NovelToon NovelToon

Bukan Istri Pilihan

Hari Pernikahan

Sarah, seorang gadis yatim piatu yang sudah dari sejak kecil tinggal di sebuah pondok pesantren karena sebelum neneknya meninggal saat Sarah usia 5 tahun, nenek Sarah menitipkan gadis itu pada seorang Ustadzah supaya bisa tinggal di Pesantren sekaligus mendidik Sarah menjadi wanita sholehah yang paham ilmu agama.

Ketika umur Sarah sudah di atas 18 tahun, Sarah berniat meninggalkan pesantren. Dia ingin mencari kehidupan sendiri dengan bekerja namun karena di Pesantren itu kekurangan tenaga pengajar, akhirnya Sarah mendapatkan tugas untuk mengajar anak-anak di bawah usia 10 tahun dan juga mengajar mengaji di waktu sore hari.

Hari minggu yang cerah, putra dari salah satu pendiri Ponpes pulang dari pendidikannya di luar negeri tepatnya di Kairo Mesir. Pak Kyai Agung menginginkan putranya yang kedua itu untuk menikahi salah satu dari gadis-gadis yang ada di pondok pesantren yang dia asuh dan rencananya Kyai akan menikahkan beberapa orang sekaligus.

Pak Kyai dan putranya Farel sedang berbicara serius di ruang kerjanya.

"Abi ingin kamu menikah dengan salah satu dari ustadzah di Pondok pesantren kita ini!" titah Abinya tanpa Farel sangka.

Mata pemuda itu membulat, "Apa maksud Abi?" Farel masih tidak percaya dengan pendengarannya.

"Menikahlah dengan Sarah! Abi akan atur waktunya!"

"Sarah? Menikahi Sarah? Abi tidak salah bicara, kan?" Farel menatap Abinya dengan dahi berkerut dan mata makin membulat sempurna.

"Abi tidak main-main dengan ucapan Abi, nak. Dia gadis yang baik. Dan terbaik sepanjang yang Abi amati selama ini. Abi ingin kamu menikah dengan gadis terbaik di pesantren kita ini!"

"Terbaik menurut Abi saja." Farel membuang mukanya, "Untuk apa Farel memilih pendidikan tinggi di sana kalau hanya akan menikah dengan gadis di sini."

"Bukan berarti kamu menempuh pendidikan di sana lalu menikah dengan gadis dari sana juga, bukan?"

"Farel sudah. . ."

"Abi tidak ingin di bantah! Kamu tahu, masmu Farukh pun mau menikah dengan gadis yang Abi pilihkan. Dan kamu lihat, pernikahan mereka bahagia."

"Tapi, Bi?"

"Persiapkan dirimu tiga hari lagi!" Pak Kyai lalu keluar dari ruangannya meninggalkan Farel yang menatapnya dengan tatapan nanar. Emosinya tertahan.

***

Tibalah hari di mana Kyai Agung sudah mendapatkan siapa saja ustad dan ustadzah yang ingin dinikahkan tanpa paksaan. Semua sudah berkumpul di ruang pertemuan. 7 orang ustad dan 7 orang ustadzah termasuk Sarah. Sarah tiba-tiba diminta berdiri.

"Sarah, silahkan berdiri!" titah pak Kyai.

Sarah yang kaget pun langsung berdiri.

"Kalian tentu sudah tahu kan saudari kita ini bernama Sarah Andani. Kalian pasti sudah sangat mengenalnya. Nah, siapa yang mengharapkan mempunyai istri Sarah, silakan berdiri. Nanti Sarah akan memilih sendiri siapa di antara kalian yang akan menjadi suaminya!" jelas Pak Kyai Agung.

Gadis itu terlihat menundukkan kepalanya malu. Dia tidak berani melihat siapa saja ustad yang berdiri yang itu artinya telah memilihnya untuk dijadikan istri. Dan ternyata ada 4 ustad yang sudah berdiri diantara 7 orang ustad yang ada di ruangan itu. Tapi itu tidak diketahui Sarah karena gadis itu masih saja menundukkan kepalanya.

"Sarah, coba kamu lihat siapa yang sudah memilihmu. Diantara mereka berempat, siapa yang kau inginkan untuk menjadi pendamping hidupmu?" tanya Pak Kyai.

