NovelToon NovelToon

RESTU (Untukmu, Aleesa)

Bab 1. Berbeda

🎶

Tolong tanyakan pada Tuhanmu

Bolehkah aku yang bukan umat-Nya

Mencintai hambanya

Jika memang cinta ini salah

Mengapa kita yang harus terjatuh

Terlalu dalam

"Happy second anniversary, my Sasa."

Senyum melengkung indah di wajah Yansen yang sudah menggenggam erat tangan Aleesa yang ada di depannya. Beda halnya dengan Aleesa yang membeku dengan air mata yang sudah menganak. Backsound yang membuat hati Aleesa berteriak perih.

"Aku akan selalu berada di samping kamu. Sampai kamu menemukan seseorang yang mampu menjaga kamu dan membuat kamu lebih bahagia ketika bersama aku."

Kalimat yang sangat menyayat hati dan membuat Aleesa menitikan air mata dengan begitu deras. Yansen segera menghampiri Aleesa dan memeluk perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Aku benci kalimat itu! Aku benci hari anniversary kita!"

Aleesa memberontak ingin melepaskan pelukan Yansen. Namun, Yansen semakin mendekap erat tubuh Aleesa.

"Aku juga benci, Sa. Sangat benci. Kita yang salah, kita yang terhanyut dalam hubungan yang tak tahu mau dibawa ke mana arahnya." Suara Yansen pun bergetar, dan mereka berdua menangis bersama dalam pelukan yang begitu erat.

Sudah tahu salah, tapi masih memaksa untuk terus bersama. Sudah tahu berbeda, tetapi tak mau berpisah. Itulah mereka berdua.

Perasaan Aleesa kepada Yansen tidak pernah berubah. Walaupun dulu dia sempat goyah karena ada seseorang yang mengusik hatinya. Namun, rasa itu dengan mudah menguar ketika orang itu pergi dan tak ada kabar sama sekali. Beda halnya perasaannya kepada Yansen. Semakin hari dia semakin merasa nyaman dengan laki-laki yang sudah lima belas tahun dia kenal. Rasa yang tidak dia dapatkan bersama laki-laki manapun. Hanya saja ada benteng yang menjulang dengan begitu tinggi dan tebal. Sulit untuk mereka robohkan.

"Apa kamu tidak mau berjuang?" Sebuah kalimat yang membuat Yansen perlahan mengendurkan pelukan. Dia menatap dalam wajah Aleesa.

"Aku hadir ke bumi dengan keyakinan yang sudah orang tuaku turunkan. Keyakinan yang setiap hari aku perdalam dan aku selalu berdoa pada Tuhan, aku ingin meninggalakan bumi pun tetap dengan salib yang menggantung di leherku."

Jika, sudah seperti ini Aleesa tidak bisa berkata apapun. Dia menatap ke arah liontin kalung yang Yansen gunakan. Liontin dengan bentuk salib yang tahun kemarin dia berikan sebagai hadiah ulang tahun untuk Yansen.

.

Yansen mengusap lembut rambut Aleesa sebelum dia melajukan mobilnya lagi. Senyum terukir di wajah tampannya yang sembab.

"Jangan menangis lagi ya, my Sasa."

Aleesa memeluk tubuh Yansen dan membuat laki-laki itu mendongakkan kepalanya ke atas. Dia tidak mau menangis lagi. Setiap anniversary pasti ini yang terjadi.

"Udah malam, kamu masuk gih." Yansen berkata dengan sangat lembut. Kini, tangannya mengusap lembut pipi Aleesa yang putih bersih..

Aleesa turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah mobil Yansen. Dia berjalan dengan langkah gontai dan terduduk di tangga yang ada di teras depan rumah. Dia menatap ke arah langit malam yang cerah. Tak secerah hatinya.

Para makhluk tak kasat mata pasti akan bersembunyi ketika melihat Aleesa bersama Yansen. Mereka tidak kuat melihatnya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana hubungan Aleesa dan Yansen ke depannya.

