Hujan turun dengan lebat membasahi pusat kota. Nara duduk terdiam dengan air mata yang terus mengalir diwajahnya sambil bersandar di kaca jendela rumah sakit.
"Nara." Terdengar suara lelaki paruh baya mendekatinya dengan tenang dan berusaha untuk kuat. "Hari ini kamu sudah boleh pulang, kamu enggak perlu khawatir, ayah akan menggantikan peran papah dan Tante kamu yang akan menjadi mamah kamu jangan bersedih terus, kasian mamah papah kamu pasti sedih melihat kamu seperti ini." Ujar ayah dengan memeluk nara yang bersedih.
Setelah menyelesaikan administrasi, nara pulang dengan ayahnya, sepanjang perjalan nara hanya diam melihat luar jendela, sesampai dirumah ayah membantu nara keluar dari mobil.
"Hati hati." Ayah membantu Nara dengan penuh kasih sayang.
"Mulai sekarang kamu tinggal dengan ayah, apapun keperluan kamu katakan ke ayah." Pinta ayah dengan tersenyum.
Nara hanya menganggukkan kepalanya, "Bintang, antarkan kakak kamu ke kamar." Titah ayah kepada putrinya.
Bintang meraih tangan Nara dengan tersenyum, "Oke yah" dengan penuh semangat dan ceria.
Nara mengikuti bintang yang mengantarkan dirinya ke kamar namun dirinya menyadari dengan kehadirannya membuat tantenya kesal dan tidak suka.
"kenapa dia harus tinggal bareng kita?" Tanya tante sambil melirik Nara dengan kesal.
"Bagaimanapun juga dia sudah seperti anakku juga, nara anak kakakku darah daging kakakku dia juga sedarah dengan ku, hanya kita keluarga dia satu satunya" Ungkap ayah berusaha untuk menjelaskan agar istrinya bisa mengerti dan menerima Nara.
"Tapi mas kamu harus minta pendapat aku dulu dong, jangan sesukamu saja." Ujar tante yang tidak menerima penjelasan ayah.
"Suka atau tidak, nara tetap akan tinggal dengan kita!" Tegas ayah sambil pergi meninggalkan istrinya yang sedang kesal dengan keputusannya.
Dengan jadwal dan pekerjaan yang padat membuat huzaifi harus lembur setiap hari dan tidak ada waktu bersantai seperti laki-laki pada umumnya, "Sekretaris hans, bagaimana dengan keadaan adetra disekolah?" Huzaifi bertanya dengan khawatir terhadap keadaan adiknya.
"Untuk saat ini nona adetra baik-baik saja, anda mengkhawatirkannya kenapa tidak melihatnya ke sekolahnya?" Sekretaris Hans menyarankannya agar atasannya tidak terlalu gila dengan pekerjaannya.
Huzaifi menghentikan pekerjaannya sesaat lalu menatap sekretaris Hans dengan wajah yang menakutkan. "Kamu tahu pekerjaan ku begitu padat, untuk pacaran saja sulit," ucap Huzaifi sambil melanjutkan pekerjaannya
Mendengar perkataan atasannya tanpa sadar membuat sekretaris hans tertawa lepas. "Berani kamu menertawakan aku?" Huzaifi bertanya dengan tatapan tajam namun sekretaris hans hanya tersenyum melihat atasannya.
"Jika boleh memberi saran sebaiknya anda merelakan nona tiara, bagaimanapun juga bapak harus melanjutkan hidup." Ujar sekretaris hans memberikan saran
"Hah...... sudah saatnya kamu pulang, biasanya kamu semangat untuk pulang." Ucap Huzaifi mengalihkan pembicaraan sambil mengambil foto diatas mejanya.
"Pak, memang sulit untuk merelakan orang yang kita cintai, bagaimanapun juga anda harus melihat kedepannya." Sekretaris Hans kembali mencoba memberikan sarannya.
"Ya aku mengerti pulanglah, kamu pasti lelah." Titah Huzaifi yang masih menatap sebuah foto.
