NovelToon NovelToon

Ayah Untuk Azka

1 : Bertemu pria di masa lalu

"Bunda, abang kangen ayah. Ayah kapan pulang?"

Amanda tersadar dari lamunan, ketika Azka-sang anak-bersuara dan memeluk lehernya dari belakang. Napasnya menderu hangat, menandakan keadaannya sedang kurang sehat. Pun, setelah itu suara batuknya yang dirasa pasti menyakitkan.

Tangannya mengusap lembut rambut lebatnya, lalu menyusupkan wajah Azka di cekungan leher membuatnya berontak serta menangis.

"Abang kangen ayah, bunda."

Lagi, dan lagi. Jika boleh, Amanda ingin sekali tenggelam dalam ribuan kanvas dengan berbagai cat warna daripada harus melihat satu-satunya penyemangatnya menangis. Terlebih itu dikarenakan oleh ayahnya yang hampir satu bulan tidak pulang karena urusan kerja.

Dan selama itu pula, Amanda merasa hidup kesusahan. Ditambah, minggu-minggu terakhir ini ayah Azka susah sekali di hubungi, Amanda harus putar otak, mencari penghasilan lain, karena stok tabungan juga mulai menipis. Mereka hidup dalam kesederhanaan di sebuah kontrakan kecil di pemukiman padat penduduk. Ayah Azka hanya seorang karyawan swasta di salah satu perusahan kecil, penghasilannya tidak seberapa.

"Besok libul bunda, abang mau beli mobil ama motol. Boleh ndak?" tanyanya kemudian, tangisannya sudah reda. Sepertinya Azka ingat dengan hari Sabtu yang selalu diisi pergi bersama ke toko mainan.

"Mainan abang kan banyak, masih pada bagus semua lagi. Masa beli terus, abang harus ngehemat uang. Ayah kan lagi nggak ada. Kita belinya pas ayah udah pulang aja, ya?" Amanda memberi pengertian kepada Azka, walaupun agak sangsi anak seusianya bisa mengerti.

Azka cemberut, matanya nampak berkaca-kaca lagi. Hati Amanda terasa dicubit, melihat Azka bersedih membuatnya merasa menjadi ibu paling gagal. Hal se-sepele ini saja Amanda merasa sulit mengabulkannya.

Apa ini sebuah karma atas kesalahannya di masalalu? Dulu, Amanda tidak pernah se-susah ini. Ayahnya selalu mengabulkan permintaan Amanda, bahkan untuk hal-hal kecil. Tapi, kenapa nasib Azka malah berkebalikan?

Ada rasa hati, ingin meminta pertolongan pada keluarganya, supaya hidupnya lebih baik tapi rasanya malu, Amanda tidak ada keberanian untuk menunjukkan batang hidungnya terutama pada ayahnya.

Fy. Amanda dan suaminya menikah 5 tahun lalu ketika usia Amanda 17 tahun sementara ayah Azka 24 tahun. Mereka terpaksa menikah tanpa restu orang tua dan memilih merantau ke kota orang memulai hidup baru. Amanda lebih memilih lelaki yang sekarang menjadi suaminya, ketimbang melanjutkan pendidikannya padahal dulu masa depannya sudah dijamin oleh ayahnya.

"Bunda, kemalen uga bilang gitu telus. Maenan abang uda jelek semua, motolnya lusak, ban mobilnya ilang diinjek sepeda Lomi." Azka bercerita sembari sesenggukan, tangannya menunjuk mobil mainan berwarna merah yang sudah rusak dekat televisi.

Amanda menghela napas.

"Yaudah, besok kita pergi ke toko mainan. Kita beli yang baru, tapi janji sama bunda belinya satu, cuman satu."

Azka mengangguk antusias, menghapus air matanya dengan kedua tangan, kemudian memeluk leher Amanda. Tangannya mengusap pelan bahu Azka, sebenarnya ia tidak tahu sebenarnya darimana akan mendapatkan uang untuk mainan itu.

Amanda tidak punya keahlian, selain melukis. Tidak bisa masak, mencuci baju serta piring, menyetrika, dan hal lainnya karena Amanda memang terbiasa dimanjakan dari kecil. Pun, ketika Amanda berpisah dengan mereka, ayah Azka yang melakukan itu semua. Sampai banyak tetangga yang bilang, suaminya itu seperti pembantu istrinya.

