NovelToon NovelToon

Anak Bos Yang Kabur

Bab. 1

Luna menguap lebar-lebar. Ia berjalan agak gontai menuju pintu keluar perusahaannya. Hari ini tubuhnya terasa sakit sekali. Begitu lelah dan hanya ingin segera meletakkan punggungnya pada ranjang. Tidur dan tidur.

 

Bahkan saat mobil online yang di pesannya datang, Luna masuk ke dalam mobil dan langsung memejamkan mata tanpa peduli dia sedang berada di mobil milik orang lain.

 

Pekerjaan hari ini memang cukup padat. Luna harus ke bank berulang kali. Sementara pekerjaan di kantor sendiri belum selesai. Itu membuat Luna mengerjakannya dengan tergesa-gesa untuk mengejar waktu.

 

Jika biasanya ia bisa berbagi tugas dengan senior Mera, kali ini tidak bisa karena senior Mera sedang sakit. Jadi Luna kesana-kemari sendirian. Tenaganya keluar lebih banyak daripada biasanya.

 

Dengan memejamkan mata, Luna lumayan bisa beristirahat meskipun dia tidak benar-benar ketiduran.

 

Dia sengaja naik mobil online bukan karena ingin bergaya, tapi karena ada promo yang bisa memangkas biaya perjalanan. Sepeda motornya masih di bengkel, jadi ia naik ojek.

 

Meskipun niatnya hanya memejamkan mata, nyatanya ia justru terlelap. Itu terbukti saat sampai di tujuan, Luna tidak segara turun.

 

“Sudah sampai, Mbak.” Driver di depan memberi tahu. Namun Luna tidak segera membuka mata.

 

Sebuah tangan mungil menyentuhnya. Pertama pelan. Lama kelamaan semakin keras. Namun masih tidak ada respon dari Luna. Driver yang tadinya menghadap ke depan, karena Luna tidak kunjung turun, akhirnya menoleh ke belakang.

 

“Mbak. Mbak. Ayo turun. Sudah sampai.” Driver itu tidak patah semangat membangunkan Luna dari tidurnya.

 

Guncangan dari samping kursi dan panggilan Driver berhasil membangunkan Luna.

 

“Sudah bangun, Mbak? Sudah sampai. Ayo cepat turun. Saya nanti enggak dapat orderan lagi, kalau Mbak enggak keluar dari mobil," keluh driver itu.

 

“Ah, iya. Maaf Pak  ...,” sahut Luna dengan malu. Tubuhnya terasa malas. Namun sesaat dia merasa ada yang aneh. Kepalanya menoleh ke samping. Ada bocah gondrong dan keriting di bangku mobil yang sama dengannya. Bola mata Luna mengerjap.

 

"Dia anak siapa Pak?” tanya Luna menunjuk ke arah bocah dengan umur sekitar lima tahunan. Bola mata Luna melihat ke depan.

 

Driver menoleh ke belakang dan melihat ke arah bocah dengan rambut agak gondrong itu.

 

“Bukannya anaknya, Mbak?” tanya Driver itu agak menahan tawa karena perempuan ini lupa dengan anaknya sendiri.

 

“Anak? Anakku? Tidak. Saya belum punya anak,” bantah Luna. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. Itu sangat melukai harga dirinya yang jomlo.

 

“Mama enggak turun? Elio mau pulang.” Tiba-tiba saja bocah ini memperdengarkan suaranya. Merengek ingin pulang. Luna mendelik.

 

...***...

 

Driver tadi sudah pergi meninggalkan Luna, setelah perempuan ini turun dengan terpaksa. Lalu ia menggeram kesal karena harus bersama bocah tengil ini di sampingnya. Mimpi apa semalam hingga ia harus berakhir dengan bocah yang tidak di ketahui identitasnya.

 

“Kamu siapa, sih?!” tegur Luna sebal.