.

Echa dan Radit sedari tadi menunggu kepulangan sang putri yang memang hanya tinggal bersama mereka. Aleena di Singapura dan Aleeya di Bandung.

Ketika pintu terbuka, kedua orang tua Aleesa menghampiri putri mereka. Mereka memeluk tubuh Aleesa dengan begitu erat. Setiap merayakan anniversary pasti Aleesa pulang dengan wajah yang sembab..

"Jangan pernah memaksa orang lain merubah keyakinan hanya karena ingin bersatu dalam ikatan pernikahan. Pernikahan juga keyakinan tidak untuk dipermainkan." Sang ayah selalu berkata bijak. Namun, dia juga tidak bisa melarang perasaan Aleesa.

"Kenapa Kakak Sa harus mencintainya, Baba?" Aleesa sudah membuka suara. Sebagai seorang psikolog dia juga tahu bagaimana perasaan putrinya.

"Cinta datang tanpa kita minta, pergi pun tidak bisa kita usir. Biarkan dia menetap hingga pada waktunya dia pergi." Echa ikut mengatakan hal yang membuat putrinya bisa bersemangat lagi.

Kedua orang tua Aleesa tidak membenarkan hubungan Aleesa dan Yansen. Namun, kondisi kesehatan Aleesa yang semenjak lulus SMA perlahan menurun membuat kedua orang tuanya membiarkan Aleesa mengukir kebahagiaan bersama Yansen. Walaupun dengan sangat tegas mereka tidak mengijinkan hubungan itu dibawa ke jenjang serius. Alasannya satu, mereka berbeda.

.

Di rumah yang berbeda, Yansen sudah dihadang oleh sang kakak. Keluarga satu-satunya yang dia punya selama lima belas tahun ini.

"Sen, sudah dua tahun loh," ucap Grace. "Semakin sulit untuk kamu melupakannya nanti."

Bukan hanya keluarga Radit yang menentang hubungan Aleesa dan Yansen. Sang kakak pun sama. Grace adalah umat Tuhan Yesus yang begitu taat. Sama halnya dengan Yansen.

"Cinta dan rasa yang aku miliki datang tanpa diminta, Kak. Biarkan cinta dan rasa ini pergi tanpa disuruh." Yansen tersenyum setelah mengatakan itu.

"Ketika cintaku pergi, ada dua orang yang akan merasa kehilangan begitu dalam." Grace memicingkan mata mendengar ucapan dari Yansen.

"Apa maksud kamu?" Lagi-lagi Yansen hanya tersenyum. Dia menggenggam tangan Grace dengan begitu erat. Menatap manik wajah sang kakak dengan penuh sayang.

"Biarkan aku mencintai Aleesa dengan segenap hatiku. Sebelum aku melepaskannya juga melupakannya." Sebuah kalimat yang membuat mata Grace berair.

"Kakak tahu 'kan. Sedari kecil ini aku sudah berbeda Hanya Aleesa yang mau menerimaku dengan tulus. Menjadikanku temannya hingga sampai saat ini." Air mata Grace menetes begitu saja mendengarnya. Dia tahu bagaimana perjuangan Yansen yang terus bertahan dengan semua Bullyan dari teman-teman sekolahnya karena Yansen dianggap aneh. Aleesa lah yang berada di garda terdepan untuk membela dan melindungi adiknya itu.

"Aku menyayanginya, Kak. Aku tidak ingin menjauh darinya untuk sekarang. Ijinkan aku bersamanya." Grace pun mengangguk dan dia memeluk tubuh Yansen dengan begitu erat.

Tumbuh kembang Yansen yang sangat baik itu tak luput dari didikan ayah dan ibunya Aleesa juga. Mereka sudah menganggap Yansen seperti putra mereka sendiri. Mampu mengarahkan jalan Yansen hingga adiknya bisa seperti ini.

Di dalam kamar Yansen menghembuskan napas kasar. Dia menatap fotonya juga Aleesa yang tengah tersenyum bahagia.

