NovelToon NovelToon

Freemason Code Cinderella

Prologue

Ghostroses, 2015.

"TOLONG! Tolong!" Jeritan itu menggema dari sebuah kamar hotel di lantai 13. Pada jendela bertirai putih terihat bayangan seorang gadis tengah merunduk di atas tubuh gadis lainnya seraya menghujamkan pisau ke leher gadis yang ditindihnya. Tak lama jeritan itu berakhir.

Jessifer menguap bosan.

Ia sudah empat kali menonton film itu. Sebagai film action yang satu ini tidak begitu seru, pikirnya kecewa. Dan ia seharusnya sudah tahu. Ia sudah menonton semua jenis film action.

Ia dan temannya Jasper bahkan berangan-angan untuk memproduksi film action saat mereka besar nanti. Saat ini Jessifer baru berumur 13 tahun, sementara Jasper baru 17 tahun. Masih terlalu muda untuk dianggap serius, menurut Jasper. Tapi mereka sudah membuat beberapa film sederhana bertema penculikan dengan camcorder milik ibu Jasper.

Biasanya, Jessifer berperan sebagai cewek jagoan. Dengan wajah lancip berbibir tebal, ditambah wajah arogan kelaki-lakian, membuat Jessifer terlihat seperti Angelina Jolie dalam film Tomb Rider. Selain itu, gaya berpakaiannya juga cenderung tomboi.

Tapi sekarang Jessifer menganggur. Ia berpisah dengan Jasper seminggu yang lalu karena harus pindah ke kota Ghostroses.

Ayah Jessifer adalah seorang Ahli Genetik dan ibunya seorang Ahli Sejarah. Keduanya baru saja menerima pekerjaan baru di kota yang sama.

Dan…

Di sinilah Jessifer sekarang. Mendekam di rumah baru mereka. Ia tidak punya kegiatan dan ia belum menemukan tempat menarik. Bahkan anak seumurnya juga tidak ada di sekitar sini.

Ayah dan ibunya bukan tidak pernah menyarankan untuk ia bersenang-senang di luar, tapi Jessifer lebih suka mendekam di dalam rumah. Menonton film action kesukaannya. Dan selama satu minggu ini, ia sudah menonton semua kaset yang dibawanya dari tempat lama.

Ibunya tidak mengijinkan Jessifer menggunakan laptop maupun telepon seluler karena khawatir anaknya mengakses situs film action sepanjang waktu. "Kau harus keluar, Jess! Tidak sehat bagi anak seumurmu untuk duduk terus di dalam rumah dan memelototi layar monitor sepanjang waktu!" Begitulah celoteh ibunya jika ia berani coba-coba meminta dibelikan laptop atau telepon seluler.

Jessifer menggeliat bermalas-malasan di atas tempat tidurnya.

Tak lama kemudian ibunya masuk dan menyibakkan tirai. "Jess! Aku mau pergi ke mall untuk belanja beberapa peralatan rumah dan stok makanan. Kau mau ikut?"

Jessifer mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau.

"Jessie!" Ibunya berkata dengan nada tegas. "Kau mau ikut atau tidak?"

Ini sih bukan ajakan, batin Jessie sebal. Tapi perintah!

Ibunya menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya mengetatkan rahang.

"Tapi, Mom, aku sedang menonton film pendidikan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan!" Jessifer berdalih. Ia memperlihatkan kotak kaset bergambar ambulans dan paramedis.

Ibunya melotot. "Itu film pembunuhan, Jessie! Aku tahu. Dan kau menyia-nyiakan masa mudamu dengan menonton film seperti itu. Ayo kita pergi!"

Begitu sampai di dalam mall ibunya langsung memasuki toko perabotan, sementara Jessifer memilih menunggu di selasar lantai dua.

Di selasar itu ada sebuah bangku kayu yang menghadap ke sebuah toko senjata mainan. Di atas pintu masuk toko itu ada sebuah televisi yang menghadap ke arah bangku kayu tadi. Tayangan pada layar televisi itu menarik perhatian Jessifer.

