mengernyitkan dahi. Ia memandang wajah Raka heran.
“Kok tiba-tiba bercerai. Kapan kawinnya? Kok Hafiza tidak tahu.” Lagi-lagi Raka hanya tersenyum. Ia belum menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan seputar perceraiannya.
“Gak nyangka Dik Hafiza sudah sebesar ini." Raka mengarahkan pandangannya ke atas seperti sedang mengingat sesuatu yang sangat berkesan.
“Kakak masih ingat bagaimana dulu kakak menggendong adik sampai ke kampung sebelah. Waktu itu adik masih sangat kecil,” kata Raka mencoba mengingat masa lalu, dan berusaha mengalihkan pembicaraan awal. Gantian Hafiza yang tersenyum malu. Sejenak keduanya terdiam. Masing-masing seperti hanyut dalam kenangan masa lalu. Ketika obrolan demi obrolan menautkan kedua mata mereka, ada perasaan malu yang mulai menggantikan suasana awal yang biasa-biasa saja.
Pak Abbas melirik, melihat mereka terdiam satu sama lain, pak Abbas berinisiatif membawa tamu-tamunya melihat beberapa ikan mas di kolam depan rumahnya. Ia seperti sengaja ingin membiarkan keduanya lebih leluasa melanjutkan obrolan merek.
Kembali Raka menatap wajah Hafiza, bersamaan dengan itu Hafizapun mengangkat wajahnya . Mata keduanya saling bertatapan, seperti ada rasa takjub yang tiba-tiba muncul satu sama lain. Seperti kata pepatah Arab, sebaik-baik rasa adalah ketika engkau memandang wajahnya dan engkau dapati dia memandang kepadamu.
Keduanya tersenyum malu dan semakin menambah suasana kikuk di antara mereka.
“Gak nyangka Adik sudah sebesar ini. Cantik lagi.” Raka tersenyum membuat Hafiza tertunduk malu.
“Kok rapi sekali, mau kemana,” sambung Raka setelah beberapa saat terdiam dengan suara parau. Ia mencoba mengembalikan pandangan Hafiza yang sejenak tadi tertunduk malu.
“Mau kuliah Kak, tapi Hafiza masih menunggu teman . Tumben jam segini belum datang juga,” kata Hafiza menoleh keluar teras. Raka mengernyitkan keningnya. Ia berfikir mungkin Ini kesempatan buat menawarkan jasa mengantar Hafiza. Hitung-hitung mengenang masa lalu. Pikirnya. Gadis yang dulu pernah digendongnya itu kini sudah menjadi gadis dewasa, cantik dan tidak menutup kemungkinan dia bisa jadi pengisi hatinya yang kini kosong. Dan memang itulah yang sebenarnya terbetik di hatinya ketika ia menyadari Hafiza terlihat begitu menarik hatinya.
“Oya, sudah semester berapa?" tanya Raka.
“Alhamdulillah ini Hafiza lagi KKN Kak,” kata Hafiza sembari mempermainkan beberapa gelang karet di tangannya.
“Emh, berarti sebentar lagi selesai dong,” kata Raka sambil mengurut-urut dagunya. Ditatapnya kembali wajah Hafiza. Ada ragu yang terbetik ketika hendak mengungkapkan tawarannya mengantar Hafiza. Tapi Raka mencoba memberanikan diri. Oya Bagaimana kalau kakak yang antar, kebetulan kakak mau pulang juga.”
Hafiza tersenyum. Setelah menoleh sekeliling memastikan bahwa teman yang biasa menjemputnya tak kunjung terlihat, mantap ia mengangguk. Segera Raka bergegas ke halaman rumah, membalik motornya dan mempersilahkan Hafiza naik. Hafiza tersenyum. Beberapa saat kemudian, sepeda motor yang ditumpangi keduanya melaju pelan menyusuri jalanan berkerikil.
“Kalau sudah wisuda rencananya mau kerja dimana,” kata Raka kembali membuka pembicaraan di atas sepeda motor yang melaju pelan.
