NovelToon NovelToon

Menjadi Mempelai Hantu

Chapter 1 : Permintaan Aneh

Sebuah rumah kayu sederhana yang terletak tak jauh dari tepi hutan, terlihat semarak. Kertas panjang berwarna merah yang terpasang di beberapa sudut, berkibar tertiup angin.

Lampion-lampion merah bercorak indah dengan coretan tinta emas, tergantung berayun-ayun. Kertas-kertas putih berbentuk bulat, tersebar di tanah. Beberapa terlihat melayang-layang di udara. Meski semeriah itu, tetapi keadaan rumah tersebut begitu lengang. Seperti tidak ada kehidupan di sana.

Beberapa saat kemudian, rombongan pemusik tiba. Sebuah tandu berwarna merah dengan ornamen dan hiasan kain emas juga telah disiapkan. Di belakangnya, berbaris beberapa pria dan wanita. Tentu saja, semua berpakaian senada, merah.

Seorang gadis muda, duduk di depan meja rias dengan sebuah cermin. Gaun merah yang ia pakai, sangat terlihat kontras dengan warna kulitnya. Gadis itu berkali-kali mengembuskan napas. Riasan khas pengantin, mempercantik wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa dirinya harus menjalani sebuah pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Permintaan kedua orang tuanya, sesuatu yang tidak bisa membuatnya memberontak.

“Anak gadis ayah, benar-benar terlihat cantik hari ini.” Seorang pria paruh baya berdiri di pintu memandangi gadis yang duduk mengenakan gaun pernikahan.

“Tapi Ayah ... siapa calon suamiku? Aku belum pernah bertemu, lagi pula, aku belum ingin menikah.”

“Xuan Yi ... ayah tidak bisa menolak keinginan ibumu. Ayah yakin, kali ini pilihan ibumu itu sangat tepat. Calon suamimu bukan orang biasa.” Mata laki-laki paruh baya itu memandang nanar, lalu dengan gerakan cepat, ia menundukkan kepala. Menyembunyikan sebuah kekhawatiran dari putrinya.

“Ya, semoga saja benar seperti itu, Ayah.” Jari-jemari lentik Xuan Yi menyentuh hiasan kepala berbentuk mahkota dengan lambang burung Phoenix yang tergeletak di meja rias.

“Lekas pakai! Kita harus cepat-cepat. Atau kita akan kehilangan waktu yang baik untuk pernikahanmu.”

Tanpa penolakan atau bantahan yang keluar dari mulutnya, Xuan Yi memakai aksesoris tersebut. Kemudian ia tersenyum kepada sang ayah yang berjalan, keluar dari kamar. Kerudung merah berbahan tipis, bersulam benang emas dipakai untuk menutupi wajah cantik gadis tersebut.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar Xuan Yi. Menuntun gadis itu keluar rumah menuju tandu yang sudah dipersiapkan. Di teras, Yaosan, kepala keluarga tersebut, beserta istri dan putrinya yang lain, menunggu pemberangkatan rombongan pengantin tersebut.

Suara musik mulai terdengar, rombongan mulai berjalan di jalanan yang sepi. Beberapa orang dari rombongan, menaburkan serpihan-serpihan kertas bulat. Tidak ada senyum sedikit pun di bibir setiap anggota rombongan. Tidak ada obrolan. Hanya wajah-wajah tegang dan ketakutan. Mereka terlihat seperti rombongan yang mengantarkan jenazah, bukan pengantin. Di garis paling depan rombongan, seorang dukun dengan pakaian putih memimpin perjalanan.

Setiap kali rombongan tersebut melewati pemukiman warga, orang-orang memandang ketakutan pada rombongan pengantin tersebut. Saling berbisik dengan tatapan sedih. Mereka juga menangkupkan kedua tangan di dada lalu mengguncang-guncangnya. Kemudian, memindahkan kedua tangan ke kepala. Terlihat seperti isyarat meminta perlindungan atas segala kesialan dan petaka yang akan terjadi kepada Dewa.

