Nic! Sadarlah! Kita harus lekas pergi dari tempat ini! Ah sial, mengapa tubuhnya sangat berat." Gerutu gadis berpakaian formal tersebut, sembari membopong seorang pemuda tampan yang sedikit lebih tinggi darinya.
Gadis itu berjalan terseok-seok mengikuti langkah sang pemuda yang nampak setengah sadar karena mabuk. Dengan sekuat tenaga gadis itu menyeret tubuh sang pemuda secepat mungkin, ketika mendengar langkah kaki mendekat dia secepat kilat bersembunyi.
'Sudah ku duga, ini telah di rencanakan. Jika saja aku benar-benar ikut minum tadi. Nic pasti akan masuk jebakannya.' ucapnya dalam hati.
Tap...tap...
"Kemana mereka pergi?" Gumam seorang pria tak jauh dari lokasi mereka.
"Aku yakin mereka belum pergi jauh! Nicholas dalam keadaan mabuk, gadis itu pasti kesulitan membawanya. Ayo kita berpencar dan temukan mereka!" Ujarnya, langkah mereka pun perlahan menjauh.
"Emh..emh... Nona, aroma mu begitu harum!" Ucap Nicholas dengan nada sensual, hidungnya mengendus-ngendus leher Khanza.
"Nicholas hentikan! Ini aku Khanza." Ucap khanza dengan wajah memerah.
"Khanza? Sepertinya aku pernah dengar nama itu?" Ucapnya dengan ekspresi wajah bodoh.
"Tentu saja, aku sekertaris mu!" Khanza kembali menyeret tubuh Nicholas mengikuti langkahnya.
Brak...!! Khanza membanting pintu mobil setelah bersusah payah ia membawa Nic dari tempat tersebut.
"Aku harus cepat pergi dari sini, sebelum mereka menemukan kami lagi."
Khanza pun pergi dari tempat tersebut bersama Nicholas yang masih meracau tak jelas di kursi belakang. Dia merengek seperti anak kecil, terkadang dia meracau seperti orang gila.
Khanza meliriknya dari kaca spion, dia tersenyum tipis melihat bosnya itu. Rasanya baru kali ini ia melihat sisi Nicholas yang seperti ini.
'Rasanya, aku ingin waktu terhenti saat ini juga. Melihat sisi mu yang seperti ini begitu jarang terjadi. Kau begitu tampan walau dalam keadaan mabuk sekalipun.' gumam Khanza dalam hati.
Mobil pun berhenti di pelataran hotel. Seorang pegawai mereka datang menghampiri dan membuka kan pintu mobil.
"Tolong bawa Tuan ke kamarnya, dia kelelahan dan terlalu banyak minum."
"Baik Nona Khanza!" Ujarnya. Dengan sigap sang pegawai laki-laki tersebut membopong Nicholas dan mengantar mereka ke kamar khusus yang berada di lantai paling atas.
Pegawai laki-laki itu membaringkan Nicholas di ranjang, setelah itu ia berpamitan dan pergi dari tempat itu. Khanza menutup pintu dan kembali untuk mengurus bos nya yang tak berdaya. Ia melepas sepatu yang Nicholas kenakan dan meluruskan Kakinya, lantas dia mencoba untuk melepaskan Jas yang Nicholas kenakan namun tiba-tiba, Brukk...!! Nic menarik Khanza hingga tubuh Khanza terhimpit di bawah tubuhnya.
"Nic apa yang kau lakukan?!" Khanza melebarkan matanya saking terkejutnya.
"Bukankah kau tadi ingin menggoda ku, kau akan membuka bajuku benar bukan?!" Ucapnya di sertai seringai. Membuat Khanza seketika bergidik ngeri.
"Ti-tidak! Bukan itu yang terjadi, aku hanya ingin melepaskan Jas mu, aku merasa mungkin kau tidak nyaman tidur mengenakan Jas." Ucap Khanza bersungguh-sungguh, namun nampaknya usaha penjelasannya sia-sia saja, Nic tak mendengarkan apa yang Khanza katakan dia mulai melancarkan aksinya.