Sebuah cuplikan film action menampilkan beberapa figur jagoan berkekuatan super. Ada manusia robot berwajah khas Asia dengan sepeda motor yang bisa berbicara. Figur itu di beri nama Edson_99. Lalu ada wanita bermata biru mengenakan seragam model Army yang disebut New Born. Tak lama tayangan gambar seseorang sedang mengetik berlapis gambar matrik bercahaya biru yang berkelebat-kelebat berganti-gantian dengan gambar seseorang yang sedang menulis pada sebuah buku. Gambarnya berkedip-kedip cepat hingga tak tertangkap secara utuh. Tahu-tahu gambar sudah berganti gambar buku yang terbuka dan melayang dalam mode slow motion.

Jessifer mendengar suara di belakangnya, tapi cuplikan film itu sedang seru-serunya.

Seorang pria Asia berwajah lancip khas boneka migi dengan rambut lurus sebahu bergaya hun—diikat separuh di bagian atas khas pendekar samurai, mencengkeram bahu seorang pria berseragam medis yang tengah sibuk memelototi layar monitor.

Dan Jessifer merasakan bahunya juga di cengkeram.

Pria berpakaian medis itu menatap tangan di bahunya kemudian menoleh ke belakang. Tapi pria Asia itu seketika lenyap meninggalkan semburan debu yang diperlambat sebelum muncul tulisan: Ash.

Jessifer menahan napas dan menyentakkan kepalanya ke belakang. Cuplikan adegan film tadi masih melekat dalam kepalanya. Dan ketika ia menoleh, ia tak melihat tangan yang mencengkeram bahunya tadi. Jessifer spontan tergagap. Rasanya seperti adegan dalam film tadi, pikirnya.

"Jess!" Ibunya melotot tak sabar di sampingnya.

Jessifer memekik tertahan. Pantas saja tidak ada orang di belakang, pikirnya.

Ibunya mengamati layar televisi di atas pintu masuk toko senjata mainan itu dan mengerang. "Film-film semacam ini membuatmu jadi sering kaget. Kau harus berhenti menonton. Ayo pulang!"

"Apa?" Jessifer melengak. "Tapi--"

"Aku tak mau dengar kata tapi!" Ibunya menyela.

Tapi bukannya tadi dia bilang ingin berbelanja stok makanan, kata Jessifer dalam hati. Ia berusaha mencari tahu judul film tadi tapi ibunya keburu menyeretnya menjauh. "Mom--" Jessifer mengerang. "Memangnya Mom sudah belanja stok makanan?"

"Oh, ya ampun!" Ibunya melepaskan cengkeramannya. "Beruntung kau mengingatkanku!"

Jessifer membeliak sebal menanggapi kebiasaan buruk ibunya.

"Kau jangan ke mana-mana!" Ibunya memperingatkan.

"Aku akan menunggu di tempat tadi!" Jessifer memberitahu ibunya.

"Berhentilah menonton film-film aneh, Jess!" Ibunya berteriak dari depan pintu masuk toko makanan.

Jessifer hanya mengangkat bahu. Lalu berbalik mengabaikan peringatan ibunya.

Tak lama kemudian ia merasakan tangan seseorang mencengkeram bahunya dengan kuat. "Mom!" Jessifer berusaha menyentakkan tangan itu dari bahunya. Tapi ia merasa kepalanya mendadak pusing. Angin kencang menghempas dirinya seperti tornado. Tak lama kemudian ia terjerembab ke lantai dalam posisi berlutut. Ia menggulingkan tubuhnya ke posisi duduk terlentang, kemudian mendongak dan mengerjap kebingungan.

Seorang pria berwajah lancip khas boneka migi dengan rambut lurus sebahu bergaya hun menatapnya dari atas tubuhnya yang sedang terduduk di lantai. Usianya sekitar lima tahun lebih tua dari Jessifer. Tapi tampangnya terlihat seumuran. Pria itu mengenakan kostum assassin dalam film tadi.

Jessifer menelan ludah. Wajah pria itu juga sama persis seperti karakter bernama Ash.

Jessifer segera beranjak dari lantai dan mengedar pandang. Ia melihat ruangan di sekelilingnya dipenuhi senjata mainan. Apa dia mendorongku tadi?

Pria berwajah khas Asia itu menarik sudut bibirnya membentuk seringai tipis.

"Kau—" Jessifer terbata-bata. "Ash..."

"Commander!" pria itu menegaskan. "Namaku Ashley Commander," katanya seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

Jessifer menelan ludah dan beringsut mundur menjauhinya.