Aroma dupa yang dibawa sang dukun tersebar di setiap jalan yang dilalui. Tentu saja, hal itu juga bisa mengundang makhluk dari alam lain. Rasa heran terbesit di kepala Xuan Yi karena aroma tersebut. Selama hidupnya, ia pernah beberapa kali mengikuti ritual pernikahan orang lain. Namun, kali ini ia merasa ritual pernikahan yang ia jalankan sangat berbeda dengan apa yang pernah ia saksikan.

Xuan Yi membuka kotak kecil seperti jendela di tandunya. Menyingkap kerudungnya sedikit. Mengintip ke luar. Keheranannya makin bertambah saat ia melihat jalanan begitu sepi. Jalanan yang dilalui pun tidak terlihat seperti jalanan menuju kota atau desa lain.

Hari mulai gelap saat rombongan tersebut tiba di sebuah tempat yang terlihat seperti kuil kuno. Udara terasa begitu dingin dan suasana terlihat mencekam. Deru angin pegunungan terdengar bak geraman binatang buas. Beberapa orang terlihat ketakutan. Namun, tidak dengan Yen Yui dan Xiu Yin. Perempuan dua generasi itu tersenyum lebar. Karena pada dasarnya, merekalah yang akan diuntungkan dengan pernikahan ini.

Dukun memulai ritualnya, bergerak-gerak melingkari sebuah relik di depan kuil tersebut. Kemudian, pintu kuil tiba-tiba terbuka dengan lebar. Setiap orang di sana terkesiap. Sementara itu, Xuan Yi masih duduk tenang di dalam tandu. Yaosan yang khawatir berjalan cepat mendekati tandu tersebut. Laki-laki itu mengetuk jendela kecil di tandu. Melihat sang putri melongok dari dalam tandu, ia mulai merogoh kantong di balik lengan bajunya.

“Ulurkan tanganmu, Xuan Yi!” pinta Yaosan dengan berbisik.

Gadis itu dengan cepat mengulurkan tangan ke luar. Dengan cepat, Yaosan meletakkan sebuah gulungan kertas kuning bertuliskan huruf-huruf dengan tinta merah. Kemudian, ia menggenggam tangan Xuan Yi.

“Gunakan ini, jika ada sesuatu yang buruk terjadi padamu! Jimat yang beberapa hari lalu, masih ada? Jika ada kesempatan untuk melarikan diri, larilah! Menjauh! Ayah tidak bisa berbuat apa-apa selain ini.”

Xuan Yi mengangkat kerudung merahnya, senyum mengembang di bibirnya lalu ia mengangguk pelan. Tanpa bertanya apa pun pada laki-laki yang begitu ia hormati dan kasihi tersebut. Walaupun ada banyak pertanyaan di benaknya.

“Ayah tidak perlu risau. Aku Xuan Yi, aku jamin, semua akan baik-baik saja seperti biasanya.”

Mendengar kalimat terakhir anak gadisnya, Yaosan terenyuh. Air mengambang di sudut matanya yang mulai mengeriput.

Tanpa disadari, seorang wanita paruh baya berjalan mendekat dan menarik pria tadi. Menjauhi tandu.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Suamiku? Menjauh dari tandu!”

Melihat kedatangan ibunya, Xuan Yi buru-buru menyembunyikan benda pemberian Yaosan di balik lengan gaun pengantinnya.

Setelah membuat suaminya menjauh dari tempat tadi, Yen Yui berbalik menuju tandu.

“Jangan macam-macam, menurutlah saja!” perintah wanita itu. Kemudian dengan kasar, ia menutup jendela kecil tersebut.

Angin bertiup semakin kencang saat ritual sang dukun di depan kuil hampir selesai. Beberapa orang dari rombongan tadi, lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Hanya beberapa orang yang masih bertahan di situ.

Beberapa saat kemudian, Xuan Yi dituntun keluar dari tandu oleh sang dukun. Gadis itu merasa heran. Ia melihat ke arah sekeliling dari balik kerudung. Dari cahaya obor yang menerangi area tersebut, terlihat begitu banyak sosok dengan pakaian serba hitam. Sama halnya ketika ia masuk ke dalam kuil. Beberapa orang berdiri berbaris sepanjang jalan menuju altar. Namun anehnya, dukun seperti tidak melihat kehadiran orang-orang tadi. Acuh tak acuh.