Cup... Dia menyergap bibir lembut Khanza yang sama sekali belum terjamah siapapun.
Emphhh!!! Khanza nampak kesulitan bernapas, dia berusaha mendorong tubuh Nic agar menjauh darinya.
"Ni-cho-las sa-sadarlah! I-ini aku K-khanza! Kita tak bisa melakukan ini" Ucapnya dengan napas tersengal-sengal.
Nic seolah tak mendengar apa yang Khanza katakan dia terus melakukan apa yang ingin iya lakukan.
Khanza memejamkan mata, sejujurnya tubuhnya merespon semua yang Nic lakukan padanya.
'Setidaknya, biarkan aku menikmati momen saat ini. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi esok hari.' Khanza mengalungkan tangannya ke leher Nic, membalas semua yang Nic lakukan padanya dengan penuh perasaan dan keintiman yang tak pernah Khanza bayangkan pun terjadi.
***
Grusuk...!!
"Sial apa yang terjadi padaku?!" Samar-samar Khanza mendengar suara Nicholas menggerutu. Perlahan matanya terbuka, dia melihat punggung yang bertelanjang itu. Putih, mulus, tanpa noda.
'Itu punggungnya! Aku masih tak percaya semalam kami, kami melakukannya.' wajah Khanza bersemu merah, dia menarik selimut dan menutupi wajahnya. Namun, ia tetap bisa mengintip dari balik selimut tersebut.
Nic nampak mengacak rambutnya dengan gusar, dia lantas berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Di raut wajahnya, nampak begitu jelas rasa penyesalan dan tak terima. Khanza tersenyum pahit, bagaimana dia bisa merasa senang di atas penderitaan Nic.
Khanza menyibak selimutnya dan memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lantas kembali mengenakannya.
"Pagi Nic!" Ucapnya sambil tersenyum ramah seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Nicholas hanya diam tak ingin menjawab sapaan Khanza.
"Semalam kita...," Ucapnya terputus sembari memalingkan wajah.
"Tidak ada yang terjadi pada kita semalam." Ucap Khanza sambil terus mempertahankan senyumnya.
"Apa maksudmu? Kita semalam benar-benar...," ucapannya kembali di potong Khanza.
"Tidak pernah terjadi apapun pada kita Nic! Aku harap kau melupakan semua yang terjadi, anggap saja kita tidak pernah melakukannya!"
Nic terdiam untuk beberapa saat, "baiklah jika kau tak ingin aku bertanggung jawab padamu. Tapi, apa kau menginginkan hal lain, misalnya uang atau apa pun itu? Anggap saja sebagai kompensasi dari ku." Ujarnya seraya duduk di sopa.
"Tidak perlu, kita sudah dewasa itu bukan masalah besar. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya bagiku." Khanza mencengkram celana hitam yang ia kenakan dengan mata terpejam.
"Oh, ternyata begitu. Mengapa aku tidak tahu kau orang seperti itu." Nic melengos membuang muka ke arah lain. Entah mengapa ada rasa tak suka saat Khanza bilang dia bukan orang pertama yang melakukannya.
"Kehidupan pribadiku tidak selalu aku katakan padamu, jadi wajar saja kalau kamu tidak tahu." Jawab Khanza.
Hmph...Nic mendengus kesal, bukan apa-apa dia kesal karena ini terjadi untuk pertama kalinya bagi dia dan dia mendapat barang bekas, sungguh mengesalkan pikirnya.
"Ya sudah, sebaiknya kita pulang."
Khanza mengemudikan mobil dia bertugas sebagai sekertaris sekaligus supir pribadi Nicholas.
'Sepertinya mood dia sedang tidak bagus, apa karena apa yang terjadi semalam? Padahal aku sudah bilang padanya, kalau aku tidak mempermasalahkannya, kenapa dia masih tidak senang?' Khanza mencuri-curi pandang dari balik kaca spion dan nampaknya Nic menyadarinya.
"Kenapa kau terus melihatku dari tadi? Apa ada yang aneh di wajahku." Ucapnya dengan nada kesal.
"Haha... Mana ada, aku hanya melihat pantulan mobil di belakang dari sini." Dalihnya.
