NovelToon NovelToon

My Boss Is My Ex Husband

Fitnah Berujung Talak

Suara petir menggelegar tak surut membawa ,langkah lebar seorang pria untuk membimbing kedua kakinya menuju sebuah pintu kamar yang tertutup rapat. Pemilik wajah datar dengan sepasang mata memerah itu lekas mengayunkan satu kakinya untuk menendang pintu yang sepertinya tak dikunci dari dalam.

Brak. Dalam satu kali tendangan pintu bercat putih gading itu terbuka lebar, hingga terpampanglah pemandangan yang membuat pria bernama Sean Fernandez itu murka seketika.

"Sialan! Apa yang sudah kalian berdua lakukan di ranjangku!?" Suara lantang itu menggema, memenuhi ruangan.

Sepasang insan yang bergelung di bawah selimut yang sama, terkesiap. Sang pria terperanjat dan spontan bangkit. Sementara sang perempuan yang semula tertidur, mulai mengerjap mata, kebingungan.

"Biadab!" Sean yang kalap lekas mendekat dan menarik selimut dua insan dalam satu ranjang yang sama tersebut, hingga menampakkan tubuh kedua sejoli yang hanya berbalut pakaian dalam. Sean menarik kasar tubuh pria yang menjadi teman tidur istrinya, Ruby. Tanpa ampun ia mengarahkan bogem mentah ke wajah dan dada bidang pria yang tak diketahui namanya tersebut.

"Sean, hentikan!" Teriakan dari arah luar kamar tak digubris. Dua orang perempuan berbeda usia masuk dan melerai perkelahian. Sean yang terbakar amarah, masih mengarahkan kedua tangan dan kaki ke tubuh pria asing itu hingga kedua perempuan yang tak lain adalah ibu dan juga adiknya dibuat kewalahan.

"Sean, cukup! Kau bisa membunuhnya!" Ibu Sean lagi-lagi berteriak dan berusaha menarik tubuh Sean untuk menjauh. Panik dan takut bercampur, terlebih saat melihat wajah pria yang menjadi lawan putranya babak belur.

"Lepas, Ibu!. Biar, jika perlu aku akan menghabisi nyawanya detik ini juga!."

Satu tamparan keras mendarat di satu pipi kanan Sean. Kesadaraannya seakan kembali muncul seiring rasa panas bercampur pedih menjalar di area pipinya.

"Sadar Sean. Di tempat ini bukan hanya ada dia," tunjuk Ibu Sean pada pria mengenaskan yang sudah terkapar di lantai. "Tapi juga dia. Ruby, istrimu." Tangan perempuan itu beralih, menunjuk perempuan muda yang masih terduduk lemas dengan rambut acak-acakan di sudut ranjang. Perempuan bernama Ruby, yang sayangnya ditemukan suaminya sendiri sedang bermesraan dengan pria lain di kamar pribadi miliknya sendiri.

Sean mengusap wajahnya kasar. Melihat Ruby dalam keadaan seperti ini membuat pria muda itu hendak menangis dan memaki namun sebisa mungkin ditahan.

"Istri macam apa yang tega memasukkan selingkuhan ke dalam rumah bahkan kamar suaminya sendiri. Berada di mana hati nuranimu, Ruby?" Perempuan paruh baya itu menatap nyalang pada gadis bernama Ruby yang masih tertunduk di tempatnya semula. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir mungil sang gadis, seolah membenarkan jika bukti-bukti perselingkuhan yang ada memang benar adanya.

"Rupanya firasatku selama ini padamu benar adanya. Kau, bukanlah gadis baik-baik yang pantas disandingkan dengan pria sesempurna putraku. Kau bisa lihat sekarang, Sean. Wajah asli perempuan yang selama ini kau agung-agungkan. Kau manjakan layaknya putri raja, tapi kini kau seakan tertampar kenyataan. Ruby, istrimu tak sepolos yang kau kira. Berselingkuh lalu bercinta dengan pria asing di ranja--"

"Cukup Ibu!." Sean mengangkat satu tangannya dengan berteriak, meminta sang ibu untuk tutup mulut. "Ruby Alexandra, detik ini juga aku mentalakmu, aku bebaskan dirimu dari seluruh tanggung jawabmu atas diriku begitu pun sebaliknya, kau bukan lagi istriku." Sean bahkan membuang muka saat berucap. Didetik yang sama, Ruby menghela nafas dalam. Gadis yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut itu tak mampu menjawab atau pun niatan untuk sekedar membela diri.

