Sundirah adalah gadis belia usianya menginjak dua puluh tahun. Hanya gadis desa, cantik, namun juga cerdas. Walaupun hanya anak seorang buruh petik kelapa. Dia tetap memiliki semangat yang tinggi.
"Sundirah, tunggu mas kembali. Sebesar apapun kehendak Bapak dan Ibu, tidak akan menyurutkan niat baik kita." Mahendra dengan erat memeluk Sundirah.
Isak tangis Sundirah semakin membuat hati Mahendra nelangsa.
Mahendra anak dari juragan kopra yang terpandang di kota itu. Berhektar-hektar ladang dan berpuluh ribu pohon nyiur. Mampu memperkerjakan tidak sedikit tenaga laki-laki sebagai pemetik kelapa di ladang dan sebagai pekerja rumah tangga bagi yang perempuan.
Mahendra harus pergi ke Negri seberang demi keinginan orangtua.
dengan dalih memupuk ilmu, namun di balik alasan, ada faktor tidak rela anak laki laki mereka harus merajut kasih dengan gadis anak seorang pemetik kelapa.
Ndoro Atmosiman sosok laki laki yang sudah berumur namun, masih menyimpan wibawa, ketegasan dan ambisi yang kuat. Dia adalah ayah dari Mahendra.
Nyonya karmilah wanita yang lembut, sabar, ulet masih terlihat gurat kecantikan dan awet muda.
Ikatan cinta ini begitu rumit, kepergian Mahendra bukan karena kemauan.
Namun suatu upaya orang tua untuk memisahkan cinta mereka.
"pergilah mas, gapailah cita-cita mu aku akan menunggumu kembali." Semakin deras air mata mengalir di pipi.
"Jagalah cinta kita Dirah, seberat apapun kehidupanku dengan tekanan Ayah padaku. Aku akan tetap kembali padamu." Mahendra melepas pelukan sambil berbalik badan meninggalkan Sundirah.
setelah beberapa jengkal langkah Mahendra menoleh kembali
"Dirah mas akan berkirim surat setiap minggu, setelah sampai di negri seberang." Senyum manis Mahendra mengakhiri ucapannya.
Sundirah hanya memandang kepergian Mahendra, tubuhnya merosot perlahan bersimpuh di area gubug di pinggir ladang kelapa.
Sementara, Mahendra sudah menjauh dengan langkah berat meninggalkan sundirah sendiri.
Gubug itu penuh cerita bisu, menyatunya kasih mereka anak manusia, dengan berbagai mimpi dan janji yang kini di ambang ketidak pastian.
Senja semakin menguning di ufuk barat, puluhan burung burung terbang kembali ke sarang. Nyanyian kerinduan tidaklah, cukup untuk sekedar menghibur rasa.
Sundirah melangkah gamang namun pasti kembali ke rumah di ujung desa di pinggir sawah.
"Dirah.. hari sudah mulai gelap kamu baru pulang nduk?"Ucap Yatemi menyapa Dirah dengan sebuah tanya.
"nggih Mak.. banyak cucian dirumah juragan." Dusta Sundirah sambil berlalu masuk kamar.
"Mak.. mbak Dirah kok seperti baru menangis, apa ada kesalahan bekerja ya Mak?..." Warti sang adik mencermati keadaan sang kakak.
"huusshh, uwis ora usah Melu melu, Mbakmu mungkin capek." Yatemi berusaha menepis fikiran yang sama dengan Warti.
Malam telah berlalu bergantikan pagi yang indah. Cicit burung menggugah lelap Sundirah menyisakan mimpi manis namun semu.
"Mak, Sundirah berangkat dulu." Pamit Dirah terlihat tanpa semangat.
"Dirah, apa yang terjadi dengan mu?" Suara pak Suyud sambil menghisap lintingan tembakau kesukaan nya.
"Hanya sedikit kecapean pak." Jawab Dirah sambil Salim dan pamit untuk berangkat melakukan rutinitas di rumah juragan Atmosiman sebagai pencuci baju dan merapikan rumah.
Yatemi berjalan mendekat duduk di lincak yang diduduki Suyud.
"Pak! Dirah tidak seperti biasa nya, Ono Opo Yo pak?" Tanya bu Yatemi.