Hafiza tersenyum. Menghela panjang. “Entahlah kak, kita lihat saja nanti seperti apa perjalanan hidup.”
“Gak nikah,” tanya Raka singkat. Hafiza tersenyum. Ia mengernyitkan dahi sambil memandang punggung Raka.
“Kalau ayah sih dari dulu nyuruh Hafiza nikah.” Hafiza menghentikan pembicaraannya. Ia menepuk pundak Raka pelan.
“Hafiza turun di sini saja Kak”.
Raka menghentikan sepeda motornya. Hafiza turun.
“Terimakasih banyak Kak.” Raka tersenyum menganggukkan kepala.
“O ya Dik, kakak bisa minta nomor HP nya gak.” Terlihat ragu.
Hafiza berbalik, memeriksa HPnya dan memperlihatkannya kepada Raka. Raka segera mencatatnya. Setelah itu Raka pamit dan pergi meninggalkan Hafiza.
Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan mengiringi malam selepas isya. Bunyi kipas angin tua sesekali terdengar mengeluarkan bunyi reotnya, mencoba membuat nyaman gadis yang sedang terbaring.
Hafiza masih terbaring menghadap langit-langit kamar. Mukena dan sajadahnya belum sempat ia rapikan dan dibiarkannya terhampar di bawah tempat tidur. Jendela kamarnya pun dibiarkannya terbuka dengan kelambu yang tersibak. Sesekali angin yang berhembus lewat jendela menyingsingkan sedikit gerah di tubuhnya. Rasa yang kini ia rasakan seperti meronta dan meminta tubuhnya untuk terbaring. Mungkin itu posisi yang nyaman untuk mengenang kembali bayang seseorang yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Pertemuannya dengan Raka tadi siang secara tiba-tiba, benar-benar membuat Hafiza terkesan. Senyum dan wajah laki-laki itu kini mulai menghiasi waktu santainya selepas waktu isya. Dan entah, kenapa ia tiba-tiba berharap Raka menelponnya malam ini. Ia ingin mendengar suaranya . Suara tegas tadi siang yang sepertinya memberinya harapan terang. Dan ia yakin tak ada yang kebetulan. Begitupun pertemuannya dengan Raka siang tadi, pastinya sudah diatur Tuhan dengan maksud tertentu. Lagipula Raka sudah bercerai, dan tak ada yang salah jika ia harus jatuh cinta kepada Raka. Laki-laki sempurna, baik sikapnya yang dewasa, serta wajah dan fisik yang sempurna. Jika dinilai dengan angka, sudah pasti ia akan dapat angka sepuluh. Siapapun wanita yang melihatnya, sudah pasti juga akan tertarik dengan ketampanannya.
Hafiza tersenyum. Teringat ia beberapa tahun yang lalu, ketika ada tamu dari Malaysia berkunjung ke Pondok pesantren tempatnya mondok. Tamu itu pernah meramalnya, bahwa ia akan menikah dengan seorang duda. Waktu itu ia ia tidak percaya dan menganggapnya hanya sebuah rekaan.
Hafiza kembali tersenyum. Ramalan yang dulu ia anggap rekaan belaka, seperti datang menegur anggapannya. Mungkin Rakalah yang dimaksud, dan semoga saja ya. Jika memang benar, ia pun tidak akan menolak. Dan bodoh jika harus menolaknya walaupun ia seorang duda. Walaupun dia juga memiliki seseorang masa lalu yang statusnya sama dengan Raka, tapi ia masih ragu. Itu karena laki-laki itu selalu menyuruhnya menikah dengan orang lain. Mungkin dia masih trauma sebab perceraiannya. Atau mungkin juga dia tidak sudah punya ketertarikan lagi kepadanya. Dan menurutnya, Laki-laki itupun sudah tidak menarik lagi di matanya. Dan bila dibandingkan dengan Raka, perbedaannya bagai langit dan bumi. Nilainya pun di bawah lima. Laki-laki itu penakut dan hanya bisa bersembunyi di balik syairnya. Syair ambigu yang membuatnya jadi peragu. Dan toh, dia tidak akan sedih dan berduka jika ia meninggalkannya bersama Raka. Jikapun ia harus berduka, mungkin ia harus merasakan karma, bagaimana dulu ketika ia menghianatinya saat bergelimang duka dan air mata.