"Cepat kenakan pakaian dan keluar dari rumahku!" Sean lekas memutar tubuh, keluar dari kamar yang membuat hatinya hancur lebur. Pria itu tak punya tujuan. Baginya keluar dari rumah untuk menenangkan diri, lebih baik dibandingkan harus melihat kepergian Ruby dengan sang selingkuhan dari rumahnya.

"Kau dengar itu, Ruby?"

Ruby tetap diam. Ucapan sang ibu mertua seakan tak mau tertangkap indra pendengarnya.

"Sean sudah menjatuhkan talak dan memintamu untuk segera pergi dari rumah ini. Aku harap kau sadar diri untuk tak membawa apa pun yang bukan menjadi hak milik atas dirimu."

Perempuan paruh baya beserta putrinya masih setia berdiri di ambang pintu. Selepas kepergian Sean dari kamar, kedua perempuan berbeda usia itu masih enggan untuk beranjak. Mereka seolah belum puas menyaksikan kesedihan Ruby sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kediaman putranya.

"Ayo, tunggu apa lagi?" Kini adik perempuan Sean yang bersuara. Gadis bernama Selena itu tersenyum puas seraya melipat kedua tangan di dada.

"Baik." Bibir Ruby bahkan bergetar saat mengucap. Ruby lekas mengenakan pakaiannya yang tercecer di lantai begitu pun dengan pria yang beberapa saat lalu tidur satu ranjang dengannya.

Menatap ke arah nakas, gadis dengan rambut panjang sepinggang itu mengumpulkan beberapa benda penting miliknya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Aku cukup tau diri untuk tidak membawa barang apa pun yang bukan menjadi hakku. Terimakasih sudah menampung hidupku selama dua tahun di rumah ini. Aku permisi." Tak ada air mata. Ruby begitu lugas ketika berucap. Ia pun tak segan menatap lekat kedua perempuan yang mungkin disepanjang hidupnya tak akan pernah ia lupa. Menahan pedih, Ruby memutuskan untuk menyingkir. Keluar dari istana megah yang menjadi tempat tinggalnya selepas dipersunting Sean Fernandez dua tahun lalu.

Senyap. Ruby tak menemukan keberadaan Sean saat ia melewati beberapa ruangan sebelum akhirnya keluar dari pintu utama. Dari beberapa sudut tampak seorang pelayan juga penjaga keamanan rumah Sean, menatap Ruby dengan pandangan sulit diartikan. Begitu menyadari jika sang Nyonya melihat keberadaan mereka, keduanya sontak mengalihkan pandangan dan beranjak pergi.

Ruby kembali melanjutkan langkah. Gadis itu pergi hanya membawa beberapa barang yang ia miliki sebelum dinikahi oleh Sean. Ruby sadar jika Sean bukan lagi suaminya dan peringatan Ibu Sean beserta adiknya, menampar kesadaran dirinya jika Ia bukanlah siapa-siapa lagi di rumah ini.

Selepas keluar dari pintu gerbang, Ruby menyandarkan tubuhnya di dinding. Tubuhnya luruh seiring luruh pulalah bulir bening yang sekuat tenaga ditahan.

Ruby menangis dengan mendekap mulut agar suara tangisnya tak dapat didengar oleh siapa un. Kejadian yang baru saja dialami begitu membuktikan seberapa besar keluarga Sean tak menginginkan kehadirannya. Melemparkan Fitnah kejam yang berujung ucapan talak Sean kepadanya.

Ruby terperanjat saat seseorang menepuk bahunya. Perempuan itu mendongak hingga pandangannya bersiborok dengan sepasang mata tajam seseorang pria yang spontan membuat kedua tangannya mengepal.

"Pergilah. Meski kau Istrinya, tapi aku yakin jika dia tak lagi menginginkanmu." Seseorang pria itu tergelak. Menatap miris pada gadis cantik yang nasib pernikahannya harus porak poranda karna ulahnya.

"Seberapa besar mereka membayarmu, hingga kau mau melakukan perbuatan sekotor ini padaku?" Ruby menggeram. Ia tatap nanar seorang pria asing yang mungkin sengaja dimasukkan olah sang Ibu mertua ke kamar pribadinya.