"Bapak menduga den Mahendra putra ndoro Atmosiman ada asmara dengan Dirah bu." Jawab pak Suyud sambil kembali menghisap lintingan tembakau nya.
"Oalah pak..pak! sampean Iki loh kok mimpi, mana bisa anak kita menjalin hubungan dengan den Hendra yang ada akan membuat malu keluarga Ndoro Atmosiman." cerocos Bu Yatemi sambil sambil menggendong rinjing dengan sayuran untuk di bawa kepasar
"Warti ayo ndok! kita berangkat, nanti keburu siang."
"nggih mak, pak! Warti berangkat ke pasar dulu." Pamit Warti.
Suyud pun juga beranjak dari tempat duduk semula dan melangkah menuju ladang nyiur untuk memetik kelapa, ataupun membersihkan ujung pokok kelapa supaya tidak menjadi sarang nya hama kwangwung.
Sementara di kediaman Ndoro Atmosiman, terjadi kehebohan yang tidak biasanya.
"Hendra akan memenuhi keinginan ayah untuk menimba ilmu di Negri sebrang, namun jangan paksa dengan keinginan Ayah untuk menikah dengan pilihan Ayah." Suara lantang Mahendra terdengar memenuhi ruangan.
"kalau bukan kamu yang meneruskan semua ini, lalu siapa lagi Hendra? keputusan ada pada ayah, pergilah! dan kembalilah untuk memenuhi kewajibanmu!" Tidak kalah lantang suara Atmosiman, sambil memegang dada sebelah kiri nafas sesak tersengal sengal lalu tersandar di kursi yang dia duduki.
"Mas!" karmilah menjerit seraya berlari mendekat, begitu pun dengan Mahendra dengan sigap merangkul tubuh sang Ayah.
Atmosiman pingsan!
"Thole, bagaimana ini?" Tangis karmilah.
bersamaan dengan kehebohan itu pak Slamet lari tergopoh-gopoh mendekat untuk membantu mengangkat Atmosiman ke bale-bale yang lebih luas.
mbok Surip tanpa di suruh pun datang dengan membawa segelas air putih.
"Mas, bangun mas! jangan seperti ini. sabar jangan emosi." Isak Karmilah sambil mengusap kening Atmosiman,
Mahendra menggenggam erat tangan sang Ayah.
Di sudut ruangan Sundirah berdiri di balik sketsel mengintip yang telah terjadi. Bibir Sundirah bergetar menahan tangis, duka, dan penyesalan yang sulit dia terima saat ini, namun semua memang harus terjadi.
"Dirah! Kowe ngopo ndok?" Ucap mbok Surip sambil mengelus pundak Dirah.
"Eh mbok ?". Tersentak Dirah sambil menutup mulut, air mata pun meleleh di pipi mulus Sundirah.
"Saya teringat bapak mbok." Jawab Dirah.
"Ambil ini sebagai pelajaran ndok, setiap orang tua hanya mau anak anak nya menjadi yang terbaik." Nasehat mbok Surip, sambil menarik tangan dirah berjalan ke belakang.
"Sudah kembalilah bekerja, masalah den Mahendra dengan ndoro Atmosiman biar mereka yang menyelesaikan, kita menyelesaikan tugas saja di belakang." kata Surip, sambil mengulum senyum.
"Bagaimana ini Gusti?" Batin Dirah semakin kalut cinta tanpa restu ini akan menorehkan luka begitu dalam. Menyesal pun tidak akan memberikan jalan terbaik, ini sudah menjadi kesalahan dan harus dia hadapi sendiri.
Apabila sebuah penyesalan merupakan sebuah pengalaman, maka hikmah adalah sebuah hal besar yang terkandung di dalamnya.
Menuruti emosi dan hawa nafsu hanya akan merugikan, dan penyesalan bukan untuk di ratapi.
Siang hari itu mendung sebuah mobil combi parkir di depan halaman luas. Slamet sibuk membawa koper dan memasukan ke dalam mobil.
Mahendra melambaikan tangannya, lalu mobil melaju dengan pelan dan menghilang di tikungan jalan.