Terdengar suara HP berdering di atas meja. Hafiza segera beranjak bangkit. Diraihnya HP. Sebuah nomor yang tak dikenal. Jantung Hafiza berdegup. Nomor tanpa nama tapi cukup menyenangkan hatinya dengan tebakan yang mengarah ke Raka. Seratus persen tebakannya kali ini mengarah pada Raka.
“Assalamualaikum” terdengar suara tegas tapi lembut dari seberang. Hafiza memejamkan matanya sembari terus bibirnya mengulum senyum. Ia memegang dadanya kelewat bahagia. Ia melonjak girang. Ternyata Benar, itu memang benar Raka.
Seakan-akan orang yang menelponnya berada di depannya dan sedang memperhatikannya, cepat-cepat Hafiza memperbaiki posisi duduknya.
“Waalaikum salam, siapa ya”. awab Hafiza pura-pura tidak tahu. Ia masih saja tersenyum senang.
“Mmh...Siapa ya? Mungkin orang yang mengantarmu ke kampus tadi siang” . Kata suara di seberang.
Lagi-lagi Hafiza tersenyum. “Emh, siapa ya? Katanya dengan nada manja.
“Lagi ngapain dik”. Tanya Raka di seberang singkat. Sepertinya ia tidak tahan main tebak-tebakan. Hafiza begitu kegirangan ketika Raka mulai menanyakan kabarnya.
“Lagi tiduran kak, barusan selesai buat tugas kampus. Kakak sendiri lagi ngapain”. Kata Hafiza masih dengan nada manja.
“Emh…lagi ngapain ya. Emh, mungkin lagi memikirkan adik”.
Hafiza terdiam. Ia mengernyitkan dahi sembari bibir bawahnya digigit agak kuat, seperti hendak menahan sorak kegirangan dalam dadanya. Dan sepertinya, kata-kata itu yang ingin ia dengar walaupun mungkin Raka hanya ingin bergurau.
“Ah gombal, memangnya aku pantas dipikirin?
“Kenapa gak pantas, malah terlalu pantas untuk dijadikan inspirasi”.
Kembali untuk beberapa saat Hafiza terdiam. Kata-kata Raka sangat mengena di hatinya. Ada keseriusan yang ia tangkap walau mungkin hanya bahan obrolan saja. Tapi Ia merasa Senang sekaligus malu.
“Halo. Kok diam”. Terdengar suara Raka membuyarkan lamunan Hafiza.
“Eh maaf kak. Habis Kakak romantis sih”. Hafiza mulai membuka sekat-sekat rasa sungkannya. Obrolan malam itu semakin menarik. Hafiza menarik ujung charger yang di sampingnya dan mulai mencharger hp nya. Ia tidak ingin obrolannya dengan Raka terputus gara-gara HP nya mati kehabisan baterai.
"Oya, baru kali ini ada gadis yang mengatakan aku ini romantis. Aku jadi tersanjung. Atau jangan-jangan kamu cuma mengolokku saja”.
“Memangnya pacar-pacar kakak yang lain tidak pernah bilang kalau kakak itu romantis? Tanya Hafiza.
“Kok pacar-pacar sih. Memangnya pacar kakak berapa menurut adik”.
Hafiza mengerutkan keningnya. Ia mencoba menerka angka yang pas untuk Raka.
“Emh, mungkin saja banyak, dulu saja waktu Hafiza masih nyantri, kakak-kakak santriwati yang cantik-cantik semua kakak pacari. Jadi pacar kakak mungkin lima”. Terdengar tawa renyah Raka.
“Ah, itu kan dulu. Sekarang kakak hanya mencari wanita yang ingin menjadi istri yang shalehah untuk kakak”. Hafiza mengangkat alisnya.
“Memangnya mantan istri kakak tidak shalehah”. Jawabnya.