"Itu tidak penting, Sayang. Lagi pula disini aku mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Bukan hanya menerima uang, tetapi aku juga bebas mencumbuimu saat kau tertidur tadi." Pria itu kembali tergelak. Ia benar-benar puas, terlebih saat menatap kearah leher Ruby yang dipenuhi bekas kecupannya.

Ruby menatap nanar pria di hadapannya. Bulir bening kembali menetes, menyadari sekotor apa dirinya kini. Disentuh lelaki yang bukan suaminya.

"Kita bahkan tak saling mengenal, tetapi kenapa kau tega melakukannya?" Tanya Ruby lirih. Air matanya kembali mengalir, membayangkan sesakit apa hati Sean saat melihat Tubuhnya yang bahkan sudah disentuh orang lain.

"Bukankah sudah kutegaskan, jika disini aku dibayar. Dibayar dengan saat mahal hingga aku sendiri tidak kuasa untuk menolaknya meski pun harus mengorbankan rumah tangga orang lain." Serigai kemenangan terukir jelas di bibir pria berjambang tersebut yang justru terlihat begitu menjijikan bagi Ruby.

Tak ingin menanggapi, Ruby memilih diam. Tiada guna ia berada di tempat ini lagi. Meski berat, ia mencoba bangkit. Membawa langkah kaki meski tak tau arah tujuan.

"Sayang, kau mau ke mana? Ayo, ikutlah bersamaku. Kau bisa menjadi selingkuhanku. Kita tinggal bersama dan hei... hei... berhenti." Pria asing itu terus mengoceh sementara Ruby mulai jauh melangkah, meninggalkan kediaman megah Sean yang mengukirkan sejuta cinta dan juga air mata.

Assalamuailaikum...

Bertemu kembali dengan cerita yang berbeda dalam setiap judulnya. Seperti biasa, akan ada cinta, air mata, juga pelajaran hidup yang bisa diambil. Tetap kasih dukungan beserta kritik dan saran ya Kak. Terimakasih🙏

Waalaikumsalam...

Garis Dua

Di dalam kamar mandi Ruby berdiri mematung. Tanggan mungilnya yang  memegang alat tes kehamilan, gemetar. Kejadian satu bulan lalu masih terngiang begitu jelas diingatan namun lagi-lagi kenyataan seolah menampar kesadaran.

Dirinya hamil? Benarkah? Ruby membekap mulut dengan satu tangan. Menahan suara tangis agar tak keluar. Sementara tangan lainnya mengangkat benda berukuran tipis itu untuk lebih mendekati pandangan. Benar-benar garis dua dan ini bukan hanya alat tes satu-satunya. Ruby bahkan membeli lima alat dengan berbagai merek namun kelimanya pun juga menunjukan hasil yang sama. Garis dua.

Ruby menangis. Melepaskan segala beban yang terpendam di dada sebulan ini. Selepas keluar dari rumah Sean, Ruby berusaha menyembunyikan kesakitan juga kesedihannya. Dia kembali ke sebuah panti asuhan di mana dulu ia dibesarkan. Baginya, panti asuhan adalah tempat teramannya untuk saat ini. Selain bisa mendapatkan kehangatan seorang keluarga dan di tempat ini pulalah dirinya merasa dihargai.

Pintu kamar mandi yang semula tak terkunci, dibuka dari luar. Seorang perempuan paruh baya dengan kepala tertutup jilbab Navy tergopoh. Wajahnya menyiratkan kecemasan saat tangis Ruby terdengar dari luar kamar mandi.

"Ruby, kau kenapa, Nak? Apa yang terjadi?" 

Ruby yang terkejut lantas berbalik badan. Menyeka pipinya yang basah dengan satu tangan sementara tangan lainnya berusaha menyembunyikan alat tes kehamilan di belakang punggung.

Ruby hanya menggelengkan kepala. 

"Ruby, apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu?" Perempuan paruh baya itu bertanya sebab sempat melihat pergerakan tangan Ruby yang seakan menutupi sesuatu darinya.

Lagi, Ruby menggelengkan kepala seraya berucap, "Tidak ada apa-apa, Ibu."

