NovelToon NovelToon

Jerat Karma Suami Goib Ku

Bab 1: PANGGILAN

"Bellaaa....,"

"Bellaaa....,"

"Bellaaa....,"

Disaat mimpi menjemput mengetuk pintu alam bawah sadar. Rasa kantuk yang mendera seketika buyar karena rintihan panggilan yang menerobos menyusup gendang telinga seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Kerjapan mata berulang kali dilakukannya. Hingga netra mata melihat jarum jam yang ada di atas nakas sisi tempat tidurnya.

"Dua belas malam, kenapa selalu ada yang memanggil namaku?" gumamnya mengingat setiap malamnya selalu terbangun di waktu yang sama karena hal sama pula.

Tanpa pikir panjang, gadis itu menurunkan kaki jenjangnya seraya menyibakkan selimut yang menjadi penghangat tubuhnya. Tak ingin mati karena rasa penasaran dengan semua pertanyaan yang bergelut di dalam pikiran, membuat Bella mengendap-endap keluar dari kamar. Lalu celingak-celinguk melihat ke seluruh ruangan yang cukup temaram karena lampu kecil yang menjadi penerang di saat malam hari.

Sepertinya ibu sudah istirahat, adikku juga tidak ada di dapur mencari makanan. Apa aku keatas saja sekarang ya? Yah, aku tidak ingin dihantui rasa penasaran lagi. ~batin Bella.

Sebelum melanjutkan niat hatinya. Bella berhenti di depan kamar sebelah kamarnya. Dimana kamar itu adalah kabar ibu dan sang adik. Ia menatap bufet tempat sang ibu menyimpan kunci rahasia. Kunci perak dengan logo bintang dari dalam pot bunga di ambil dengan perlahan agar tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Bahkan harus menahan nafas agar lebih berhati-hati.

Kunci yang berpindah ke dalam genggaman tangannya di peluk erat. Ia tak ingin ada yang merebut barang miliknya. Langkah kaki kembali berjalan menapaki lantai marmer merah muda. Disaat bersiap menaiki tangga kayu menuju lantai dua, Bella berhenti sejenak menatap kegelapan lantai dua yang selalu menjadi larangan untuk di jadikan tempat bermain oleh sang ibu.

Hembusan angin tiba-tiba saja menerpa, membangunkan bulu-bulu halus yang seketika meremang. Meskipun begitu, bisikan masih terdengar membekas di hatinya. "Sebaiknya aku lepas sandal biar ibu gak kebangun."

Benar saja terpaan angin dengan hawa dingin tak mengubah niat hati Bella. Langkahnya semakin mantap menapaki setiap anak tangga demi menyembuhkan rasa penasarannya selama bertahun-tahun. Bahkan kegelapan di sekeliling gadis itu semakin memberikan keberanian untuk tetap maju.

Pintu bertirai hitam masih berjarak dua meter. Namun, ketidaksabaran gadis itu mengikis jarak lebih cepat. Tanpa ragu ia memasukkan kunci unik kedalam lubang pintu, lalu memutarnya tiga kali putaran.

Kleek!

Kunci terbuka, tanpa menunda tangannya siap mendorong pintu bertirai hitam.

"Yeay, akhirnya aku akan tahu apa yang ibu rahasiakan. Lagian kenapa juga tirai pintu dikasih warna hitam? Apalagi udah jadul banget tirainya." Bella memperhatikan tirai ditengah kegelapan, meskipun begitu dirinya sering mencuri kesempatan sekedar untuk menatap pintu yang kini berhasil dibuka.

Niat hati ingin mendorong pintu, dan melihat ke dalam kamar. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara ibunya dari bawah.

"Bella!" panggil sang ibu sedikit keras.

"Waduh ibu bangun. Bagaimana ini?" Bella bingung memilih masuk ke kamar demi rasa penasarannya atau turun ke bawah menemui sang ibu. "Sekarang aku tunda saja, tapi ku pastikan akan kembali melihat apa isi di dalam kamar ini."