 

“Mama," panggil bocah itu dengan wajah polos. Luna meringis. Kata itu tidak pantas di ucapkan padanya karena ia belum menikah. Bahkan pacar saja tidak punya. Mantan sih ada, tapi itu kan sudah lama.

 

“Jangan bercanda. Kamu tahu aku bukan mama kamu,” kata Luna ketus.

 

“Kejam sekali sama anaknya.” Mulai terdengar suara ibu-ibu yang lewat. Luna diam sambil menipiskan bibir.

 

“Iya. Padahal masih kecil begitu.” Ternyata orang-orang yang melintas sudah termakan omongan bocah ini. Mereka bergunjing karena Luna tidak mau mengakui si anak adalah putranya.

 

Telinga Luna panas dan merah. Darahnya naik. Emosi tingkat tinggi. Namun dia tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa, selain diam dengan menggeram kesal.

 

“Mama,” kata bocah itu lagi. Seakan-akan sengaja ingin memperkeruh suasana hati Luna.

 

“Tutup mulutmu. Mereka semua menggunjing ku karena kamu,” desis Luna. Lalu ia merundukkan tubuhnya untuk berbisik pada bocah rambut gondrong ini. “Katakan. Apa mau kamu? Kenapa mengikuti aku?” tanya Luna masih dengan geraman.

 

“Kita pulang, Ma."

 

“Diamlah,” sergah Luna geregetan. “Bukan kita pulang, tapi kamu mau pulang, bukan?” Luna meralat kalimat si bocah. Tubuhnya tegak lagi.

 

“Tidak, tapi aku ingin pulang dengan kamu,” tunjuk bocah ini pada Luna. Tuing! Sungguh mengejutkan saat bocah ini tidak lagi berpura-pura menjadi anaknya, sikapnya di luar dugaan.

 

 “Kamu? Kenapa bicaramu tidak sopan? Aku ini lebih tua dari kamu. Seharusnya kamu memanggilku dengan benar. Bukan kamu, tapi Tante,” sungut Luna. “Ingat. Taannn-te.” Lalu ia membantu bocah ini untuk mengeja panggilan yang pantas untuknya.

 

“Tante Tante?” tanya bocah ini terdengar aneh.

 

“Ei ... Kalau kamu mengatakannya seperti itu, artinya akan jadi sedikit negatif,” protes Luna. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah anak ini. Dia perlu meralat itu. “Tante Luna. Namaku Luna.” Luna mengulurkan tangan seraya mengenalkan dirinya pada bocah ini. Dia sengaja membuka diri untuk bisa membujuknya.

 

..._____...

Bab. 2

Bocah itu diam. Dia tidak bereaksi banyak. Bola mata bocah itu hanya melihat ke tangan Luna sekilas, lalu mendongak menatap wajah perempuan ini lagi.

 

“Aku bukan butuh nama kamu, tapi aku butuh pulang. Ayo kita pulang," kata bocah itu mengejutkan. Tanpa bicara lagi, bocah itu melangkah pergi. Seperti hendak pulang. Bocah itu sungguh angkuh. Luna menggeram dan ingin mencakar-cakar wajah imut dan ganteng bocah ini.

 

Luna yang enggan mengikuti langkah bocah itu, menghentikan langkahnya. Dia biarkan bocah itu berjalan sendiri. Dia tidak mau tahu bocah itu kemana. Dia memilih tidak peduli.

Merasa dirinya tidak di ikuti, bocah itu berhenti. Lalu menoleh ke belakang. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri. Kemudian kembali pada Luna tanpa bicara.

 

Bibir Luna tersenyum mengerti. Sepertinya bocah ini takut berjalan sendirian.

 

“Kenapa kembali?” tanya Luna melipat tangan. Luna memasang wajah mencemooh.

 

“Kenapa tidak jalan di belakangku?” tegur bocah ini tanpa tahu kesalahannya sendiri. Luna menggelengkan kepalanya seraya menipiskan bibir. Sungguh menyebalkan sekali bocah ini. Luna jadi ingin tahu siapa orangtuanya.

