NovelToon NovelToon

Cinta Pria Tak Dikenal

1. Pria Tak Dikenal

Sebuah mobil Jeep berhenti di tepi jalan berbatu yang kanan kirinya hanyalah pepohonan dan semak belukar. Bahkan lampu jalan pun tak ada.

Hanya lampu depan mobil yang menyorotkan cahaya di kegelapan malam.

Dua orang pria turun dari mobil. Mereka menurunkan satu pria yang bertelanjang dada, kaki serta tangannya terikat kuat, dan yang lebih mengenaskan, sekujur tubuh pria itu dipenuhi oleh luka-luka memar.

Setelah memastikan tak ada orang selain mereka, dua pria itu melempar tubuh si pria malang ke semak, lalu mereka pun tertawa puas.

"Inilah akhir dari seorang Gustav Green," gumam salah satu pria bertubuh gemuk sambil bibirnya menerbitkan seringai.

"James, kamu yakin ingin membuang dia ke tempat seperti ini?" Pria yang satu lagi bertanya.

"Lantas, di mana lagi? Biarkan dia menjadi mangsa serigala hutan yang kelaparan. Ayo, kita pergi dari sini, sebelum ada yang melihat kita."

James dan satu temannya masuk kembali ke dalam mobil yang kemudian melaju kencang meninggalkan tempat itu. Mereka berpikir jika tempat dibuangnya tubuh pria itu tak akan dilalui oleh orang. Tapi kenyataannya, mereka salah besar. Setengah jam kemudian, ada dua orang berjalan kaki melintasi jalan berbatu itu.

Mereka adalah Lisa, gadis berumur dua puluh tahun, bersama ayahnya, Juna. Lisa dan Juna berjalan dengan masing-masing menenteng dua ember berisi air bersih.

Tampak gurat kelelahan tersirat di wajah Lisa. Sejenak dia meletakan ember, berkacak pinggang dan menarik napas panjang.

"Musim kemarau menyebalkan," keluh Lisa.

Mendengar anaknya mengeluh, Juna hanya bisa tersenyum dan berhenti. Dia memilih duduk di batu besar sambil menunggu Lisa mengumpulkan kembali tenaganya

"Setiap tahun pasti seperti ini terus. Kita harus mengambil air bersih yang jaraknya hampir dua kilometer dari rumah," Lisa menggerutu sembari ikut duduk di samping ayahnya.

Ya, desa tempat tinggal Lisa sedang dilanda musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan sulitnya mendapatkan air bersih.

Memang ada sumber mata air yang letaknya ada di pinggir hutan. Namun, jika pagi hari, Lisa harus berebut air bersih dengan warga desa yang lain.

Sehingga terpaksa Lisa dan Juna mengangkut air di malam hari.

Juna hanya diam tak merespon keluhan Lisa. Meskipun begitu, di dalam hati Juna sangat teriris karena tak dapat membahagiakan anak semata wayangnya.

Lalu Juna memicingkan mata yang membuat kerutan di wajahnya semakin terlihat jelas. Dia menangkap sesuatu yang tergeletak tak jauh dari mereka. Tepatnya di balik semak belukar.

"Lisa, kau lihat itu?" Juna mengacungkan jari telunjuk ke arah yang dimaksud.

Lisa mencondongkan tubuh dan ikut menatap ke arah yang ditunjuk Juna.

"Mungkin itu hewan buruan yang ditinggalkan begitu saja," sahut Lisa enteng.

Juna bangkit berdiri, perlahan mengayunkan kaki maju mendekat, lalu menyibakkan semak yang menyembunyikan tubuh manusia penuh luka.

Dia mundur beberapa langkah saking terkejutnya, dan memanggil Lisa untuk melihat hasil temuannya.

Gadis pemilik rambut bergelombang itu pun tak kalah terkejut dengan sang ayah. Dia memekik hingga mengagetkan burung-burung yang kemudian terbang dari dahan pohon.

Bagaimana tidak terkejut? Seorang pria bersimbah darah di bagian kepala yang mengalir hingga ke leher. Bukan hanya itu, seluruh badannya pun penuh akan luka memar.