Setelah memutuskan untuk mundur, gadis itu kembali mengunci kamar tirai hitam dan bergegas turun dari lantai atas. Dari posisinya terlihat jelas betapa cemas dan khawatir nya sang ibu. Rasa bersalah karena melanggar larangan ibunya, membuat Bella berpura-pura seperti tengah mencari udara segar.

"Ibu, kenapa bangun?" tanya Bella.

Di saat wajah putri tunggalnya menampakkan batang hidungnya. Wanita paruh baya dengan pakaian daster selutut dengan wajah cemas luar biasa bergegas menghampiri sang putri, lalu merengkuh tubuh remaja yang baru saja berulang tahun ketujuh belas seminggu lalu itu ke dalam pelukan. "Ndu, kamu dari mana saja? Kenapa malam-malam keluyuran? Ibu kan sudah bilang. Jangan berkeliaran di malam hari! Meskipun ini rumah mu sendiri. Kamu gapapa kan, Ndu?'

Pertanyaan beruntun dari sang ibu, membuat Bella merasa bersalah. Tangannya mengusap punggung Ibu Sulastri. "Bella baik, Bu."

Ibu Sulastri melepaskan pelukan, lalu menangkup wajah putrinya. Tatapan mata keduanya saling terpaut. Tindakan sang ibu, membuat gadis remaja itu menunduk. Sementara mata tua wanita itu beralih menatap ke lantai atas. Dimana ada sosok yang mengawasi semua tindakannya.

"Yasudah, yuk tidur lagi, Ndu! Kita tidur sekamar saja. Kasur juga muat untuk bertiga." ajak ibu Sulastri seraya membimbing putrinya agar manut.

Ibu hanya ingin kamu selalu hidup normal, Ndu. Apapun yang ibu lakukan demi kebaikan kalian berdua. Semoga kalian tidak melanggar aturan yang ibu tetapkan.~batin ibu Sulastri.

Keduanya meninggalkan ruang tamu, dan kembali memasuki kamar utama. Sementara suara yang selalu membangunkan Bella di tengah malam harus menerima kegagalannya sekali lagi.

Bab 2: DIA? -LARANGAN

Sang malam berlalu begitu cepat berganti sinar mentari bertemankan kicauan burung. Di tengah dinginnya air, Bella merapatkan handuk yang tersampir di pundaknya.

"Dingiiin. Ibu, apa bisa aku pake air hangat?" Bella mengeraskan suaranya agar sampai keluar kamar, membuat sang ibu yang sibuk menyiapkan sarapan pagi tergopoh-gopoh menghampiri kamar putrinya.

"Ndu, kamu ini masih pagi udah pake toa. Mandi pagi itu bagus buat kesehatan, udah buruan nanti telat, loh. Katanya mau daftar kuliah?" Ibu Sulastri mengingatkan putrinya.

Mendengar itu, sontak Bella memaksakan diri mengambil gayung untuk memulai ritual mandinya. Sementara ibu Sulastri menyiapkan pakaian kesukaan putrinya dari lemari pakaian, lalu di letakkan di atas ranjang. "Ibu hanya ingin kamu dan adikmu hidup senormal mungkin, semoga harapan sederhana ku tidak kandas karena bayangan masa lalu."

Hembusan angin tiba-tiba menerpa, padahal tidak ada jendela yang terbuka, membuat bulu kuduk ibu Sulastri berdiri. Sudah pasti sosok di dalam ilusi tidak terima setiap kali dibicarakan. Meskipun itu hanya sebuah kata kiasan. Tak ingin larut dalam hawa dingin, wanita paruh baya itu bergegas meninggalkan kamar Bella. Kemudian kembali menyelesaikan masakannya yang tertinggal.

Terlihat seorang anak dengan seragam SD nya sudah duduk di kursi meja makan seraya mengerjakan PR. Anak itu adalah Abil, anak laki-laki dengan wajah menggemaskan yang selalu ceria. Melihat putranya begitu giat. Ibu Sulastri tersenyum dengan rasa syukur di dalam hati.

"Bu, sini deh!" Abil melambaikan tangan agar ibunya mau mendekat.