“Kalau shalehah mana mungkin kakak ceraikan. Mungkin Hafiza mau bantu nyarikan kakak”. Hafiza terdiam sejenak. Biasanya kalau laki-laki mengeluarkan kata-kata seperti itu, pasti ujung-ujungnya, sasaran tembaknya adalah wanita yang diminta bantuan. Hafiza tersenyum sembari menggaruk kepalanya. Hafiza sengaja mengulur waktu berharap Raka deg-degan menunggu jawabannya.
“Hafiza jadi bingung nyari yang sepadan dengan kakak, apalagi yang shalehah. Kayaknya sulit deh kak”. Kata Hafiza berpura-pura. Dia yakin pada akhirnya Raka akan bilang bahwa wanita shalehah itu adalah dia.
“Tapi menurut kakak tidak sulit kok. Orangnya sudah ada, tinggal minta bantuan Hafiza untuk mendapatkannya”.
Kembali Jamila mengernyitkan keningnya. Ternyata tebakannya salah. Ternyata ia tidak termasuk gadis shalehah yang dimaksud Raka. Hafiza memijit-mijit keningnya. Seperti sedang mulai menerka gadis yang dimaksud Raka. Mungkin ia mengenal wanita itu sehingga Raka bilang membutuhkan bantuannya. Seriuskah Raka mengatakannya. Atau memang ada salah seorang teman dekatnya yang ditaksir Raka? Dan itu berarti, jika ada gadis lain seperti yang dimaksud Raka, dia bukan termasuk yang diinginkan Raka. Tujuan Raka meminta nomor HP nya mungkin untuk menjadikannya Mak comblang saja. Dan itu tentu saja mengecewakannya. Ternyata Raka masih menganggapnya gadis ingusan seperti dua puluh tahun lalu. Ternyata Raka tidak tertarik kepadanya. Tiba-tiba saja Hafiza jadi tidak bersemangat.
“Hafiza tidak biasa jadi mak comblang kak. Kakak saja yang bilang sendiri. Kan lebih nyambung kalau tanpa prantara”. Suara Hafiza terdengar melemah.
“Gak bisa, harus adik. Soalnya hanya adik yang mengerti gadis ini".
“Maksud kakak, apa Hafiza mengenal dekat gadis itu?”. Tanyanya penasaran.
“Pergilah ke depan cermin. Jika adik melihat bayangan seseorang di depan cermin, berarti itulah gadis yang kakak maksud”.
Hafiza menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Ia spontan tersenyum. Jantungnya seketika berdegup kencang. Kini hatinya begitu kegirangan setelah tadi Raka menggiringnya dengan teka-teki yang hampir membuatnya tak bersemangat meladeninya.
“Hafiza tak percaya kalau kak Raka menginginkan gadis di dalam cermin. Apa menariknya dia”. Kata Hafiza. Ia mulai memancing Raka untuk mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya melebihi kejutan yang pertama.
“Segalanya menarik di mataku. Dan tak butuh waktu terlalu lama untuk membuatku tertarik. Mungkin waktu telah lama memisahkan kita, namun pertemuan kita tadi siang seperti pertemuan yang kesekian kalinya. Pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di hati kakak”.
Untuk beberapa saat Raka terdiam, begitupun Hafiza. Seperti saling menunggu untuk lebih dahulu melanjutkan pembicaraan.
“Hafiza, memang ini terlalu cepat, tapi Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Aku tidak mau munafik. Mungkin aku kesepian karena perceraianku, tapi alasan itu adalah alasan terakhir, ketika rasa kagumku dan keyakinanku yang kuat menyimpulkan bahwa kamu memang gadis yang aku cari”. Raka menghentikan pembicaraannya beberapa saat. Seperti tidak ada suara dan gerakan di seberang sana. Ia berfikir Hafiza pergi atau mungkin tertidur.
“Halo, kamu masih mendengarku Hafiza”. Sambung Raka.
“Aku masih di sini kak”. Jawab Hafiza dengan senyum mengembang.