Ibu panti bernama Rahayu itu tak lantas percaya begitu saja akan ucapan Ruby. Ia pun mendekat kemudian memegang kedua bahu gadis yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

"Ruby," panggil Rahayu pada Ruby. "Tatap mata ibu," pinta Rahayu yang spontan dipatuhi oleh gadis tersebut, hingga pandangan keduanya saling berpaut.

"Sejak kapan Rubyku berani berbohong?" Rahayu menatap sepasang mata bening Ruby dengan mata berkaca. Kini Ruby kian merasa bersalah. Gadis itu lekas mendekap tubuh Rahayu dan menagis di bahunya. Tubuh Ruby bergetar seiring tangisnya yang kian mengeras. Rahayu pun tergugu. Seolah bisa merasakan penderitaan yang kini tengah dirasakan putri asuhnya.

Selepas tangis Ruby mereda, Rahayu lekas merebut sebuah benda dalam gengaman tangan sang gadis.

"Ruby, apa maksud semua ini. Kau.. mengandung?" Sebagai seorang wanita, Rahayu pasti bisa mengenali benda pipih yang biasa digunakan tenaga medis untuk mengetahui ada tidaknya janin di dalam tubuh. Tapi yang jadi masalah, kenapa dalam kondisi seperti ini janin itu harus datang.

Ruby pun mengangguk lemah.

Rahayu sudah hendak membalik badan, keluar dari kamar mandi namun Ruby coba mencegah.

"Ibu, Ibu mau ke mana?"

"Ibu akan menghubungi Nak Sean. Mengatakan jika kau sedang mengandung dan memintanya untuk menghentikan proses perceraian." 

"Tidak Ibu!"

"Kenapa?" Rahayu terkejut. Bukankah Sean adalah ayah biologis dari janin yang tengah dikandung Ruby, lalu kenapa gadis itu mencegah.

"Aku tau sebesar apa keluarga Mas Sean tidak menginginkan keberadaanku. Aku sadar, diri, ibu. Aku memang tak pantas untuk Mas Sean cintai." Terasa perih, namun begitulah kenyataan. Sebuah fitnah yang diskenario sang ibu mertua, rupanya semakin menyingkao fakta jika selama ini Ibu beserta adik Sean hanya berpura menerimanya.

Sean Fernandez memang mencintainya tapi tidak dengan keluarganya. Berbeda kasta dan hidup sebatang kara menjadi alasan utama keluarga Sean begitu membencinya.

Rahayu tak bisa menyangkal. Ruby yang datang dengan keadaan menyedihkan pada malam itu, rasanya ia pun sudah bisa menangkap adanya ketidak beresan. Ruby yang masih dalam kondisi terburuk, belum siap untuk menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi pada pagi hari Ibu dari Sean sudah datang ke panti asuhan dan bermaksud untuk mengembalikan Ruby ketempatnya semula sebelum dipersunting Sean. Bukan hanya itu, perempuan berpenampilan glamour itu membawa beberapa lembar foto sebagai bukti bahwasannya Ruby sudah berselingkuh dan ditangkap basah oleh Sean, suaminya sebelum akhirnya diusir.

"Baiklah, Nak jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ibu tidak bisa melarangmu sebab bagaimana pun kau sendirilah yang akan menjalani. Ibu hanya meminta padamu agar tetap menjaga janin dalam kandunganmu hingga lahir. Merawat dan membesarkannya begitu anak itu lahir hingga ia tak kekuraga kasih sayang sedikit pun meski dibesarkan tanpa sosok Ayah."

Ruby mengangguk seraya mengusap pipinya yang basah. Setegar apa pun dirinya, namun jika sudah menyebut tentang janin dalam kandungan, membuat pertahanannya runtuh seketika. Janin yang menjadi hasil buah cintanya bersama Sean.

💗💗💗💗💗

Selama proses persidangan berlangsung, Ruby tak sekalipun menampakkan diri. Ia pun juga tak menunjuk seorang kuasa hukum untuk mendampingi. Ruby pasrah dan mengikuti alur yang ada. Terlebih Ibu Sean secara diam-diam sudah mengancamnya untuk tidak perlu datang untuk mempercepat proses persidangan.

Ruby memilih duduk menyendiri, sejenak menjauh dari kerumunan anak panti yang setiap hari berusaha menghiburnya.

Tubuh Ruby pun kian kurus meski mengandung. Disebuah kursi kayu Ruby terduduk seraya mengusap bagian perutnya yang masih rata.