"Terimakasih pak, saya permisi." Sekretaris Hans pergi meninggalkan atasannya yang masih di penuhi bayangan tiara yang telah pernah mengisi hatinya.
Keesokan harinya nara sudah siap untuk satu sekolah dengan bintang, semua terasa baik -baik saja namun tatapan mata tidak suka tantenya membuat nara harus kuat.
"Nara, sarapan dulu." Pinta ayah sambil menyeruput kopinya.
"Nara sarapan disekolah aja yah, takut telat hari inikan nara siswa baru." Sahut Nara bergegas pergi.
"ya sudah Bareng ayah aja." Pinta ayah kembali dan menyeruput kopi lalu bangkit dari tempat duduknya.
"Bintang juga ikut," Ujar bintang dengan tergesa-gesa.
"Kamu bareng bunda aja, habiskan sarapan kamu dulu." Ucap ayah sambil berjalan menuju nara.
"Apa salahnya sih mas, lagian bintang juga uda selesai sarapan, mereka juga satu sekolah, apa salahnya kalau bareng, anak kandung kamu itu bintang!" Geram Tante terhadap ayah, mendengar ucapan Tante membuat Nara semakin tertekan dengan sikap tantenya, tak tahan dengan semuanya nara bergegas keluar rumah dan mencari taksi.
"Kamu keterlaluan, sudah aku katakan dia sudah seperti anakku juga!" Ujar ayah menegaskan.
"Bintang aja nggak pernah kamu antar sekolah, tapi nara kamu antar sekolah, sebenarnya anak kamu siapa sih?" cecar tante dengan kesal.
"Sudahlah ayo bintang ayah antar kamu ke sekolah," ucap ayah menahan amarah.
Suasana kelas sangat ricuh membuat nara tidak yakin untuk berinteraksi dengan baik terhadap teman satu kelasnya.
"Hari ini kita kedatangan teman baru, perkenalkan diri kamu," pinta gurunya.
"Nama saya nara, salam kenal semuanya." Sapa Nara.
"Untuk semuanya bantu nara belajar dengan baik, kamu bisa duduk dengan adetra," Titah gurunya kemudian nara berjalan menuju kursi yang ditunjuk gurunya.
Sepanjang pelajaran nara terus memperhatikan gurunya dengan serius karena dirinya pindah disaat kelas XII semester dua sehingga membuat nara harus ekstra belajar untuk menggapai cita-citanya, tanpa sadar jam belajar berakhir, semua murid berduyun-duyun menuju kantin.
"Hei adetra, ke kantin dong belikan kita makanan, kita lapar nih." Pinta seorang siswi.
"Baiklah mana uangnya?" Tanya Adetra dengan wajah polos.
"Ya pakai uang kamu dong, bukannya kamu orang kaya?" Ucap siswa tersebut dengan nada tinggi.
"Baiklah," Jawab Adetra dengan pasrah begitu saja.
"Tunggu." Nara menahan tangan adetra.
"Bukannya kalian punya kaki? kenapa nggak kalian beli sendiri?" Cecar Nara dengan tatapan tajam dan dingin.
"Eh kamu anak baru, nggak usah sok hebat deh, kamu pindah di akhir semester pasti karena punya banyak masalah." Ujar siswa tersebut tertawa sinis.
"Kalau iya kenapa? kalau kamu nggak punya uang nih aku kasih." Nara melempar uang ke wajah mereka lalu menarik tangan adetra pergi dari kelas.
Nara membawa adetra ketaman sekolah dan duduk bersantai disana. "Terimakasih kamu udah bantu aku " Ujar Adetra dengan gemetar.
"Lain kali kamu harus lawan mereka, jika kamu diam saja akan membuat mereka senang," Ucap Nara dengan nada datar.
"Apa kamu sudah makan? aku bawa bekal, mau makan bersama?" Adetra menawarkan bekalnya dengan sedikit ragu.
"Enggak perlu, kamu makan saja" Tolak Nara dengan menahan lapar.
