NovelToon NovelToon

Retaknya Sebuah Hati

Liburan Sekolah

Arifa Nazwa, seorang siswi sebuah akademi tingkat akhir di kota B. Usianya saat ini, 18 tahun. Masa dimana Arifa sedang mencari jati diri.

Ia bukan hanya memiliki paras yang cantik dan memikat, kecerdasannya di bidang pendidikan pun tidak dapat diragukan lagi. Tidak sedikit pelajar di sana yang iri padanya, karena Arifa cukup terkenal di akademi itu.

Kedua orang tua Arifa sengaja menaruhnya di tempat belajar yang mayoritas perempuan. Mereka hanya ingin Arifa fokus tanpa ada gangguan dari kaum laki-laki yang bisa menghambat prestasinya.

Seperti halnya hari ini, Zakaria baru saja tiba di parkiran tempat akademi Arifa berada. Wajahnya tampak lesu, sebab ia hanya datang sendiri tanpa istrinya. Padahal, biasanya urusan pengambilan raport sekolah selalu dilakukan oleh Sinta. Sedangkan ia hanya menunggu di luar ruang kelas.

Dari kejauhan, ia melihat Arifa sedang asik bersenda gurau dengan kedua temannya. Tarikan napas panjang lalu dihembuskan dengan kasar pun ia lakukan sebelum melangkahkan kakinya menghampiri anak perempuannya itu.

"Rifa, itu bukannya papahmu?" tanya Andini sambil menunjuk ke arah Zakaria membuat Arifa ikut menoleh.

"Wah iya kamu benar, Din!" seru Arifa dengan wajah yang sumringah. Namun, seketika dalam hatinya bertanya tentang keberadaan mamahnya. "Ya udah, aku ke sana dulu ya. Sebentar lagi pembagian raport akan dimulai, bukan ?" lanjut Arifa tak lupa senyuman pun mengembang dikedua sudut bibir tipisnya bersamaan dengan anggukan kepala mereka, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kedua temannya itu untuk menghampiri Zakaria.

Arifa berlari kecil menghampiri sang ayah lalu memeluknya dengan suka cita. Rasa rindu yang membuncah setelah 6 bulan berpisah sementara untuk menempuh pendidikan di kota yang berbeda dengan kedua orang tuanya.

"Papah, Rifa kangen."

Kedua mata Arifa berbinar lalu seketika berkaca-kaca. Ia belum tahu apa yang telah terjadi. Tapi setidaknya, Zakaria ada di sana untuk memberinya dukungan.

"Ayok, kita ke kelas!" ajak Zakaria dan Arifa melepaskan pelukannya. "Papah yakin, kali ini ranking kamu gak akan merosot, karena kamu anak kebanggaan Papah." Cubitan kecil mendarat di pipi tirus Arifa.

"Semoga, Pah. Ayok!"

Mereka pun pergi ke kelas Arifa.

...****************...

Di tempat lain, seorang wanita paruh baya yang masih tampak cantik seperti usia 30 tahunan itu sedang duduk di sebuah kafe sendirian dengan kedua tangan yang ia letakkan di atas meja, sambil sesekali mengaduk-aduk segelas ice cappucino di depannya.

"Hei, bengong aja!" Suara seorang laki-laki membuat wanita itu terkejut.

"Ih, kamu ngagetin aja deh!" Wanita itu berdecak dengan wajah yang kesal.

"Ta, kamu yakin sama keputusan itu? udah dipikirin matang-matang? secara dia kan yang udah nemenin kamu dari nol, masa kamu mau ninggalin dia gitu aja sih." Ucapan laki-laki itu membuat wanita yang tak lain adalah Sinta, menghembuskan napas kasar.

"Aku tuh udah capek, Nan. Selama ini udah aku tahan. Udah gak sanggup rasanya kalau terus bertahan sama dia," keluh Sinta pada Keenan. Laki-laki yang setahun belakangan ini dekat bahkan menjadi teman pelipur lara Sinta.

"Oke, terus anak-anak kamu udah pada tahu?" tanya Keenan dan Sinta hanya menggeleng lemah. "Ta, kamu gak mikirin perasaan mereka?" tanya Keenan lagi. Kini, Sinta pun terdiam.

"Kamu sendiri, apa mikirin perasaan istri dan ketiga anak-anak kamu, Nan? Setahun kita dekat dan saling mengenal. Sering jalan bareng pas akhir pekan, apa kamu gak sedikitpun ada perasaan sama aku, Nan?" Emosi Sinta mulai naik ke permukaan. Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca. Keenan terkejut mendengar hal yang dikatakan oleh Sinta barusan.