"Apa kau takut padaku?" Pria itu bertanya seraya menaikkan sebelah alisnya.

Jessifer tergagap-gagap. Entahlah, katanya dalam hati. Ia hanya tak yakin dengan apa yang terjadi.

"Apa kau suka film-ku?" Pria itu bertanya lagi.

Jessifer menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk menepiskan debu. "Aku belum pernah menonton film-mu," katanya terus terang.

"Kalau begitu lupakan saja!" sergah pria itu. "Bagaimana kalau kau ikut bermain saja dalam film-ku? Apa kau tertarik?"

Jessifer terkesiap.

"Apa kau punya pengalaman akting?"

"Sedikit!" Jessifer menjawab ragu.

"Tidak masalah," pria itu mendesah pendek. "Aku hanya butuh kesediaanmu. Apakah kau mau ikut bermain dalam film-ku?"

"Apa aku boleh meminta waktu untuk bicara pada ibuku?" Jessifer mencoba bernegosiasi. Tapi matanya berbinar-binar senang dan bersemangat. Aku main film sungguhan, batinnya senang.

"Aku hanya membutuhkanmu beberapa detik saja," tutur pria itu. "Hanya sebagai figuran. Tidak ada kontrak atau apalah, tidak ada perjanjian yang akan mengikatmu dalam jangka panjang."

"Oh," gumam Jessifer sedikit kecewa.

"Aku akan memberimu 7000$ untuk akting membidik dan menembak. Bagaimana? Apa kau mau membantuku?"

Tujuh ribu dolar hanya untuk akting membidik dan menembak? Jessifer membelalakkan matanya. "Baiklah!" Ia langsung menyetujuinya.

"Baiklah!" Pria itu menyeringai. Lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Jessifer dan memutar tubuhnya. "Pilihlah sendiri jenis senjata favoritmu!" pria itu memajukan dagunya untuk menunjuk koleksi senjata mainan di depan mereka.

Jessifer kembali tergagap.

"Ayolah pilih saja!" Pria itu mendesaknya.

Jessifer menunjuk salah satu senjata model Barrett M82A1.

Pria itu tersenyum puas. Lalu ia menjentikkan jarinya pada dua pria berpakaian serba hitam model army yang segera menghampirinya. Pria itu memberikan instruksi pada kedua pria itu kemudian membimbing Jessifer ke tepi balkon.

"Aku bayar di muka!" Pria itu menyodorkan setumpuk uang pada Jessifer.

Jessifer membeku sesaat kemudian menerimanya. Lalu ia menghitungnya dan benar saja. Jumlahnya memang 7000$.

"Senjatamu akan siap sebentar lagi," pria itu memberitahu. "Omong-omong, siapa namamu?"

"Jessifer West!"

"Senang bekerja sama denganmu, Jess!" Pria pirang itu menyalami Jessifer.

Dua orang pria berpakaian serba hitam model army tadi membantu Jessifer memasangkan senjata mainannya pada railing di selasar lantai tiga. Sementara Ashley memberitahukan sasarannya pada Jessifer. Ia menunjuk ke arah salah satu pengunjung pria dengan tuxedo yang tengah berdiri di depan pintu masuk di lantai dasar.

Tiba-tiba saja Jessifer merasa gugup. "Itu saja?" tanyanya tak yakin.

"Ya!" jawab Ashley. "Bagianmu hanya membidik dan menembak, itu saja. Setelah itu, tugasmu selesai."

Baiklah, kata Jessifer dalam hati. Akting ini tidak membutuhkan ekspresi tertentu. Seharusnya mudah. Ia menoleh ke belakang dan seorang pria lain sudah bersiap dengan kamera di tangannya.

Ashley bersedekap di sisi kameraman itu seraya mengangguk ke arah Jessifer, mengisyaratkan gadis itu untuk bersiap.

Seorang pria lainnya berdiri di belakang Jessifer dan mendemonstrasikan bagaimana cara menggunakan senjata itu.

Jessifer mengangguk mengerti. Lalu bersiap.

"And…" Ashley menaikkan sebelah tangannya memberikan aba-aba, "Action!"

Dan Jessifer membidikkan senjatanya dan menekan pelatuknya. Senjata itu meletup dan mengentak keras di tangannya---rasanya seperti senjata sungguhan.