Terlihat jelas raut wajah karmilah menahan kesedihan berpisah dengan anak semata wayangnya.
Atmosiman membimbing pundak karmilah untuk beranjak masuk ke dalam.
Sore pun tiba, Suyud dengan sengaja menjemput Sundirah untuk pulang bersama, melalui pintu belakang yang menjadi pembatas rumah utama dengan halaman bunga mawar, anggrek dimana setiap hari karmilah menghabiskan waktu untuk berkebun bunga kesayangan.
"Sugeng sonten nyonya." Salam Suyud ketika melihat karmilah duduk di pinggir kolam ikan sambil menabur makanan.
"Monggo!" Sahut karmilah sambil menoleh ke samping.
"*P**inarak kang Suyud, mau menjemput Dirah?" Tanya karmilah.
"Nggih, sekalian mau memamitkan Dirah untuk tidak masuk bekerja besok nyonya." Jawab Suyud sembari membungkukkan tubuh.
"Aku menyetujui Suyud!" Suara khas Atmosiman terdengar. Sontak karmilah menoleh dan mundur mendekati mya.
"Oh ya Suyud, aku mau bicara sebentar dengan mu besok di ladang kelapa yang di desa mbelik". Ucap Atmosiman sambil tersenyum wibawa.
Suyud kembali membungkuk kan badan, muncul lah Sundirah.
Dia merasakan tidak biasa nya sang bapak menjemput dan pulang bersama.
"Bapak!" Gumam Dirah sambil mendekat.
"Ndoro, nyonya! saya pulang." Kata Dirah sambil menunduk sopan.
Suyud membonceng dirah dengan sepeda pancal nya. Banyak pertanyaan terlintas di benak Sundirah namun tidak mampu satu kata pun terucap dari bibirnya.
Setiba nya di rumah Suyud langsung mencuci kaki dan tangan di padasan di depan samping rumah, lalu duduk di belakang lincak*.
Sambil duduk menghela napas dalam-dalam, dan menjadikan topi caping nya sebagai kipas.
"Loh pak! kok sudah pulang?" Yatemi menyapa.
"Iya Mak, itu anak mu mau bikin malu saja!" gerutu suyud.
"Loh pak... anak kita berdua ya! bukan anak ku saja. Piye toh sampean Ikih?" Omel pelan yatemi sambil mendorong bahu suyud.
"Mak besok Ndoro Siman minta aku bertemu dengan nya." Cerita Suyud mbuka percakapan.
"Ngopo pak? mau naik gaji mungkin pak." Hirang Yatemi sambil membetulkan letak duduk nya.
" Aku rasa karena ulah anak kita Mak." sambil meraupkan kedua tangannya Suyud menjawab.
"Dirah! ada apa dengan Dirah pak e?. merusak kan baju baju mereka atau teledor dalam bekerja?" Cerocos Yatemi
"Teledor dalam membawa diri!" Sungut Suyud lalu beranjak masuk rumah
"Loh piye toh kok malah sewot pak e." Yatemi masih bingung dengan berita yang Suyud bawa tiba tiba.
"Dirah, besok tidak usah bekerja dulu, tadi bapak sudah pamitkan. besok bantu emak saja di pasar." pesan Suyud ketika melihat Warti dan Dirah di yang duduk di depan pawonan sambil memanasi makanan untuk mereka.
"Nggih pak." jawab Dirah dan Warti serempak.
lincak \= bangku panjang dari bambu
rinjing\= bakul besar dari bambu
sonten\= sore
mbelik\= sumber mata air
padasan\= pancuran
caping\= topi terbuat dari bambu
hiii kawan rasa saudara 😘 novel pertama di Emte mohon dukungan saran ,komen membangun, like dan fav tentunya 😉.
Tidak seperti hari hari biasanya, kali ini Yatemi ke pasar di temani dengan ke dua anak anak nya.
Sundirah diam seribu kata, berbeda dengan Warti yang memberi ide kepada Yatemi.
"Mak, nanti setelah pulang dari pasar Warti mau mulai menebar benih sawi. Di dekat sumur itu, yang di belakang kandang nya si bandot nanti kita tebar juga benih kangkung, mengingat kacang panjang kita sudah bisa di petik untuk di jual ke pasar besok nya." Kata Warti.