Sepertinya pria malang itu telah dihajar sampai sekarat, lalu ditelanjangi hanya menyisakan celana jeans panjang.

Lisa berjongkok di samping tubuh si pria, menempelkan jari telunjuk dan jari tengah ke pergelangan tangan si pria untuk mengecek denyut nadinya.

Mata Lisa membola seketika menyadari pria babak belur itu masih hidup. Secepat kilat, dia memalingkan muka menatap Juna.

"Dia hidup?" Juna bertanya.

Lisa hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Ayah, pertanda buruk. Cepat! Kita pergi dari sini saja," Lisa menarik lengan Juna sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan raut ketakutan.

"Kenapa, Lisa? Apa maksudmu pertanda buruk," Juna bertanya keheranan akan tingkah Lisa.

"Ayah, kita tidak tahu dia siapa? Bagaimana kalau dia orang jahat buronan polisi?" Lisa berkata dengan gemetar ketakutan.

Namun, Juna tampak biasa saja. Dia mengangkat kedua alisnya, dan menahan Lisa agar tidak pergi.

"Dan bagaimana kalau dia orang baik?"

"Kalau dia orang baik, pasti dia sedang diburu oleh penjahat. Jika kita membantu pria itu, artinya kita juga akan diburu penjahat, Ayah."

"Tapi apakah seorang calon dokter akan membiarkan orang terluka dan meninggalkannya begitu saja?" tanya Juna yang mengetahui cita-cita anaknya menjadi seorang dokter.

"Kita hanya orang miskin, Ayah. Aku tidak mau terlibat masalah yang nantinya hanya merugikan keluarga kita."

Juna menghela napas sejenak. Tak menyangka anaknya memiliki pikiran negatif seperti itu.

Pria yang tetap gagah di usianya yang telah menginjak empat puluh lima tahun itu pun menepuk bahu Lisa, dan mengguncangnya.

"Lisa, apa kau ingat mendiang ibumu? Apakah saat dia menolong seseorang, dia memandang latar belakang orang tersebut?"

Lisa menelan salivanya, mengingat sosok ibu yang kini telah tiada.

Dulu ibunya adalah seorang bidan desa, yang tak hanya menangani ibu hamil dan kelahiran bayi, tapi juga sering membantu warga yang sakit ringan.

Dengan bekal pengetahuan yang didapat, Ibu Lisa menjadi orang pertama yang didatangi warga jika mereka jatuh sakit. Baru jika penyakitnya sangat parah, Ibu Lisa akan menyarankan untuk pergi ke klinik atau rumah sakit.

Pelan-pelan Lisa menganggukan kepala.

"Dan kau ingin menjadi seperti Ibu, ‘kan?"

Lisa mengangguk lagi.

"Kalau begitu, bantu Ayah membawa pria itu ke rumah."

"Tapi, Ayah—"

"Jika kau khawatir, Ayah akan menghilangkan jejak darah pria itu agar tidak ada orang yang tahu, kita telah membawanya."

Juna mengangkat pria penuh luka itu, dan menggendongnya seperti membawa karung beras. Tak peduli kini bajunya kotor oleh darah.

Juna menuangkan air menyiram simbahan darah yang menetes di rerumputan untuk menghilangkan jejak.

Sedangkan Lisa hanya diam mematung. Air yang dia angkut dengan perjuangan keras, harus dihabiskan hanya untuk membantu pria tak dikenal.

2. Bertambah Parah

Empat hari telah berlalu, Lisa telah menjahit luka di kepala si pria asing, dan mengganti perban setiap hari. Luka itulah yang paling parah dan paling Lisa perhatikan.

Meskipun memar yang ada di sekujur badan telah memudar. Namun, si pria asing tak kunjung sadarkan diri.

Di rumah itu, hanya ada dua kamar. Kamar Lisa dan kamar Juna. Sehingga terpaksa, mereka membaringkan si pria asing di sofa ruang tamu.

Selama empat hari itu pula, Juna dan Lisa tak dapat mengangkut air bersama-sama. Karena mereka harus bergantian menjaga si pria asing, takut sewaktu-waktu bangun.