JLEB!

Jessifer terkesiap.

Pria dengan tuxedo di lantai dasar itu tersungkur di lantai dan tak bergerak lagi.

Seketika lantai dasar berubah gaduh. Orang-orang memekik dan berteriak.

Dan sebelum Jessie menyadari apa yang terjadi, Ashley dan para stafnya sudah menghilang.

Chapter 1

Jessifer menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia membuka matanya perlahan, kemudian menggeliat meregangkan otot-ototnya.

Apakah aku lupa mematikan video player-ku lagi? Ia bertanya dalam hatinya. Pasti ya. Terpaksa deh, harus sarapan omelan lagi. Orang-orang sarapan omelette, aku sarapan omelan. Kuharap masih ada waktu untuk menonton sebelum berangkat ke sekolah.

Jess menoleh untuk melihat jam yang ada di atas meja di samping tempat tidurnya. Kalau aku bangun sekarang, mungkin aku masih sempat menonton dulu, pikirnya.

Isi kepalanya belum sepenuhnya jernih.

Begitu ia menoleh ke samping, ia tergagap dan mengerjap-ngerjapkan matanya.

Tidak ada meja!

Tidak ada kamar tidur.

Matanya memandang liar ke sana kemari. Dan ketika pandangannya tertumbuk pada langit-langit dari semen berwarna abu-abu, ia baru ingat di mana ia berada.

Kemudian ingat semua yang terjadi.

Tangannya mencengkram selimut kasar yang menutupi tubuhnya dan menyentakkannya ke atas hingga menutupi kepala, kemudian meringkuk seperti bola.

Aku tak ingin mengingatnya, pikirnya. Pokoknya tidak mau!

Samar-samar tercium bau segar cairan antiseptik di bawah selimut. Jess merasa seolah bau itu sudah bercokol sejak dulu di rongga hidungnya.

Tak lama kemudian terdengar bunyi pegas-pegas besi tempat tidur berderit. Gadis-gadis lain di ruangan itu mulai terbangun.

Selamat pagi, teman-temanku sesama psikopat, Jess membatin pahit.

Tak-tok, tak-tok, tak-tok.

Jess mengenali suara langkah-langkah kaki di permukaan lantai yang keras itu. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui bahwa hanya para penjaga yang langkah kakinya kedengaran.

Semua gadis memakai sepatu kain warna hijau lunak yang tidak menimbulkan bunyi. Semua gadis yang ditempatkan di bagian khusus untuk "para pelanggar hukum dengan masalah kejiwaan" ini tidak diperbolehkan memiliki benda-benda keras atau tajam, bahkan sepatu pun tidak.

"Bangun, West! Cepat!" bentak wanita gembrot berambut cokelat pendek dengan mata bulat berwarna hitam.

Jess tahu, ia harus segera bangun. Peraturan di Rumah Tahanan Khusus "Remaja Bermasalah Dengan Kejiwaan" itu sangat ketat.

Ia juga tahu persis seharusnya ia tak boleh memanggil mereka---para wanita kasar dan berisik itu "penjaga". Seharusnya ia memanggil mereka, Miss atau Mrs. Tapi Jess tetap nekat memanggilnya "penjaga."

Sehelai handuk abu-abu usang tersampir di ranjang besi Jessifer. Disambarnya handuk itu, sementara kedua kakinya ia jejalkan ke dalam sepatu kain berwarna hijau yang menjadi seragam resmi di Rumah Tahanan itu. Termasuk juga pakaian tidur yang sekarang dikenakannya. Warnanya juga hijau dan tanpa saku.

Jess mengucek-ucek matanya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ayo baris," perintah wanita gembrot tadi.

Gadis-gadis itu berdiri membentuk barisan di depan pintu.

Jess berjalan mengikuti mereka menyusuri lorong berwarna kuning pucat yang dingin menuju kamar mandi.

Sambil berjalan malas-malasan, tatapan Jessifer menerawang keluar jendela yang berteralis besi. Di luar sedang hujan lebat. Jendela-jendela itu terlihat seperti disiram berember-ember air. Mendadak terdengar suara guntur yang menggelegar, membuat Jess serentak terlonjak.