“Maukah kamu jadi pacarku. Maukah kamu menjadi pengisi hatiku yang sedang kalut? Mungkin menurutmu ini terlalu cepat, tapi apakah semua hubungan harus melewati waktu yang lama? Tidak cukupkah jika aku meyakinimu sebagai gadis yang baik, sebagai titianku menjadikanmu kekasihku seutuhnya? Aku meyakinimu sebagai gadis shalehah dan sekarang aku menunggu penilaianmu tentangku”. Raka cemas menanti jawaban. Hafiza masih belum juga memperdengarkan suaranya.
“Mungkin kak Raka mengenalku, tapi itu dulu ketika aku masih duduk dibangku MI. Sekarang aku mungkin sudah jadi gadis yang berbeda. Aku malu jika kak Raka menyebutku gadis shalehah”. Jawab Hafiza beberapa saat kemudian.
“Mungkin, tapi setidaknya kamu punya pengetahuan agama yang cukup untuk menjadikanmu wanita shalehah”. Sahut Raka tegas tanpa menunggu Hafiza benar-benar menyelesaikan pembicaraannya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Masing-masing menunggu siapa yang akan membuka kembali pembicaraan. Dalam hati Hafiza bertanya, mungkinkah Raka masih menunggu jawabannya. Tapi Raka sudah diam terlalu lama, setidaknya ia ingin Raka mengulangi lagi kata-katanya.
“Halo”. Terdengar kedua suara dalam waktu bersamaan. Hafiza tersenyum. Walaupun Raka tak melihatnya, tapi ia merasa malu.
“Apa adik butuh waktu untuk menjawabnya. Aku siap kok, tapi jangan terlalu lama ya, nanti aku gak bisa tidur”. Raka mencoba mengusir kekakuan suasana. Ia ingin suasana mencair seperti di awal-awal obrolan.
“Masa sih, memangnya pertanyaannya apa ya”. Hafiza mencoba menggoda. Tampak ia ingin sekali Raka mempertegas lagi pertanyaannya.
“Maukah adik menjadi pacarku? Kata Raka lembut namun terdengar sangat jelas di telinga Hafiza.
“Emh, bagaimana ya. Adik jadi malu”.
“Kenapa harus malu. Bilang saja dengan terus terang. Jika adik tidak menginginkan kakak, tidak masalah. Aku tidak marah”. Kata Raka lembut tapi mencoba mempertegas.
Kembali Hafiza terdiam. Dia mulai menghitung dalam hati untuk memberi aba-aba pada dirinya kapan ia akan menjawab.
“Ya, Hafiza mau” kata Hafiza singkat.
“Mau apa”. Jawab Raka mencoba mempertegas.
“Hafiza mau jadi pacar kakak”. Kata Hafiza dengan nada mengeja. Ia tersenyum manja.
“Alhamdulillah. Terimakasih Ya Allah. Mungkin malam ini adalah malam paling membahagiakan bagiku. Aku janji akan jadi yang terbaik untuk adik”. Kata Raka tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya.
“Semoga. Semoga saja kakak tidak bohong”. Tenggorokan Hafiza serasa tercekat.
Entah kenapa Hafiza merasa tidak bisa seperti biasanya ketika ada lelaki yang ingin menjadikannya pacar. Sebelumnya, ia akan memberitahukan dulu kepada yang bersangkutan berapa banyak pacar yang ia miliki. Jika dia tidak mempermasalahkannya, lelaki itu akan resmi jadi pacarnya saat itu juga. Terlepas Hafiza menyukainya atau tidak. Tapi dengan Raka, ia merasa takut mengatakannya. Ia takut Raka tidak menerima dan akhirnya mengurungkan niatnya memacari Hafiza. Dan Hafiza memutuskan untuk tidak memberitahu Raka.