Sarah lalu mendongakkan kepalanya. Matanya membulat saat melihat siapa saja ustad yang menginginkannya menjadi istri. Salah satunya adalah putra kedua dari Pak Kyai. Jantung Sarah berdetak tidak beraturan. Bagaimana mungkin Ustad Farel ikut berdiri, sedangkan dia tahu kalau wanita sepertinya pasti bukan wanita idaman bagi seorang Farel Afdhal.

Dan semua penghuni pondok pesantren tahu kalau ustad Farel merupakan idola di pesantren mereka. Tak sedikit Ustazah yang mengharapkan menjadi istri dari ustad Farel. Selain berpendidikan tinggi dan tentu saja soleh dan merupakan anak seorang Kyai yang berada, ustadz Farel juga memiliki paras yang tampan.

Sarah sangat bingung karena jujur saja, Sarah juga menaruh perasaan pada laki-laki itu. Sebenarnya Sarah tidak menginginkan memiliki perasaan terhadapnya, tapi hati tidak mungkin bisa dipaksakan, bukan? Sarah juga tidak bisa memaksakan hatinya untuk menentukan siapa yang dia suka.

"Sarah, bagaimana? Siapa yang akan kamu pilih?" tanya Pak Kyai membuyarkan lamunan gadis itu.

"Sa-saya...?" Sarah terlihat gugup.

"Siapa yang akan kamu pilih?"

Sarah meneguk salivanya dengan susah payah. Dengan suara bergetar, Sarah akhirnya menjawab pertanyaan dari pak Kyai.

"Sa-saya, memilih Ustadz Farel, Kyai," jawab Sarah lirih.

"Yaaahh. . ." keluh beberapa Ustadzah yang berada di sana yang masih ada 6 ustadzah lagi.

Sedangkan ketiga ustadz yang berdiri langsung duduk dengan malas dan dengan wajah kecewa.

Setelah semua mendapatkan pasangannya masing-masing, Pak Kyai lalu menentukan hari pernikahan mereka.

***

Tibalah waktu yang ditentukan. Hari di mana 7 pasang ustad dan ustadzah akan di nikahkan. Semua ustad sudah duduk di tempatnya masing-masing. Ada yang memakai wali nikah dari ayah mempelai perempuan dan ada yang memakai wali nikah hakim bagi yang sudah tidak memiliki orangtua termasuk Sarah.

Akhirnya, semua pasangan pengantin sudah selesai melakukan akad nikah. Dan di lanjutkan dengan acara walimahan sederhana.

***

Saat ini semua pengantin sudah berada di kamar pengantin masing-masing. Pak Kyai Agung sengaja menyewakan kamar hotel sederhana di dekat pondok pesantrennya untuk pasangan pengantin berbulan madu. Tak terkecuali Sarah. Wanita muda itu sudah berada di dalam kamar pengantinnya.

Tak lama kemudian Farel masuk. Jantung Sarah langsung berdebar-debar. Wajahnya memerah menambah kecantikan alaminya andai Farel mau menatap wajah gadis yang baru saja resmi jadi istrinya itu. Tapi sayang, sedikit pun Farel tidak menoleh ke arah Sarah yang memang langsung menundukkan kepalanya sejak Farel membuka pintu kamar mereka

"Kamu jangan besar kepala dulu, Sarah. Saya memilih kamu itu atas keinginan Abi saya bukan atas keinginan saya sendiri! Jadi, tidak ada sedikitpun perasaan saya terhadap kamu!" ucap Farel bagai batu besar yang menghantam hati Sarah.

Dunia Sarah seakan hancur. Tubuh gadis itu yang awalnya berdebar-debar menjadi lemas tak bertenaga. Dia tidak menyangka jika Ustad Farel bisa mengatakan hal semenyakitkan itu. Sarah tidak menyangka jika laki-laki itu tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri.

Pelan, Sarah mendongakkan kepalanya hendak menatap wajah suaminya itu. Mencari kebenaran atas pendengarannya barusan. Tapi sayangnya, Farel sudah langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada di kamar dengan menutupi wajahnya dengan tangannya.

Sarah kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur empuk itu. Ternyata pendengaranku tidak salah. Mas Farel benar terpaksa menikah denganku. Tapi kenapa Pak Kyai memaksanya menikah denganku? Andai aku tidak memilihnya waktu itu, pasti saat ini bukan dia yang jadi suamiku. Ah sudahlah Sarah, mungkin ini sudah takdir kamu.