Aku rela melakukan apa saja asal bisa berhujan-hujan di luar sana, pikirnya dengan perasaan merana. Kebebasan---bahkan untuk sekadar bermain hujan dan menggigil kedinginan---masih lebih menyenangkan daripada dikurung di tempat ini.

Apa pun masih lebih mendingan dibanding terkurung di sini.

Gadis-gadis itu akhirnya sampai di depan kamar mandi. Empat orang gadis sekaligus masuk untuk mandi. Ketika tiba giliran Jess, ia masuk bersama tiga gadis lain yang berwajah masam. Sesama "pelanggar hukum yang memiliki masalah dengan kejiwaan" seperti dirinya.

Tampangku mungkin juga sama jeleknya dengan mereka, pikir Jess. Diliriknya cewek-cewek itu melalui sudut matanya. Semua cewek psikopat bertampang sama.

Di dalam kamar mandi yang lampunya terang menyilaukan, Jessifer mencipratkan air ke wajahnya. Diamatinya bayangannya di cermin.

Jelek, Jess, katanya dalam hati pada bayangannya. Tampangmu sangat mengerikan!

Matanya yang cokelat besar itu sekarang dihiasi lingkaran hitam di bagian bawah matanya. Kulitnya yang semula cokelat karena terbakar matahari sekarang mulai menguning---kelihatan tidak sehat, pucat seperti warna dinding-dinding di rumah tahanan itu.

Dan rambutku kenapa? Ia bertanya dalam hati sembari menarik-narik rambut ikalnya yang sekarang kuyu dan lemas. Dalam waktu tiga hari rambutnya telah mati.

Ya, tiga hari!

Selama itulah aku berada di neraka ini, kenangnya pahit. Baru tiga hari. Tapi rasanya sudah seperti tiga tahun. Jess mengeluh.

Lebih baik aku berusaha membetah-betahkan diri, katanya dalam hati. Aku bakal lama mendekam di tempat ini.

Ia ingat waktu kebetulan mendengar pengacaranya memberitahu kedua orang tuanya bahwa ia tidak diizinkan pulang bersama mereka. "Pembunuhan merupakan pelanggaran hukum yang sangat berat," kata pengacara itu.

"Tentu saja!" Jess tertawa sendiri sambil menyikat rambut cokelatnya yang ikal gelombang.

Gadis di wastafel sebelah mengangkat kepala dan meliriknya dengan tajam.

Jess spontan membuang muka. Hebat, batinnya. Jadi sekarang aku juga mulai mengoceh sendirian? Benar-benar sinting. Mungkin aku memang cocok berada di sini!

"Hey! Yang di dalam sana cepat," teriak seorang wanita dari ambang pintu. Penjaga itu bertubuh besar dan wajahnya berbedak tebal. "West, setelah sarapan, kau harus langsung menemui Dr. Tjang. Jadi cepatlah."

Jess seketika merasa ngeri. Aku malas menemui Dr. Tjang lagi!

Kemarin dokter itu menanyai macam-macam, sampai kepalanya berdenyut-denyut.

Bagaimana kejadiannya?

Apa yang kau pikirkan saat itu?

Bagaimana perasaanmu waktu itu?

Jess tidak mau bicara lagi dengan dokter itu. Untuk apa diperpanjang kalau semuanya sudah dapat disimpulkan hanya dengan satu penjelasan…

KEPARAT!

.

.

.

Ghostroses, 2020…

Angin kencang menerpa wajah Jess ketika lampu merah di sudut perempatan jalan berganti kuning dan hijau. Puluhan kendaraan menyeruak tak sabar melewatinya, meninggalkan udara lembab yang bercampur debu.

Jess menaikkan tali ransel yang melorot dari bahunya, menarik tudung parkanya yang berwarna gelap untuk menudungi matanya, kemudian berjalan cepat di sepanjang trotoar dengan tertunduk, berusaha melindungi wajahnya dari pandangan semua orang yang berseliweran di sekitarnya, kemudian menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku parkanya dan mempercepat langkahnya.

Memasuki blok perumahan tempat kedua orang tuanya tinggal, Jess menghentikan langkahnya.

Rumahnya tidak begitu jauh dari jalan besar. Atap runcingnya terlihat dari tempat ia berdiri, menyeruak di antara pepohonan.

Sederet mobil polisi terparkir di tepi halaman rumahnya yang telah dipasangi police line.