Tidak ada yang aneh saat prosesi pernikahan yang dijalani Xuan Yi di dalam kuil. Namun hingga detik itu, ia masih belum melihat mempelai pria. Yang ia lihat, hanya papan nama berkalung pita merah dengan tulisan “Hong Zixin, Raja Hantu”. Gadis itu mengerling pada patung besar di belakang papan nama tersebut.

Pahatan batu sosok besar dengan senjata di beberapa tangannya, mata melotot, lidah panjang terjulur di antara taring-taring yang panjang. Kemudian ia berlutut di depan altar pemujaan seperti petunjuk dukun tadi.

Sejenak, Xuan Yi teringat kisah dari teman dekatnya. Seorang gadis, putri dari dukun Tao yang terkenal di desa tetangga. Konon, ada sebuah ritual rahasia untuk mendapatkan hal-hal yang mustahil sekalipun. Ia mulai memahami ketika teringat semua usaha ayahnya dan segala keanehan prosesi yang dijalani.

“Tunggu! Jadi aku ....” Gadis itu bergumam dari balik kain merah yang menutupi wajahnya.

Bersambung ....

Chapter 2 : Roh Pendendam

Xuan Yi sangat marah ketika ia menyadari bahwa dirinya dijadikan persembahan untuk sebuah ritual. Dengan gerakan cepat, ia bangkit. Kain merah yang menutupi wajahnya sudah ia lempar entah ke mana.

Dukun Chao terkejut melihat apa yang sedang terjadi.

“Duduk! Duduklah! Jangan sampai membuatnya marah. Atau kita semua akan dapat musibah!” pinta Dukun Chao.

Dengan amarah yang memuncak, Xuan Yi mendekati kedua orang tua dan saudarinya yang saling berpegangan.

“Teganya kalian! Teganya! Kalian ingin membuatku cepat mati?”

Yen Yui memandang putri angkatnya dengan geram, ia melangkah maju. Namun, Yaosan menahannya. Laki-laki itu menutup mulutnya rapat-rapat, tetapi menggelengkan kepala. Meminta dengan isyarat kepada istrinya.

Murka dengan sikap keluarganya, Xuan Yi mengobrak-abrik altar. Buah-buahan, makanan dan segala barang persembahan, berhamburan di lantai. Sosok hitam sepanjang altar tidak bisa bergerak saat gadis itu mengamuk. Di mata mereka, ada sebuah kubah merah keemasan melindungi perempuan tersebut.

Lama-kelamaan, tanda lahir berwarna merah dengan bentuk kupu-kupu kecil di antara telunjuk dan ibu jari Xuan Yi memanas. Kabut hitam mulai menutupi ruangan di dalam kuil tadi. Setelah kabut memudar, terlihat seorang laki-laki berdiri melayang di atas meja altar. Pakaian yang dikenakannya berwarna hitam dengan simbol Phoenix disulam dengan benang emas di kedua bahunya. Kulit pucat, hidung mancung, alis hitam rapi dengan mata setajam elang, menatap gadis bergaun merah di hadapannya.

“Siapa yang berani mengacau di tempat persemayamanku?”

Melihat sosok tersebut, Dukun Chao segera bersujud. Ia ketakutan. Begitu pula dengan Yaosan beserta anak dan istri. Hanya Xuan Yi yang tetap berdiri, sebuah apel tergenggam erat di tangannya. Dengan sekuat tenaga, gadis itu melempar apel ke arah sosok tadi.

“Lumayan, sungguh lumayan!” ucap laki-laki tadi. Kemudian, ia melayang turun ke hadapan Xuan Yi.

“Siapa kamu? Malaikat maut atau Dewa akhirat pun, aku tidak peduli! Pergi!” Xuan Yi menodongkan sebuah tongkat, tempat biasanya orang meletakkan lilin untuk pemujaan.

Laki-laki berbaju hitam tadi tertawa sangat keras. Ia mengangkat tangannya dengan kelima jari yang terbuka. Menghentikan sekelebat bayangan hitam yang terbang cepat menuju Xuan Yi.

Sesosok laki-laki muda mendarat tepat di sisi lain Xuan Yi. Wajah laki-laki itu tak kalah tampan dengan wajah laki-laki sebelumnya.

“Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?”

“Gertakan gadis kecil semacam dia, tidak akan membuatku terluka. Tenang saja, Bao Luo!”