Ibu Sulastri berjalan menghampiri sang putra dengan senyuman manis. "Abil mau sarapan sekarang?"

"Gak, Bu. Sarapan bareng ka Bella, dan ibu aja." jawab Abil.

"Jadi Abil mau apa?" tanya Ibu Sulastri dengan tatapan bingung, membuat putranya menarik kaosnya agar menunduk.

"Bu, itu siapa? Kenapa terbang kesana-kemari." bisik Abil yang seketika menjadi ketegangan di wajah ibu Sulastri.

Tatapan was-was, dan rasa takut menyergap hati wanita paruh baya itu, terlebih bisikan putranya menyadarkan dirinya. Jika Abil memiliki mata batin terbuka. Tak ingin membuat keributan. Apalagi memancing rasa penasaran Bella semakin besar. Maka jalan terbaik adalah tersenyum seraya mengusap kepala sang putra.

Meskipun tak ada jawaban dari sang ibu. Anak itu tetap saja mengikuti bayangan yang sibuk mondar-mandir dari lantai atas ke lantai bawah. Terkadang bayangan itu ikut menatap matanya, lalu menghilang begitu saja. Tidak ada rasa takut. Justru itu seperti sebuah hiburan baginya.

"Abil, mau bantu ibu ndak?" celetuk ibu Sulastri setelah terdiam sesaat.

"Mau, Bu." jawab Abil polos.

Ibu Sulastri menengok kebelakang dimana kamar Bella berada masih tertutup rapat. Setelah memastikan aman. Barulah ia kembali menatap putranya. "Apa Abil bisa lihat DIA yang saat ini duduk di tangga atas?"

Abil mengikuti arah yang dimaksud ibu nya. Di atas sana, tepatnya di tangga sisi kiri. Sebuah bayangan hitam pekat dengan wajah samar tengah asyik berdiam diri seraya sesekali berputar seperti gasing. "Iya, Bu. Abil lihat, siapa sih DIA?"

Mendengar hal itu, Ibu Sulastri langsung menutup mata putranya dengan tangan kanan seraya berdo'a di dalam hati. Reaksi berlebihan ibunya, membuat Abil menurunkan tangan dengan tatapan mata santai. "Bu, percuma di tutup. Orang setiap hari juga lihat."

"Kenapa Abil gak bilang....,"

"Aduh kenapa aku terabaikan? Ibu, Abil lagi bahas apa? Asyik bener." Bella me nimbrung, membuat ucapan ibu Sulastri terhenti seraya berbalik melihat kedatangan remaja yang kini sudah cantik dan wangi.

"Bukan apa-apa, Ndu. Ayuk sarapan! Ibu ambil sayurnya dulu, Abil masukkan semua bukumu! Jangan sampai ketinggalan, loh, ya." ucap ibu Sulastri.

Abil hanya mengacungkan jempol, dan melakukan perintah sang ibu tanpa membantah. Sementara Bella memilih duduk setelah menyambar gelas berisi air putih. Baru saja ingin meneguk, ada tangan mungil menahan tangannya. Siapa lagi jika bukan Abil pelakunya. Tindakan itu menjadi tanda tanya.

"Ka, jangan pake gelas itu ya." Abil mengambil gelas baru, lalu menuangkan air putih dari teko kaca, dan menyerahkan ke Bella. "Minum ini aja, Ka. Abil jamin lebih segar."

"De, ini gelas ibu 'kan? Sama sajalah, itu buat dede aja, dan ini....,"

Abil tidak mendengarkan dan merebut paksa gelas ditangan Bella, lalu mengganti dengan gelas baru. "Ka Bella jangan ngeyel, deh! Bu, mana sarapannya?"

"Terserah, deh. Mau di jemput ibu, atau kakak nanti?" tanya Bella yang akhirnya mengalah.

"Ibu aja, lagian kakak masih keliling kampus. Kemarin teman Abil, kakaknya juga gitu. Tau gak, Ka. Pulangnya masa malem banget." celoteh Abil serius.