Amanda ingin belajar, tetapi larangan dan tatapan mata ayah Azka-lah yang membuat Amanda tidak berkutik. Dia selalu bilang, Amanda tidak boleh capek dan pekerjaan utamanya adalah memberikan kasih sayang kepada Azka.

Amanda sekarang menyesal, jika saja mencoba mungkin keadaannya berbeda lagi. Ia tidak akan membeli makanan di luar, tidak akan mencuci baju hingga berjam-jam. Akibatnya hal lain yang dikerjakannya selalu tidak sempurna.

Contohnya, keadaan Azka sekarang. Amanda ceroboh membiarkannya bermain ketika hujan tanpa mantel, hingga membuatnya hanya berbaring di tempat tidur.

**

Keeseokannya, pada siang hari sekitar pukul sebelas. Amanda berhasil menemukan pinjaman dari tetangga sebelah yang memang seorang bidan. Namanya, Nissa. Amanda biasa memanggilnya, Teh Nissa. Wanita cantik yang memiliki satu orang anak seumuran Azka. Dia sangat baik, walaupun jam kerjanya padat tetapi selalu menyempatkan diri bercerita bersama, semisal tentang Amanda yang curhat tentang ayah Azka yang belum juga pulang, atau suaminya yang telah lama meninggal.

Bahkan sangking baiknya, dia memperbolehkan Amanda menitipkan Azka di rumahnya bersama seorang babby sitter tanpa perlu membayar.

Amanda memang tidak bisa diandalkan dalam pekerjaan rumah tangga, tetapi ia tetap berusaha mencari kerja terbukti dirinya diterima di salah satu restoran. 

"Bunda, nanti abang mau beli mobil kelen kaya punya lomi. Telus motor lacing uga, ya bun?" Tanya Azka dengan mata berbinar lucu.

Rasanya Amanda tak kuasa untuk berkata tidak. Aku mengangguk, kemudian mencium gemas pipi gembul Azka. Azka tertawa cekikikan, menghalau ciuman yang bertubi-tubi. Ah, senangnya melihat Azka kembali sehat dan tertawa seperti ini.

"Siap, pangeran!"

Sebelum berangkat ke toko mainan yang jarak dari rumahnya lumayan jauh, Amanda terlebih dahulu  memastikan kompor bekas memasak air sudah dimatikan, kemudian mengunci pintu rumah. Setelah itu, mulai berjalan menyusuri gang bersama Azka yang sudah siap dengan stelan baju minion.

Dulu, jika akan pergi ke toko mainan Amanda tidak perlu bersusah payah berjalan, karena ada ayah Azka yang bisa mengendarai motor. Ia dan Azka akan menjadi penumpang yang baik, memakai helm dan berpegangan ke baju atau kaos yang dikenakan ayah Azka. Dan saat itu pula dengan romatis ala-ala anak muda, ayah Azka akan tersenyum, Amanda bisa melihat senyumnya lewat kaca spion. Lalu setelahnya, ayah Azka akan mengeratkan pegangan tangannya menggunakan satu tangannya yang menganggur. Ah, rupanya Amanda sedang rindu dengan suaminya.

Akhirnya dengan kaki yang lumayan pegal, Amanda sampai di jalan raya. Kemudian, menaiki salah satu angkutan umun berwarna biru yang bertujuan langsung ke mall. Bukan mall elit, tetapi mall ramah kantong untuk semua kalangan.

Ini pertama kalinya Azka menaiki angkutan umum. Seperti yang Amanda bilang, selama ini hidupnya sangat bergantung kepada ayah Azka. Kemana-mana selalu bersama. Kalau pun, ada waktu di mana ayah Azka sibuk bekerja. Amanda akan dimintai menaik ojeg saja. Alasannya, lebih cepat dan Azka pasti nyaman.

Tiba-tiba Amanda terkejut dan panik, Azka muntah wajah berkeringat dan pucat pasi. Aku benar-benar bingung.  

Aku memang sering, melihat Azka muntah. Tetapi bukan karena angkutan umum, apalagi keadaannya yang baru sembuh dari sakit membuatnya semakin khawatir.

"Aduh, neng kasian itu anaknya. Coba balurin dulu sama kayu putih, ke badannya."

Amanda tersenyum berterima kasih kepada satu-satunya penumpang yang ada di angkutan ini. Ibu berwajah ramah yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua.

"Makasih, bu."

Ku lihat dari ekor mata, ibu yang belum aku ketahui namanya itu. Mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah tisu dan plastik hitam kecil.