Warti si bungsu pasangan Suyud dan Yatemi. Dia lebih menyukai bercocok tanam dengan hasil petik sendiri.
Setibanya di pasar mulailah mereka melakukan berbagai interaksi dengan para pelanggan sayur mayur.
Sementara itu Suyud dengan mengayuh sepeda menuju desa Mbelik, tidak berapa lama Atmosiman datang dengan naik Dokar. Slamet sebagai kusir nya.
Seketika Suyud berdiri sambil melepas caping dan menyapa Atmosiman seraya membungkuk kan badan.
"Silahkan Ndoro." Suyud mempersilahkan duduk di lincak di depan gubug tempat peristirahatan yang memang di sediakan untuk pekerja ladang ketika mereka sedang istirahat atau di saat mereka makan bontrot, yang sudah di sediakan dari para pekerja perempuan, untuk mereka yang sedang bekerja memetik kelapa.
"Suyud! taukah kamu apa maksud dan tujuan ku mengajak mu bertemu di sini?" tanya Atmosiman sambil duduk.
"Mboten ndoro, apakah ini ada sangkut an nya dengan pekerjaan saya sebagai pemetik kelapa?" tanya Suyud.
"Iya Suyud, sebaik nya kelapa kelapa di daerah ini mulai di tanam ulang. dan satu lagi Suyud." Atmosiman menghela nafas sesaat.
"Apakah kamu tau Mahendra telah pergi menimba ilmu di Negri seberang, tidak lain adalah dia sebagai pewaris tunggal." Lanjut nya.
"Setelah kembali nanti aku akan menikahkan Hendra dengan gadis anak sahabat ku yang tinggal di wilayah kawedusan kota yang tidak jauh dari sini."
"Maka dari itu aku berharap kamu, selaku pekerja yang paham betul bagaimana mengolah ladang ladang ku. Ikut memajukan usaha yang telah aku rintis dari bawah." Kata Atmosiman sambil memandang ke arah Suyud yang sedari tadi hanya mendengar kan.
Memang tidak di pungkiri Suyud telah mengabdi kepada keluarga Djoyo Kusumo rebi orang tua Atmosiman sejak masih usia 13 tahun kala itu.
Hingga berumah tangga dengan Yatemi dan di karuniai 2 anak gadis.
Anggaplah di sini Suyud adalah orang kepercayaan Atmosiman, setelah cukup perbincangan mereka matahari sudah berada tepat di atas kepala, Atmosiman pun pamit hendak pulang. Slamet segera dengan memutar dokar, lalu melajukan dengan pelan mengarah ke kediaman sang juragan.
Suyud duduk termenung mencermati setiap kata kata Atmosiman. Seperti ada luka nelangsa mengelayut dalam fikiran nya.
Teringat kembali ketika Suyud mengambil air wudhu di mbelik untuk menunaikan sholat ashar di gubug itu.
Di balik rimbun nya tanaman pandan alas dia melihat dengan nyata Sundirah berada di dalam pelukan Mahendra.
Dia melihat sundirah menangis dalam pelukan anak dari majikannya.
Suyud hanya mampu melihat dalam diam. Dia hanya tau gejolak asmara anak muda, namun tidak dengan apa yang terjadi antara Sundirah dan Mahendra beberapa waktu lalu.
Dengan mengayuh sepeda onthel Suyud kembali ke ladang di desa Jatirejo yang bersebelahan dengan dusun mbelik.
Sementara itu di Desa Kawedusan di sebuah rumah besar Dengan bangunan joglo luas yang dengan halaman kanan kiri di tumbuhi beberapa tanaman bonsai menghiasi.
Kentongan dari kayu besar berdiri kokoh di kiri pelataran. Lurah Djaelani sebagai pemilik bangunan tersebut, hidup dengan kedua anak anak nya yang telah beranjak dewasa, dan seorang Ibu yang sudah tua.
Sulastri anak mbarep, Sudargo sebagai anak ragil. Di mana sang istri telah berpulang ke Rahmatullah setelah melahirkan Sudargo, tujuh belas tahun silam.