Pria tadi, yang merupakan perwujudan Raja Hantu dari dunia bawah Hongxiya, Hong Zixin, berjalan mendekati Xuan Yi yang masih mengacungkan tongkat. Kecantikannya, dalam sekejap berhasil memikat Zixin.

“Lihatlah Bao Luo! Mempelaiku kali ini sangat menarik. Kecantikan ragawi dan tingkah yang unik. Aku harus memberikan upah yang lebih kepada orang yang mempersembahkannya.”

Dengan gerakan cepat, Yen Yui bangkit dari sujudnya dan berjalan mendekati tempat Zixin berdiri.

“Saya ... saya yang membawanya kemari, Yang Mulia.”

Tawa terdengar dari mulut Raja Hantu tersebut.

“Baiklah. Apa yang kau inginkan?”

Dengan mata berbinar-binar, perempuan paruh baya tadi menyebutkan semua keinginan duniawinya. Mendengar segala permintaan sang ibu kepada Raja Hantu, hati Xuan Yi hancur. Tangannya bergetar, tongkat terjatuh ke tanah. Gadis tersebut jatuh berlutut lalu menangis. Semua permintaan Yen Yui, ditukar dengan kehidupannya. Entah jadi apa di dunia bawah kelak, yang jelas, ia harus melayani hantu tersebut.

Di sisi lain, Yaosan pun meneteskan air mata. Xuan Yi memang bukan anak kandungnya, tetapi naluri seorang ayah, membuatnya begitu menyayangi gadis tersebut. Hatinya sudah hancur terlebih dulu tatkala mendengar rencana istri dan putri kandungnya. Namun, ia juga tidak berdaya. Sebagai seorang suami dan ayah, ia belum bisa memberikan uang dan kedudukan yang tinggi untuk keluarga kecilnya.

Zixin mengibaskan tangan, ia mengangkat masuk tandu di depan kuil dengan kekuatan sihirnya. Kemudian memasukkan Xuan Yi ke dalam benda tersebut. Sekuat tenaga, gadis itu melawan, tetapi sihir yang mengikat tubuh itu lebih kuat.

“Pulanglah kalian semua! Apa yang kalian inginkan akan segera dikabulkan. Jangan ceritakan apa pun tentang rahasia ritual ini atau kalian akan mati di tanganku sendiri. Saat memulai ritual ini, kalian sudah membuat ‘perjanjian’ itu denganku.”

Zixin membalikkan badannya, melayang di udara lebih tinggi.

“Bao Luo, bawa pengantinku pulang ke Hongxiya. Antar dia ke istana barat. Hari ini, aku akan mengejar beberapa hantu pembangkang. Huh! Ini semua gara-gara si tua Yan Luo, kenapa tidak mendengarkan apa yang kukatakan hari itu. Apa harus aku menggantikannya jadi Dewa Akhirat? Benar-benar merepotkanku saja!”

Laki-laki yang bersoja di hadapannya, menunduk, tertawa tanpa suara.

“Ah iya, kau adalah cucunya! Aku lupa,” sambung Zixin lagi.

Beberapa saat kemudian, tandu berwarna merah tadi terbang. Di belakangnya, Bao Luo pun mulai mengawal. Tandu keluar dari kuil menuju gerbang dunia bawah. Sepanjang perjalanan, para hantu yang sempat hadir dalam ritual tadi ikut berbaris di belakang tandu, mengiringi.

Zixin masih terdiam di tempatnya, melayang-layang. Sejenak, ketika melihat wajah gadis persembahan tadi, ia melihat ada sesuatu yang benar-benar menariknya. Kecantikan wajah dan aroma tubuh perempuan itu, seperti ia kenali sebelumnya. Semuanya tidak pernah ia temukan pada gadis-gadis persembahan terdahulu.

Ribuan gadis perawan yang ia dapatkan dari ritual rahasia menjadi pelayan di istana. Namun, tidak ada satu pun yang membuat Zixin ingin menyentuh mereka. Gadis-gadis itu menjadi pelayan khusus. Tidak bisa kembali ke dunia manusia karena terikat perjanjian. Beberapa dari mereka juga mencoba kabur dari dunia bawah atau mendendam. Menjadi hantu pendendam yang terjebak di antara kedua dunia. Terkadang menghantui beberapa tempat, rumah, gunung, bahkan pepohonan.