"Ta, kamu salah paham. Aku ... " baru saja Keenan ingin menjelaskan, Sinta memotongnya terlebih dahulu.

"Apa? salah paham?" Sakit, itu yang Sinta rasakan dalam hatinya. Bukan ia tak sadar dengan statusnya dan juga Keenan saat ini. Tapi perasaan mengalahkan segalanya. Sinta terlanjur jatuh hati pada sosok Keenan yang ia anggap sangat mengerti dirinya.

Salah, seharusnya perasaan Sinta hanya untuk Zakaria, suaminya. Bukan untuk Keenan yang masih berstatus suami orang.

"Ta, please. Aku benar-benar cuma anggap kamu sebagai sahabat, oke?" Keenan berdiri, sementara Sinta mengalihkan pandangannya melihat ke luar jendela. "Aku pergi," lanjutnya kemudian meninggalkan Sinta yang masih membeku di tempatnya.

...****************...

"Nilai kamu semakin membuat Papah bangga, Fa! semoga prestasimu gak akan turun ya sampai kelulusan nanti. Supaya, kamu bisa masuk ke perguruan tinggi yang kamu inginkan dan jurusan yang kamu minati!" seru Zakaria yang begitu senang melihat hasil belajar Arifa 6 bulan terakhir ini. Kini keduanya sedang berjalan di sepanjang lorong menuju asrama yang Arifa tempati.

"Iya, Pah. Ini semua juga berkat doa mamah sama papah. Omong-omong kak Farhan gimana kabarnya ya Pah?" tanya Arifa yang juga rindu dengan kakak semata wayangnya itu.

"Farhan, baik kok. Semalam baru aja telepon Papah. Katanya dia kangen sama kamu. Kalau gak ada halangan, bulan depan dia bakal kembali ke Indonesia."

"Asik, udah lama banget ya Pah kita gak ketemu kak Farhan. Pasti dia makin tinggi deh!" seru Arifa membuat Zakaria tertawa.

"Udah pasti itu!"

Arifa pun ikut tertawa. Tak terasa keduanya telah sampai di depan gerbang asrama.

"Pah, Rifa ambil koper dulu ya ke dalam." Izin Arifa dan Zakaria pun menganggukkan kepalanya.

"Iya, Papah tunggu di sini ya, Fa."

"Oke, Pah."

Arifa pun masuk ke dalam. Tak butuh waktu lama, ia muncul di hadapan Zakaria yang duduk menunggunya sambil memainkan ponsel.

"Ayok, Pah! kita liburan." Ajak Arifa dengan penuh semangat. Zakaria memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kemudian berdiri. Keduanya pun berjalan menuju parkiran.

Kondisi akademi saat ini memang sangat ramai. Banyak orang tua yang datang untuk menjemput anak mereka. Liburan pun dimulai hingga 2 minggu ke depan.

Kebanyakan dari mereka pelajar tingkat awal. Karena mayoritas yang berada di tingkat akhir memilih kembali ke rumah lebih dulu untuk mempersiapkan ujian akhir dan juga perguruan tinggi yang akan mereka tempuh.

Setibanya di dalam mobil, Arifa tampak murung. Zakaria melihat raut wajah Arifa yang berubah seketika pun merasa terenyuh.

"Fa ... "

"Pah, mamah kenapa gak ikut? Sibuk ya sama pelanggannya di butik?" tanya Arifa yang sejak tadi ia tahan untuk menanyakan soal Sinta saat masih di lingkungan akademi.

"Sebenarnya ... " hati Zakaria terasa meradang. Ia tidak ingin anak perempuannya itu ikut sedih seperti yang dirasakannya. "Nanti kita bicara di rumah ya." Sambungnya, Arifa hanya mengangguk sambil menghembuskan napas.

Sepanjang perjalanan, Zakaria berusaha menghibur Arifa. Dinyalakannya musik kesukaan mereka berdua. Sebab ia tidak ingin pikiran Arifa terbebani dengan masalah yang sedang dihadapinya saat ini.

"Fa, gimana sebelum sampai rumah kita makan dulu? kamu mau makan apa? fried chicken? burger? vanilla latte? atau apa ?"

"Semuanya boleh, Pah?" tanya Arifa dengan sungguh-sungguh.