"Lastri belajarlah mencintai mahendra, sebab cinta akan tumbuh dengan berjalan nya waktu." Upaya Djaelani membujuk Sulastri untuk menerima perjodohan antara Lastri dan Mahendra.
"Ayah, bukan Lastri tidak menurut dengan kehendak ayah, tapi Lastri sudah memiliki kekasih." Jawab Lastri dengan menunduk memberanikan diri untuk menjawab semua kata kata sang ayah.
"Ayah sudah semakin tua lastri!, lalu siapa yang menjaga mu kelak kalau bukan suami mu, ayah rasa Mahendra adalah laki-laki yang tepat untuk menjadi pendamping mu, selain berpendidikan, dia juga anak juragan yang tidak akan habis termakan tujuh turunan nya kelak." Panjang lebar Djaelani bertutur di depan ke dua anak nya.
"Ayah!, jangan memaksa kata hati, Lastri mencintai kang Harjito." isak Lastri sambil berlari meninggalkan ayah dan Dargo.
"Lastri!" teriak Djaelani namun tidak di hiraukan Lastri tetap berlalu dengan tangisan nya.
"Sudah ayah!" Lerai Dargo dengan memegang tangan dan pundak djaelani.
"Duduklah ayah, semua bisa di bicarakan dengan baik tanpa harus ada kesalahan pahaman ayah dengan mbak yu Lastri". Hibur dargo.
"Lihatlah! apa yang telah mbak yu mu lakukan, dia menentang ayah Dargo!" Teriak Djaelani semakin tidak terkontrol.
Dargo mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di meja, lalu menyodorkan ke arah Djaelani yang langsung meraih gelas air putih lalu meminum pelan.
Dari arah bale bale muncul lah seorang nenek ibu dari djaelani, dengan berpakaian Jarit dan kutubaru pakainan lazim seorang wanita tua di era nya,
dengan bibir agak merah bekas nginang.
"nger... nyebut le..." Ucap Ratmini.
sambil menghampiri Djaelani yang sedang marah.
"Lastri anak ku ibu, dia telah tumbuh dewasa dan berani membangkang."
" Saya hanya menginginkan dia menjadi yang terbaik ibu." Sambil menghempaskan diri di kursi rotan Djaelani melampiaskan kepada sang ibu.
"Kita memang tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, namun percayalah, Gusti memberikan apa yang kita butuhkan." tangan keriput termakan usia itu mengelus lembut punggung sang anak yang sedang terbakar amarah.
"Tidak ada orang tua yang menginginkan kehidupan buah hati menjadi sengsara, terkadang tantangan dalam hidup kita bisa dibilang “biasa” bila dibandingkan tantangan yang dialami oleh orang lain yang terus berusaha lebih keras dari kita menghadapi masalah yang lebih besar. Semua usaha yang kamu lakukan tidak akan sia-sia asalkan kamu tidak menyerah dan mampu menghadapinya sampai akhir." Panjang lebar Ratmini
"Apa kau masih ingat peristiwa 20 tahun silam djaelani?" Ratmini berkata sambil melempar pandangan jauh menerawang .
"Ibu, jangan di ingat kejadian masa silam semua akan mengingatkan duka kita kembali." Djaelani berbalik sambil bersimpuh di pangkuan Ratmini.
"Kamu sama kerasnya dengan almarhum bapak mu! jangan ulangi kejadian masa lalu kembali terulang." mata tua itu mandang sendu penuh permohonan.
"Atmosiman adalah teman karib saya Bu, dan saya yakin putriku akan bahagia hidup bersama dengan putranya Mahendra." berusaha untuk menyakinkan sang ibu.
"Mahendra anak satu satunya dan semua warisan akan jatuh pada pewaris tunggal." Djaelani melanjutkan semua maksud dari perjodohan itu.
"Apakah segala kepemilikan menjadi satu satunya sarana untuk kebahagiaan anak ku, pikirkan baik baik tentang apa yang kau inginkan, sebab berikutnya bukan kita yang mengalami namun mereka yang menjalani. Kita sebagai orang tua hanya berperan sebagai pendukung dan mendoakan kehidupan mereka selanjutnya. pikirkan baik baik jangan ada sesal di kemudian waktu.'" Ucap Ratmini sambil berdiri
"Ibu masuk dulu." Ratmini berlalu yang di susul Dargo dari belakang berjalan beriringan.