Kriuuuuuuk, terdengar suara perut nara tidak bisa berbohong, "enggak papa kamu makan saja, sepertinya kamu nggak sarapan." Menyodorkan makanannya untuk diberikan kepada nara, melihat ketulusan adetra, nara memakan bekal yang diberikan adetra, satu suap masuk dengan perlahan, sesaat nara terdiam, rasa makanan tersebut seperti masakan mamahnya.
"Gimana? enakkan? ini masakan kakakku, dia pandai memasak apapun, kalau kamu suka besok aku bawakan lagi." Ujar Adetra dengan ceria, melihat sisi teman barunya yang berbeda Nara merasa bahwa ia terlihat baik dan ceria namun karena kepolosannya membuat teman sekelasnya membuat dirinya murung ketakutan.
"Terimakasih bekalnya" Jawab Nara datar
"Aku senang karena kamu suka." kata Adetra dengan tersenyum bahagia.
"Kamu terlihat berbeda dengan adetra yang dikelas tadi." tuturnya ketika melihat sisi Adetra yang berbeda.
"Ya karena aku terlalu takut, mereka sangat kasar dan selalu menjahili aku." Jawab Adetra dengan sedih.
"Kamu harus melawannya jangan diam saja." Titah Nara.
"Walaupun kamu terlihat dingin dan kaku tapi kamu sangat hangat." Ucap Adetra dengan ceria, Nara menatap temannya dengan seksama, dulu dirinya seperti dia yang selalu tersenyum dan tertawa tanpa beban, namun kini untuk tersenyum saja sulit baginya.
"Yei guru pada rapat kita boleh pulang" Teriakan seluruh murid dengan bahagia.
"Kamu langsung pulang ra?" Tanya Adetra sambil memainkan handphonenya.
"Enggak tau" Jawab Nara dengan datar
"Kalau gitu ikut aku yuk." Ajaknya sambil menarik tangan nara membawanya untuk jalan-jalan ke Mal SKA.
"Foto yuk." Adetra mengajak nara untuk foto bareng sedangkan Nara hanya pasrah mengikuti Adetra.
"Senyum dong." pintanya. Untuk pertama kalinya nara berfoto tersenyum dengan orang yang baru dikenalnya semenjak kepergian kedua orang tuanya.
"Wah bagus banget fotonya." Puji Adetra melihat fotonya namun Nara hanya tersenyum tipis melihat foto mereka berdua.
"Oh iya boleh minta nomor telepon kamu nggak?" Ungkapnya dengan penuh harapan, tanpa ragu nara memberikan nomor telponnya.
"Udah ku kirim di whatsapp ya." Ujar Adetra memberi tahu bahwa foto mereka telah dikirim di wahstapp dengan tersenyum.
"Oh iya kamu kelahiran tahun berapa? aku tahun 2006,karena aku paling kecil karena itu aku selalu dibully." Ungkap Adetra dengan perasaan sedih.
"Aku 2004." Jawab Nara dengan dingin.
"Aku udah menduga, bolehkah aku memanggil kakak?" Tanya Adetra berharap dengan tersenyum.
"Kenapa?" Tanya Nara balik dengan ekspresi keberatan.
"Karena aku ingin kamu jadi kakak Perempuanku, aku nggak akan menyulitkan kamu, jika nggak boleh nggak papa." Dengan cemberut.
"Terserah kamu aja." Ujar Nara dengan pasrah.
"Serius? terimakasih kak." Adetra memeluk nara dengan bahagia, belum pernah merasakan kebahagiaan yang telah pergi kini datang sedikit demi sedikit untuknya. Nara membalas pelukan adetra untuk pertama kali baginya dengan teman sekelas.
Seperti biasa huzaifi sibuk dengan pekerjaan yang padat namun tetap memprioritaskan adiknya yang mengirimkan pesan kepadanya.
"Mulai sekarang kakak nggak perlu khawatir lagi, karena aku udah punya teman baru, namanya nara dia baik banget ke aku, aku kirim fotonya ya. " Huzaifi melihat foto adiknya yang tersenyum bahagia dengan teman barunya, karena usianya yang lebih muda dikelasnya membuat teman sekelasnya sesuka hati untuk menindasnya.