Ibu Sulastri yang datang seraya membawa semangkuk sop ayam masih bisa mendengar curhatan putranya. "Ayo, kita sarapan dulu!"

"Bu, nanti kalau Bella pulang ke sorean gimana?" tanya Bella bercanda.

Ibu Sulastri yang sibuk menuangkan kuah sop ke mangkuk mendadak menghentikan kegiatannya, lalu menatap putrinya serius. "Berapa kali ibu katakan. Baik Bella atau Abil, DILARANG KELUYURAN setelah sore hari."

"Sabar, Bu. Kakak cuma bercanda itu, mana berani kami ngebantah ibu. Iya kan, Ka Bella?" Abil mengedipkan mata meminta persetujuan sang kakak.

"Ibu, tenang saja. Aku inget semua nasehat ibu, termasuk dilarang keluyuran malam hari. Meskipun itu DIRUMAH SENDIRI.'' Bella sengaja menekankan kata terakhir agar mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya. Akan tetapi percuma saja, sang ibu masih memilih sibuk memberikan sarapan dibandingkan memberikan penjelasan atas larangan di dalam rumah sendiri.

Setelah drama singkat. Akhirnya rutinitas masing-masing dijalankan. Bella yang memulai mencari fakultas untuk pendidikan lanjutan, Abil yang menikmati belajar mengajar di bangku kelas 3 SD dan ibu Sulastri yang menjadi ibu rumah tangga biasa.

Seminggu berlalu, dan hari ini adalah hari minggu. Dimana hari bebas untuk semua orang. Termasuk untuk remaja yang masih saja berteduh di balik selimut.

Tok!

Tok!

Tok!

"Ndu! Ibu mau ke pasar, mau ikut ndak?" seru Ibu Sulastri, membuat Bella menyibakkan selimutnya sedikit.

"Bella masih ngantuk, Bu." jawab remaja itu malas dengan suara paraunya.

"Ya udah, nanti jangan lupa sarapan! Ada nasi goreng di meja makan." balas Ibu Sulastri.

Hening!

Berpikir putrinya kembali terlelap ke alam mimpi. Maka rasa was-was di dalam hatinya tak singgah lagi. Langkah kaki berjalan meninggalkan rumah bersama Abil untuk berbelanja mingguan di pasar terdekat. Tanpa ibu Sulastri sadari. Bella yang mendengar suara motor keluar dari halaman rumah bergegas menyibakkan selimut, lalu turun dari ranjang.

"Ini saatnya. Aku tidak mau gagal, lagian ini bukan malam 'kan? Jadi bebas keluyuran." gumam Bella tersenyum sumringah.

Tanpa menunda apapun. Langkah remaja itu keluar meninggalkan kamarnya, lalu mengambil kunci pintu kamar tirai hitam. Setiap langkah kakinya tanpa sadar menuju pantangan yang selama ini dijadikan peraturan rumah. Selama beberapa menit hanya berjalan menapaki lantai, anak tangga dan lantai kembali. Hingga terhenti tepat di depan kamar tirai hitam.

Kunci dimasukkan, lalu diputar tiga kali hingga bunyi KLIK terdengar. Senyuman ketidaksabaran Bella tersungging, tangannya mendorong pintu itu. Sejak langkah pertama sudah diawasi sosok tak kasat mata penghuni kamar tirai hitam.

"Loh, kok kosong? Hadeuh, ibu ini masa kamar kosong melompong di larang masuk?'' Bella mengamati seluruh ruangan kamar, tanpa memperhatikan langkah kakinya.

Tanpa remaja itu sadari. Ada ilusi yang menutupi isi kamar agar tidak terlihat berbagai jenis sesajen, aroma kemenyan ataupun bunga kantil dan mawar pun tersegel dengan kekuatan gaib sosok penunggu kamar tirai hitam. Hingga tanpa sengaja Bella menendang sesajen utama, membuat makhluk goib di dalam kamar itu murka.

Kilatan mata merah menyala terang dengan kuku memanjang sepanjang tiga puluh senti. Makhluk itu siap mencabik perusuh rumahnya. Namun, belum sempat menyentuh mangsanya.