Helaan nafas terdengar. Tatapan gadis itu tertuju pada pot yang ditanami bermacam bunga. Ia sendirilah yang sempat menanamnya sekitar dua tahun lalu sebelum menikah dengan Sean.

"Tak menyangka jika aku akan kembali ke sebuah rumah yang menjadi tempat tinggalku sejak dulu," gumam Ruby seraya mengenang masa tumbuh kembangnya dulu dilingkungan panti.

Bahkan saat pertemuannya dengan Sean untuk pertama kali, Ruby pun masih jelas mengingatnya.

"Hai, aku Sean. Kata Ibu Rahayu, namamu Ruby, benar begitu?"

Ruby terkesiap. Saat sedang mengisi tanah kedalam pot, seorang pria justru datang mengejutkannya. Terlebih mengucapkan tanya yang tak pernah ia sangka.

"Hei, benarkah nama Ruby?" Pria bernama Sean itu mengoyangkan tangan ke hadapan gadis yang sepertinya justru melamun ketika ditanya.

"I-iya Tu-tuan. Benar, saya Ruby." Ruby sampai terbata. Ia terlihat malu saat berapa teman sebayanya memperhatikan.

"Em perkenalkan, aku Sean," ucap Sean seraya mengulurkan tangan.

Ruby lagi terkesiap menatap pada tangan yang terulur ke hadapan. Gadis itu menatap tangannya yang dipenuhi tanah. Gadis itu menangkupkan kedua tangan sebagai salam perkenalan.

Sean terlihat kecewa saat Ruby tak menyambut uluran tangannya. Akan tetapi pria itu juga merasa senang, mengingat ini pertama kalinya mereka bertemu. Mungkin dirinya terkesan lancang sebab sudah berniat untuk menyentuh tangan gadis yang baru saja mengenalnya.

"Oh, maaf. Aku sudah lancang. Aku tidak bermaksud untuk.."

"Tidak apa Tuan, saya faham, tapi apakah Tuan membutuhkan sesuatu hingga memanggil saya?" Ruby tak mengenal Sean. Ia hanya tau jika Sean adalah putra dari keluarga kaya yang menjadi donatur tetap di panti asuhan yang menjadi tempat tinggalnya.

Sean tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.

"Em, tidak. Aku tidak membutuhkan sesuatu. Aku memanggilmu karna ingin berkenalan denganmu."

Ruby tertegun. Ia berfikir sejenak, kiranya untuk apa Pria seperti Sean sudi berkenalan dengan gadis sepertinya yang bahkan kerap dianggap anak haram oleh tetangga sekitar.

Ruby menghela nafas dalam. Bulir bening kembali meluncur di sudut mata saat momen pertemuan pertama kali mereka kembali terngingang diingatan.

Gadis manis yang semula tak berani menanggapi ucapan Sean, justru mendapati sebuah kenyataan yang bahkan tak pernah ia bayangkan.

Melalui Rahayu, pengurus panti asuhan. Sean mengutarakan keinginannya untuk meminang Ruby sebagai istrinya. Rahayu tentu terkejut apalagi dengan Ruby. Akan tetapi, begitulah adanya. Jodoh memang tadir dari sang pencipta. Sebuah Rahasia yang tak mampu dicegah atau pun memilih.

Dari semua peristiwa yang membuat banyak pihak terkejut, rupanya keluarga inti dari Sean Fernandez tak tau menau akan keinginan putra itu untuk meminang Ruby.

Bukan hanya berbeda kasta, status Ruby yang hanya anak panti dan tanpa tau jati diri kedua orang tuanya sempat membuat Ibu Sean meradang. Bagaimana pun Sean adalah putra tunggalnya sekaligus penganti sang Ayah dalam mengurus bisnis peninggalan keluarga.

Berdebatan sengit terjadi. Kedua pihak bersikukuh dengan keinginan masing-masing. Ibu Sean tetap tak merestui, sementara Sean tetap akan melangsungkan pernikahan meski tanpa restu dari keluarga.

Butuh waktu enam bulan hingga Ibu Sean memberikan restu dan mengikhlaskan putranya untuk menikahi gadis yang tak jelas asal usulnya dengan syarat tak ada pesta mewah atau pun resepsi. Sean menyanggupi, toh itu bukanlah masalah yang terpenting pernikahan mereka sah.