Lisa menatap penuh gundah ke luar jendela. Membiarkan sang ayah mengangkut air malam hari sendirian berjalan kaki menuju hutan, membuat Lisa gelisah.

Dia tidak dapat tidur sebelum memastikan ayahnya pulang ke rumah dengan selamat.

"Semua ini gara-gara kau, Pria Asing," gerutu Lisa pada tubuh yang terlelap di atas sofa tua, seakan pria itu dapat mendengar.

"Segera bangun! Dan enyah dari rumahku. Merepotkan saja."

Lisa menghela napas, menyadari dirinya seperti telah gila berbicara pada orang yang pingsan.

Sambil menunggu kepulangan Juna, Lisa memutuskan untuk membaca koran. Siapa tahu ada berita orang hilang atau berita buronan polisi yang kabur.

Lisa sangat penasaran akan identitas pria yang dia tolong. Akan tetapi, di koran hari ini dan beberapa hari lalu tak ada satu pun berita yang menjadi petunjuk pria asing itu.

Ketukan pintu membuat Lisa terlonjak senang. Pertanda bahwa sang ayah telah pulang.

Lisa bergegas membuka pintu, dan benar saja, Juna sudah berdiri di depan pintu dengan dua kompan besar berisi air.

"Kau belum tidur, Nak?" tanya Juna saat menyeret kompan ke dalam rumah.

"Aku menunggu Ayah."

Juna melirik sekilas pada tubuh si Pria Asing yang kini memakai salah satu baju miliknya.

"Kenapa kau tidak memberi dia selimut?"

"Dia tidak mengeluh kedinginan, Ayah," sahut Lisa enteng. Sebenarnya dia malas untuk menyelimuti pria itu.

"Mana ada orang pingsan dapat bicara mengeluh kedinginan. Kita yang harus berinisiatif, Lisa. Ambilkan selimut Ayah!"

Tak mau membantah, Lisa menuruti perintah Juna. Mengambil selimut dan membentangkannya menutupi tubuh pria itu.

Dan tepat saat itu, tangan Lisa tak sengaja menyentuh lehernya yang terasa sangat panas. Sekali lagi Lisa memastikan dengan meletakan punggung tangan di dahi pria itu.

"Ayah, tubuhnya panas sekali," seru Lisa panik.

Juna bergegas berlari mendekat, ikut mengecek suhu tubuh pria malang itu menggunakan termometer tua milik mendiang istrinya dulu.

"Astaga, dia demam tinggi."

Lisa membuka perban secara perlahan. Dia yakin telah mengganti perban setiap hari, dan merawat luka di kepala dengan sangat hati-hati.

Namun, saat perban terbuka terlihat nanah yang keluar dari luka di kepala sebelah kiri. Pertanda lukanya mengalami infeksi.

"Ayah, dia harus dibawa ke rumah sakit," ucap Lisa. Panik dan bimbang bercampur menjadi satu.

Berbeda dari Lisa, Juna justru lekas berdiri, berkata dengan suara yang mantap, "Kau tunggu di sini! Ayah akan meminjam delman milik Pak Doni."

***

Perlu waktu dua jam untuk dapat sampai ke rumah sakit menggunakan delman. Meskipun Juna sebisa mungkin mempercepat laju kendaraan tradisional itu.

Si Pria Asing langsung mendapatkan penanganan dari dokter begitu sampai di rumah sakit.

Selain luka yang terinfeksi, diketahui juga bahwa ada pendarahan di dalam otak yang membuat pria itu harus segera dioperasi.

Lisa dan Juna dibuat kalang kabut melihat rincian biaya yang harus mereka siapkan agar tindakan operasi segera dilakukan. Maka mereka pun meminta keringanan sampai esok pagi.

"Ayah, bagaimana ini? Untuk makan saja kita tidak punya uang, apalagi membayar biaya rumah sakit," celoteh Lisa saat mereka berada di lorong rumah sakit.

Juna terdiam dengan dahi mengerut. Memikirkan cara agar dia mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.

"Atau kita kabur saja, Yah?" celetuk Lisa yang tiba-tiba terlintas ide untuk meninggalkan pria asing di rumah sakit.