"Bersihin dulu neng, muntahnnya terus ini ibu kasih plastik takut anaknya muntah lagi."

Melihat kebaikan ibu ini yang tulus, membuat terharu dan teringat akan Mama. Huh, bagaimana kabar beliau setelah Amanda pergi hampir 5 tahun ini? Apa beliau sudah memaafkannya?

"Yaampun bu, makasih banget."

"Iya sama-sama, neng," balasnya seraya mengusap rambut Azka yang lemas dipangkuan Amanda. "Saya kepengen punya cucu, tapi anak saya satu-satunya malah nolak terus kalau disuruh nikah. Katanya belum ada yang cocok. Dasar anak saya memang bandel, kerjaannya kerja terus sampai lupa sama ibunya sendiri."

Amanda meringis, kehidupan seseorang memang berbeda-beda.

Dulu, Amanda memaksa ingin menikah tetapi semua keluarganya melarang. Sekarang, ada ibu yang mengharapkan anaknya menikah karena sudah mapan, tetapi anaknya tidak mau. Masa depan begitu sulit ditebak.

Seandainya dulu Amanda tidak selabil itu, mungkin sekarang dirinya seperti anak ibu di hadapannya ini, sedang meniti karier. Namun kelabilan itu tak serta-merta membuatku menyesal dengan kehadiran Azka. Justru, Azka adalah alasan Amanda terus bersyukur dan harus tetap menjalani hidup, bagaimanapun caranya.

Amanda yang sedang membaluri perut Azka dengan kayu putih. Tersenyum pedih ketika Azka mengadu dengan nada pelan.

"Bunda, abang pucing. Kita kenapa ndak naik motol ayah aja?"

"Kan ayah lagi kerja, sayang. Sibuk banget. Abang nggak mau kan ayah marah?"

"Kalau ayah lagi sibuk, kita kenapa ndak naik ojek motol aja?"

Dalam keadaan sakit saja, Azka masih bisa menjawab pertanyaan Amanda. Persis seperti ayahnya, rasa penasarannya selalu tinggi. Andai Azka tahu, kenapa dirinya memilih untuk menaik angkutan umum daripada ojeg, itu karena uang yang dipegang sedikit dan ojeg lebih mahal ongkosnya. Amandq bukan tipical orang pelit, sedikitnya rezeki pasti disisihkan untuk orang-orang yang lebih membutuhkan. Tetapi dalam kondisi seperti ini, Amanda harus bisa hemat.

"Udah ya, abang jangan banyak bicara dulu. Nanti makin lemes, mau muntah lagi?"

Amanda menghela napas lega, karena Azka mulai menganggukkan kepalanya dan memejamkan mata. Melihat keringat yang mengucur dari pelipis, tanganku bergerak mengusap keringat Azka.

Brak!

Tangan Amanda memegang erat badan Azka, agar tidak terpental ke depan. Akibat angkot yang meng-ngerem mendadak.

"Heh, pak! Kalau nyetir teh pelan-pelan, kasian ada anak kecil. Untung, nggak kenapa-napa!" gerutuan si ibu baik hati itu, sama persis dengan gerutuan yang akan Amanda ucapkan.

"Maaf bu, maaf." Pak supir memohon maaf, kemudian membuka pintu. Dari sini  bisa dilihat, banyak orang yang berkerumun. Mungkin ada orang yang tertabrak. Ia tidak tahu jelas, sebab pokusnya  hanya kepada Azka. Sempat melirik, ternyata si ibu baik hati itu juga, keluar dengan raut panik.

"Rendra! Aduh, tolong ini anak saya! Tolong, bawa ke rumah sakit!" Tak lama kemudian teriakan terdengar di telinganya. Disusul oleh beberapa warga yang menggotong korban, menuju ke arah angkutan umum yang sedang mereka naiki.

Benar saja, setelahnya Amanda melihat si ibu tersebut naik angkot kembali dengan tangisan, plus si korban yang di baringkan di bawah kursi.

"Bun, abang takut." Amanda memeluk Azka yang bangun dan ketakutan karena keadaan ramai.

"Nggak apa-apa, kita pindah angkutan."

Ketika Amanda akan turun dari angkutan umum, si ibu itu malah meminta tolong kepadanya untuk menghubungi suaminya. Tentu, ia tidak bisa menolak dan sempat heran, dari sekian banyaknya orang kenapa harus dirinya yang dipintai tolong.

"Tolong sekali ya, neng."