Bibir Yansen pun ikut tersenyum. Dia meraih figura tersebut dan menatapnya seraya duduk di pinggiran tempat tidur.

"Kenapa kita dipertemukan dalam sebuah keyakinan yang berbeda?" gumam Yansen. "Aku sayang kamu, Aleesa."

Pemuda itu memejamkan mata sambil meletakkan figura tersebut di dada. Seakan dia tengah memeluk tubuh Aleesa.

"Aku janji ... aku akan pergi ketika kamu sudah dekat dengan kebahagiaanmu." Senyum perih Yansen tunjukkan.

Berkali-kali dia ditolak oleh Aleesa. Hingga penuturan cinta yang terakhir barulah dia diterima oleh Aleesa. Mengejar cinta Aleesa itu tidak mudah. Akankah dia akan melepaskan Aleesa begitu saja?

...***To Be Continue***...

Minta komennya boleh?

Bab 2. Fakta Baru

Dua tahun menjalin hubungan dengan Yansen membuat Aleesa semakin larut akan perasaaan yang dia miliki. Bagaimana tidak, Yansen selalu membuat hari-hari Aleesa dipenuhi bahagia.

Contohnya hari ini, Aleesa baru turun dari mobil sang ayah. Dia mencium tangan sang ayah sebelum keluar dari mobil. Baru beberapa langkah menuju halaman kampus, beberapa teman Aleesa sudah memberikan kejutan. Mereka memberikan cake cokelat bertuliskan happy anniversary Sasa dan Sensen. Lengkungan senyum terukir di wajah Aleesa.

"Langgeng terus, ya." Sebuah doa yang begitu tulus dari para teman Aleesa ucapkan.

Namun, Aleesa tidak menjawab apapun. Dia hanya tersenyum dengan raut yang tak terbaca.

"Tiup lilinnya dong," ucap teman Aleesa yang lainnya.

Aleesa sudah menundukkan sedikit tubuhnya ke arah lilin. Namun, dia merasa ada kalung yang menggantung di lehernya. Dia segera menoleh dan sang kekasih yang sudah memasangkannya. Dia tersenyum ke arah Aleesa.

"SS, Sasa Sensen."

Aleesa segera melihat ke arah liontin kalungnya. Ternyata inisial panggilan mereka berdua. Tak hentinya Aleesa melengkungkan senyum.

"Makasih," ucap Aleesa. Yansen tersenyum dan tangannya mengusap lembut ujung kepala Aleesa. Hal sederhana yang selalu membuat Aleesa merasa nyaman diperlakukan seperti ini oleh Yansen.

"Ini kapan ditiupnya? Lilinnya udah mau abis woiy." Aleesa dan Yansen pun tertawa. Mereka berdua meniup lilin yang ada di atas kue tersebut.

"Doanya apa nih?" tanya teman Yansen yang usil.

"Sederhana aja," jawab Yansen dengan begitu santai. Seketika Aleesa menatap ke arah Yansen.

"Selama jantung gua masih berdetak, gua akan selalu ada di samping Sasa." Yansen menatap Aleesa yang membeku dengan mata yang berair.

"Aku benci kamu nangis, Sa." Yansen menarik tangan Aleesa ke dalam pelukannya.

"Manis banget sih," puji teman Aleesa yang lain.

Aleesa dan Yansen bisa dikategorikan pasangan yang teramat manis oleh para mahasiswa di sana.

"Pulang dijemput sopir?" tanya Yansen kepada Aleesa.

"Gak tahu, tadi Baba gak bilang apa-apa. Kenapa emang?"

"Nonton yuk," ajak Yansen.

"Tapi, gak mau cerita horor. Bukannya takut aku malah geli. Setan aslinya juga gak gitu-gitu amat." Yansen malah tertawa. Setiap kali diajak nonton film horor, pulangnya Aleesa akan mengoceh ria.