Andai waktu bisa diputar, Mas. Tentu aku lebih memilih untuk tidak mengenalmu. Berlari atau menjauh ke mana pun saat kau ingin berkenalan saat itu.

Tbc.

Resmi Bercerai

Hari berganti minggu. Waktu seakan cepat berputar. Tak terasa, selepas menunggu beberapa kali persidangan, tepat pada hari ini vonis hakim ditentukan. Ruby menatap pantulan tubuhnya di cermin. Sengaja ia mengenakan pakaian longgar yang mampu menyamarkan bagian perutnya yang sedikit membulat begitu pun dengan tubuhnya yang mulai berisi.

Sekali lagi ia menatap pantulan tubuhnya di cermin. Memoles wajah dengan bedak tipis agar tak terlihat pucat. Pada trimester pertama kehamilan, Ruby memang mengalami mual dan pusing seperti yang kerap dikeluhkan wanita hamil pada umumnya.

Terasa begitu berat, terlebih tak ada sosok suami yang setia mendampingi. Ingin lemah, namun cobaan yang datang bertubi mengajarka Ruby untuk tetap kuat.

Ruby menunduk, mengusap perut dengan pandangan lembut hanya terfokur ke arahnya. Buah hati yang sudah dinanti namun datang disaat kedua orang tuannya akan berpisah.

Gadis dengan rambut terikat rapi itu mengingat kejadian lalu saat Sang Ibu mertua yang kerap mencekokinya dengan ramuan khusus yang membuatnya sulit hamil. Entah ramuan apa yang perempuan itu berikan, hanya saja selepas cairan itu masuk kedalam tubuh, bagian perutnya seakan diaduk. Terasa panas dan membuatnya tak nyaman.

Suatu watu Ruby berniat untuk membuang ramuan laknat tersebut, akan tetapi ibu Sean lebih dulu memergoki. Ancaman dan makian terdengar lantang menyapa indra pendengar Ruby. Nyali gadis itu pun menciut, hingga memilih diam menjadi jalan yang tepat dari pada lelah berdebat.

Ruby kembali mengusap perutnya begitu lembut. Sebesar itu lah Ibu Sean tak menginginkan dirinya menjadi seorang menantu di keluarga Suryo. Maka perceraian menjadi pilihan terakhir agar dirinya dan Sean memilih jalan sendiri untuk kebahagiaan masing-masing.

"Nak, sudah siap?" Kepala Rahayu menjembul dari pintu kamar yang sedikit terbuka.

"Em, sudah ibu." Ruby kembali merapikan penampilan. Menyampirkan tas di bahu sebelum berbalik badan untuk membuka pintu kamar lebih lebar.

Rahayu menatap Ruby lekat. Kini kedua perempuan berbeda usia itu saling berpandangan. Meski senyum di bibir Ruby terukir, namun dalam hati perempuan itu menangis.

"Ruby, kau baik-baik saja, Nak?" Sebagai perempuan yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Ruby, tentunya dia merasakan kekhawatiran tersendiri bukan hanya dari fisik tapi mental juga mental anak asuhnya tersebut pasca perceraian.

"Tentu, seperti yang Ibu lihat. Aku baik-baik saja 'kan?" Bohong. Ruby bahkan bukan hanya membohongi orang lain tetapi dirinya sendiri akan kondisinya.

Enggan berdebat, Rahayu pun mengalah.

"Baiklah, Ibu percaya ucapanmu. Ayo, kita berangkat." Rahayu meraih pergelangan tangan Ruby. Mengandengnya untuk bergegas keluar rumah dan mencari angkutan umum untuk bisa membawanya ke tempat yang dituju.

💗💗💗💗💗

Tubuh Ruby seakan terhimpit bongkahan batu begitu menginjakan kaki di depan gedung yang sebentar lagi akan menjadi saksi dirinya dalam menyambut status baru sebagai seorang janda. Teramat sakit dan sesak. Ruby menghela nafas perlahan. Terseok ia memasuki gedung hingga menuju ruang tunggu. Rahayu siaga mendampingi. Menguatkan dan tak hentinya mengucap kata penyemangat.

Pandangan gadis itu menyapu ke sekeliling. Namun, dirinya tak menemukan Sean dimana pun.

Mungkin dia belum datang, atau bahkan tidak akan datang.