Aku mengangguk, mulai mencari kontak suami ibu tersebut yang ternyata dinamai 'my husband love' Amanda tertawa dalam hati. Romantis sekali mereka ini.

Setelah berhasil menelpon suaminya, Amanda mengembalikan ponsel si ibu dan berkata kalau suaminya akan langsung ke rumah sakit.

"Makasih ya, neng."

"Sama-sama bu." Saat angkutan melaju, Amanda hendak berkata untuk berhenti saja. Tetapi suara penolakan dari korban, entah kenapa familiar dengan seseorang.

"Ma, mama nggak usah lebay sampe bawa Rendra ke rumah sakit. Rendra nggak apa-apa ma!" Responnya tersebut mendapat pelototan dari si ibu.

"Kamu luka Ren, gimana mama nggak panik! Lagian udah mama bilang nggak usah jemput, kamu kan baru aja sembuh dari tipes! Liat, sekarang jadi gini! Untung tadi mama ngenalin kamu!"

Amanda merasa pernah merasakan hal ini alias deja vu.

"Kamu nggak usah lebay ca, aku cuma jatoh dari pohon. Aku nggak apa-apa!"

Sekelebat bayangan masa lalu terlintas diingatan, ketika masa sekolah menengah atas. Hal ini sama apa yang pernah dirasakannya, bahkan suaranya sama persis.

Amanda mendongkak dan mendapati lelaki berpenampilan santai dengan rambut klimis itu, matanya melotot tidak percaya. 

"Rendra?"

Dia menatapku, Amanda tebak dia sudah mengetahui keberadaanya sesaat masuk ke dalam angkutan umum. Namun, sepertinya dia memilih diam.

"Rendra?"

Amanda memanggilnya kembali, dia buang muka. Ibunya malah kelihatan bingung.

"Kalian saling kenal?"

Lagi-lagi, Amanda hanya bisa mengangguk lirih.

"Bang, stop, bang!" Rendra berteriak nekad, angkutan berhenti dengan jalan pincang sebab kaki satunya terkilir. Dia turun mengabaikan teriakan khawatir ibunya.

Setelah hanya ada Amanda dan Azka yang menjadi penumpang. Mulutnya mendesah lelah, setelah sekian lama. Kenapa dalam keadaan seperti ini, Amanda harus  bertemu dengannya lagi?

2: Rendra Hutama Rahardian

"Aw, Ma... Sakit!"

"Apa kata Mama, kamu tuh nggak bisa dibilangin, harusnya mau dibawa ke rumah sakit! Malah ngeyel pengen pulang ke rumah!" omel sang Mama, yang masih panik dengan kejadian di angkot tadi. Meskipun begitu, tangannya telaten membersihkan luka di kaki sang anak memakai kain kasa dan betadine.

"Nanti Mama nyuruh tukang urut, kayaknya kaki kamu terkilir."

Rendra hanya bisa mengangguk, pikirannya masih berada di kejadian itu, terutama pada sosok perempuan yang membawa anak kecil. Amanda Putri Titania, pacar semasa sekolahnya dulu. Rendra tidak menyangka akan bertemu dia kembali, terlebih di kota ini.

"Oiya, kamu kenal perempuan di angkot tadi, Ren? Mama sekilas kayak familiar sama dia, tapi siapa, ya?"

"Dia Amanda, Ma."

Mamanya melotot tidak percaya. "Amanda pacar kamu di Bandung itu? Yang putih, cantik dan ramah?"

Rendra mengangguk, respon mamanya terlalu berlebihan.

"Dia udah menikah?" tanyanya, raut wajahnya berubah jutek. "Tau begitu, Mama nggak sapa dia. Amanda yang hampir buat kamu nggak bisa sekolah di luar negeri. Dia kan ngaku-ngaku hamil anak kamu, bener-bener masih bikin kesel kalau ke-inget itu."

Rendra tersenyum kaku. "Udah, Ma. Nggak usah di bahas lagi."

"Bener! Kamu datang ke sini kan buat lanjutin usaha ayah, jadi pokus aja ke karir kamu. Kita lupain Amanda, oke!"

Lelaki berusia 24 tahun yang baru lulus dari universitas terkemuka di luar negeri itu berdiri, memilih untuk meninggalkan sang Mama dengan alasan ingin beristirahat. Padahal, pikirannya benar-benar kacau. Melihatnya dengan penampilan lusuh, lalu naik angkutan umum, jelas Rendra paham kalau kehidupannya jauh berbeda dari yang dulu.