"Nenek apa yang akan terjadi". suara pelan Dargo
"Sudah le, semua akan baik baik saja dekati mbak yu mu, katakan dia harus kuat." Ratmini memasuki kamar tidur nya dan menutup pintu. Dargo hanya bisa mengangguk dan berlalu.
Dua puluh tahun lalu bukanlah waktu yang pendek, namun duka itu masih jelas di dalam ingatan Ratmini.
yang harus menyaksikan kesakitan dan duka yang dialami putri nya meregang nyawa dengan merasakan sakit lahir dan batin karena keputusan sepihak dari sang ayah.
*
*
Jarak bukanlah penghalang bagi dua Jiwa untuk saling mencintai. Selama masih saling setia dan percaya.
Cinta sejati selalu berada ditempat yang indah,yang pasangannya saling percaya dan tidak akan pernah terpisahkan walau badai menghadang.
Cinta yang sempurna hanya butuh dua hati yang saling percaya dan saling mengerti
*
*
Dokar \= adalah sarana transportasi kereta dan kuda
pandan alas \= tanaman pandan yang berbatang beras dan berduri, yang bisa di jadikan bahan anyaman seperti tikar dan sebagainya
Mbarep \= Anak sulung
Ragil \= Anak bungsu
Jarit \= kain batik panjang yang berfunsi untuk tapih atau Jarik an bagi wanita tua di era masa lalu
kutubaru \= baju atasan yang mungkin sekrang biasa di sebut dengan blouse pembaca sekalian 😘
Nginang\= kebiasaan orang orang tempo dulu mengunyah sirih dan pinang
yuk yuk kasih dukungan pembaca Budiman 😘
like , komen nya 😉
Hari telah berlalu berganti hari. siang yang mulai terik banyak nya orang lalu lalang dengan gerobak kayu sebagai sarana pengangkut barang barang dari kapal. sebagian orang lalu lalang dengan kesibukan masing masing.
Mahendra baru saja tiba di negri singa tersebut. dimana dia akan menimba ilmu di National University of Singapore (NUS)
yang konon tempat Beberapa alumni terkenal yang dihasilkan universitas ini diantaranya mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong dan mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak.
**di sini di ceritakan perjalanan Mahendra ke Singapore melalui jalur laut netizen budiman, jadi memakan waktu berhari-hari untuk tiba di Singapore dengan menaiki kapal Pelni.
pada 28 April 1952 Yayasan Pepuska resmi dibubarkan. Pada saat yang sama didirikanlah PT PELNI.dari pelabuhan Tanjung perak menuju pelabuhan kijang di wilayah Riau lalu transit menuju harbourfront **
Mahendra menghela nafas berat menjinjing kopor masuk kedalam tempat tinggal yang sudah di sediakan. dengan di antar kurir juragan flat
ketika pintu di buka dua sosok laki laki sebaya saling berpandang, saling tersenyum melempar sapa an dengan bahasa ala kadar nya.
"Hi, welcome I'm Aamir dari India" tersenyum sambil mengulurkan tangan.
" Saya Rasyid dari Malaysia, senang bisa jumpa di sini bersama." Rasyid menyapa sambil menyilahkan duduk.
"Saya Mahendra dari Indonesia, bisa panggil saya dengan Hendra saja." Hendra tersenyum lebar membalas sapaan teman satu ruangan.
sesaat rasa penat dan rindu terhibur dengan perbincangan.
"Saya banyak baca dari berbagai buku sejarah Indonesia negara kaya raya, terdiri dari berbagai culture. hamparan persawahan, ladang nan elok menghijau, laut nak kaya membiru dengan berbagai hasil melimpah ruah, rakyat nya yang ramah dengan bekerja yang ulet dan telaten." takjub Rasyid ketika memberikan apresiasi elok nya Indonesia.
Sementara di kediaman Lurah Djaelani.
Sulastri dan sang nenek Ratmini bertukar pendapat dan saran bagaimana menghadapi sang ayah yang sangat berambisi dengan perjodohan itu.