"Ndu! Kamu ngapain?" Ibu Sulastri bergegas masuk, kemudian menarik tangan Bella untuk keluar dari dalam kamar tirai hitam.

Sesaat tatapan matanya beradu dengan mata makhluk goib penunggu kamar tirai hitam. Apapun konsekuensinya. Sekarang putrinya bisa selamat. Sementara Bella hanya bisa menunduk merasa bersalah atas pelanggaran yang diketahui sang ibu.

"Bu?"

Ibu Sulastri tidak menggubris panggilan putrinya, "Kunci?"

Bella memberikan kunci, membuat wanita paruh baya itu bergegas mengunci kamar tirai hitam kembali. Kemudian berbalik menatap putrinya. "Bisa jelaskan, kenapa putri ibu melanggar aturan rumah? Bukankah, selama ini sudah jelas. Larangan memasuki kamar ini?"

Bab 3: JIWA SULASTRI MILIKKU

"Bu?"

Ibu Sulastri tidak menggubris panggilan putrinya, "Kunci?"

Bella memberikan kunci, membuat wanita paruh baya itu bergegas mengunci kamar tirai hitam kembali. Kemudian berbalik menatap putrinya. "Bisa jelaskan, kenapa putri ibu melanggar aturan rumah? Bukankah, selama ini sudah jelas. Larangan memasuki kamar ini?"

"Bella hanya penasaran, Bu." jawab remaja itu jujur.

Ibu Sulastri menghela nafas panjang mendengar jawaban Bella yang sama persis seperti jawabannya puluhan tahun lalu. "Ndu, setiap peraturan yang dibuat. Pasti ada alasannya. Baik itu di sekolah, tempat bermain ataupun tempat lainnya. Apa rasa penasaranmu lebih berarti dari keselamatanmu dan keluargamu?"

Bella menggelengkan kepalanya dengan wajah semakin menunduk karena menyadari dirinya telah menorehkan kekecewaan di hati sang ibu. Tak ingin semakin membuat putrinya bersedih. Ibu Sulastri mengusap kepala remaja itu penuh kasih sayang.

"Bu, maafin Bella." cicit remaja itu seraya mendongak menatap sang ibu dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan diulangi ya, Ndu. Ayo kita turun! Pasti kamu belum sarapan 'kan?" ajak Ibu Sulastri, lalu menggandeng tangan putrinya.

Langkah kaki keduanya berjalan menjauhi kamar tirai hitam. Semakin menjauh hingga tidak mendengar suara lengkingan tajam serta goresan benda yang menyayat telinga. Sosok di balik kamar itu murka melihat sesajen untuknya berserakan.

"Bu, DIA....,"

Ibu Sulastri menggelengkan kepalanya agar Abil tidak mengatakan apapun. Sebagai anak yang peka, anak kecil itu paham jika ibunya tidak ingin sang kakak tahu soal bayangan hitam yang selalu berseliweran di dalam rumah mereka.

Kini ketiganya memilih duduk di dalam kamar utama. Setelah membuat Bella lebih tenang. Ia memilih untuk mengambilkan makanan dari ruang makan. Namun, langkahnya terhenti karena sosok bayangan yang berdiri di atas tangga menatap tajam ke arahnya. Niat hati ingin tetap melangkah mendekati meja makan. Akan tetapi setiap ingin maju satu langkah. Ada sesuatu yang menggerakkan kakinya justru berjalan ke arah tangga.

"Saya mohon, berikan waktu sebentar saja."

"Errrrggggghhhh."

Suara erangan itu terasa menusuk, membuat aliran hangat keluar dari telinga wanita paruh baya itu. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menuruti dorongan kekuatan yang membawa langkah kakinya menaiki anak tangga.

"Tuanku....,"

Wuusshh!

Hembusan angin menyebar ke seluruh rumah membawa pesan kematian, hawa dingin dengan aroma bunga melati yang menyengat. Abil yang mampu melihat sosok bayangan masih berdiam diri menjaga kakaknya agar tetap di kamar.

"De, ibu kemana, ya?" tanya Bella penasaran.