 

Bagai bocah kecil juga, Luna memilih melayani pertanyaan bocah ini. Mereka tengah berdebat.

 

“Kenapa aku harus jalan di belakangmu? Aku tidak kenal kamu,” jawab Luna santai. Dia tidak ingin di permainkan oleh bocah ini. Raut wajah bocah itu mulai berubah. Yang tadinya tenang, kini mulai was-was. “Jalan saja sana. Toh kamu tidak tahu mau kemana kan? Kamu juga tidak tahu rumahku. Jadi aku akan diam di sini sampai kamu pergi.”

 

“Tidak. Aku tidak akan pergi. Aku akan ikut denganmu.” Bocah itu mulai menunjukkan kepanikan di wajahnya dengan kentara.

 

“Aku tidak mau,” jawab Luna tegas. "Kenapa harus pulang ke rumahku? Memangnya kamu enggak punya rumah?" tanya Luna penasaran.

 

Bocah itu diam sejenak. Sepertinya ada yang di pikirkan. Mungkin juga sedang teringat rumah dan keluarganya. Luna menunggu beberapa detik.

“Punya.” Akhirnya keluar juga jawaban dari mulut anak ini.

 “Ya ... Itu. Pulang saja ke rumah mu," tunjuk Luna ke arah jalan besar. Menyuruh bocah ini pulang. "Kalau punya rumah, kenapa harus ikut aku? Bahkan diam-diam berada di mobil yang sama denganku."

 

“Aku tidak mau pulang," kata bocah itu tegas.

 

“Ya sudah. Kita duduk saja disini. Sampai kamu mau pulang ke rumah mu.” Luna duduk di pot besar yang berada di pinggir jalan. Bocah itu melipat bibirnya. Dia diam.

 

Perlahan bocah gondrong ini ikut Luna duduk. Namun karena badannya masih kecil, bocah ini tidak bisa begitu saja duduk. Dia harus berusaha dulu. Luna memperhatikan. Ternyata bocah ini sangat gigih. Hingga akhirnya berhasil duduk juga.

 

Bukan bocah sembarangan nih. Luna salut. Saat bocah itu melihat ke arahnya, Luna melengos, berpura-pura melihat ke arah lain.

 

“Tolong, bawa aku ke rumah mu. Mungkin tidak lama. Hanya beberapa hari saja. Mereka akan segera mencariku, kalau aku tidak pulang. Jadi tolong biarkan aku tinggal bersamamu,” pinta bocah ini serius.

 

Luna membalikkan punggungnya untuk menatap bocah ini. Permohonan bocah ini terdengar menyedihkan.

 

“Kenapa kamu harus tinggal dengan ku? Aku ini orang asing yang tidak kamu kenal. Kamu tidak takut akan aku cincang dan ku buat sayur sop daging manusia?” tanya Luna mencoba menakuti anak ini.

 

“K-kamu ... pemangsa daging manusia? K-kamu kanibal?” tanya bocah ini gemetar. Mendengar istilah yang di pakainya, bocah ini kemungkinan pintar. Namun dia tetap bocah.

 

“Bukan, tapi aku ini orang miskin. Jadi kalau persediaan makanan ku habis, mungkin saja aku akan mencoba memakan daging manusia,” kata Luna asal. “Dan melihatmu yang tinggal denganku, aku bisa mencincang mu tanpa ada orang yang tahu. Bahkan keluargamu.” Luna mengatakannya dengan nuansa horor.

 

Luna sungguh sadis mengatakan itu. Bocah itu sampai benar-benar gemetaran tidak karuan. Luna sengaja mengatakannya, agar bocah ini tidak memaksa ikut dengannya. Lalu segera memberi tahu siapa dirinya. Hingga dia bisa mengantarkan pulang. Sangat merepotkan kalau harus ada anak kecil di dalam rumah.

 

Namun, sungguh di luar dugaan. Tangan anak itu mengepal. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan gemetar di tubuhnya menjadi keberanian. Luna jadi berpikir panjang.