"Lisa, kita yang menemukan pria itu. Artinya kitalah yang harus bertanggung jawab dan mengusahakan agar dia sembuh," tutur Juna penuh wibawa.

"Tapi, Ayah, kita orang kurang mampu."

"Ayah punya sedikit tabungan. Sementara kita pakai uang itu dulu, sisanya kita pikirkan nanti."

Lisa melempar pandangan pada sang ayah. Meneliti raut wajah yang sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya.

Tak mau melihat ayahnya berjuang sendiri, Lisa pun melepas kalung emas dengan liontin berbentuk hati dari lehernya.

Dia memandang sesaat kalung pemberian terakhir mendiang ibunya. Kalung yang paling berharga melebihi batu berlian terbesar di dunia sekalipun.

Kemudian dengan berat hati, Lisa menyerahkan kalung itu pada Juna.

"Ayah, gadaikan kalung ini juga. Aku tak tahu nilainya berapa tapi semoga bisa membantu Ayah."

Juna menerbitkan senyuman di bibirnya saat menerima kalung itu. Bersamaan dengan kedua matanya yang mengembun.

"Ayah bangga denganmu, Nak."

Detik berikutnya anak dan ayah itu saling berpelukan.

***

Keesokan paginya, setelah operasi selesai dilakukan. Pria itu masih dalam pengaruh obat bius.

Lisa yakin jika uang tabungan dan hasil gadai kalungnya masih belum menutupi biaya operasi. Namun, saat dia menanyakan pada Juna, pria paruh baya itu tak menyahut.

"Ada rezeki yang datang tak disangka-sangka, Nak. Sudah jangan terlalu dipikirkan!"

Begitulah jawaban Juna saat Lisa bertanya.

Tak lama, Lisa melihat tangan si Pria Asing sedikit bergerak, diikuti kelopak matanya yang perlahan membuka. Membuat Lisa seketika berdiri dan tersentak senang.

Lisa segera memanggil dokter untuk memeriksa kondisi pria itu. Sambil menunggu, dia berjingkrak riang sudah tak sabar untuk meminta ganti rugi atas uang yang telah dipakai membiayai administrasi rumah sakit.

"Apakah kalian keluarga dari pasien?" Dokter wanita bertanya setelah memeriksa si pria asing.

Lisa menggelengkan kepala. "Bukan."

"Teman dekat pasien?"

"Bukan juga, Dok. Dia hanya pria asing yang kami pun tidak tahu namanya."

"Begini, saya harus menjelaskan pada Anda, jika pasien mengalami amnesia atau hilang ingatan."

"Apa, Dok?" Lisa tersentak, melirik pada pria yang berbaring di atas brankar dengan sorot mata seperti orang linglung.

Pandangan mata mereka bertemu, dan si Pria Asing bertanya, "Siapa aku? Kenapa aku di sini?"

3. Ganti Rugi

Lisa memberengut, melipat tangan di depan dada, dan memicingkan mata meneliti raut si pria asing yang sejak tadi masih terlihat kebingungan.

Sedangkan Juna hanya menghela napas lega, mendapati pria yang dia tolong telah siuman. Meski ingatannya hilang.

Satu jam sudah Lisa mengintrogasi si pria. Menanyakan perihal nama maupun keluarganya. Namun, hasilnya nihil.

Pria asing itu selalu menggelengkan kepala tak tahu setiap Lisa bertanya.

"Coba ingat betul-betul namamu siapa?" Sekali lagi Lisa membentak yang langsung dilerai Juna.

"Lisa, percuma! Kau tidak dengar penjelasan dokter tadi."

Lisa menghela napas panjang, dan menghentakkan kaki karena kesal. Niat untuk minta ganti rugi, sepertinya hanya akan menjadi angan belaka.

Nama saja dia tidak ingat. Apalagi keluarganya.

"Bagaimana kalau kita memberi nama baru saja? Supaya kita tidak repot memanggilmu," Juna memberi usulan.

Pria asing itu hanya mengangguk pasrah.

"Kira-kira kita beri nama siapa?"

"Aku beri nama dia Edgar," kata Lisa tiba-tiba.