"Apa sih yang enggak buat anak kesayangan Papah. Lets go!"

Mobil pun melaju ke tempat dimana semua makanan itu berada. Sambil ikut bernyanyi, melupakan sejenak masalah dan bahagia.

...****************...

Setibanya di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota D. Arifa tak lupa menggandeng tangan Zakaria seperti biasanya. Walaupun usianya sudah remaja, Arifa tetap bayi kecil Zakaria yang sangat menggemaskan dan manja.

"Fa, kamu cari tempat duduk ya. Biar Papah yang pesan makanan," usul Zakaria saat mereka tiba di sebuah restoran di pusat perbelanjaan itu. Usulnya pun disetujui oleh Arifa.

Saat Zakaria tengah mengantre untuk memesan menu, tak sengaja ia mengenali seseorang yang lewat restoran itu.

"Kenapa dia ada disini?" tanya Zakaria dalam hatinya sambil memperhatikan kemana perginya orang itu.

...Bersambung ......

Kekecewaan Arifa

Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Di kafe tempat Sinta berada semakin siang menjadi semakin ramai. Kekesalannya terhadap Keenan sulit untuk diluapkan. Akhirnya Sinta pun pergi dari sana setelah sebelumnya membayar menu yang telah ia pesan.

Dilajukannya mobil sedan vios berwarna abu-abu sambil menyalakan musik yang sangat menyentuh hati. Air mata Sinta pun membendung di ekor mata hingga akhirnya terjatuh dan mengalir membasahi kedua pipinya.

Sepanjang perjalanan, Sinta hanya meluapkan apa yang tengah dirasakannya saat ini. Kemudian tak sengaja, ia melihat sebuah taman yang tampak sepi. Sinta pun menepi lalu menghapus air matanya dan memilih pergi ke taman itu.

Suasana di sana terasa tenang dengan suara gemercik air dari aliran sungai kecil di tengah taman. Sorotan sinar matahari pun kebetulan belum begitu menyilaukan mata. Sinta duduk di sebuah kursi dengan pemandangan menghadap ke aliran sungai itu. Dipejamkan kedua matanya, mencoba untuk menenangkan emosinya, dan berusaha untuk sadar.

Perlahan, pikirannya mulai tenang. Tiba-tiba teringat masa dimana saat Farhan yang masih berusia 5 tahun dan ia sedang mengandung Arifa. Sinta menganggap kalau anak-anaknya itu sebagai kekuatan untuknya. Di sisi lain, ia pun teringat akan sosok Zakaria. Laki-laki yang menikahinya sudah lebih dari 25 tahun tapi sangat sulit ada waktu untuknya.

Seketika mata itu terbuka, Sinta kemudian menangis tergugu sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Hatinya terasa seolah tertusuk duri dan menyesakkan dada. Pernikahan yang awalnya sempat ia rasakan bahagia, kini sudah berada diujung tanduk.

Sebenarnya ia tidak ingin, tapi karena rasa lelah menjadi seorang istri yang seolah kehilangan sosok seorang suami. Mau tak mau, keputusan itu harus ia ambil. Sebab ia ingin bahagia, ingin merasa dicintai dan disayangi.

"Tinggalkan dia, atau kamu tidak akan pernah bahagia dengan pernikahanmu!"

Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Sinta. Dan seiring berjalannya waktu, seolah perkataan itu benar adanya. Padahal sejak lama orang yang mengatakan itu telah tiada.

Dan orang itu tiada lain adalah ibu kandung Sinta sendiri. Sebab sang ibu pernah memergoki sikap Zakaria kepada Sinta seminggu sebelum pernikahannya berlangsung.

Entah kenapa, hatinya bilang kalau keputusan yang akan ia ambil saat ini sudah sangat yakin. Sinta menghapus kembali air matanya, lalu berdiri dan pergi dari taman itu. Ia pun melajukan mobilnya kemudian.

Sampai tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Ia memilih untuk mengisi perutnya yang sudah terdengar keroncongan itu ke sebuah pusat perbelanjaan.

Setelah memarkirkan mobilnya, ponselnya tiba-tiba berdering. Tertera nomor butik di sana. Sinta segera menjawabnya.

"Ya, hallo."

"Bu Sinta dimana? ini ada orang yang mau konsultasi soal gaun pernikahan sama Ibu. Dari tadi saya telepon Ibu gak dijawab-jawab."