Rendra yang sudah berada di kamar, mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah sepatu bayi yang dibelinya di luar negeri. Ia membelinya secara random, ada sebuah ketertarikan saat melihat sepatu ini dan dia memilih untuk menyimpannya sebagai sebuah aksesoris atau pajangan.

Tangannya beralih ke sebuah foto berukuran kecil, yang terdapat potret dirinya semasa sekolah menengah atas bersama Amanda. Ya, meskipun sudah hilang kabar selama lima tahun, tetapi terkadang hatinya masih memikirkan perempuan itu.

Rendra jadi berpikir, apa tujuan sebenarnya dia ke sini adalah untuk bertemu Amanda dan menebus semua kesalahannya dulu? Ia yakin, pertemuan tadi juga bukan sebuah kebetulan biasa.

****

Ayah Rendra, Rahardi adalah pengusaha sukses di bidang kuliner. Restauran yang mengusung korean food itu sudah punya cabang di mana-mana. Dengan tema kekinian serta instagram able, membuat tempat makan itu banyak dikunjungi. Tentu, Rendra sebagai penerus harus ikut andil dalam bisnis sang ayah. Meskipun, cita-citanya adalah menjadi seorang sutradara. Menurutnya, pendidikannya di luar negeri yang mengambil studi jurusan perfilman itu sia-sia, karena dari awal ayahnya sudah menuntut Rendra untuk menggeluti bisnisnya.

Baru sekitar tiga hari di kota Jakarta, Rendra sudah ditugaskan untuk menjadi manager di salah satu restoran. Kata, ayahnya Rendra harus bisa meningkatkan penjualan, entah dengan cara mulai membenahi kualitas pelayanan karyawan pada pembeli, meningkatkan promosi dalam bentu diskon atau dengan mengganti tema restoran, yang jelas ayahnya ingin Rendra berhasil menjalankan misi ini. Sebab, restauran yang akan menjadi tempatnya berkera berada di tingkat paling rendah omzet penjualannya dibandingkan, cabang-cabang yang lainnya.

"Selamat pagi, semuanya nama saya Rendra Hutama Rahardi. Saya akan menggantikan Pak Andre, sebagai manager baru kalian," ucap Rendra yang sudah memulai meeting, sebelum restauran di buka.

"Saya harap kita bisa bekerja sama dan membuat restauran ini semakin berkembang. Adapun, beberapa aturan yang sudah saya buat: Jangan ada yang terlambat masuk, apalagi karena alasan yang tidak jelas dan tidak masuk akal. Dilarang ada yang bermain ponsel apalagi saat restauran ramai. Dilarang izin mendadak. Dan, yang terakhir ini bukan peraturan tetapi kewajiban. Setiap karyawan sebisa mungkin, harus melayani pelanggan dengan senang hati. Jika sedang ada masalah, sebaiknya tidak di bawa-bawa ke dalam pekerjaan. Mengerti?"

"Mengerti, Pak."

"Jika saya mendapati komplen apalagi tentang pelayanan, siap-siap mendapat SP." Setelah mengucapkan itu, Rendra menutup meeting dan menyuruh karyawan bersiap.

Namun, tiba-tiba kedatangan seseorang membuat Rendra mengurungkan niatnya untuk kembali ke ruangan-yang memang sudah dipersiapkan khusus manager-tangannya terlipat di dada, tatapannya tajam.

Ia tampak dicegat oleh temannya, mereka berbicara sesuatu. Bukan hanya Rendra yang terkejut melihat wajahnya, tetapi dia juga.

Ini, benar-benar bukan kebetulan! ujarnya dalam hati.

Rendra melirik karyawan lain yang sudah sibuk ke tugas masing-masing. Oke, ia harus profesional.

"Kamu!" tunjuknya pada perempuan itu. "Ikut ke ruangan saya!"

****

Amanda benar-benar sudah terlambat, gegara Azka yang menangis tidak mau di tinggal. Ia kira tidak akan kena marah. Sebab sudah hal biasa, senior-seniornya yang lain sering telat bahkan hampir lewat tiga puluh menit.

Namun, untuk hari ini Amanda kurang update di grup WA, kalau ternyata manager sudah diganti. Dan, yang lebih mengejutkan itu adalah Rendra. Baru kemarin ia bertemu dengan lelaki itu, sekarang dipertemukan kembali.  Huh, Amanda rasanya ingin hilang saja.