Pembicaraan ditutup dengan senyum yang mengembang di bibir masing-masing. Baik Raka maupun Hafiza kini sama-sama terbaring di ranjang masing-masing. Merenungi dan mencoba menikmati rasa yang seperti membawa keduanya terbang ke angkasa jauh. Mungkin ke bintang az-zuhal atau serambi sang wulan. Hafiza pun merasakan perasaan yang tidak pernah didapatkan dari pacar-pacarnya yang lain. Perasaan ini sungguh berbeda. Perasaan inilah yang membisiki hatinya, bahwa mungkin inilah perasaan yang akan melabuhkan hatinya pada Raka. Begitupun juga dengan Raka. Ia ingin segera mengakhiri kesendiriannya. Segera meninggalkan pelabuhan sunyi menuju pelabuhan yang penuh kebahagiaan.
Hingga ketika malam sudah beranjak semakin larut. Keduanya masih tenggelam dalam hayalan masing-masing. Malam menyanyikan lagu syahdunya. Melata malam berdansa, mengubah wajah malam lebih berwarna dengan aurora aneka warni.
Malam seharusnya tahu yang akan terjadi, tapi ia tetap menyembunyikan misterinya dalam selubung gelap. Biar kelak manusia tak hanya bisa berdansa bahagia di panggungnya, tapi ada saat mereka datang kembali untuk mengadu tentang sedih dan terlukanya hati. Pada malam.
****
Hari berganti hari. Waktu berputar terasa begitu cepat. Pristiwa demi pristiwa datang silih berganti mengisi kehidupan anak manusia. Harapan demi harapan indah terajut, ketika hari demi hari terlalui dan terajut kembali menyongsong hari esok. Dan yang beruntung adalah orang yang hari esoknya lebih baik dari hari ini.
Dan tak terasa malam ini adalah malam kedua puluh lima di bulan ramadhan. Suara lantunan ayat-ayat suci al-quran masih terdengar ramai dari surau-surau desa. Alam terasa begitu tenang. Memberi isyarat untuk menghabiskan malam dengan tasbih dan zikir panjang.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul satu malam. Hafiza masih duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Dari tadi dia tidak kunjung bisa memejamkan matanya, padahal beberapa kali ia menguap, mencoba mengeluarkan kantuk yang menelingkupi matanya. Tapi ketika ia mencoba berbaring, kantuk itu seperti begitu saja menghilang, dan ia merasa jenuh membolak-balikkan tubuhnya. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Sesuatu yang tak ingin membiarkannya tidur. Sesuatu yang harus segera diberikan jalan keluar.
Ia pun bangkit. Mengisi waktu yang terbuang, ia mengambil air wudhu dan menghabiskan malamnya dengan membaca al-quran dan shalat sunnah. Tak terasa usianya kini terus bertambah. Di usia itu ia masih sendiri. Diapun merasa kesepian dan hasrat untuk mempunyai pasangan hidup seringkali mengusik pikirannya.
Dari sekian laki-laki yang ia pacari, tak satupun yang pernah mengajaknya menikah. Rata-rata mereka semua memberikannya waktu hitungan tahun untuk menikahinya. Dan Hafiza merasa, tak perlu lagi menunggu waktu selama itu. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya, dan itu mungkin waktu yang tepat untuk mengakhiri masa lajangnya. Dan jika dia yang harus menekan mereka, dia masih menjaga marwahnya sebagai seorang wanita. Baginya kini ia punya banyak pilihan. Ada Sembilan laki-laki yang amat tergila-gila padanya, bahkan jikapun ada yang menawarkan diri lagi untuk menjadi pacarnya, ia pasti akan menerimanya. Tentunya jika tidak mempermasalahkan banyaknya pacar yang ia miliki.
Menjadi wanita yang hanya setia dengan satu pasangan saja sudah bukan pilihan yang menarik baginya. Dia tidak ingin mengulang masa lalu yang begitu menyakitkan, ketika kesetiaannya berbuah pengkhianatan. Dia tidak akan terluka lagi sebab kehilangan satu lelaki, ketika yang lain masih setia menjadi pacarnya. Tapi sekali lagi, diantara kesembilan pacarnya, tak ada satupun dari mereka yang pernah mengajaknya menikah dalam waktu dekat.