Dua unit ambulans meluncur pelan memasuki pekarangan rumahnya. Sejumlah paramedis berlarian menyongsong ambulans-ambulans itu. Sejumlah personel kepolisian berjaga di sepanjang jalan masuk.

Apa yang terjadi?

Jessifer menghambur dan menerobos penjagaan. Dua orang polisi menyergap pinggangnya dan menahannya. Jess berhenti dengan napas terengah-engah. Dadanya mendadak terasa sesak dan perutnya serasa ditusuk-tusuk.

Satu per satu pintu-pintu ambulans itu terbuka. Satu per satu pula kereta usungan keluar dari dalam rumahnya.

Jessifer memekik tertahan. Kedua tangannya refleks membekap mulutnya. Usungan pertama melintas di depannya. Di atas usungan itu, terbaring seorang pria paruh baya berambut abu-abu---ayahnya. Kemudian usungan kedua menyusul, ibunya.

Jess jatuh berlutut. Menangis tanpa suara.

Setelah ia melewati tahun-tahun yang menyiksa di rumah tahanan, Jess akhirnya pulang, hanya untuk mendapati kedua orang tuanya tewas?

Jess tertunduk, kedua bahunya menggantung lemas.

Sepasang kaki bersepatu hitam mengkilap, mendekat ke arahnya. Seorang pria berpakaian dokter berjongkok di depannya.

Jess mengangkat wajahnya, menatap wajah di depannya dengan penglihatan buram oleh air mata.

Seraut wajah tampan tersenyum murung, menatap Jess dengan prihatin.

Jess mengenali pria itu sebagai Takeshi Felix, seorang ahli forensik, kolega ayahnya.

Pria itu merogoh ke dalam saku jas putihnya dan mengeluarkan selembar amplop dan memberikannya pada Jess.

Jess menerimanya dengan tangan gemetar.

Chapter 2

Ghostroses, 2022…

Pria itu tidak seperti yang diharapkan komite.

Sembilan Pejabat Kehormatan dari Sub-Komite Anggaran untuk Ekspansi Wilayah Timur telah mengambil tempat duduk mereka masing-masing di depan meja besar sebuah ruangan berdekorasi abad pertengahan yang bau apak.

Para mason yang terhormat.

Para anggota komite itu tampak mempersiapkan diri untuk sidang parlemen yang akan mereka hadapi. Dalam hati, mereka masing-masing sudah tak sabar untuk menghabiskan waktu siang ini dengan permainan favorit mereka, "cincang habis."

Ah, ya!

Bagi mereka memang sangat menyenangkan selama beberapa saat bisa mencela, menghina, menggertak dan mengusili apa pun yang dilaporkan serdadu kantoran yang malang yang dikirimkan untuk berhadapan dengan mereka---kaum berwenang di masyarakat, di mana serdadu kantoran itu harus menjawab mereka, memberikan penjelasan---singkatnya mencoba menari mengikuti irama mereka.

Lagi pula merekalah pemegang dompet angkatan bersenjata.

Selain itu, pertemuan seperti ini memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menyampaikan pidato di mana tidak satu pun politikus akan menolak mendengarkannya.

Setelah beberapa kali melakukan pertemuan semacam ini, para anggota komite itu sudah hafal jenis perwira muda pengecut yang biasa dikirim para komandan lapangan.

Beberapa di antaranya adalah penjilat yang senang bersolek, tidak diragukan, pasti anak muda dari kalangan aristokrat yang tentunya lebih memilih berada di meja judi di Las Vegas.

Ada juga jenis anak manis yang suka berdandan klimis yang akan berlindung di bawah tenda sang jenderal ketika desingan peluru mulai beterbangan.

Tapi bukan kedua jenis itu yang dikirim Kolonel Morgenstein pada mereka.

Kali ini dari garis depan dari perang kecil terbaru yang menyebalkan di Nadia—negara di timur jauh negara mereka, Athena Minor. Perang yang… mereka lebih memilih untuk melupakannya.

Tapi tentu saja tidak bisa.

Sang ketua komite mengangguk pada petugas penjaga bersenjata, memberikan isyarat bahwa mereka sudah cukup siap untuk memulai permainan, bersikap seolah-olah mereka akan membuka sebuah pintu masa lalu untuk menghadirkan beberapa pemeluk Nasrani yang malang, yang ketakutan berhadapan dengan singa.