Juna menaikan alisnya. "Edgar? Inspirasi dari mana, Lisa?"

Lisa menatap pria yang kini diberi nama Edgar.

"Nama yang bagus, ‘kan? Tapi jangan ge-er, Edgar adalah nama simpanse yang pernah aku lihat di pasar malam."

Juna terkekeh. Dia melirik pada pria yang memiliki manik mata berwarna hijau botol.

"Kau suka nama itu?"

Edgar membuka mulut ingin protes, namun, Lisa menyela lebih dulu.

"Mau tidak mau, kau harus pakai nama itu, dan satu lagi, kau harus segera mengganti uang kami."

"Lisa, jangan bahas masalah itu sekarang! Yang penting, dia sembuh dulu," tegur Juna.

Rasa saling tidak suka tergambar jelas pada kesan pertama Edgar dan Lisa.

Beberapa hari berlalu sampailah pada hari di mana Edgar diperbolehkan pulang. Dia dibawa ke tempat tinggal Lisa dan Juna. Sebuah rumah sederhana di desa pinggir hutan serta terpencil dari rumah-rumah warga yang lain

Perjalanan yang jauh dari rumah sakit ke rumah, membuat Edgar ingin beristirahat duduk di sofa yang busanya sudah cebol. Akan tetapi, Lisa berdehem keras sambil melipat tangan layaknya bos.

Edgar berusaha tak memperdulikan Lisa, dia menghempaskan punggung ke sandaran sofa, dan memejamkan mata.

"Hai, enak sekali kamu berleha-leha," ucap Lisa ketus.

Edgar membuka mata, "Apa ada masalah?"

"Dengar ya? Aku dan ayahku sudah mengorbankan banyak uang untukmu. Karena kamu tak dapat mengganti rugi berupa uang, kamu harus ganti rugi menggunakan tenagamu."

"Dengan cara apa?"

Lisa membuka jendela, memperlihatkan tumpukan kayu bakar yang ada di luar rumah.

"Masukan kayu-kayu itu ke rumah!"

"Aku masih sakit. Kenapa disuruh-suruh?" Edgar memprotes, dan memejamkan mata lagi.

Lisa menggeram kesal, lalu menggulingkan tubuh Edgar dari sofa, sehingga pria itu terjatuh ke lantai.

Dengan terpaksa Edgar menuruti perintah Lisa. Dia mengambil beberapa kayu kering, dan memasukkannya ke dalam rumah melalui pintu belakang.

Tak sengaja Edgar melihat ada kandang ayam tepat di pekarangan belakang rumah. Dia mendengus pelan, begitu indra penciumannya menangkap bau dari kandang ayam.

Pintu belakang terhubung langsung dengan dapur. Edgar meletakan kayu bakar di samping tungku.

Sejenak dia mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan. Dinding dan atap dapur menghitam akibat terkena asap pembakaran dan ada rak piring yang sudah rusak di salah satu sudut.

Setelah memasukan kayu bakar, tugas Edgar tak berhenti sampai situ. Dia diharuskan membantu Lisa memanen ubi jalar.

Di saat Edgar fokus dengan pekerjaannya, diam-diam Lisa memperhatikan Edgar serta meneliti wajahnya.

Pria dengan hidung mancung, rahang tegas, dan bibir yang tipis. Sungguh patahan wajah yang sempurna.

Namun, yang paling menjadi daya tarik Lisa adalah manik mata Edgar yang berwarna hijau botol. Sangat jarang ada orang memiliki bola mata seperti itu.

Merasa diperhatikan, Edgar melempar pandangan pada Lisa yang mendadak salah tingkah dan menunduk.

Malam hari, mereka bertiga makan hanya dengan ubi rebus hasil panen tadi siang. Tak ada yang protes kecuali Edgar.

Meskipun dia amnesia dan tak tahu bagaimana kehidupan sebelumnya, tapi dia tak mau memakan ubi rebus.

"Bagaimana aku cepat sembuh jika hanya makan ubi rebus? Apa kalian tidak punya bahan makanan yang lain?"