Tapi bagaimana kehidupan pernikahanku selanjutnya? Apa mas Farel akan mentalak aku? Ahh, Ya Allah... Sarah membatin lantas menunduk seraya menutupi wajahnya yang mulai basah dengan kedua tangannya. Dadanya terasa begitu sesak. Hingga bahunya berguncang.

Malam Pengantin yang terlewat

Malam pengantin pun lewat begitu saja. Sebelum subuh, seperti biasa Sarah sudah bangun. Wanita muda itu lalu duduk dengan pandangan mengitari kamar. Netranya menatap ke arah sofa di mana pria yang kemarin baru saja resmi menjadi suaminya itu tidur.

Mata Sarah membulat ketika menyadari kalau di sana sudah tidak ada lagi sosok yang dia cari.

"Jadi mas Farel sudah bangun. Kemana mas Farel pergi?" gumam Sarah.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara dari dalam kamar mandi. Sarah langsung menoleh ke arah kamar mandi.

"Hhmm, jadi mas Farel sedang mandi. Ah, malunya aku tidak bangun lebih dulu," gumam Sarah.

Tiba-tiba. Ceklek. Pintu kamar mandi terbuka lalu muncullah suaminya dari balik pintu dengan sudah berpakaian lengkap. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertubrukan. Sarah buru-buru memalingkan wajahnya.

"Kalau mau sarapan bareng, mandilah!" titah Farel pelan.

"I-iya," jawab Sarah lirih lantas bangkit dari duduknya.

Wanita itu lalu mengambil pakaian yang ada di dalam koper lalu membawanya ke kamar mandi.

Maafkan aku, Sarah. Aku masih belum bisa untuk menyentuhmu. Farel membatin.

Setelah Sarah selesai mandi dan sholat subuh, mereka lalu turun ke bawah untuk sarapan bersama yang sudah disediakan oleh pihak hotel. Mereka pun bertemu dengan pasangan pengantin yang lainnya.

Sarah bisa melupakan sedikit kesedihannya saat bertemu dengan teman-temannya yang lain. Fanny, Maya, Safa, Zahra, Rani dan Cahya . Mereka pun duduk satu meja lalu sarapan bersama sementara para suaminya duduk di meja yang berbeda.

Setelah sarapan, mereka mengobrol sebentar. Farel lebih banyak diam saat mengobrol bersama ustad-ustad lain. Setelah selesai, salah satu dari ustad mengajak mereka untuk jalan-jalan namun Farel menolak dengan alasan dia sedang lelah.

"Maaf ya, saya tidak ikut kalian. Saya lelah sekali ingin istirahat," tolak Farel halus.

Ustad dan ustadzah yang ada di sana hanya bisa tersenyum simpul. Mereka berpikir kalau Farel kelelahan setelah malam pengantin mereka.

"Cie, berapa kali semalam sampai suami kamu kelelahan begitu?" tanya Fanny sambil berbisik di telinga Sarah seraya menyenggol lembut bahu sahabatnya itu.

Sarah menoleh ke arah Ustadzah Fanny namun tatapannya terlihat kosong dan hampa hingga ustadzah Fanny merasakan keanehan. Sarah juga tidak menjawab apa-apa dari pernyataan Fanny. Setelah itu, Farel mengajak Sarah untuk kembali ke kamar mereka.

"Ayo, kita istirahat di kamar saja!" ajak Farel lalu menyentuh tangan Sarah.

Sarah kaget namun menurut saja sembari berpamitan pada yang lain.

Saat mereka sudah di dalam lift, Farel langsung melepaskan tangan Sarah. Mereka tak bicara satu sama lain sampai keluar dari lift. Farel pun berjalan lebih dahulu diikuti oleh Sarah di belakangnya. Sampai di kamar pun mereka tidak saling berbicara karena Farel langsung sibuk dengan gawainya sendiri. Sedangkan Sarah duduk di sisi tempat tidur menatap ke cermin kaca.

Apakah aku terlalu jelek untuk seorang Farel? Tanya batin Sarah dengan perasaan nelangsah.

Sementara keenam pasang pengantin baru lainnya sedang menikmati waktu bulan madu mereka dengan berjalan-jalan. Mereka bergandengan tangan mesra dengan pasangan halal masing-masing. Maklum saja, mereka yang selama ini selalu menjaga jarak terhadap lawan jenis, baru merasakan bagaimana indahnya merasakan debar-debar cinta di hati mereka.