"Aku pengen nonton film action." Yansen tahu Aleesa tidak menyukai film tersebut. Mimik wajah Aleesa pun sudah berubah. Namun, dia sangat ingin menontonnya. "Aku lagi ingin ditemani kamu. Kamu mau 'kan?" Yansen sudah menggenggam tangan Aleesa. Sorot matanya sangat memohon.

"Iya," jawab Aleesa. "Aku kangen popcorn di bioskop."

.

Yansen masih setia menunggu Aleesa menyelesaikan kelasnya. Dia menunggu di kantin kampus di mana banyak wanita yang mengidolakan Yansen. Namun, Yansen seakan acuh.

"Kakak," panggil seorang perempuan dengan begitu manja. Dia duduk di samping Yansen dan Yansen segera menggeser duduknya. Terdengar perempuan itu berdecak kesal.

"Kenapa sih, Kak? Mau dekat aja susah."

Yansen menatap ke arah perempuan itu. Sorot mata tidak suka dia perlihatkan.

"Kamu tahu alasannya 'kan."

"Perempuan itu? Perempuan yang beda agama itu?" Mulut perempuan itu seperti tidak ada filternya. Ingin rasanya Yansen meremas mulutnya.

"Cukup Nathalie!" seru Yansen. Tak dia permasalahan dia menjadi pusat perhatian para mahasiswa yang tengah berada di kantin.

"Kenapa, Kak? Kak Grace saja bilang jika Kakak dan perempuan itu hanya berteman. Tidak ada yang spesial. Itu tandanya apa? Kak Grace aja gak merestui hubungan Kakak dengan perempuan itu."

Tubuh Aleesa menegang ketika mendengar penuturan dari Nathalie. Adik kelasnya yang secara terang- terangan menyukai Yansen.

"Apa aku harus melanjutkan hubungan ini?" gumam Aleesa.

Aleesa memilih untuk pergi ke kamar mandi dengan wajah yang sendu. Satu fakta lagi terungkap bahwa kakak dari Yansen ternyata tidak merestuinya. Dia melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia tersenyum kecut.

"Hubungan yang dimulai dengan air mata, pasti akan berakhir dengan lelehan air mata jua."

Suara yang jelas terdengar di telinga. Aleesa mencari asal suara tersebut, tetapi tidak ada. Para penunggu toilet pun tidak ada sama sekali. Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya.

Aleesa mencuci wajahnya untuk menghilangkan semua rasa yang bersarang di dada. Dia tidak boleh egois, pasti Yansen juga merasakan hal yang sama ketika mengetahui jika kedua orang tuanya tidak merestui hubungan mereka.

Langkah Aleesa terhenti ketika Yansen menghadangnya tepat di depan toilet wanita.

"Aku kira kamu pergi."

"Pergi?" ulang Aleesa pura-pura tak mengerti. Yansen mengusap lembut rambut Aleesa.

"Mau 'kan temani aku nonton?" Aleesa pun mengangguk.

"Betapa kuatnya hati yang dimiliki Sasa," ujar teman Sasa dari kejauhan.

"Padahal dia sudah mendengar jelas ucapan si Nathalie tadi."

Itulah yang Yansen khawatirkan. Maka dari itu, dia mengejar Aleesa ke toilet setelah Aleesa tak kunjung ke kantin. Sedangkan kedua teman Aleesa sudaj berada di sana. Untungnya, Aleesa masih ada. Yansen takut Aleesa mendengar apa yang dikatakan Nathalie perihal sang kakak. Dia tidak ingin Aleesa terluka.

.

Yansen menarik tangan Aleesa yang berada di samping pinggangnya ketika motor yang dia kendarai berhenti di lampu merah. Dia menggenggam erat dan mengusap lembut punggung tangan Aleesa. Aleesa yang tengah terbengong pun sedikit terkejut. Namun, dia membiarkannya saja.

Di samping motor Yansen, ada sebuah mobil hitam mengkilap di mana sang pengemudi tengah menatap sendu ke arah Aleesa dan Yansen yang tengah begitu dekat di matanya.