Semua itu bukan mutlak kesalahan Zixin. Akan tetapi, keserakahan dan ketamakan manusia yang membuat gadis-gadis tak berdosa itu menjadi terikat oleh perjanjian. Karena ritual tersebut sudah ada dari generasi ke generasi penerus para Raja Hantu.

Aroma busuk yang tertangkap indra penciuman Zixin, membuyarkan lamunan pria tersebut. Hal itu menjadi tanda, ada hantu atau roh jahat yang melewati tempat tadi. Laki-laki berparas tampan itu terbang cepat mengejar jejak hitam dari hantu yang melayang.

Seperti apa yang diduga, Raja Hantu itu mendapati sebuah roh perempuan dengan gaun putih berlumuran darah, melayang, mengintip sebuah jendela.

“Tuan Raja, tunggu sebentar! Saya berjanji akan kembali ke dunia bawah setelah apa yang saya inginkan ditepati.” Hantu perempuan tadi berlutut meminta kelonggaran.

“Saya ingin, putra saya bisa lulus ujian negara dan menjadi pejabat di kerajaan Baixiya. Seseorang meracuni makanannya,” lanjutnya.

“Tetapi, kamu tidak akan bisa bereinkarnasi karena menyelamatkan orang yang seharusnya mati.”

“Bukan masalah bagi saya, Tuan.”

Zixin berdecak kesal. Namun ia tipikal orang yang penuh perhitungan tetapi sedikit berbelas kasih. Ia menjentikkan jari, tikus jatuh di hadapan pria muda yang sedang belajar. Binatang kecil itu melahap makanan di meja lalu mati seketika. Hal itu membuat pelajar tadi menyadari bahwa makan malamnya telah diracuni.

Seorang pemuda keluar dari kamarnya, membuang makanan ke tungku pembakaran. Hantu perempuan tadi, tersenyum pada Zixin. Hantu tersebut mendiami makamnya tak jauh dari kuil, tetapi setiap malam dia datang ke rumahnya untuk menjenguk putra yang ia lahirkan. Setelah melahirkan, perempuan itu meninggal dan dimakamkan seadanya karena posisinya sebagai wanita simpanan majikan.

Beberapa saat kemudian, Zixin mencium bau roh lain setelah memulangkan hantu perempuan tadi. Secepat kilat, ia melesat mengejar hantu lain tersebut. Ia tidak tahu, jika hantu yang ia kejar kali ini, berhubungan dengan masa lalunya. Apakah ia bisa menangkap hantu tersebut?

Bersambung ....

Chapter 3 : Manusia atau Bukan?

Sepasang suami-istri baru saja pulang dari rumah kerabatnya. Mereka singgah ke rumah tersebut setelah pulang dari kuil di atas bukit. Kuil Dewi Kesuburan. Ya, pasangan tersebut sudah menikah beberapa tahun, tetapi belum dikaruniai seorang anak pun.

Setiap pagi, kedua orang tersebut berjalan ke kuil. Kemudian, saat perjalanan pulang, mampir ke rumah beberapa kerabat mereka meminta restu setelah memohon kepada Dewa.

Sore itu, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Terpaksa, suami-istri tadi berjalan cepat mencari tempat berlindung. Namun langkah mereka terhenti karena mendengar tangisan bayi.

“Tunggu, istriku! Apa kau dengar itu?”

“Ya, aku mendengarnya, suamiku.”

Kedua manusia tadi mencari ke arah sumber suara. Mereka terkejut saat melihat keranjang rotan mengapung di pinggir sungai. Benda itu tersangkut akar tanaman dan mulai tenggelam karena air hujan yang membasahi bagian atas keranjang. Sementara itu, aliran sungai juga semakin deras.

“Aku akan mengambilnya, istriku, kamu tunggu di bawah pohon ini saja!”

Sang istri mengangguk patuh.

Dengan susah-payah, pria itu berhasil mengambil keranjang tadi dengan bantuan batang kayu yang diambilnya dari tepi sungai. Hatinya merasa iba sekaligus senang saat melihat bayi yang masih merah di dalam keranjang tersebut. Ia buru-buru membawa bayi tersebut ke istrinya.