"Sekretaris hans cari tahu tentang nara teman baru adetra, laporkan semua yang menyangkut dengannya, jangan sampai ada yang terlewat sedikitpun." Ujarnya dengan tegas dan dingin.
"Baik pak."
"Lakukan sekarang." Titah Huzaifi meminta untuk segera dilakukan.
"Baik pak saya permisi dulu." Pamit sekretaris Hans namun Huzaifi hanya menggerakkan jari telunjuk seolah mengatakan untuk lakukan secepatnya.
Jam menunjukkan jam dua siang, sudah saatnya jam pulang namun nara enggan untuk pulang, jika dirinya tidak pulang ayahnya pasti khawatir kepadanya, mau atau tidak dia harus pulang demi ayahnya yang telah tulus menyayanginya.
"Nara kamu sudah pulang nak?" Ayah bertanya sembari menyambut Nara yang baru pulang.
"Assalamualaikum yah." Sapa Nara mengucap salam sambil mencium tangan ayah.
"Wa'alaikum salam sayang, kamu sudah makan siang?" Jawab ayah dengan penuh perhatian.
"Udah yah bareng temen, ayah nara masuk kamar dulu." Jawab Nara sambil pamit untuk istirahat kekamarnya.
"Ya sudah." Nara hanya tersenyum tipis didepan ayah.
"Enak ya makan diluar bareng temen baru." Sindir tantenya dengan sinis akan tetapi nara hanya diam tidak memperdulikan perkataan tantenya yang menyakiti hatinya.
"Kamu kenapa seperti itu kepada nara? memangnya nara salah apa ke kamu? sampai kamu membencinya?" Tegur ayah dengan sedikit lembut.
"Ya karena kamu lah, siapa lagi yang nggak peka selain kamu, denger ya mas, kamu tuh terlalu perhatian ke nara, nggak pernah sejarahnya kamu nganter anak sekolah, apa lagi nanyain udah makan apa belum, nggak pernah kamu perhatian seperti itu ke bintang nggak pernah sama sekali!" Gerutu tante dengan penuh amarah, belum sempat suaminya menjelaskan ia langsung pergi begitu saja.
Mendengar pertengkaran ayahnya membuat nara semakin ingin pergi dari rumah tanpa ada yang tau oleh siapapun. Untuk mengatasi kesedihannya nara memutuskan untuk belajar mengejar pelajaran yang tertinggal.
Berusaha untuk menggapai cita-citanya dan berusaha mencari cara untuk segera mendapatkan tujuan hidup, tanpa sadar jam sudah menunjukkan untuk makan malam.
"Nara, sudah waktunya makan malam, ayo makan dulu." Pinta ayah sambil mengetuk pintu kamar.
"Nara sudah makan yah, ayah makan aja, nara mau istirahat setelah sholat isya." Ujar Nara dari dalam kamar.
"Beneran kamu sudah makan?" Tanya ayah dengan khawatir.
"Iya yah, nara uda makan kok." Jawab Nara meyakinkan ayah walaupun sebenarnya dirinya sedang menahan lapar, nara tetap menahan laparnya karena tidak ingin ayah terus memberikan kasih sayangnya kepada dirinya saja, setelah selesai sholat isya nara memutuskan untuk tidur.
"Kakak tumben pulang, biasanya kakak selalu pulang ke rumah kakak sendiri." Ujar Adetra dengan mencibir, huzaifi hanya diam tidak menghiraukan cibiran adiknya.
"Kak, menurut kakak teman baru aku gimana? cantik kan? dia tuh baik banget mau bantu aku yang lagi ditindas, padahal dia anak baru di sekolah tapi dia nggak takut dengan mereka" Adetra terus memuji nara.
"Bagus kalau ada teman yang sebaik itu di sekolah kamu. " Jawab Huzaifi dingin lalu pergi begitu saja tanpa ada reaksi yang khusus.
"Dasar kulkas sepuluh pintu, pantes aja nggak ada pengganti kak Tiara." Teriak Adetra kesal. Huzaifi menghentikan langkah kakinya di depan pintu kamar sambil melihat Adiknya dari kejauhan.