Tap

Tap

Derap langkah bertubi terdengar. Dari kejauhan beberapa pria berbadan tegap dengan langkah lebar mulai memasuki ruang tunggu.

Jantung Ruby berdetak lebih kencang. Dari ekor mata dirinya bisa melihat jika calon mantan suaminya-lah yang datang. Begitu melintas di hadapannya, Sean sedikit pun menoleh, terlebih menyapa. Berlalu begitu saja dengan sorot mata penuh kebencian.

Ruby tertunduk dalam. Bulir bening tak mampu ia bendung, hingga mengalir begitu saja dari sudut mata. Hatinya hancur, sehacur masa depannya.

Ruby terkesiap saat Rahayu menebuk bahunya. Perempuan paruh baya itu memberi isyarat jika beberapa menit ke depan persidangan akan digelar.

Tak ada yang lebih menyedihkan dari hubungan pernikahan saat ketukan palu sebagai isyarat terputusnya ikatan.

Tak ada drama atau pun negosiasi alot saat kedua belah pihak mempermudahnya. Sean memberikan sejumlah harta yang memang menjadi hak bagi Ruby sebagai harta gono gini, meski pun Ruby sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak mengambil sepeserpun harta benda pemberian Sean meski pun sudah sah menjadi miliknya.

Dia tak gila harta dan cintanya tidak bisa disetarakan dengan uang. Begitulah adanya, jika Ruby tulus mencintai Sean.

Selepas ketukan palu terdengar, sepasang suami istri yang kini menjadi mantan itu terdiam. Duduk dengan hanya berjarak satu meter membuat kedua insan itu saling menormalkan degub jantung masing-masing. Ruby tetap tertunduk sementara Sean menatap lurus kedepan.

Saat melihat wajah Sean beberapa saat lalu, Ruby meyakini jika kondisi suaminya tak jauh berbeda dari saat mereka masih bersama. Tetap tampan dengan rambut dan jambang yang tercukur rapi.

Gadis itu menghela nafas lega sekaligus menitikkan air mata. Sean tetap bisa hidup dengan baik meski tanpanya. Ternya keputusan cerai yang mereka ambil memang benar. Setidaknya Ruby tak perlu dihantui rasa bersalah selepas memastikan dengan mata kepala sendiri jika Sean hidup dengan baik, bahkan jauh lebih baik selepas kepergiannya.

"Ruby." Suara lantang dan penuh penekanan sedang memangil nama seorang perempuan yang tengah duduk tak jauh darinya dengan menundukan kepala.

Perlahan gadis bernama Ruby itu menegakkan kepala, hingga menoleh ke arah suara seseorang yang memangillnya.

Padangan sepasng insan itu bertemu. Tak ingin menjawab, gadis itu memilih diam hingga Sang pria melanjutkan ucapan yang sempat terjeda.

"Selamat. Selamat kau sudah berhasil menghancur leburkan kepercayaanku. Selamat, kau juga berhasil menginjak-injak harga diriku sebagai seorang suami. Enyahlah selamanya dari pandanganku dan setelah peristiwa ini aku harap kau tak akan pernah menunjukan wajah tubuh kotormu itu di hadapanku. Kau sungguh perempuan menjijikkan yang pernah aku kenal, Ruby."

Bagai sambaran petir yang menyengat dan membakar tubuh, hingga mampu membuat Ruby menegang hanya dengan mendengar kalimat pedas yang terlontar dari bibir Sean, seorang pria yang sampai detik ini pun masih merajai hati.

Sean bangkit selepas mengucap kalimat perpisahan yang begitu menohok hati Ruby. Tak ada pandangan lembut apalagi jabatan tangan. Sean seakan jijik jika menyentuh seinci pun kulit tubuhnya.

Rasa rindu yang menggunung tak mampu mencegah Ruby untuk tidak menatap kepergian sang mantan suami. Punggug lebar pria yang ia cinta menjauh, dikawal beberapa pria yang mengekor di belakang.

"Ya, kau benar, Sean. Aku memang menjijikan. Sudah pantasnya aku menghilang dari pandanganmu juga dari kota ini," gumam Ruby dengan bibir bergetar menahan tangis. Mengikuti jejak Sean, Ruby pun mulai menyeret langkah untuk keluar dari ruang persidangan dengan dibimbing oleh Rahayu.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!