Sinta menghembuskan napasnya sambil memijat keningnya. "Maaf, saya lagi ada urusan dan ini juga mau makan siang dulu. Orangnya udah lama di butik?"

"Udah dari setengah jam yang lalu, Bu."

Sinta mengusap kasar wajahnya. "Peny, tolong sampaikan permintaan maaf saya ya. Terus tanyain bisa di reschedule gak gitu."

"Iya, Bu. Sebentar."

Kening Sinta mengernyit saat mendengar asisten butiknya berbicara dengan customer itu.

"Suara itu, bukannya .... " ucap Sinta dalam hati. Ia seperti mengenali dan bisa menebak siapa customer yang mau menunggunya selama itu di butik.

"Bu, Ibu. Hallo?"

"Eh iya, gimana Peny?"

"Katanya kalau akhir pekan bagaimana, Bu?"

"Akhir pekan ya ... oke deh kalau begitu. Nanti saya aja yang ke butik, kamu seperti biasa libur ya."

"Baik, Bu."

Sinta memutuskan sambungan telepon itu kemudian. Ia melihat ponselnya, ternyata benar. Peny sudah puluhan kali menelepon dirinya. Begitupun dengan Arifa yang tanpa sepengetahuan Zakaria, ia mencoba menghubungi mamahnya itu.

"Arifa ... ya ampun aku sampai lupa kalau hari ini pengambilan raport-nya. Ah, ya udahlah. Pasti ada mas Zaka yang menjemputnya. Nanti biar aku bicara dengannya setelah ia sampai di rumah," ujar Sinta sambil menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Ia pun keluar dari mobil kemudian.

...****************...

Kini giliran Zakaria memesan menu kesukaan Arifa. Dirinya tampak tak tenang setelah melihat keberadaan Sinta di pusat perbelanjaan yang sama.

"Saya mau pesan, beef burger satu, kentang goreng ukuran sedang satu, fried chicken sama nasi satu, vanilla latte satu, salad buah satu."

"Baik, saya ulangi ya ... "

"Gak usah, Mas! saya buru-buru." Zakaria kemudian mencari keberadaan Arifa di restoran itu. "Nanti langsung antarkan aja ke meja nomor 15 yang di sana ya," sambung Zakaria sambil menunjuk ke arah Arifa yang tengah duduk di sana. Ia pun mengeluarkan sebuah kartu debit dari dompetnya.

Pegawai restoran mengangguk setelah mengikuti arah yang Zakaria maksud. kemudian berkata, "Baik, Pak. Ini kartu dan struk pembeliannya. Di tunggu 10 menit ya, Pak."

"Oke."

Setelah memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana. Ia bergegas menyusul Sinta yang masih tertangkap oleh pandangannya. Saat itu, Arifa tidak menyadari kepergian papahnya dari restoran itu.

Tak terasa 10 menit pun berlalu, makanan yang tadi sempat Zakaria pesan kini telah dihidangkan di atas meja tempat Arifa berada. Seketika Arifa menyadari papahnya tak kunjung datang ke meja itu. Karena perutnya sudah minta diisi. Arifa pun segera menghabiskan makanannya.

...****************...

Sebuah tangan kekar menarik salah satu tangan Sinta dengan eratnya. Ia terkejut lalu menoleh. Dirinya pun tercekat.

"Mas Zaka."

Sinta berusaha melepaskan genggaman tangan Zakaria. Namun sayangnya itu terlalu erat.

"Kamu kemana aja Sinta, udah 6 bulan aku nyari kamu! telepon gak pernah dijawab, pesan tidak pernah dibalas. Aku kepikiran terus, Ta." Zakaria berusaha menahan emosinya karena ia sadar kalau tempat mereka berada saat ini tidak seharusnya untuk bertengkar.

"Lepasin, Mas! aku udah muak sama kamu. Selama ini aku udah coba menahannya. Tapi apa? sifat kamu gak pernah berubah. Aku perempuan, Mas. Ada waktu dimana aku butuh perhatian dan kasih sayang, dukungan, kekuatan. Sedangkan kamu selalu acuh dan gak perduli sama aku!" Sinta pun menekan suaranya dan berbicara setenang mungkin supaya orang-orang yang berlalu lalang di sana tidak terfokus ke mereka.