"Maaf, Pak. Anak saya menangis minta ikut," ucap Amanda yang sudah berada di ruangan itu, kepalanya menunduk. Bukan karena takut, tetapi terlalu sakit jika harus melihat wajahnya lagi.

"Kenapa kamu kerja di sini?" tanyanya dengan nada tiba-tiba khawatir. "Seharusnya jika punya balita, kamu sebaiknya tidak perlu bekerja. Kasihan anak kamu, Amanda. Dengan siapa dia di rumah? Di mana suamimu? Apa dia tidak bekerja?"

"Itu bukan urusan Bapak, yang terpenting saya tidak akan melakukan hal ini lagi. Saya berharap Pak Rendra, memaafkan saya." Amanda tidak menjawab, lalu hendak melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi, Rendra tidak membiarkan begitu saja, sebab pertanyaannya belum terjawab.

"Amanda, jawab dulu pertanyaan ku!"

"Pak Rendra!" Amanda mencoba untuk menghempaskan tangan Rendra dari lengannya. "Jangan sampai ada yang melihat kita. Anggap, kita tidak saling mengenal, saya mohon. Saya sudah bersuami, Pak. Dan teman-teman saya di sini mengetahuinya. Saya tidak mau sampai ada fitnah."

"Oke." Rendra melepaskan tangannya. "Tapi, jawab pertanyaanku."

"Apa yang ingin bapak ketahui?" ucap Amanda sebenarnya malas berhadapan terlalu lama dengan Rendra.

"Kenapa kamu bekerja?"

"Intinya, setelah kesalahan fatal itu terjadi, kehidupan saya nggak  sebaik apa yang kamu pikirkan."

"Kamu-" Rendra seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya. "Mempertahankannya?"

Amanda kali ini menatap mata Rendra, dia harus berani meskipun sakit. "Untuk apa? Bukankah, kamu sendiri yang bilang untuk membuangnya?"

"Saya permisi."

"Amanda!" teriakan itu diabaikan, Rendra menggeram menyesal. Seharusnya, ya, seharusnya Rendra tidak bertemu dengan keadaan Amanda yang seperti ini. Harusnya perempuan itu menjadi seorang pelukis terkenal, dengan karir cemerlang. Bukankah, jika begini rasa bersalah yang menumpuk di hatinya semakin besar? Rendra bingung, bagaimana cara menebusnya.

***

3 : Kedatangan sang adik

"Mauuuuu motol racing!"

Amanda kelimpungan menghadapi Azka yang menangis karena hanya dapat membeli mobil-mobilan seharga 50 ribu. Sementara motor tersebut seharga 200 ribu. Ia hanya bisa menenangkan Azka dengan usapan di bahu dan meng-iming-iming hal yang lebih indah dari membeli motor mainan itu.

Suatu hal yang sekarang Amanda sesali adalah, tidak tegas pada anaknya. Seharusnya dulu, ia dan suaminya tidak memanjakan Azka, lihat setiap Romi membeli mainan baru, anaknya itu pasti merengek ingin dibelikan. Padahal, minggu lalu Amanda sudah ke mall ini untuk membeli mainan.

"Abang jangan nakal. Abang udah janji lho sama bunda, beli satu aja. Nanti kalau ayah udah pulang, kita beli banyak mainan. Abang boleh beli robot, terus lego, apa lagi ya. Oh, itu beli mobil remot? Gimana? Mau ngga?" Azka mengangkat kepalanya dari cekungan leher. Matanya memerah dan ingusnya meler di baju yang dipakai oleh Amanda.

"Abang maunya motol lacing! ndak mau lobot. Mau motol lacing! Motol lacing!" Azka memukul-mukul muka ibunya hingga kewalahan. Barang yang tadi dibeli Amanda berikan pada Azka.

"Nih, ada mobil keren kaya Romi. Katanya abang mau yang kaya gini, yang abang lebih bagus lho." Amanda mencoba untuk membuat Azka menghentikan tangisnya.

"Ndak mau!"

Amanda memejamkan matanya, ketika mainan tersebut malah di tepis oleh Azka, anak itu  menangis semakin kencang.

Dalam hiruk-pikuk manusia yang berkeliaran di sekeliling tidak ada yang peduli. Mereka nampak biasa saja. Melewati dan sesekali ada yang melirik kasihan.

"Aduh, kak anaknya kenapa?"