"Setidaknya aku bisa setia untuk satu orang yang aku cintai." Ucap Huzaifi sedih. Walaupun tidak terdengar oleh adiknya akan tetapi ia memahami begitu dalam rasa luka dan kehilangan yang simpan oleh huzaifi, walau hanya dengan melihat sikap dingin dan tegas kakaknya.
Keesokan harinya nara sengaja terlambat keluar dari kamar agar ayahnya tidak menunggunya, setelah memastikan ayah telah berangkat kerja nara keluar dari kamar bersiap untuk berangkat sekolah.
"Nara." Tante memanggilnya dari kejauhan, sesaat nara menghentikan langkahnya.
"Nanti siang datang ke kafe seni, temui kenalan tante untuk membicarakan perjodohan kalian!" Titah tantenya tanpa basa-basi. Sesaat nara terdiam membisu ketika mendengar tantenya ingin dirinya sesegera mungkin untuk keluar dari rumah tersebut dengan cara perjodohan.
"Bunda, kak nara masih sekolah, lagian ayah pasti marah besar." Ujar bintang berusaha untuk membantu.
"Jangan sampai ayah tau dong, kalau ayah tau liat aja nanti, tante nggak akan tinggal diam!" Ancam tante dengan tatapan mata yang menakutkan.
"Kak, jangan pergi temui laki laki itu, kakak harus selesai sekolah dulu." Rengek bintang memohon kepada Nara
"Aku akan datang, tante tenang aja." Kata Nara lalu pergi begitu saja.
Sekretaris Hans menghampiri atasannya yang sedang bergelut dengan kesibukannya yang tiada henti.
"Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang nara?" Tanya Huzaifi ketika melihat sekretaris Hans yang datang menemuinya.
"Sudah saya terima semua informasi tentang nara, nona nara adalah putri tunggal Suparman pemilik perusahaan A yang memegang saham terbesar di perusahaan kita dan kedua orang tuanya meninggal ketika mereka kecelakaan beberapa waktu lalu, saat ini nona nara tinggal dengan tuan suherman yang merupakan adik dari tuan suparman, namun istri beliau tidak begitu menyukai nona nara karena suaminya terlalu memberikan kasih sayangnya kepada nara." Sekretaris Hans menjelaskan sedetail mungkin tentang Nara dan memberikan profil Nara kepada atasannya tersebut, huzaifi melihat profil kehidupan nara sebelumnya ketika bersama kedua orang tua disaat semasa hidupnya.
"Akan tetapi." Sekretaris hans diam sejenak.
"Ada apa?" Tanya Huzaifi dengan penasaran.
"Karena kasih sayang pak suherman yang berbeda untuk anak kandungnya membuat istrinya semakin membenci nona nara, sehingga menjodohkan nara dengan pria yang tidak baik dan suka berjudi " Jelas sekretaris Hans kembali.
"Bagaimana bisa menjodohkan anak yang masih sekolah?" Huzaifi bertanya dengan kesal.
"Ini yang saya dapatkan dari orang suruhan kita." Ujar sekretaris Hans
Huzaifi berfikir sejenak untuk membantu dan menguntungkan juga untuk dirinya sehingga tidak ada yang dirugikan satu sama lain.
.
"Dimana dia akan menemui pria itu?" Tanya Huzaifi sembari menyelesaikan pekerjaannya.
"Di Kafe seni pak." Jawab sekretaris Hans.
"Persiapkan semua untuk menemui nara, hentikan pria itu jangan sampai pria itu menemui nara!" Perintah Huzaifi dengan tegas.
"Baik pak." Jawab sekretaris Hans lalu pergi dari ruangan Huzaifi, dengan sedih Huzaifi kembali melihat foto nara dengan adetra yang terlihat berbeda di handphonenya.