Namun ada satu pasangan yang sepertinya tidak terlihat bahagia. Dia adalah Aldo dan Maya. Aldo yang memang sudah lama menaruh hati terhadap Sarah, begitu sangat kecewa saat wanita itu tidak memilihnya di antara ketiga ustad yang berdiri saat Sarah di minta memilih salah satu di antara ustad yang akan jadi suaminya.

Karena hal itulah, Aldo terpaksa memilih Maya karena harapannya untuk membina rumah tangga dengan Sarah sudah kandas. Sepertinya Sarah dan Farel sangat bahagia tadi. Sedangkan aku, sama sekali tidak ada rasa bahagia sedikitpun dengan pernikahan ini. Aldo membatin.

Mereka berjalan-jalan sampai menjelang siang lalu sholat zuhur di masjid yang mereka lewati.

Setelah puas jalan-jalan, mereka lalu kembali ke hotel karena sorenya akan pulang kembali ke pesantren.

***

Mobil jemputan pak Kyai sudah sampai di hotel. Ketujuh pasang pengantin pun bersiap turun ke bawah termasuk Sarah dan Farel.

"Saya harap, kamu bisa menjaga rahasia kita," pinta Farel pelan namun seperti sebuah permohonan.

Sarah yang kaget langsung menghentikan langkah kakinya. Menjaga rahasia rumah tangga kita? Apa maksud mas Farel bicara seperti itu. Apa mas Farel takut ada yang tahu tentang malam pengantin kami?

"Ayo, jalan!" titah Farel membuyarkan lamunan Sarah.

Sarah kembali mengekor suaminya dari belakang. Semua barang di bawa oleh Farel. Sarah hanya membawa tas kecilnya saja.

Tibalah mereka di lobi, setelah menyerahkan kunci kamar pada reseptionis, merekapun lalu keluar menuju mobil yang sudah menunggu mereka. Ada dua mobil yang menjemput ke tujuh pasangan pengantin itu.

***

Tiba di pesantren, ketujuh pasang pengantin baru di sambut oleh seluruh penghuni pondok pesantren tak terkecuali oleh Kyai Agung dan istri, Ustadzah Fatimah.

Bagi pengantin yang memiliki rumah tinggal sendiri, mereka kembali ke rumah mereka atau ke rumah orangtua pasangan masing-masing.

Tinggallah Sarah yang harus tinggal kembali di pesantren karena dengan anak pemilik pesantren.

"Ayo, Sarah. Umi antar kamu ke kamar suami kamu, ya," ajak bu Kyai.

Sarah berusaha memberikan senyum semanis mungkin pada ibu mertua sekaligus wanita yang telah merawatnya sedari kecil. "Terimakasih, bu," sahut Sarah lembut.

"Hhmm, bagaimana setelah mempunyai suami? Pasti menyesal, kan?" tanya bu Kyai yang membuat dahi Sarah berkerut.

Kok menyesal? Maksud bu Kyai apa, ya? Sarah membatin. "Hmm..."

"Pasti menyesal kenapa baru nikah sekarang. Hayo, ngaku?" goda bu Kyai.

Sarah tersenyum getir.

"Nah, ini kamar suami kamu yang sekarang menjadi kamar kamu juga, Sarah," jelas bu Kyai sembari membuka pintu.

"Mi. . ." sapa seseorang dari belakang mereka.

Sarah dan bu Kyai menoleh ke arah sumber suara, "Mas Farel," gumam Sarah.

"Farel. Kamu bikin umi kaget saja," sahut bu Kyai sembari mengusap-usap dadanya.

"Hhmm, maaf, mi. Farel mau istirahat," ucap Farel lirih lantas gegas masuk ke kamarnya.

"Istrimu di ajak loh, nak!" titah bu Kyai.

Sarah menundukkan kepalanya.

"Hhmm, iya, ayo masuk!" ajak Farel acuh tak acuh sambil terus melangkah.

"Farel, kamu itu sama istri yang romantis to, nak," ucap bu Kyai gemas lantas menoleh ke arah menantunya. "Sarah, ayo masuk ke kamar kalian. Istirahat saja dulu, ya!" titah bu Kyai kemudian berlalu dari hadapan Sarah.