Dan kini ia mulai mengharapkannya. Kodrat sebagai manusia adalah hidup berpasangan menjalani kehidupan hingga batas yang ditentukan Allah. Ia mengharapkan salah satu dari mereka mengajaknya melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih tinggi.Terlepas ia mncintainya atau tidak. Walaupun hatinya lebih condong ke Raka, hanya Raka. Dan pernah suatu hari dia meminta pertimbangan kepada kakaknya, mana diantara beberapa orang laki-laki yang dipacarinya, yang menurut kakaknya pantas menjadi pendampingnya. Hafiza mengajukan beberapa nama, termasuk diantaranya nama Raka dan Faris. Faris termasuk yang tidak disukai dan tak dipilih oleh kakaknya. Katanya Faris bukan tipe pekerja keras. Kakaknya takut Faris hanya akan jadi beban buat Hafiza kelak. Dan satu lagi, Faris jelek dan tak sepadan dengan Hafiza.
Pilihan kakaknya pun sama dengan keinginan hatinya, yaitu Raka. Menurut kakaknya, Raka lebih menjamin kebahagiaan Hafiza. Tapi Hafiza ingin bersikap adil. Menunggu siapa diantara mereka yang terlebih dahulu mengajaknya menikah. Dia tidak akan meninggalkan luka yang terlalu dalam untuk yang lain, jika dia menikah dengan salah satu dari mereka. Faris kayaknya gak masuk hitungan, karena menurutnya laki-laki itu belum tertarik membahas pernikahan.
Hafiza mengangkat kedua tangannya seraya menengadahkan kepalanya. Bibirnya terlihat bergerak melafalkan doa. Tatapan matanya khusyu’ mengikuti yang kini tersirat dalam hatinya. Dia berharap, dibulan yang suci dan penuh keberkahan itu, Allah mengabulkan doanya dan menunjukinya jalan keluar terhadap segala harapan dan keinginannya.
“Ya Allah, di malam yang mulia ini hamba menghadap kepada-Mu untuk berkeluh kesah, memohon kiranya Engkau memberi petunjuk bagiku. Tentang keinginan dan pertanyaan dalam hati hamba. Tentang siapa lelaki yang akan kau takdirkan menjadi pendamping hidupku. Hamba yakin, inilah malam suci yang doaku akan terkabul karna perantaranya.
Ya Allah. Dan bahagiakanlah hamba dengan siapapun lelaki yang Kau tunjukkan untuk Hamba. Hamba sudah merasakan luka yang mendalam, dan hamba sudah melaluinya walaupun dengan tangis dan duka. Kini hamba ingin menikmati kebahagiaan dengan orang yang hamba kasihi. Meraih surgamu bersama-sama dengan keridhaan-Mu. Ya Allah, mungkin permintaanku tak sesuai dengan baktiku kepada-Mu sebagai seorang hamba, namun hamba yakin dengan sifat Rahman dan Rahim-Mu. Tak akan ada doa yang tertolak jika hati berserah sempurna kepada-Mu. Dan tak ada tempat yang pantas aku tuju selain-Mu.
Ya Allah, saat ini hamba berikrar dalam hati. Siapapun yang mengajak hamba menikah, maka dialah lelaki yang Kau tunjukkan untukku. Dan jadikan ia permata hatiku. Permata yang selalu berkilauan memancarkan kebahagiaan dalam hidupku. Amin.
Hafiza mengakhiri doanya dengan ******* panjang, mengikuti rasa tenang yang menjalar dihatinya. Ia sudah mantap dengan keputusannya. Siapapun yang mengajaknya menikah, entah itu pacarnya ataupun di luar mereka, ia akan menerimanya. Sayembara telah digelar, hanya tinggal menunggu siapa diantara mereka yang punya keinginan dan keberanian mengajaknya menikah. Hafiza kemudian melepas mukenanya. Sudah jam tiga. Ia harus pergi ke dapur untuk mempersiapkan ala kadar untuk makan sahur nanti bersama keluarganya. Ia bangkit dan menuju ke dapur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!