Seperti tahu bahwa dirinya sudah aman, bayi yang menggemaskan tadi menghentikan tangisnya. Menggeliat-geliat lucu mencari perhatian. Di tangan kanannya yang mungil, terlihat sebuah tanda lahir berwarna merah dengan bentuk kupu-kupu. Gelang giok indah melingkar di sana juga.

“Suamiku, ayo cepat pulang! Kasihan anak ini, kedinginan.” Dengan bergegas, kedua orang itu membawa pulang bayi mungil tersebut. Suami-istri itu sangat bahagia, mendapatkan bayi yang mereka idamkan selama ini.

Sesampainya di rumah, bayi tadi dibungkus dengan kain yang kering dan hangat. Kebetulan, di rumah itu pernah ada baju bayi yang tertinggal. Milik putri dari salah satu kerabat mereka.

“Kau kuberi nama Xuan Yi, karena kau adalah hadiah pertama yang cantik dari para Dewa.” Yaosan berkata lembut pada bayi yang terlelap di tangannya. Rasa sayang kepada makhluk mungil itu semakin besar.

“Suamiku, bagaimana dengan gelang giok ini? Apa kita bisa menjualnya?”

“Jangan istriku. Gelang itu milik Xuan Yi. Biarkan itu jadi satu-satunya tanda dan identitas lahirnya. Bisa jadi, ia putri dari keluarga yang berada.”

“Jadi, namanya Xuan Yi? Nama yang indah.”

“Ya, Yen Yui. Mau bagaimana pun. Dia adalah putri pertama kita yang cantik. Seperti kupu-kupu yang tumbuh dari seekor ulat yang mungkin biasa saja. Seperti itulah kelak ia saat tumbuh besar.”

“Tidak, putri kita adalah kupu-kupu sejak lahir, Suamiku!”

***

Semenjak Yaosan dan Yen Yui merawat bayi itu, keberkahan seperti terus mengelilingi keluarga kecil mereka. Panen dari ladang dan kebun meningkat. Hasil ternak juga makin banyak. Hidup keluarga itu mulai berkecukupan. Xuan Yi pun tumbuh menjadi gadis kecil nan lincah. Wajahnya dan tingkahnya sangat menggemaskan.

Namun, ada kekhawatiran yang terbesit di hati Yaosan tatkala melihat gadis kecil itu bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Bahkan saat anak itu terluka, perlahan luka itu segera menutup. Kejanggalan tersebut ia tutupi dari istrinya juga.

Yaosan benar-benar memperlakukan Xuan Yi seperti putri kandungnya sendiri. Hingga tanpa sadar, ia sering tidak memedulikan istrinya. Ada rasa cemburu yang mulai tumbuh di hati Yen Yui. Kecondongan hatinya makin terlihat saat ia berhasil mengandung bayi di dalam rahimnya.

Yaosan tentu bahagia, saat tahu bahwa ia akan mendapatkan bayi lagi. Tabib baru saja pulang saat memeriksa perut Yen Yui yang semakin membuncit. Suami-istri yang berbahagia itu sedang mengobrol santai di kamar.

“Suamiku, apa kau juga akan menyayangi anak ini seperti kau menyayangi Xuan Yi?”

“Jangan konyol! Tentu saja aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk semua anak-anakku.”

Tiba-tiba terdengar bunyi benda pecah karena terjatuh dari ruang tamu. Selang beberapa saat kemudian, terdengar tangisan anak kecil. Suami-istri tadi bergegas melihat apa yang telah terjadi.

Kali ini, Yen Yui murka, ketika melihat gadis kecil itu memecahkan guci yang baru dibelinya di ibukota Kerajaan. Andai saja Yaosan tidak menahan tangannya, mungkin tangan itu akan mendarat di tubuh Xuan Yi.

“Kau tahu? Benda ini mahal! Setara dengan dua karung beras! Aku sudah bilang, jangan berlarian di dalam rumah. Kenapa kau masih saja tidak menurut?” omel Yen Yui saat membantu suaminya membereskan pecahan guci.

Xuan Yi kecil yang ketakutan, sembunyi di belakang tubuh Yaosan.