Dengan ragu, Sarah masuk ke kamar suaminya. Di lihatnya suaminya sedang berbaring di atas tempat tidur dengan merentangkan kedua tangannya dan dengan mata terpejam. Mungkin semalam tidurnya kurang nyaman karena tidur di atas sofa.

Makan Malam Bersama

Sarah mengamati isi kamar suaminya. Kamar yang sangat rapi untuk kamar seorang laki-laki. Di sudut kamar di dekat televisi terdapat lemari yang menyimpan buku-buku dan Alquran.

Dengan langkah hati-hati Sarah masuk ke kamar mandi yang ada di sudut kamar setelah sebelumnya Sarah mengambil pakaian gantinya yang ada di dalam koper miliknya.

Wanita itu mengguyur tubuhnya sembari memejamkan mata. Aku harus kuat menjalani pernikahan ini. Aku tidak boleh menyerah.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Sarah lalu keluar dari kamar mandi. Di lihatnya suaminya masih tertidur pulas. Sarah memutuskan untuk keluar dari kamar. Membantu anak-anak yang biasanya belajar mengaji di sore hari.

"Sarah, mau kemana?" tanya bu Nyai lembut yang berpapasan dengan Sarah di pendopo samping rumah.

"Hhmm, bu. Saya mau mengajar ngaji anak-anak seperti biasa, bu," jelas Sarah tak kalah lembut.

"Loh, kamu istirahat saja dulu, Sarah. Biar Shanum saja yang mengajari anak-anak mengaji," ucap Bu Nyai.

"Tidak apa-apa, Nyai. Saya sudah istirahat."

"Hhmm, kamu temani saja suami kamu. Nanti malam kita akan ada acara makan-makan bersama," jelas Nyai sembari mendorong lembut bahu Sarah supaya kembali ke kamarnya.

"Ba-baiklah, Nyai," sahut Sarah akhirnya. Dia tidak mau terus membantah. Dengan perasaan tidak enak, dia akhirnya kembali ke kamarnya.

Ceklek.

"Assalammu'alaikum," Sarah langsung membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Kamu!" teriak Farel kaget sembari membalik badannya berdiri membelakangi Sarah.

"Ma-maaf," ucap Sarah yang juga ikut membalik badannya menghadap ke arah pintu.

"Bisa tidak ketuk dulu pintunya?"

"Hhmm, maaf. Tadi saya sudah ucap salam. Saya pikir ustad Farel mendengar." Sarah memberikan alasan.

"Salam? Kalau saya tidak balas artinya tidak dengar. Lain kali ketuk dulu!" ucap Farel datar lantas berjalan melewati Sarah yang masih berdiri mematung di depan pintu.

Sarah mengusap dadanya yang berdebar-debar. Wanita itu lantas duduk di sofa yang ada di kamar itu. Di dekat sofa itu pula koper Sarah masih belum dia simpan karena pakaiannya masih belum dia masukkan ke dalam lemari. Dia bingung dan takut salah karena suaminya selaku pemilik kamar belum menyuruhnya untuk menyimpan pakaiannya dalam lemari.

Sarah lalu mengambil gawai jadulnya. Gawai yang hanya bisa di pakai untuk menelepon dan berkirim pesan saja. Karena memang Sarah tidak memiliki uang lebih untuk membeli barang mewah itu. Walau dari pihak pondok memberikannya uang, namun dia cukup tahu diri bertahun-tahun tinggal dan di rawat dengan kasih sayang oleh Bu Nyai dan Pak Kyai di pesantren milik pasangan suami istri yang baik itu.

Ada beberapa pesan masuk dari ustadzah Maya dan juga Fanny. Mereka juga di undang untuk makan malam bersama di pesantren.

Jadi makan malam nanti banyak yang akan datang. Hhh, aku harus bisa berpura-pura bahagia dengan ustad Farel supaya orang tidak akan ada yang curiga. Aahh, apa pernikahan seperti ini yang harus aku jalani. Sarah membatin sembari menghela nafas berat.

***

Setelah selesai sholat Isya berjamaah, keluarga Kyai Agung dan juga ustad dan ustadzah segera pergi ke ruang keluarga yang sudah di sulap menjadi ruang jamuan makan malam. Tak ketinggalan semua penghuni pondok pesantren, para santriwan dan santriwati. Semua ikut menikmati makan malam yang spesial ini.