"Eyang Putri, Lastri akan berat menjalani pilihan Ayah. Lastri mencintai laki laki lain." isak Lastri dalam pelukan Ratmini.
"Cucuku, lakukan dengan pilihan mu selagi norma sebagai perempuan yang terhormat kamu junjung tinggi dan kamu pertahan kan Eyang mendukung sepenuhnya." nasehat Ratmini sambil mengelus pucuk kepala Lastri.
"Siapa ndok laki laki yang telah menjanjikan cinta untuk mu itu?" tanya Ratmini.
"Dia kang Harjito Eyang." Lastri menjawab sambil menunduk menyembunyikan rona merah karena malu dengan pipi yang masih basah dengan lelehan air mata.
"Apakah dia Harjito pemuda dari desa Setinggil, pemuda yang dengan ke uletan bekerja sebagai pengrajin anyaman bambu itu ndok?" seraya memegang lengan Lastri untuk duduk bersebelahan dengan nya Ratmini menjelaskan pertanyaan nya.
"Betul eyang.. kang Jito itu. apakah Eyang akan merestui hubungan Lastri dengan nya?" tanya Lastri.
"Eyang hanya mampu berdoa dan berpesan padamu, keinginan dan pendapat terkadang sulit untuk kita terima, namun kewajiban seorang anak adalah menghargai orang tua.
jangan pernah berkata melebihi kata hati, semua akan semakin membuat masalah menjadi pelik."
"Bersabarlah ndok, semoga yang terbaik untuk kalian jalani. lakukan hal yang wajar dalam berhubungan asmara, jangan terjadi penyesalan setelah kejadian". nasehat Ratmini berakhir dengan senyuman wajah keriput itu memancarkan kekhawatiran yang sulit di lukiskan.
"Eyang? apakah tidak ada restu juga untuk saya?" isak Lastri kembali terdengar.
"Kalian kelak yang akan melalui kehidupan ke depan, belajarlah untuk menerima dan yakin kan hati kalian masing masing dengan ketulusan dan bukan ambisi. jangan menangis ndok jadi jelek kamu." Ratmini berusaha melepas benang kusut di benak lastri.
Di rumah Suyud suara kambing mengembik, dengan nyanyian Warti sambil memetik sayuran untuk di bawa kepasar esok pagi nya di temani yatemi.
"Mak mak e! sini Mak." Suyud memanggil Yatemi.
"Ngopo sih pak!. sing kalem toh sayang ." jawab Yatemi sambil berjalan mendekat.
"Cieeee emak sayang sayang an." Warti yang mendengar suara emak dan bapak nya tak kalah hebohnya seperti pemandu sorak saja.
"Mak kita akan menghadapi masalah rumit." ujar Suyud sambil mengambil tembakau lalu melinting nya menjadi rokok.
"Rumit piye to pak? ora mudeng aku pak." Yatemi masih juga tidak paham kemana alur curhat nya Suyud.
"Dirah mak, dia telah menjalin asmara dengan den Mahendra." cerita Suyud sambil menghisap rokok dalam dalam.
"Wah anak kita pak!" sorak Yatemi gembira karena belum tau apa sebenarnya yang terjadi.
" Anak kita memang cantik pak, luwes, sopan. irung e kuwi lho pak mbangir mbongkok Semende koyo bapak, mripat blalak blalak mbawang sebungkul koyo mak e." Yatemi nyerocos tanpa rem
"Mak bukan itu maksud bapak, den Mahendra setelah kembali dari mencari ilmu ndoro Atmosiman akan menikahkan dengan putri Ki lurah desa Kawedusan." suyud menjelaskan
"Lalu Dirah piye pak? semoga ada jalan terbaik, bagaimana kalau Ndoro Atmosiman mengetahui pak?, belau pasti akan murka dengan kita selaku orang tua Dirah." kekhawatiran Yatemi mulai beralasan.
Tak lama kemudian sayup terdengar salam dari halaman depan, Sundirah pulang dari rumah Atmosiman.
"Assalamualaikum, bapak emak." sambil duduk minum air putih yang ada di kendi yang sudah si siapkan.
"Bapak kok tumben sudah pulang, tidak memetik kelapa pak?" tanya Dirah.