Sejenak Lisa melirik Juna, lalu kembali menatap Edgar dengan tatapan seolah ingin melakban mulutnya.

"Apa sebelumnya kamu itu tak diajarkan bersyukur? Sudah untung masih ada ubi. Biasanya kita tidak makan malam sama sekali."

"Aku bukannya tidak bersyukur tapi aku tidak selera makan ubi rebus," debat Edgar tak mau kalah.

Tiba-tiba saja Juna menyodorkan satu ubi ukuran sedang ke arah Edgar.

"Coba dulu! Kelihatannya memang tidak menggugah selera tapi setelah dimakan kau pasti ketagihan," suara berat Juna terkesan lembut, tanpa ada rasa marah.

Dari pada tidak makan sama sekali, akhirnya Edgar mengambil ubi di tangan Juna. Ada sedikit kebimbangan tersirat di wajah Edgar saat hendak menatap ubi itu.

"Ubi jalar memiliki kandungan beta karoten yang baik untuk kesehatan mata. Selain itu, antioksidan dan serat juga membantu sistem pencernaan agar lebih sehat serta mencegah terjadinya sembelit," Lisa berceloteh dengan rasa bangga.

Pelan-pelan Edgar menggigit ubi yang rasanya manis dan juga lembut di mulut. Tangannya bergerak mengambil satu ubi lagi.

"Nah, ‘kan? Nambah lagi," Lisa tertawa mengejek Edgar.

"Aku kelaparan, tahu!" sanggah Edgar, kemudian melahap lagi ubi rebus.

"Sebenarnya aku terpaksa makan makanan seperti ini."

Lisa berdecih sambil membuang muka. "Pria tidak tahu terima kasih. Kalau bukan karena kita, kau mungkin sudah menjadi bangkai di hutan."

"Lisa, jangan bertengkar saat makan! Habiskan makananmu setelah itu masuk kamar! Besok pagi kau harus menjual ubi ke pasar, ‘kan?"

Seketika Lisa berdiri dengan raut wajah menahan rasa kesal. Dengan langkah di jejak-jejakan, dia berjalan ke kamar lalu membanting pintu.

Selepas meminta maaf atas sikap Lisa, Juna pun masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja di ladang.

Tinggal Edgar sendirian di ruang tamu. Terdengar suara berdecit saat dia berbaring di sofa yang reot itu.

Dan jangan tanyakan apakah Edgar nyaman tidur di sana. Edgar lebih baik tidur di lantai dari pada harus tidur di sofa.

Dua jam berlalu, tapi Edgar tak kunjung tidur. Tinggal di rumah Lisa satu hari saja sungguh dia tak sanggup.

Apalagi harus melewati berhari-hari sampai ingatannya sembuh. Yang Edgar sendiri tak tahu kapan itu.

Kemudian, Edgar terlonjak bangun terduduk begitu benaknya muncul sebuah ide untuk kabur dari rumah Lisa.

Tanpa menimbulkan suara, Edgar keluar melalui pintu depan yang memang tidak terkunci sebab telah rusak. Sesaat dia ragu akan niatnya.

Namun, dia bayangan wajah Lisa merasuki pikiran Edgar membuatnya memantapkan diri mengayunkan kaki pergi dari sana.

"Terima kasih sudah menolongku. Tapi, aku tidak bisa tinggal di sini bersama kalian."

Edgar yang tak tahu arah justru melangkahkan kaki menuju hutan. Panik dan takut terpancar jelas dari sorot matanya begitu dia berjalan di antara pepohonan.

Edgar membalikkan badan, bayangan rumah Lisa sudah tak terlihat lagi, dia telah melangkah jauh dan tak ada jalan kembali.

Tepat saat itu, Edgar mendengar suara menggeram yang membuat tubuhnya bergidik merinding. Dia mengedarkan pandangan mencari sosok yang menggeram itu.

Di kegelapan malam, sepasang mata menyala di balik semak. Sosok itu keluar dari tempat persembunyiannya.

Sinar rembulan yang menyembul dari balik awan menampilkan wujud asli dari hewan berkaki empat dengan moncong yang memperlihatkan gigi-gigi tajam.

"S-serigala!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!