"Cih! Kau pikir aku akan percaya dengan alasanmu itu, kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu." Ujar Nic sembari melempar pandang keluar jendela mobil.
'Tahu seperti apa aku? Hmph, aku rasa kau tak seperti itu,' gumam Khanza dalam hati.
Khanza mendesah napas pelan, "Aku khawatir padamu, mengapa kau tidak bicara sejak tadi."
"Aku hanya sedang berpikir saja."
"Apa ini tentang Nona Cherry?"
Hem... Jawabnya datar.
"Tenang saja, selama kita merahasiakan apa yang telah terjadi, Nona Cherry tidak akan pernah tahu dan dia tidak akan kecewa padamu." Khanza menenangkan dengan kata-katanya.
"Apa yang kau katakan, aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan dia, bagaimana aku akan mengecewakannya. Lagi pula, mungkin dia tidak akan pernah kembali," pandangan Nic menerawang jauh.
"Kenapa kau tidak mencoba menemuinya? Bukankan kau tahu dia berada di negara S."
"Tidak mau, kalau dia mengingat ku dia pasti akan kembali," ujar Nic dia tak ingin mengalahkan ego hanya karena perasaan yang ia miliki.
"Bagaimana kalau dia sudah punya pacar di sana?" Khanza memanasi.
"Itu tidak mungkin!" Sergah Nic.
"Tidak mungkin apanya? Nona Cherry sangat cantik dia seorang model dengan karir yang terbilang sukses."
"Kau sebenarnya sekertaris ku atau bukan sih?!" Keluh Nic dia kesal karena Khanza terus saja memanas-manasi dia.
Haha...haha... "Maaf, maaf," Khanza menghentikan candaannya karena wajah gusar Nic.
'Tapi dia benar juga, bagaimana jika Cherry ternyata sudah memiliki kekasih." Nic membatin. Pikirannya semakin tak karuan saja, mengingat banyak kemungkinan jika kekasih masa kecilnya sudah jatuh cinta pada orang lain dan melupakan dia.
"Sudahlah, lusa kamu gak ada jadwal kita berangkat ke negara S," ujar Khanza.
"Tidak mau!"
"Dasar keras kepala," decak Khanza. Namun, diam-diam dia tersenyum senang karena Nic tak mau pergi.
Mobil berhenti di pelataran rumah mewah nan megah. Nic keluar dari mobil lebih dulu sedangkan Khanza memarkirkan mobil ke garasi.
"Selamat datang Nona Khanza." Seulas senyum di iringi sapaan dari pemuda kepala penjaga rumah Nicholas, Khanza jawab dengan senyuman.
"Hay Ren, apa kabar?" Balas Khanza.
"Aku baik Nona," wajahnya merah merona.
Dia adalah Renaldi kepala keamanan rumah Nellson, sudah sejak lama dia mengagumi Khanza. Khanza bukannya tidak tahu jika Renaldi menyimpan rasa padanya, namun dia memilih pura-pura tidak tahu, karena dia sendiri telah memiliki orang yang dia sukai.
"Kalau begitu aku masuk dulu," Khanza berpamitan dengan sopan. Itulah mengapa orang-orang menyukai dia, Khanza selalu bersikap sopan dan tak pernah membeda-bedakan kasta di antara mereka.
Khanza memasuki rumah, dan duduk bergabung dengan Nic dan keluarganya.
"Nak bagaimana apa semua berjalan lancar? Tidak ada masalah kan selama kalian di sana?" Tanya Shelia sang Ibu.
"Tidak ada maslah yang serius Nyonya, semua berjalan sesuai rencana," Khanza menjawab.
"Syukurlah!"
Nic hanya diam dan membiarkan Khanza yang menjawab semua pertanyaan yang Shelia layangkan padanya.
Mereka berbincang sembari menyantap makan malam, "Nic, apa benar tak ada hal yang aneh yang terjadi di sana?" tanya Richard memastikan.
"Tak ada Dad, semua berjalan sebagaimana mestinya, hanya aku sedikit mabuk saat itu tapi diluar semua itu, semua baik-baik saja. Kerja sama pun sudah di sepakati, hanya tinggal tanda tangan kontrak saja." Ujar Nic di sela-sela suapannya.