Tapi kemudian derap kaki kuat dengan irama teratur dari tumit sepatu militer yang telah disemir yang beradu dengan lantai kuno terdengar dari luar pintu, memberikan kesan pertama pada seluruh anggota komite bahwa perkiraan mereka sedikit… meleset.

Pria itu muncul di depan pintu…

Dan setengah dari anggota komite itu merasa seperti… mendapat peringatan. 

Beberapa orang sebenarnya terkesiap.

Mereka semua menatap pria itu, memberikan pandangan antara bingung dan kagum. 

Tatapan mereka sekarang terpaku pada sosok ksatria yang gagah dengan seragam lengkap perwira pasukan khusus, yang dikirim komandan lapangan untuk berurusan dengan mereka. Dan mereka semua mengetahui ksatria yang terlihat liar dan arogan ini tidak akan pergi sebelum yakin akan mendapatkan apa yang menjadi tujuan kedatangannya.

Mayor Jasper Sevenson.

Bukan sekadar ksatria, Jasper Sevenson juga sebetulnya seorang Terminator—anggota sindikat tentara pembunuh bayaran, Armageddon yang bermarkas di Midnight Convenience Store—sebuah toko 24 jam di Ghostroses. 

Toko ini dilengkapi bank pembayaran dan ruang komunikasi rahasia berbasis jaringan global, di mana para Terminator menunggu pesan kode dengan detail target mereka berikutnya. 

Latar belakang sponsor elit global menjadikan Armageddon sebagai sindikat paling glamor di Athena Minor.

Tapi tentu saja para anggota komite yang terhormat itu tak pernah menduga bahwa utusan yang dikirim pada mereka telah dimanipulasi, karena seorang Terminator juga tentara militer tapi bukan abdi negara.

Seandainya para anggota komite yang terhormat itu tahu…

Mereka membuka pintu masa lalu yang keliru.

Bukan pemeluk Nasrani malang yang ketakutan berhadapan dengan singa, tapi seorang nabi—Daniel, yang dikirim ke gua singa hanya untuk kembali sebagai pemimpin kawanan singa.

Singa muda itu sekarang berjalan masuk ke dalam ruangan, dan ketika ia melewati meja panjang tempat para anggota komite duduk berjajar, seisi ruangan dipaksa untuk mengetahui tinggi badannya yang mengesankan, karena meskipun mereka duduk di meja yang berada di atas panggung, pemuda itu masih sejajar dengan pandangan mereka. 

Ia menatap lurus ke depan saat berjalan, tapi tak cukup rendah hati untuk menatap ketua komite yang terhormat—mason Deanson yang arogan ketika melewatinya.

Sikapnya tenang dan tatapan dinginnya mengirimkan peringatan… atau bisa dibilang sorotan muak. Pria itu bahkan mengabaikan gumaman sang Mason, "Saya lapor!" dan tetap berjalan dengan gerakan terkendali, penuh kekuatan dan luwes.

Setelah mencapai meja yang lebih kecil dan juga lebih rendah yang berhadap-hadapan dengan meja para anggota komite, perwira itu berhenti, kemudian memutar dengan gerakan yang tepat, dan tidak memberi hormat. Tetap berdiri tegap dengan sikap waspada. Kemudian menaruh helm kavaleri di lengannya… seperti tentara Romawi, pikir beberapa orang.

Untuk beberapa saat, tidak satu pun dari anggota komite yang terhormat itu tahu apa yang akan mereka katakan, bagaimana cara memulainya. Bahkan sang ketua yang terkenal pongah pun terdiam sesaat. Semua orang hanya terpaku menatap pemuda itu, mengagumi sosok menawan di hadapan mereka untuk mengingat bahwa pemuda setampan itu pun bisa berada di medan pertempuran.

Mantel hijau tentara sang Mayor melekat pas di dada bidangnya saat ia menunggu. Tanda pangkat emas di bahunya yang lebar berkilau di bawah cahaya kandil yang menggantung di langit-langit di atas kepalanya. Bagian bawah long coat-nya melingkar sempurna di pinggang rampingnya. Sepatu bot selutut seperti baru digosok tampak tak bernoda

Rambut halus berwarna cokelatnya yang memanjang melewati rahang, diikat kencang ke belakang menyerupai ekor kuda. Itu terlalu panjang untuk potongan rambut tentara, pikir semua orang.