"Bapak juga baru pulang ndok." jawab Suyud
"Duduklah disini ada yang bapak tanyakan padamu Dirah." perintah Suyud sambil sedikit menggeser posisi duduknya untuk Dirah.
Yatemi hanya diam melihat interaksi bapak dan anak sembari was was.
"Nggih pak." Dirah mendekat dan duduk di samping Suyud dan Yatemi
sementara Warti hanya melihat dari sebelah kandang bandot, jelas dia tidak akan tau apa yang sendang mereka bertiga bicarakan, dia asyik dengan kesibukan nya sendiri.
"Ndok Sundirah anak bapak, apa benar kamu menjalin asmara dengan Den Mahendra?" pertanyaan Suyud begitu mengejutkan Dirah.
"Bapak melihat kalian berdua begitu akrab di dusun mbelik waktu itu, ketika bapak hendak sholat dzuhur di gubug itu." Suyud menjelaskan semua yang dia lihat
"Bapak maafkan Dirah, kami saling mencintai pak." Dirah berkata sambil menunduk.
"Akan tetapi apakah sadar dengan apa yang kalian perbuat itu ndok?, kita orang miskin sudah mendapat welas asih pekerjaan dan tempat tinggal kita yang nyaman saja kita sudah bersyukur."
"sebaiknya kubur dalam dalam keinginan kalian, sebab Ndoro Atmosiman sudah berencana, kelak setelah den Mahendra pulang dari negri seberang beliau akan menikahkan dengan , gadis yang lebih setara dengan mereka." panjang lebar Suyud bertutur kata.
"Sing sabar ndok, kalau Tuhan berkehendak lain kita sebagai manusia hanya mampu menjalani dan berusaha."
" Berdamailah dengan keadaan, apapun yang kamu benci belum tentu harus kamu jauhi. Apapun yang kamu inginkan tak harus terkabulkan. Apapun yang kamu cintai tak harus dimiliki. Sebab dunia ini sudah digariskan oleh-Nya, ketetapan-Nya adalah yang terbaik."
"Tanpa rasa sakit kita tidak akan pernah belajar menjadi kuat, tanpa rasa kecewa kita tidak akan pernah belajar menjadi dewasa. Tanpa kehilangan, kita tidak akan pernah belajar arti ikhlas."
"Jangan malu punya orang tua miskin, emak pernah bilang kalau bahagia tak harus kaya." Yatemi beringsut memeluk Sundari yang sudah sesegukan mendengarkan.
"sudah istirahat lah, jangan bersedih ambil hikmahnya." perintah Suyud sambil memeluk Dirah
Matahari pun terbenam di ufuk barat dengan semburat jingga nan cantik di atas hamparan padi yang masih hijau.
Sundirah memberikan berita tentang permintaan nyonya karmilah.
"Mak, nyonya karmilah menginginkan Dirah menginap di rumah beliau. mengingat dirah sering pulang setelah ashar." kata dirah
"Emak tidak bisa melarang ndok, hanya saja pesan emak tetap mawas diri dimanapun kamu berada."
"Jadilah wanita yang kuat agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain." Yatemi tersenyum menjawab perkataan dirah
Dirah menoleh menghadap Suyud yang juga mengangguk kan kepala tanda sependapat dengan Yatemi.
malam semakin merangkak, Dirah berbaring di amben berdua dengan Warti.
"Yu... Warti akan sering mengantar sayur an ke rumah Ndoro nyonya biar kita juga sering bertemu kalau kangen." suara Warti pelan. sambil terbaring dirah merangkul Warti sambil berkata.
"Maafkan mbak yu ya Warti, tidak bisa menjadi panutan." ucap Dirah sambil mengeratkan pelukan.
Warti membalas pelukan hingga mimpi menghampiri lelap mereka.
**
mudheng \= paham/memahami.
irung \= hidung.
mbangir \= mancung.
welas asih \= kasih sayang.
amben \= tempat tidur.
kendi \= tempat air minum yang bercerita terbuat dari tanah liat.
selamat membaca 😉
mohon bantuan komen membangun, like , rate nya kakak kakak pembaca tercintah
salam hangat Rhu😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!