Richard mengangguk-anggukan kepalanya, "benar Tuan, Nyonya, tak ada hal serius yang akan terjadi selama saya ada bersama Nic," timpal Khanza.
"Hah kau benar, jadi tetaplah berada di sisinya." Ujar Shelia.
Uhuk...uhuk... Khanza tersedak makanan yang langsung meluncur bebas ke dalam tenggorokannya karena tak terkontrol akibat apa yang Shelia katakan barusan.
"Ehem... Tentu, selama saya sehat saya akan berusaha melakukan yang terbaik." Ujar Khanza menetralkan suaranya.
"Baiklah, habiskan makananmu, sebaiknya kau menginap saja disini," pinta Shelia.
"Sepertinya tidak, aku sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah, Aku merindukan ranjang ku." Tolak Khanza.
"Oh terserah kau saja, tapi biarkan Ren mengantarmu ini sudah malam," ucap Shelia.
"Tidak apa Nyonya, Aku sudah terbiasa." Tolak Khanza lagi. Entah mengapa gadis itu selalu menolak apa yang Shelia berikan padanya, sikapnya yang terlalu sungkan dan sopan kadang membuat Shelia risih.
"Kau ini terlalu sungkan, kau sudah ku anggap seperti keluarga Khanza," Shelia menghela napas, sepertinya menyentuh hati Khanza itu bukan perkara yang mudah. Gadis ini selalu membentengi diri dengan sikap sopannya.
Shelia tahu betul seperti apa keluarga Khanza, sebab itulah Shelia memutuskan untuk membawa Khanza keluar dari rumah keluarganya saat dia Lulus SMA dulu atas permintaan Ayahnya sendiri. Terlalu menyayangi, namun tak bisa melindungi itulah Ayah Khanza, kelahiran Khanza yang di anggap sebuah aib membuatnya selalu menderita dan di perlakukan buruk oleh Ibu tirinya.
Nic lah yang pertama menyadari hal itu kala mereka berada di Taman Kanak-kanak dulu. Namun, saat itu Khanza bersikukuh tak mau pergi meski Ayahnya telah menyuruhnya untuk pergi. Karena tak sanggup melihat Anaknya selalu ditindas. Ayah Khanza tak memiliki kekuatan dan kekuasaan di keluarganya, karena Istrinya lah yang berkuasa.
"Terima kasih," Khanza tersenyum tulus.
Shelia balas tersenyum.
"Kau tidak berterima kasih padaku?" Celetuk Nic tanpa menoleh.
"Ya, terima kasih untukmu juga." Tambah Khanza, sambil terkekeh. Nic tersenyum samar.
Selepas itu Khanza pun kembali pulang, karena Shelia memaksa Ia pun terpaksa mengiakan untuk di antar Ren ke apartemennya.
"Nona Khanza apa kau tinggal sendirian?" Tanya Ren di sela-sela mengemudinya.
"Iya, aku tinggal sendiri." Jawab Khanza sembari menopang dagu menatap kosong gemerlap nya malam di perkotaan.
"Emh, apa Nona punya pacar?" Ren memberanikan diri bertanya, dia melirik Khanza dari kaca spion.
"Tidak." Jawab Khanza singkat padat dan jelas, dia seolah tak mau membahas hal yang tak perlu dengan pria di depannya itu.
"Ma-maaf apa aku sudah terlalu lancang?" Ren merasa tak enak hati.
"Hem, santai saja Ren." Ujar Khanza.
'Aku bukannya tak punya orang yang ku sukai, namun aku sadar aku tak cukup pantas untuknya.' Khanza menghembuskan napas kasar.
Setelah perbincangan singkat itu, Ren kembali diam tak berani mengucapkan walau secuil kata sekali pun.
'Andai, andai aku bisa mengatakan perasaanku padamu. Namun entah mengapa saat aku ingin mencoba mengutarakannya, keberanian ku pun hilang bak diterpa angin, aku tak punya cukup keberanian jika kau sampai menolak ku. Namun, aku bahagia menemui fakta bahwa kau masih sendiri, ini sudah lebih dari cukup bagi ku.' Ren membatin sambil tersenyum samar.