 

Ada apa gerangan dengan bocah ini, hingga memaksa menguatkan diri daripada kabur karena bertemu orang yang suka makan daging manusia?

 

“T-tidak apa-apa. Tidak apa-apa, a-aku di makan oleh kamu. D-daripada harus tinggal dengannya!” pekik bocah ini menyedihkan. Luna tertegun. Ada gerangan apa dengan bocah ini? "T-tolong. Tolong bawa aku," pinta bocah ini dengan mata berkaca-kaca.

 

Luna mengerjap melihat itu. Tanpa sadar, perempuan ini segera memeluk bocah yang tengah gemetaran ini. Bocah itu, menangis saat berada dalam pelukan Luna. Ini makin membuat suasana mengharukan. Luna pun mengayun-ayunkan tubuh bocah itu seraya menepuk punggungnya. Berusaha menenangkannya sebisa mungkin.

 

“Tenang. Tenanglah. Namun kamu boleh menangis sepuasnya jika memang itu membuatmu lega,” bisik Luna di telinga bocah gondrong yang di gendongnya.

...________...

 

 

 

Bab. 3

Saat Luna pulang dengan seorang bocah di gendongannya, Bi Muti yang tinggal satu atap dengan Luna terkejut. Dia janda yang sudah di tinggal mati suaminya. Karena anak-anaknya tinggal bersama suami mereka, Luna yang saat itu cari tempat kost mendapat keberuntungan dengan tinggal satu atap dengan perempuan ini dengan harga tidak mahal.

 

“Anak siapa? Jangan bilang tiba-tiba kamu punya anak, Luna.” Bi Muti langsung menuduh Luna seraya memerhatikan si bocah.

 

“Tidak mungkin. Pacar saja belum ada. Tidak mungkin aku punya anak," sangkal Luna sambil melebarkan matanya. "Aku tidak tahu dia anak siapa, Bi.”

 

“Hah? Tidak tahu? Kalau tidak tahu, kenapa bisa bersama mu? Kamu menculiknya, ya?” tanya Bi Muti terkejut.

 

“Ih, Bi Muti. Bukan begitu. Aku memang tidak tahu siapa anak ini. Karena tiba-tiba saja ia menyusup masuk ke dalam ojek online tanpa aku sadari," kata Luna menjelaskan.

 

“Ojek online? Mobil?” Bi Muti memperjelas.

 

 “Iya.”

 

“Gaya banget, berlagak elit,” ejek Bi Muti. Karena dia tahu gadis ini saja kost di rumahnya dengan biaya tidak begitu mahal. Namun ejekannya bukan benar-benar untuk menjatuhkan Luna. Sekedar olok-olok biasa saja.

 

“Ih, Bi Muti. Aku naik mobil online karena murah. Bukan mau bergaya elit,” protes Luna. “Bi. Tolong bukakan pintu. Aku enggak bisa masuk karena anak ini berat,” pinta Luna sambil menunjuk ke arah pintu kamar sewanya.

 

“Kuncinya mana?” tagih Bi Muti.

 

“Di saku tas,” kata Luna. Bi Muti pun menggeledah tasnya dan menemukan kunci. Lalu membantu Luna membuka pintu. Luna pun langsung masuk ke kamar tidurnya. Dengan hati-hati, ia rebahkan tubuh bocah itu di atas ranjang. Merapikan rambut anak ini yang gondrong juga keriting.

 

“Wajahnya tampan. Pasti bapaknya juga tampan,” pendapat Bi Muti.

 

"Sepertinya begitu," sahut Luna sambil mengusap kepala bocah laki-laki itu. "Tapi dia agak menyebalkan tadi." Luna masih ingat lagak bocah itu sebelumnya.

 

“Benarkah?" Bi Muti melihat ke arah bocah itu. Ayo katakan. "Lalu, siapa bocah ini?” Rupanya Bi Muti masih ingat soal pertanyaannya tentang siapa anak ini.