"Angetin nasi goreng kali, Ka. Coba Abil periksa, tapi kakak di kamar aja ya!" jawab Abil seraya mengingatkan, sebuah anggukan kepala dari Bella, membuatnya berani meninggalkan remaja itu seorang diri.

Baru saja punggung Abil hilang dari pandangan. Bella langsung turun dari ranjang, langkah kakinya berjalan menghampiri kamar mandi. Namun, suara teriakan menyusup masuk menggetarkan hatinya.

"Aaarrrrggggghhhh....,"

"Ampuuuuunnnn....,"

"Ibu?" gumam Bella langsung berlari meninggalkan kamar tanpa ingat larangan dari sang ibu dan juga adiknya.

"Ampuuuuunnnn....,"

"AAARRRRGGGGGHHHH....,"

Semakin dekat langkah Bella menuju lantai atas. Jeritan kesakitan dengan memohon ampunan semakin menyayat hatinya. Begitu banyak pertanyaan di dalam benak remaja itu hingga tanpa ragu tangannya membuka pintu kamar tirai hitam.

Ceklek!

Deg!

Detak jantung yang biasanya berdetak normal tiba-tiba saja lari marathon dengan bola mata membulat sempurna. Sosok besar berkabut bayangan hitam memegang cambuk api.

Ctaar!

"Aaarrrrggggghhhh....,"

Ctaar!

"Ampuuuuunnnn....,"

Sosok bayangan itu tengah menyiksa Ibu Sulastri tanpa ampun. Pecutan dari cambuk api masih saja dilakukan hingga tatapan Bella beralih ke bawah dimana raga ibunya sudah terbujur lemah tak berdaya dengan mata melotot terkapar di atas karpet merah.

"Ibuuu!"

Setelah kesadarannya kembali, remaja itu berlari menghampiri sang ibu. Langkah kakinya diiringi air mata. Bella langsung bersimpuh mencoba membangunkan ibunya agar sadar.

"Bu, bangun! Maafin, Bella....,"

Ctaar!

"Aaarrrrggggghhhh....,''

"Apa yang kamu lakukan? HAH! Kembalikan ibuku!" seru Bella menatap bayangan itu meskipun terlihat samar karena air mata yang menggenang.

Bayangan itu berhenti mencambuk jiwa Ibu Sulastri, lalu terbang memutari dua raga wanita yang memiliki aroma darah sama. Rasa takut di hati Bella sirna disaat melihat ibunya dalam keadaan tidak bernyawa. Semua yang ada di depannya sudah cukup menjelaskan kamar tirai hitam menjadi tempat pemujaan. Sesajen yang berserakan dengan karpet merah serta lilin putih dengan pola rasi bintang.

"Jiwa Sulastri milikku."

"Jiwa Sulastri milikku.''

"Jiwa Sulastri milikku."

Ucap bayangan itu menggema di seluruh kamar seraya kembali menghampiri jiwa Sulastri yang kini terbelenggu benang hitam, dan melayang di udara diatas sesajen yang berserakan. Sosok itu kembali mengayunkan cambuk nya, tapi Bella langsung memeluk raga sang ibu dengan erat.

"Hentikan!" seru Bella.

Bayangan itu menghilang, membuat Bella berpikir sudah aman. Namun perkiraannya salah besar. Tiba-tiba saja bayangan bertaring dengan kuku panjang muncul di depan mata dengan jarak sepuluh centi.

"Ggggrrrgghhhh!"

"Arrrggghhh," Bella spontan menutup matanya.

Bayangan itu kembali menghilang, lalu muncul di belakang jiwa ibu Sulastri dengan tangan terangkat. Kuku panjang yang tajam dengan tatapan merah menyala semakin menyebarkan aura kematian.

Sreeet!

Sreeet!

"Aaarrrrggggghhhh....,"

Sekali lagi jeritan kesakitan ibu Sulastri terdengar lebih menyiksa hati Bella. Remaja itu menyingkirkan tangannya, dan melihat berulang kali bayangan itu mencakar punggung jiwa sang ibu diiringi teriakan yang menyayat hati. Air mata tak tertahankan luruh membasahi pipi atas penderitaan yang ibunya alami.