"Sinta ... " Zakaria lalu membawa Sinta ke tempat yang lebih sepi dari orang yang berlalu lalang. "Aku minta maaf, aku banyak salah sama kamu. Aku ... baru sadar kalau kamu istri yang sempurna buat aku, Sayang. Please ... pulang ya ke rumah," bujuk rayu Zakaria pada Sinta yang enggan melihat wajahnya.

"Alah! omong kosong. Kalau aku memang istri yang sempurna buat kamu. Buat apa kamu pergi dengan perempuan lain bahkan akan menikah dengannya!" Emosi dan pemikirannya Sinta telah melampaui.

Zakaria menggelengkan kepala. Ingin rasanya ia berteriak saat itu juga dan mengatakan bahwa itu tidak benar adanya. Lantas apa yang sebenarnya terjadi? mengapa keduanya saling merasa ada yang hilang satu sama lain?

"Baiklah, Ta. Aku kasih kamu waktu untuk tenang ... jika kamu masih percaya sama aku, apa yang kamu bilang barusan itu gak benar. Aku sama sekali gak nikah sama perempuan lain, selain kamu, Ta." Zakaria hanya pasrah. Baginya menjelaskan sedetail apapun saat ini, melihat emosi Sinta bukan waktu yang tepat. Ia hanya mencoba untuk memberitahunya secara garis besar saja.

"Aku mau kita cerai!" Nada yang penuh tekanan itu Sinta lontarkan dengan wajah memerah, detak jantung yang menggebu-gebu serta kedua bola mata yang melebar.

Tanpa mereka tahu, Arifa sudah berdiri di sana. Air matanya mengalir tanpa permisi. Mendengar permintaan mamahnya, membuat jiwanya seakan melayang. Mamah yang selama ini selalu ada untuknya, tiba-tiba berkata demikian. Hatinya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?

"Ta, tolong jangan membuat keputusan saat kamu sedang emosi." Zakaria memohon kepada Sinta untuk tidak berpisah dengannya secara tidak langsung.

"Enam bulan, Mas. Enam bulan udah aku pikirkan matang-matang. Mungkin saat ini waktu yang tepat. Aku mau pisah sama kamu!"

"Sekeras itu Mamah mau pisah dari papah?"

Zakaria dan Sinta menoleh ke sumber suara itu bersamaan. Mereka terkejut dengan kehadiran Arifa di sana. Terlebih Zakaria, ia tahu kalau hati Arifa pasti hancur mendengar permintaan mamahnya itu.

Bibir Sinta pun membeku. Ia kemudian berjalan menghampiri anak perempuannya itu. Tepat mereka berhadapan dengan tinggi badan yang sama rata. Mata keduanya terkunci, seolah sedang bicara dari hati ke hati. Anak mana yang ingin kedua orang tuanya berpisah? Bagi mereka, hanya orang tuanya lah yang paling sempurna.

Arifa pun sedang berusaha mensugesti dirinya bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang tidak pernah ia sangka. Sebuah bunga tidur dan ia harus segera bangun dan sadar.

"Maafin Mamah, Fa. Mamah udah gak bisa sama papahmu lagi," ucap Sinta dengan nada bicara yang sedikit bergetar.

"Tapi, Mah ... Apa benar-benar udah gak bisa dipertahankan lagi?" tanya Arifa dengan tatapan kosongnya.

Sinta menggeleng dengan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Kemudian ia memeluk Arifa sangat erat. Tapi sayangnya pelukan itu tidak dibalas oleh Arifa.

"Aku kecewa sama Mamah."

...Bersambung ......

Tidak Ada Di Butik

Zakaria mengusap kasar wajahnya, matanya pun sudah memerah sejak tadi. Sementara Arifa, ia melepaskan pelukan Sinta kemudian pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Sinta yang hendak mengejar Arifa, seketika ditarik tangannya oleh Zakaria.

"Biar aku aja yang ngejar. Jujur, aku gak mau kita pisah. Aku masih mau memperbaikinya. Tapi, jika usahaku gagal, apa boleh buat. Aku akan menuruti kemauanmu," ucap Zakaria kepada Sinta sebelum akhirnya mengejar anak perempuannya itu.

Setelah kepergian Zakaria dan Arifa, Sinta menyandarkan tubuhnya di dinding sebuah toko yang masih tutup. Ia menangis, perlahan tubuhnya melemas dan akhirnya duduk di lantai sambil memeluk kedua lututnya.

...****************...

Di dalam mobil, Zakaria mengemudikannya dengan santai. Sesekali ia melirik ke arah Arifa yang sejak tadi melihat ke luar jendela. Terlihat dari pantulan kaca mobil, Arifa tengah menangis namun masih ia tahan.