Tapi siapa yang peduli?

Mata serigalanya memberikan tampilan mata pengembara padang pasir yang biasa digunakan untuk meneropong jauh ke medan gelap. Rahangnya yang tinggi menegaskan wajah kokoh yang pantang menyerah. Semua itu menggambarkan kekuatannya sebagai seorang ksatria yang patut diperhitungkan di medan perang.

Atau mematikan.

Siapa yang berani mengomentari potongan rambutnya sekarang?

"Ehem!" Sang Mayor berdeham. Suaranya menggetarkan para Gentleman dari keterpukauan mereka.

Sang ketua terbatuk perlahan, sementara yang lain bergerak gusar di kursi mereka ketika tiba-tiba tersadar hingga timbul kegelisahan bahwa mereka bertanggung jawab atas orang seperti ini.

Menatap mereka dengan tak sabar, sejujurnya Jasper Sevenson berharap supaya mereka merasa tak nyaman.

Para Elf the Great ini tidak mengerti arti kata itu---tidak nyaman.

Tidak nyaman pergi ke medan tempur ketika sadar amunisi di kotak peluru begitu sedikit hingga terkadang harus mengisi senapan dengan kerikil setelah beberapa kali tembakan dan berdoa itu akan berhasil.

Tidak nyaman dioperasi oleh ahli bedah untuk mengeluarkan peluru dari punggung tanpa meminum wiski seteguk pun untuk mengurangi rasa sakit.

Ah, apa yang salah, anggota komite yang terhormat? Pikir sang Mayor, seraya menyembunyikan senyum sinis ketika ia melihat sedikit pertanda dari perasaan bersalah tercermin dari setiap wajah angkuh mereka.

Ia hampir bisa mendengar berbagai alasan mulai berlalu lalang di pikiran kerdil dan serakah mereka.

Bisa dipastikan, sulit bagi semua orang seperti mereka untuk berpikir melepaskan tiga juta dolar. Mereka hanya manusia biasa. Tidak diragukan lagi, permintaan mendesak untuk mendapatkan dana tambahan bukanlah hal yang mudah. Itulah yang digeluti oleh para bangsawan penting ini setiap hari.

Kadang-kadang mereka menerima rincian perhitungan, namun semua itu sama sekali berbeda dengan kekayaan yang didapat Athena Minor dari Nadia, dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan.

Untuk segala sesuatu yang menguntungkan, para dewan yang terhormat itu tidak mau ketinggalan untuk mendapat pujian. 

Ironisnya, keberhasilan yang datang silih berganti dari pasukan tentara di Nadia mungkin telah membuat para anggota dewan yang terhormat ini mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya tugas menumpas perlawanan para pemberontak tidaklah terlalu berat! 

Jadi dalam kasus ini, berarti tak perlu terburu-buru untuk mengirimkan uang dan perlengkapan yang direngekkan para prajurit sekarang.

Bukan begitu, para mason yang terhormat? Jasper membatin sinis.

Di sisi lain, Jasper masih tetap yakin bahwa apa pun yang terjadi pasukannya di Nadia akan tetap melakukan perlawanan, dengan atau tanpa dana yang telah dijanjikan parlemen dengan basa-basi.

Itu bisa dipastikan.

Namun bukan itu yang menjadi intinya.

Ia hanya menyayangkan para politisi yang memenuhi ruangan ini sekarang, tidak satu pun mengerti arti sebuah janji.

Janji adalah sesuatu yang harus ditepati bagi lelaki seperti Jasper.

Jadi…

Di sinilah dia sekarang!

Dikirim oleh komandan tua, Kolonel Morgenstein, sebagai pengingat bahwa "mereka akan berhadapan dengan birokrat keras kepala," dan memberitahu bahwa tentara itu bergerak dengan perutnya, bukan kakinya, "mereka semua ingin dibayar!"

Untuk perannya kali ini, Jasper sama sekali tidak merasa bahagia.

Tapi anak buahnya telah dijanjikan akan mendapatkan gaji dan sampai saat ini belum dibayarkan juga.

Jadi seseorang harus bertindak!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!