 

“Kita bicara di luar saja,” bisik Luna takut membangunkan bocah itu. Mereka pun keluar dari kamar. Lalu mengobrol di depan tv. “Aku tidak tahu anak itu siapa. Saat turun dari mobil tadi, tiba-tiba dia ada di sebelahku,” ujar Luna bercerita awal dia bisa bersama bocah ini.

 

“Kamu pasti ketiduran di mobil, ya? Kok bisa enggak tahu kalau ada bocah duduk bersama mu,” tebak Bi Muti yang sudah hapal dengan Luna karena tinggal di rumah ini bersama.

 

Luna meringis ketahuan. "Iya. Aku lelah, jadi mengantuk."

 

“Dasar anak ini,” kata Bu Muti sambil memijit bahu Luna gemas.

 

“Iya. Pundak ku lelah. Bi Muti bisa memijitnya terus,” kata Luna malah menyodorkan bahunya untuk di pijat. Plak. Bi Muti malah menghadiahkan pukulan di punggung perempuan ini.

 

“Sakiit ...” rintih Luna. Lalu memegang punggungnya agak lama. Memijitnya pelan demi menghilangkan pukulan Bi Muti tadi.

 

“Jangan bercanda terus. Lanjutkan kalimat mu tadi," kata Bi Muti sangat penasaran. Luna akhirnya mulai serius.

 

“Awalnya aku terus memaksanya mengaku, dia anak siapa. Namun setelah kita bicara dan dia mengatakan kalau dia lebih baik mati aku makan daripada ...”

 

“Kamu makan? Memangnya kamu sedang menjadi apa?" potong Bi Muti heran.

 

“Manusia kanibal." Luna terkekeh. "Aku menakutinya agar dia takut tinggal denganku dan meminta aku mengantarkan dia pulang. Namun ternyata dia lebih memilih mati daripada tinggal dengan mama tirinya.” Luna menaikkan alisnya prihatin.

 

Mendengar cerita Luna tentang kata-kata bocah itu, Bi Muti ikut prihatin. Akhirnya Bi Muti setuju Luna merawat bocah itu karena kasihan sementara waktu.

 

...***...

 

“Ngg ... Ngg ...” Bocah yang tidur di ranjang kecil milik Luna mengigau. Namun tidak ada reaksi apapun dari Luna yang tidur di bawah beralaskan kasur lipat.

 

“Ngg ... Ngg ...” Terdengar lagi igauan anak ini. Luna benar-benar terlelap karena kelelahan hingga dia tetap tidak mendengar igauan bocah yang makin lama makin keras saja.

 

“Mama! Mama!” teriak bocah itu. Baru karena teriakan ini, Luna akhirnya bangun.

 

“Apa? Apa?” tanya Luna setengah sadar dan panik karena terkejut. Ia sudah membuka mata, tapi masih dengan setengah jiwanya

 

“Mama!” teriak bocah itu lagi. Luna langsung bangkit dari tidurnya dan duduk di tepian ranjang.

 

“Tenang bocah. Tenang ... Aku ada di sini,” kata Luna sambil mengusap kepala anak itu. Lalu Luna bangkit dari duduknya dan mengambil tisu. Kening bocah ini berkeringat. Luna mengelap keringat dingin di kening Elio. Lambat laun, teriakan bocah itu berganti menjadi pelan. Mirip sebuah gumaman.

 

“Mama ...”

 

“Iya ....” Luna menepuk pantat bocah ini dengan lembut. Matanya yang tadi masih melek merem dengan separuh jiwa, kini sudah mulai cetar. Luna mengipasi bocah ini dengan karton sambil duduk di tepi ranjang. Bikin repot memang karena kenapa tidak menyalakan kipas. Namun Luna takut masuk angin karena dia tidak tahan dengan kipas angin. Perlahan ia pun mengantuk hingga tertidur sambil duduk.

 

 

...____...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!