Lampu pun sudah berubah. Motor dan mobil itu pun melaju kembali. Motor sudah terparkir di parkiran mall cukup besar. Yansen sudah membantu Aleesa membuka helm yang tersemat di kepalanya.

Kemudian, dia membantu Aleesa membenarkan rambutnya dan menggenggam erat tangan Aleesa memasuki mall tersebut. Kali ini, Aleesa tidak banyak bicara. Dia mengikuti saja ke mana Yansen membawanya.

Yansen sudah membeli tiket secara online dan dia hanya tinggal menunggu jadwal yang tertera di tiket tersebut saja.

"Satu jam lagi," ucap Yansen kepada Aleesa. "Apa mau makan dulu?" Aleesa menggeleng. Mendadak dia kenyang semenjak mendengar ucapan Nathalie tadi.

Lima belas menit menunggu, Aleesa terbangun dari duduknya. Yansen mencekal tangan Aleesa.

"Mau ke mana?"

"Mau beli makanan dulu," jawabnya.

"Aku antar." Yansen baru saja hendak berdiri, tapi ponselnya berdering. Sang kakaklah yang menghubunginya.

"Kak Grace."

"Jawab saja. Aku beli makanan sebentar." Yansen pun akhirnya mengangguk.

Aleesa sudah berdiri di depan counter makanan. Dia tengah memilih makanan yang dia inginkan. Padahal, perutnya tidak lapar. Dua makanan yang sama dia pesan begitu juga dengan minumannya. Ketika dia hendak membayar ternyata dompetnya ketinggalan. Juga ponselnya ini belum dipasang m-banking karena baru dua hari yang lalu dia ganti ponsel.

"Tunggu sebentar ya, Mbak." Penjaga counter pun mengangguk.

Ketika Aleesa menghampiri Yansen, seorang pria berkaos putih dengan topi berwarna hitam juga masker berwarna putih mendekat ke arah penjaga counter tersebut.

"Berapa yang harus dibayar perempuan tadi?" Sang penjaga counter pun menyebutkan nominalnya.

Pria itu memberikan kartu kepada penjaga counter tersebut. Kemudian, dia menekan pin dan makanan yang Aleesa pesan sudah dia bayar.

"Nanti tinggal kasih ke perempuan tadi aja, ya." Si penjaga counter pun mengangguk.

Si pria misterius itupun pergi dan Aleesa kembali dengan membawa kartu yang Yansen berikan.

"Maaf, Mbak. Ini kartunya."

"Ini semua sudah dibayar, Mbak." Aleesa tercengang dengan apa yang dikatakan oleh si penjaga tersebut.

"Siapa yang membayarnya?"

"Saya juga tidak tahu, Mbak. Setelah membayar makanan ini, Mas-nya langsung pergi."

"Mas?"

...***To Be Continue***...

Komen dong ...

Bab 3. Cengeng

"Mas."

Aleesa berpikir sejenak. Berarti yang membayarkan makanannya ini adalah seorang laki-laki. Aleesa masih terdiam dan matanya mulai mencari sosok laki-laki baik hati itu.

"Mbak, Mas-nya tadi pakai baju apa, ya?" Aleesa benar-benar penasaran.

"Kaos putih, masker dan topi hitam." Aleesa mengangguk.

"Sa, udah?" Aleesa segera menoleh, Yansen sudah ada di belakangnya. Dia pun mengangguk. Yansen membawa makanan yang Aleesa pesan.

Dari kejauhan, pria bertopi hitam itu tersenyum perih. Dia menghela napas kasar. Kemudian, pergi.

Tak ada selera bagi Aleesa. Dia merasa hancur dan sakit. Namun, dia bertahan karena Yansen pun masih bertahan di saat kedua orang tuanya dengan terang-terangan mengatakan bahwa tidak mengijinkan hubungan itu dibawa ke jenjang serius.

"Apa ketika kamu tahu bubu dan baba tak merestui hubungan kita, hati kamu sesakit dan sehancur ini?"