Amanda menoleh, dan mendapati gadis lebih muda menggunakan cardigan hitam dan rok abu-abu khas anak SMA itu, memungut mobil mainan yang tergeletak di lantai.

"Makasih ya, nggak apa-apa, kok." Tangannya mengambil alih mainan tersebut.

"Abang, jangan nangis malu tuh diliatin kakak cantik."

Digoda seperti itu, Azka malah semakin meraung. Kemudian memeluk leher Amanda, masih dengan tangisannya walaupun sudah mulai reda.

"Yang, kenapa?"

Amanda terdiam, baru minggu lalu dia bertemu dengan Rendra orang di masalalunya, sekarang  ada suara familiar yang menyapa indera pendengarannya.

"Gilang, liat deh, kakak ini yang ada di foto keluarga kamu kan? Mirip banget,"

"Lho iya, Kak Amanda. Ini beneran kakak?"

Suara itu, suaranya yang sangat Amanda rindukan, tetapi ia memilih menunduk, menahan gelojak rasa sedih dan senang yang bersatu padu.

"Gilang pikir kita nggak bisa ketemu lagi."

***

"Terus perasaan kakak gimana sekarang?" tanya Gilang, setelah Amanda menceritakan suka-duka menikah dengan suaminya.

"Baik-baik aja." Amanda sebenernya malas membicarakan perihal masalah keluarga. Entah, merasa ini sudah tidak terlalu penting untuk dibahas.

Gilang mengangguk pelan, nampak tidak puas dengan jawaban sang kakak.

"Eum, Ris. Kamu bisa nggak ajak Azka main kemana gitu. Aku ada bicara serius sama Kak Manda." Gilang berbicara ke Risti.

"Oke."

Amanda bisa menyimpulkan jika Risti itu anak yang ceria.  Risti membujuk Azka agar mau bermain di Playground. Tentu anak itu mengangguk antusias dan menerima uluran tangan Risti.

Azka memang anak baik, di saat anak lainnya terkadang menangis atau malu-malu bertemu dengan orang asing. Azka bisa cepat berbaur dan menyesuaikan diri, ditambah Risti tampaknya punya cara untuk membuat Azka tertawa.

"Jadi, kenapa kakak bohong sama Gilang dengan mengatakan baik-baik aja?" tanya Gilang seraya mendengus kesal.

"Gilang, Kakak mohon, jangan pedulikan. Kakak cerita sama kamu, bukan berarti kamu harus ikut campur sama kehidupan rumah tangga kakak, karenankakak, Mas Adit dan Azka sudah cukup bahagia hidup di sini." Amanda memang egois. Ia hanya mencoba menutup telinga dari kenyataan pahit tentang suaminya itu.

"Nggak bisa kak! Aku nggak bisa diem aja, saat liat kakak menderita apalagi sampai nggak bisa beli mainan untuk Azka! Sekarang, mana pertanggung jawaban Kak Adit terhadap kakak, kemana dia sekarang? Apa kakak tau?"

"Dia bekerja, Lang, sibuk. Kakak ngerti kok, ini semua pasti untuk keluarganya."

"Kak--" Gilang seperti sulit berkata-kata. "Dari cerita kakak tentang Kak Adit yang nggak pulang hampir sebulan ini, itu tuh patut dicurigai apalagi sampe nggak ngasih kabar!"

"Lang, cukup." Amanda mulai panik, karena beberapa orang di restoran itu menjadikan mereka pusat perhatian karena suara Gilang yang mulai naik satu oktaf.

Gilang menghela napas, mencoba sabar. "Sebenarnya, tiga minggu yang lalu Gilang ketemu Kak Adit, di daerah sekitaran rumah orangtuanya. Saat itu Gilang lagi main ke rumah temen. Gilang tanya, tentang kakak sama dia, tapi dia bilang Kakak ada di Jakarta. Dia di Bandung, cuman lagi nengok keluarganya."

"Gilang sempet minta nomor dan alamat kakak ke Kak Adit, tapi dia nggak ngasih. Yaudah Gilang terpaksa minta ke salah satu keluarga Kak Adit, ternyata di kasih tapi cuman alamatnya...,

.... Tadi Gilang mampir ke kontrakan tapi kakak nggak ada, tanya ke tetangga, katanya kakak ke sini. Gilang sama Risti cari-cari, akhirnya kita ketemu. Maaf, Gilang baru ada waktu sekarang buat ketemu kakak, karena ayah bener-bener membatasi kegiatan Gilang."