“Sudahlah, Istriku. Dia masih kecil, belum tahu akibat dari segala tindakannya.”

“Tetapi, Suamiku ... bagaimana jika itu menjadi kebiasaan sampai dia dewasa?”

Yaosan tersenyum lalu menggelengkan kepala. Sementara Xuan Yi, ia berlari ke luar rumah.

Seorang gadis dengan sebuah kertas kuning di tangannya, menatap dengan takjub ke arah Xuan Yi yang baru saja berlari dari dalam rumah. Aura berwarna merah keemasan melingkupi gadis kecil tersebut.

“Hei, kamu. Siapa kamu? Kenapa kamu terlihat seperti itu?”

Xuan Yi kecil menghentikan langkah kaki kecilnya. Ia menoleh ke arah gadis dengan “baju khas” tadi.

“Kamu berbicara denganku?”

“Tentu saja! Tidak ada orang lain di sini selain kita berdua.”

“Kau salah, ada seseorang yang berdiri di balik pohon itu.” Xuan Yi menunjuk sebuah pohon besar tak jauh dari halaman rumahnya.

Gadis tadi sangat antusias saat mendengar jawaban Xuan Yi. Ia mengulurkan tangan kecilnya.

“Hebat! Artinya, kau sama sepertiku! Aku Xua He, putri seorang Wudang yang tinggal di desa teratai putih.”

“Wudang?” Xuan Yi mengerutkan dahinya.

“Ah, sudahlah! Ayo ikut aku!”

Xuan Yi menurut saja ketika Xua He menuntunnya ke tepi sungai. Kemudian kedua gadis kecil itu duduk di sebuah batu besar, mereka melepas alas kaki lalu mencelupkan kaki ke dalam air sungai yang jernih.

Xua He membuka sebuah kantong yang terbuat dari kain rami, lalu mengulurkan ke hadapan gadis kecil yang baru ia jumpai tadi. Bola mata Xuan Yi yang berwarna madu, mengerling pada benda itu.

“Ini ... aku punya beberapa anggur yang aku keringkan sendiri. Kau pasti suka. Cobalah!”

Masih sedikit ragu-ragu, Xuan Yi hendak mengambil makanan kecil di telapak tangan Xua He. Perlahan, ia menggigit benda bulat kusut berwarna kecokelatan tersebut. Mata Xua He berbinar saat melihat reaksi gadis kecil di hadapannya.

“Sudah kuduga! Itu pasti enak! Besok aku akan membawakanmu buah kering yang banyak. Kau tahu? Sebenarnya aku lebih suka membuat berbagai makanan di rumah ketimbang harus ikut ayahku menangkap hantu.”

“Kau membuat makanan sendiri? Ke mana ibumu?”

“Ibuku ... kata Ayahku, ia dibunuh oleh hantu pendendam yang dikejar oleh ayahku.”

“Oh ....”

Seorang laki-laki dengan pakaian berwarna kuning dan topi yang aneh di kepalanya, memanggil Xua He dari kejauhan.

“Itu Ayahku. Aku harus pulang. Jika besok aku ke desa ini lagi, maukah kau bermain denganku lagi? Aku akan membawa banyak makanan buatanku sendiri.” Xua He berlari ke arah ayahnya lalu melambaikan tangan pada Xuan Yi.

“Sudah ayah bilang, jangan berbicara dengan orang asing. Kau bisa saja tidak tahu dia hantu atau manusia.”

“Tapi Ayah ... dia manusia, tangannya hangat dan pipinya bersemu merah. Dan bagusnya lagi, ia bisa 'melihat' sepertiku.”

“Sungguh?”

Ayah Xua He memandangi Xuan Yi yang masih berdiri di posisi tadi. Wajah gadis kecil itu memang terlihat lain daripada gadis lainnya. Kulitnya yang sangat putih bersih, rona merah di pipinya yang alami, rambutnya panjang berwarna hitam legam. Terlihat seperti peri kecil tanpa sayap. Ada beberapa roh yang menunggu di sungai itu, tetapi mereka tidak bisa mendekati gadis kecil tersebut. Hal itu tentu saja membuat laki-laki tersebut heran.

“Kau yakin dia itu manusia, Xua He?”

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!