Aleesa menatap ke arah Yansen yang sedang menikmati makanan. Air matanya sudah menganak. Yansen menoleh ke arah Aleesa dan menghentikan kunyahannya ketika melihat sang kekasih sudah berkaca-kaca.

"Kenapa?" Yansen segera memeluk tubuh Aleesa. Dia paling benci akan hal ini. Di mana Aleesa menangis.

Aleesa tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala. Usapan lembut Yansen berikan di rambut Aleesa yang hari ini dia gerai.

"Jangan menangis, Sa." Yansen terus menenangkan Aleesa hingga tangis Aleesa reda.

Yansen mengendurkan pelukannya. Dia menatap lekat wajah Aleesa dan tangannya menghapus air mata yang sudah membasahi wajah perempuan yang dia sayangi.

"Bilang ke aku. Kamu kenapa?" Yansen benar-benar ingin tahu apa yang tengah Aleesa rasakan.

"Gak tahu, hari ini aku melow banget." Berdusta lagi, itulah yang Aleesa lakukan. Dia tidak mungkin berkata apa yang dia rasakan kepada sang kekasih karena sudah mendengar fakta yang sesungguhnya.

Yansen mengusap lembut ujung kepala Aleesa. Mencoba untuk memberikan kenyamanan kepadanya.

"Jangan sembunyikan apapun dariku." Aleesa pun mengangguk.

.

Mereka sudah masuk ke dalam bioskop. Tangan Aleesa terus Yansen genggam. Dia tidak membiarkan tangan itu terlepas walau sedetik pun. Ketika langkah Aleesa memasuki bioskop, dia merasakan ada hal yang berbeda di sana. Bukan perihal makhluk tak kasat mata. Itu sudah biasa baginya.

"Kenapa dengan hatiku ini?"

Aleesa melirik ke arah kanan dan kiri. Dia merasa dekat dengan seseorang. Namun, hanya orang-orang yang tidak dia kenal yang dia lihat.

Mata Aleesa masih mencari sosok yang terasa dekat dengannya. Hingga film diputar, barulah dia fokus pada film tersebut. Di awal-awal Aleesa masih terlihat biasa saja. Ketika di pertengahan film, melihat orang yang dipukuli secara membabi-buta membuat memori Aleesa berputar pada kejadian tiga tahun lalu. Di mana dia melihat sendiri seorang anak yang dipukuli tanpa ampun oleh ayahnya sendiri. Seketika air mata Aleesa menetes begitu saja.

"Kak Restu."

Nama itu yang dia ingat. Dadanya mulai sesak. Dia mengambil tisu untuk menyeka air matanya. Untung saja Yansen sedang fokus pada film tersebut.

"Kenapa hari ini gua cengeng banget sih?" batinnya dengan sangat kesal.

Aleesa menyandarkan tubuhnya. Sejenak memejamkan mata. Bayang wajah pria yang pernah mengusik hatinya muncul di kepalanya sekarang. Pria itu tersenyum seraya memakaikan jaket denim di pundak Aleesa.

"Pakai ini ketika kamu merindukan aku."

Tak terasa bulir bening itu meleleh lagi. Hati Aleesa hari ini benar-benar rapuh sekali. Bawaan hatinya ingin menangis dan menangis saja. Aleesa mulai fokus kembali pada film yang serius Yansen tonton. Adegan terjebak di dalam lift membuat memorinya mengulang sesuatu yang pernah terjadi.

Pelukan hangat yang membuat Aleesa seketika merasa dilindungi. Pelukan yang sudah sangat lama tidak dia dapatkan. Hembusan napas kasar keluar dari mulut Aleesa.

"Kenapa mengingat dia lagi? Ada apa ini?"

Dia melihat ke arah kursi belakang. Matanya memicing ketika dia melihat seseorang yang sepertinya dia kenali.

"Kaos putih, masker, dan topi hitam."

"Apa itu Kak Restu?"