***
Khanza menatap dirinya di cermin, semua yang terjadi tadi malam masih segar di ingatannya. Dia menyentuh bibirnya, bibir lembut Nic seolah masih terasa hangat di bibirnya, pikiran-pikiran menyimpang seketika bermunculan, berseliweran di otak bak cuplikan sebuah film.
Dengan segera Khanza membasuh wajahnya, "sial! Apa yang aku pikirkan." Khanza menoyor kepalanya sendiri. Rasa perih yang terasa di area pribadinya kini mulai terasa kembali, Khanza berjalan pelan menuju tempat tidur, sedari tadi Ia berusaha menahannya dan berjalan seperti biasa. Entah mengapa sesuatu seolah mengganjal di bawah sana membuatnya berjalan seperti mengangkang.
'Jadi seperti ini rasa sakit kehilangan keperawanan. Tapi, tadi malam, ah... lupakan-lupakan.' Khanza merebahkan tubuhnya dan menenggelamkan diri ke dalam selimut. Namun, setelah sekian lama dia memejamkan mata, dia tak kunjung tidur, kantuknya tak kunjung hadir.
Aaahhh....!! Khanza mengacak rambutnya gusar, "kenapa aku tidak bisa tidur?!" Dia melirik jam dinding yang menunjukan waktu pukul 1:30 dinihari.
***
Di tempat lain, Nic tengah berbaring di ranjang dengan tangan kanan sebagai bantalan. Sedang tangan kirinya tengah memainkan bandul kalung berbentuk bintang yang berlubang dengan bentuk bintang pula di tengahnya, bagian itu memang sengaja di hilangkan. Bagian itulah yang Ia berikan pada Cherry dulu.
'Apa dia masih mengingatnya? Sudah sangat lama sejak kami berpisah. Senyuman dia apa masih sama? Cantik dan polos, lembut dan menawan.'
Seketika Ia teringat kejadian tadi pagi saat dia dan Khanza berada di hotel, 'Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Aku bahkan tak bisa mengingatnya dengan jelas. Namun, rasa nyaman saat terbangun rasanya baru kali ini aku rasakan.'
Samar-samar bayangan semalam muncul di ingatan Nic namun hanya sebatas potongan-potongan gambar.
"Sitt! Aku benar-benar melakukannya." Nic menghela napas berat.
"Brengsek. Kau memang pria brengsek Nicholas, bagaimana bisa kau melakukannya apa lagi pada Khanza, dia satu-satunya sahabatmu." Nic bangun dan duduk, dia mengambil ponselnya jam menunjukan pukul 02:00.
'Khanza bagaimana keadaanmu?' Sebuah pesan singkat Ia kirim pada nama yang tertera di sana.
"Apa yang aku lakukan, dia pasti sudah tidur sekarang." Nic melempar ponselnya, namun seketika itu pula ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.
'Aku baik.' Isi balasan pesan dari Khanza.
'Baguslah. Tidurlah, jangan sampai kau kesiangan, besok ada rapat.' Nic kembali mengirim pesan.
Khanza membalas kembali, 'kau belum tidur?'
'Belum mengantuk.' Pesan Nic.
'Tidurlah, jangan terlalu banyak bergadang. Selamat malam.' Khanza membalas untuk terakhir kalinya.
Nic kembali meletakan ponselnya dan merebahkan diri.
Entah mengapa setelah kejadian semalam hatinya tak karuan, dia takut Khanza akan mengatakan pada orang tuanya jika mereka telah melakukan hubungan badan. Cinta yang ingin Ia kejar apakah mungkin akan terhenti di tengah jalan, bisakah Khanza menjaga rahasia ini selamanya? Pikiran Nic terus saja berkecamuk hingga membuatnya sulit mendapat kantuknya.
"Sudahlah Nic, dia saja tidak mempermasalahkan kejadian semalam, kenapa kau terus memikirkannya. Kalian sudah dewasa ini hal yang wajar terjadi." Gumam Nic pada diri sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!