"Kalau mau nangis, nangis aja, Fa."

Ucapan Zakaria membuat Arifa semakin terasa sesak di dada. Kini tangisnya sudah tidak bisa ia tahan lagi. Arifa menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis sampai isakannya terdengar oleh Zakaria.

"Maaf ... Papah minta maaf, Fa. Papah memang bukan suami yang sempurna untuk mamahmu. Papah hanya fokus mencari uang. Dan ... kalau kamu mau tahu, setahun terakhir ini bisnis Papah sedang krisis. Banyak investor yang melepaskan diri dari perusahaan Papah. Entah kenapa, sejak itu terjadi ... sikapnya berubah. Sering keluar rumah apalagi kalau akhir pekan. Dan ... enam bulan yang lalu setelah mengantarkanmu kembali ke akademi, dia pergi dari rumah. Papah juga baru ketemu dengannya lagi tadi. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini tentang Papah."

Keluh kesah Zakaria membuat hati Arifa terenyuh. Ia tahu perjuangan seorang ayah itu tidaklah mudah. Apalagi biaya akademi yang ia tempuh tidaklah murah. Ia pun terus menerka-nerka, apa sebenarnya yang telah terjadi pada mamahnya itu?

Tak terasa, mereka telah sampai di rumah. Sebelum turun dari mobil, Arifa memandangi rumah yang sejak lahir ia tempati. Pikirannya melayang teringat saat ia kecil dulu, saat kedua orang tuanya masih terlihat harmonis.

"Ayok turun, Fa."

Mendengar ajakan sang ayah, Arifa terkesiap lalu bergumam sambil menganggukkan kepalanya. Mereka pun akhirnya turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.

Zakaria langsung masuk ke dalam kamar yang biasa ia tempati bersama Sinta. Sedangkan Arifa masih memandangi ke sekeliling rumahnya. Di datanginya satu persatu ruangan yang ada di sana. Lalu langkahnya terhenti pada satu ruangan. Arifa pun masuk ke dalamnya. Ruangan itu biasa digunakan Sinta untuk menjahit.

Aku harus mencari tahu, apa yang telah terjadi sebenarnya? terlebih mamah.

...****************...

Kicauan burung kutilang peliharaan Zakaria telah bersiul di pagi yang mendung ini. Gemercik sisa air hujan semalam masih menetes seakan tak ingin berhenti.

Pemilik kamar bernuansa merah muda dengan perpaduan furniture berwarna putih itu, masih saja nyaman dengan selimut yang menggulung tubuhnya hingga batas leher. Sesekali ia menggeliat sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

Siapa lagi kalau bukan Arifa. Ia terperanjat duduk di atas tempat tidurnya, sebab ia masih merasa berada di asrama. Untuk memulihkan kesadarannya, Arifa menoleh ke sekeliling kamar. Seketika helaan napas pun menenangkan pikirannya yang tadi sempat ketar-ketir.

Bukannya pergi mandi, tapi Arifa malah merebahkan tubuhnya lagi lalu menggulungnya dengan selimut kembali. Ditambah pendingin ruangan yang terasa sejuk, membuat Arifa menjadi enggan untuk bangun. Memang sama seperti liburan sebelumnya. Yang bisa ia lakukan hanya mengistirahatkan tubuhnya. Bahkan ia bisa tidur seharian tanpa makan. Sebab selama di asrama, Arifa sangat disibukkan dengan segudang aktifitasnya.

Akan tetapi baru saja ia memejamkan matanya kembali, tiba-tiba ia teringat akan tekadnya hari ini. Selimut yang tadi sempat rapat menggulung tubuhnya, kini ia lemparkan sembarang lalu turun dari tempat tidur. Sambil tergesa-gesa, Arifa masuk ke dalam kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, Arifa telah menyelesaikan mandinya. Ia segera memakai pakaiannya serta make up tipis supaya terlihat lebih segar.

Karena ia terburu-buru, kamar yang masih berantakan pun dibiarkan begitu saja dan memilih keluar dari kamar.

"Loh, Fa? rapih banget. Mau kemana?" tanya Zakaria saat melihat Arifa yang mengenakan celana kulot hitam dipadukan blouse putih serta sneakers hitam telah berada di ruang makan.