Amanda mengangguk paham. Pantas saja adiknya itu jauh-jauh ke Jakarta masih dengan pakaian seragamnya.

"Ouh, jadi Mas Adit ke rumah orangtuanya," balas Amanda dengan tatapan kosong. Ia memainkan sedotan yang berada di gelas. Sekarang dia tahu, kalau lelaki itu ternyata merindukan orangtuanya.

"Kak, apa kakak nggak mau menyusul Kak Adit?"

"Buat apa, Lang?"

"Dia suami kakak, seenggaknya kakak harus minta penjelasan."

"Udahlah, nanti juga pulang. Toh, Mas Adit hanya pulang ke rumah orangtuanya, bukan ke rumah istri barunya," canda Amanda seraya tertawa tetapi terdengar terpaksa.

"Oke, kalau itu keputusan kakak. Gilang akan bantu kakak. Sepulang dari sini, Gilang bakal temuin Kak Adit ke rumah orangtuanya."

"Gausah, Lang. Nanti pasti Mas Adit pulang, kok. Kamu pokus aja sama sekolah. Sekarang udah lulus kan? Mau kuliah di mana?"  tanya Amanda mengalihkan pembicaraan.

Gilang mengerti, Amanda tidak ingin membahasnya lagi. "Oke, sepertinya kakak nggak mau bahas tentang Kak Adit lagi ... Gilang, ambil sekolah tentara, Kak."

"Wah, akhirnya cita-cita ayah bakal terwujud. Dia kan pengen banget kamu jadi tentara, Lang."

"Ya, walaupun itu bertolakbelakang sama apa yang Gilang cita-citakan."

Amanda menepuk bahu adiknya.  Ia tahu persis bagaimana perasaan Gilang, yang penuh tekanan dari ayah. "Semangat, Lang! Cuman kamu yang jadi harapan ayah."

"Oiya, kamu mau nginep?"

Gilang mengangguk. "Iya, Kak. Karena aku izin ke ayah, ada acara khusus kelulusan di salah satu villa teman satu hari dua malam. Pastinya Gilang bakalan nginep di rumah kakak sama Risti."

Amanda mengangguk. "Tapi maaf ya, rumah kakak jelek. Pasti bakal bikin kamu nggak nyaman."

"Nggak apa-apa, Kak."

***

Sesampainnya di rumah, Azka langsung mengeluh pusing dan pegal, di kepala dan di kakinya.

"Abang pengen pijit." Amanda tertawa kecil, melihat aksi Azka yang berselonjoran di soffa yang terdapat di rumah minimalisnya. Sebelumnya, hanya dari mengontrak, di umur Azka berusia dua tahun, suaminya berhasil membeli rumah ini.

"Sini bunda pijit." Amanda hendak duduk di samping Azka, tetapi Gilang buru-buru mengambil posisi dan memegangi kaki kecil Azka.

Azka cemberut. "Om sana!" Mungkin Azka masih marah dengan Gilang yang meledeknya, cengeng karena Azka menangis ketika ditinggal ke toilet.

"Hey, boss kecil. Masih marah sama om? Oke, om punya mainan bagus loh, mau nggak?" tawar Gilang, merubah ekspresi Azka menjadi antusias.

"Mauuuu, om!" Azka menjadi duduk dan bertepuk tangan.

"Besok om beliin, tapi jangan marah sama om!"

"Siap!" Azka menghormat gemas. Membuat Gilang gemas, terlihat dari tangannya yang mulai menggelitiki pinggang Azka, anak itu tertawa kegelian.

Melihat pemandangan itu, Amanda tersenyum tipis, kenangan di rumah bersama Mas Adit kembali menguap di kepala. Mas Adit selalu berlaku seperti itu, ketika gemas dengan Azka. Ah, rasanya rindu ini semakin tak terbendung.

"Lang, jagain dulu Azka yaa. Kakak mau ke dapur dulu."

"Yooo!" sahut Gilang.

Di dapur Amanda mendapati Risti yang tengah memegang ponsel, saat melihat ke arahnya, dia tergesa-gesa mengantongi kembali ponselnya dengan wajah tegang.

"Kenapa, Ris? Santai aja kali, sama kakak. Di sini kamu nggak usah malu-malu anggap aja rumah sendiri. Ya, walaupun rumah kakak emang terbilang kecil. Tapi inshaallah bisa bikin nyaman."

Risti nampak tersenyum dipaksakan, auranya masih tegang. "Eu-m iya kak."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!