"Alhamdulillah, saya sangat bahagia karena sudah bisa menikahkan ustad dan ustadzah. Semoga semua pasangan pengantin baru, berbahagia dengan pernikahannya. Dan berjodoh hingga ke surga. Aamiin..." ucap Kyai Agung sebelum mereka memulai makan malam.

Semua yang berada di ruangan ikut mengAamiinkan doa pak Kyai. Farel selaku putra dari Kyai di minta untuk memimpin doa makan. Setelah itu mereka pun makan malam bersama.

Tidak ada yang di bedakan. Semua sama menikmati hidangan yang sudah di masak oleh juru masak di pesantren. Hampir seratus orang yang ikut makan malam bersama. Santri dan santriwati yang tinggal di pondok pesantren Kyai Agung hanya sekitar tujuh puluh orang karena sebagian lagi memilih untuk pulang ke rumah masing-masing setelah selesai belajar. Yang tinggal di pondok pesantren kebanyakan yang berasal dari luar daerah.

Setelah selesai makan malam, Kyai membebaskan semua orang untuk bercengkrama di aula depan pesantren. Semua tampak ceria terlebih ustad dan ustazdah yang belum lama melepas masa lajang mereka.

Sarah duduk berkelompok bersama Fanny dan Maya dan juga ustadzah lain. Sarah lebih banyak diam saat para ustadzah menceritakan tentang acara jalan-jalan mereka di taman saat bulan madu. Karena saat itu suaminya, tidak mau ikut yang lain jalan-jalan dan lebih memilih kembali ke kamar hotel.

Menjelang malam, satu persatu meninggalkan aula menuju kamar masing-masing. Begitupun dengan Sarah, saat melihat suaminya berdiri, Sarah ikut berdiri mengekor suaminya kembali ke kamar mereka.

Sampai di dalam kamar, Sarah duduk di sofa sedangkan suaminya, ustad Farel masuk ke kamar mandi. Sarah terlihat bingung apa yang harus dia lakukan. Tidak seperti bayangannya bagaimana kehidupan setelah memiliki suami. Seseorang yang dia harap akan memberikannya cinta dan kasih sayang tulus seperti yang sejak dulu dia rindukan dalam hidupnya.

Tak berapa lama, suaminya keluar dari kamar mandi. Mereka tanpa sengaja saling menatap. Sarah tetap bergeming.

"Tidurlah di sini, biar saya yang tidur di sofa," titah suaminya pelan namun menusuk ke hati.

Jadi, malam ini akan kembali sama seperti malam kemarin. Sarah menghela nafasnya berat.

"Kamu dengar yang saya katakan tadi?" tanya suaminya membuyarkan lamunan Sarah.

"Ehhm, biar saya saja yang tidur di sofa, mas," sahut Sarah lirih dengan kepala menunduk.

"Jangan membantah!" tegas Farel.

Sarah gegas berdiri dengan jantung yang bergemuruh. Wanita itu lalu melangkah menjauhi sofa sedangkan suaminya berjalan mendekat ke arah sofa hingga saat Sarah sudah berdiri di samping tempat tidur, Farel langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

Sarah menelan salivanya dengan susah payah. Dia lalu pergi ke kamar mandi, seperti biasa mengambil wudhu sebelum pergi tidur.

Setelah dari kamar mandi, Sarah keluar dari kamar mandi. Di lihatnya suaminya yang sedang berbaring di atas sofa. Dengkuran halus terdengar menandakan jika suaminya itu telah tidur nyenyak.

Sarah lalu duduk di sisi tempat tidur yang mengarah ke cermin kaca. Menatap pantulan dirinya dengan pikiran mengembara.

Mungkin di mata mas Farel aku tidaklah cantik. Atau mungkin memang aku bukanlah wanita yang dia inginkan menjadi istri. Hhh, tapi kenapa dia ikut berdiri saat Kyai Agung meminta para ustad berdiri jika menginginkan aku jadi istri. Aahh, kenapa kamu memilihku jika tidak kamu inginkan? Sarah mengusap pelan wajahnya. Selalu ada nyeri setiap kali dia memikirkan itu. Hal yang belum pernah dia rasakan saat belum menikah.

Aku hanya ingin menikahi laki-laki yang mencintaiku. . .

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!