"Mau main, Pah. Cari angin, biar gak bosen di rumah terus," jawab Arifa supaya Zakaria tidak curiga. "Ini semua Papah yang masak?" tanya Arifa kemudian.

"Iya, bi Inah pulang kampung udah lebih dari tiga bulan yang lalu. Jadi, sehari-hari ya Papah masak sendiri. Untung kalau nyuci baju ada mesin dan kalau untuk setrika ... biasanya Papah laundry," jelas Zakaria sambil menyantap sarapannya. Arifa tersenyum tipis. Baru kali ini ia melihat papahnya kerja keras, bukan hanya cari uang, tapi juga merangkap mengerjakan pekerjaan rumah.

"Kira-kira bi Inah balik lagi gak, Pah?" tanya Arifa sambil mengambil nasi dan lauk yang ada di atas meja makan. Namun, Zakaria langsung menghentikan makannya sejenak sambil tersenyum.

"Enggak, Fa. Papah gak sanggup bayar bi Inah lagi. Ya ... kalau kamu kembali ke akademi, Papah cuma sendirian kok di rumah. Toh, masih bisa Papah kerjain sebisanya."

Arifa benar-benar tersentuh, bahkan ia tidak habis pikir dengan mamahnya yang tega meninggalkan papahnya di saat-saat seperti ini. Dilihatnya wajah Zakaria, tampak sudah ada kerutan serta rambutnya yang mulai memutih. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi sengaja ditahan karena tidak ingin membuat Zakaria tambah bersedih hati.

"Gini aja, mulai besok biar Rifa yang bantu Papah ya. Terus ... sekarang urusan kantor gimana, Pah? apa masih Papah kerjain?"

"Masih ... Papah masih berusaha mencari investor yang mau bergabung. Doain ya Fa, semoga bisnis Papah bisa bangkit lagi kayak dulu."

"Aamiin, Rifa selalu doain yang terbaik buat Papah."

"Kalau gitu, ayok habiskan sarapannya!" ajak Zakaria dan Arifa pun mengangguk setuju.

...****************...

Skuter matic berwarna hitam yang Arifa kendarai telah sampai di depan butik milik mamahnya. Ia pun melepas helmnya lalu menaruhnya di salah satu kaca spion.

Butik itu tampak ramai, bahkan tempat parkir yang tersedia pun hampir penuh. Kebanyakan customer yang datang pasangan muda dengan raut wajah bahagianya.

Karena penasaran, Arifa pun masuk ke dalam butik. Benar saja, para pegawai sedang sibuk dengan customer masing-masing. Namun, Arifa tidak melihat keberadaan mamahnya di sana. Lalu dihampirinya salah satu pegawai yang berdiri di belakang meja kasir.

"Eh, Arifa ... tumben ke butik," sapa Peny dengan senyuman dibibir yang ia poles lipstik berwarna merah merona.

"Iya, Mbak Peny ... hehe ... Oh iya, mamahku ada gak?" tanya Arifa sambil membalas senyuman Peny yang tiada tandingannya.

"Belum dateng, Fa. Biasanya ibu tuh datengnya habis makan siang kalau gak ada janji sama customer."

"Oh begitu ya, Mbak. Hmm ... tapi Mbak Peny tahu gak mamah sekarang tinggal dimana?" tanya Arifa sambil berbisik dengan sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Peny.

"Aaaaah! emang ibu gak pulang, Fa?" Peny malah bertanya balik ke Arifa dengan suara yang sedikit kencang. Arifa pun terkejut.

"Hussss, pelan-pelan dong, Mbak ngomongnya!" sahut Arifa yang merasa gemas. Ia menaruh telunjuk kanannya di bibirnya, menyuruh Peny untuk tidak berisik.

"Maaf, maaf, Fa ... aku gak tahu, Fa. Aku kan di sini cuma pegawai. Biarpun tingkahku bar-bar, tapi aku bukan tipikal orang yang mau ikut campur urusan orang."

Arifa menghela napasnya lalu berkata, "ya udah deh, Mbak. Kalau gitu ... aku pergi dulu ya."

"Iya, Fa. Hati-hati dijalan ya. Jangan ngebut-ngebut loh!"

"Siap! bye Mbak Penytie Bainang."

"Bye, Arifa Chuantiek."

Arifa tertawa sambil berjalan ke arah pintu keluar. Dan saat ia membuka pintu, tepat saat Sinta pun akan masuk ke dalam butik.

"Mamah ... "

...Bersambung ......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!