"Sa." Panggilan Yansen membuat Aleesa menoleh.

"Kamu bosan ?" Aleesa menggeleng. Yansen mengeratkan genggaman tangannya dan membuat Aleesa mau tidak mau melihat ke arah layar besar di depannya.

"Benar gak sih itu Kak Restu?" Batinnya masih menerka-nerka.

Dua jam sudah mereka berada di dalam bioskop. Yansen tersenyum bahagia ketika film itu berkahir dengan apa yang dia harapkan. Aleesa hanya ikut tersenyum. Sedari tadi kepalanya masih memikirkan Restu.

"Mau main dulu atau--"

"Pulang aja, ya. Aku capek banget." Yansen pun mengangguk. Dia membawa langkah Aleesa keluar dari mall tersebut.

Tibanya di rumah, dia mengkerutkan dahi ketika melihat mobil sang paman. "Uncle Papih."

Begitu dia masuk benar saja Rindra ada di sana. Aleesa mencium tangan sang paman.

"Dari mana? Kok baru pulang?" Sang paman bertanya dengan begitu lembut.

"Nonton dulu tadi," jawab Aleesa. "Udah ijin kok sama Bubu. Baba dikasih tahu 'kan sama Bubu?" Radit pun mengangguk.

"Kirain Sasa Uncle Papih sama Kak Iyo ke sini."

"Rio belum pulang. S2-nya belum selesai. Kalau udah selesai, pasti dia pulang kok." Aleesa pun mengangguk. Raut kecewa dia tunjukkan.

"Kamu merindukan dia atau--"

Dahi Aleesa mengkerut mendengar ucapan dari sang paman yang menggantung.

"Atau siapa?" Rindra hanya tersenyum dan menggeleng pelan.

"Gak jelas!" sungut Aleesa kepada Rindra. Aleesa pun beranjak dari sana dan membuat Rindra dan Radit tertawa.

"Sa, Bubu dan Baba malam ini mau pergi. Kamu gak apa-apa 'kan di rumah sendiri?" Langkahnya di hadang oleh sang ibu ketika dia hendak menuju lantai dua.

"Sasa bukan anak kecil lagi, Bu." Echa pun tersenyum dan mencubit gemas pipi Aleesa.

"Pulangnya bawa makanan." Echa pun tertawa dan mengiyakan.

Ketika kedua orang tuanya pergi, Aleesa menghubungi sang kakak yang tengah menimba ilmu di negeri Singa. Aleesa menceritakan semuanya dengan air mata yang mengalir begitu deras.

"Kakak Sa harus gimana, Kakak Na? Rasanya sakit banget." Suara Aleesa benar-benar sudah berat.

"Sabar ya, Kakak Sa. Kakak Na yakin, pasti akan ada jalan keluarnya." Aleena pun tidak bisa berkata apapun. Dia tidak menyalahkan perasaan yang tumbuh di hati sang adik. Tidak ada yang bisa melarang cinta itu hadir.

Bagi Aleesa menumpahkan isi hatinya kepada sang kakak membuat hatinya tenang. Kakaknya tidak pernah menyudutkan dirinya. Dia seakan mengerti dengan apa yang Aleesa rasakan.

"Udah ya, jangan nangis lagi." Aleesa hanya tersenyum tanpa bisa menghentikan laju air matanya.

Aleesa pun tertidur dengan jajak air mata yang kentara di wajahnya. Seseorang masuk ke dalam kamar. Dia melangkah dengan begitu pelan. Menatap wajah sendu Aleesa dengan senyum banyak arti.

.

Di lain tempat, seorang pria tengah menggenggam tangannya seraya memejamkan mata.

"Tuhan, aku mencintai dia. Ijinkan aku lebih lama lagi menjaganya. Ketika aku pergi, jangan buat dia menangis dan bersedih terlalu lama, Tuhan. Aku tidak suka dia menitikan air mata. Semoga Engkau mendengar doa hamba-Mu yang kecil ini."

...***To Be Continue***...

Komen dong ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!