"Hiks. Hiks. Hiks. Lepaskan ibu ku," pinta Bella dengan menahan raga ibunya.

Tangannya terasa basah dengan aroma anyir yang mulai tercium, warna merah mulai membasahi pakaian remaja itu. "Ibuu, bangun."

"Jiwa Sulastri milikku.''

"Jiwa Sulastri milikku."

"Jiwa Sulastri milikku."

Bella semakin merengkuh tubuh ibunya agar tetap aman. Meskipun aliran darah semakin deras mengalir. "Ampuni ibuku, aku mohon. Siapapun kamu, lepaskan ibu ku. Hiks. Hiks."

"Kamu ingin aku kembalikan jiwa ibumu? Maka tukarkan jiwa Sulastri dengan jiwa mu!" jawab Bayangan itu dengan suara menegakkan bulu roma.

"Hiks. Ambil saja jiwaku, tapi kembalikan jiwa ibuku. Aku mohon, lepaskan jiwa ibuku.'' pinta Bella tak tahan melihat penderitaan jiwa dan raga sang ibu secara bersamaan.

"Menikahlah denganku!"

Jduaar!

Suara petir menggelegar seakan alam ikut menentang.

"Tidak! Aku lebih baik MATI." jawab Bella tanpa pikir panjang.

Penolakan Bella, membuat bayangan itu mulai menunjukkan wujud aslinya. Sosok bayangan perlahan kabur berubah menjadi manusia bertanduk dua dengan kuku panjang hitam memanjang yang semakin runcing dengan tatapan mata merah semerah darah. Aura kematian bercampur wewangian bunga melati menyeruak pekat menusuk indra penciuman.

Sorot mata Bella terpatri pada makhluk yang terbang di belakang jiwa ibunya. Seringaian makhluk itu semakin jelas seraya mengayunkan tangan dan mencabik punggung jiwa sang ibu. Setiap cabikan mengakibatkan darah di raga ibunya mengalir deras tanpa henti. Hal itu membuat Bella kembali menangis histeris.

"Hiks. Hiks. Hiks. Hiks."

Tidak ada lagi teriakan dari jiwa sang ibu selain tatapan mata yang semakin meredup. "Menikah atau jiwa ibumu binasa?"

Darah yang membanjiri seluruh karpet dan pakaiannya, bercampur rasa kalut dengan belenggu ketidakberdayaan. "Hiks. Hiks. Lepaskan jiwa ibuku! Aku siap menikah denganmu."

Persetujuan Bella membuat sosok iblis tersenyum puas, lalu dalam sekejap mata mengubah penampilan menjadi sosok yang tidak pernah dapat dibayangkan. Bahkan remaja itu ikut tertegun dengan perubahan makhluk di depannya yang berubah menjadi seorang pria muda tampan nan rupawan.

Dua jam kemudian.

Suasana rumah tingkat dua mendadak berubah mencekam. Awan mendung menaungi kediaman ibu Sulastri. Tidak ada angin ataupun hujan. Namun suara petir menggelegar saling bersahutan. Ntah darimana datangnya seorang penghulu yang kini sudah terikat di kursi kayu di dalam kamar tirai hitam.

"Mulai!" titah seorang pria dengan wajah yang mempesona, siapapun yang menatap matanya akan terbius tak berdaya.

Pak penghulu mengulurkan tangannya, dan disambut pria itu dengan senyuman termanis. "Saya nikahkah dan kawinkan saudara Lucifer Bramasta dengan saudari ananda Arabella binti Suparto dengan mahar sesajen kembang tujuh rupa dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya....,"

Jduuaaar!

Jduuaaar!

Jduuaaar!

Pyaaar!

Suara petir dengan kilatan cahaya menyambar jendela lantai bawah, alam ikut terguncang dengan pernikahan dua dunia. Hingga kata SAH dari pak penghulu terucap. Barulah petir terhenti berubah menjadi hujan deras melanda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!