"Maafkan aku tiara, aku harus melakukan ini untuk adetra, selain kamu hanya nara yang bisa membantu adetra disaat kesulitan." Ujar Huzaifi mengambil foto di atas meja sembari mengusap foto tiara.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, nara ragu untuk menemui pria pilihan tantenya, namun jika tidak melihatnya dahulu kesempatan untuk keluar dari rumah itu akan sulit, setelah sekian lama menimbang nara akhirnya tetap datang ke kafe seni.
"Nara." Seseorang memanggil dengan dingin dari kejauhan, terlihat berbeda dengan pikirannya, orang yang akan bertemu dengannya pria dingin dan kaku namun sangat tampan, nara menghampiri pria tersebut.
"Silahkan duduk." Titah pria tersebut, tanpa ragu nara duduk dihadapan pria dingin tersebut.
"Langsung saja, tanpa basa-basi, nama saya huzaifi." Memberikan kartu namanya dan meletakkannya diatas meja.
"Untuk tujuan saya datang menemui kamu untuk nikah kontrak." Sambungnya kembali. Nara terdiam sejenak mendengar perkataan huzaifi.
"Apa untungnya untuk saya?" Nara bertanya sembari berusaha untuk kuat dan tenang.
"Tentu kamu akan keluar dari rumah itu, bukankah itu yang kamu inginkan?" Jawab Huzaifi tenang dan dingin. Nara terkejut dan matanya terbelalak mendengar perkataan pria dihadapannya bagaimana mungkin ia tau tujuan yang diharapkannya, nara berusaha untuk berfikir sejenak.
"Bagaimana anda tau?" Tanya Nara dengan penasaran.
"Kamu tidak perlu tahu saya tahu dari mana yang jelas ini sama-sama menguntungkan untuk kita berdua bukan?." Jelas Huzaifi dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Tapi saya memiliki syarat!" Pinta Nara.
"Katakan." Ucap Huzaifi santai.
"Pertama, saya sedang sekolah dan butuh biaya sekolah, anda harus selesaikan itu hingga saya kuliah, kedua saya tidak ingin diatur kebebasan saya dan jangan ikut campur urusan pribadi saya." Pinta Nara menjelaskan semua persyaratan darinya. Huzaifi hanya menganggukkan kepalanya untuk setuju.
"Tidak masalah, syarat yang saya ajukan pertama, jangan sampai ada yang mengetahui pernikahan ini, teman sekolah atau teman apapun itu, kedua, kamar kita terpisah jangan sesekali kamu akan masuk ke kamar saya, terakhir jangan pernah berharap saya akan jatuh cinta dengan kamu! ingat ikuti dengan baik! jika kamu menemukan pria impian kamu, kita bisa mengurus surat perceraian." Huzaifi menjelaskan semua persyaratan darinya dengan tatapan mata yang tegas. Demi mendapatkan ketenangan nara menyetujui semua syarat yang diajukan huzaifi, walaupun sakit saat mendengar kata perceraian
"Jika kamu ingin segera keluar dari rumah itu, kita susun rencana dahulu, pertama saya harus bertemu dengan orang tua kamu maksud saya ayah kamu, bagaimanapun juga saya harus terlihat baik agar mendapatkan restu darinya." Ujar Huzaifi sambil memainkan handphonenya.
"Itu aku yang akan mengurusnya." Ucap Nara.
"Baiklah, jika begitu pembicaraan kita selesai." Ujar Huzaifi sambil beranjak dari tempat duduknya.
Nara tidak yakin dengan rencana ini, jika dia diam saja tantenya akan melakukan segala cara untuk dirinya pergi dari rumah itu.
"kamu tidak pulang? saya akan mengantar anda pulang." Huzaifi menawarkan tumpangan dengan sikap dinginnya.
"Tidak terimakasih." Jawab nara menolaknya dengan dingin.
"Baiklah saya tidak akan menawarkan untuk kedua kalinya." Ucap Huzaifi lalu pergi begitu saja tanpa ada rasa simpati, nara hanya bisa pasrah dengan keadaan yang sedang dihadapinya.
Nara terus menerus larut dalam keadaan yang memaksa dirinya harus kuat menghadapi segala tantangan yang dihadapi olehnya, dari kejauhan huzaifi melihat nara yang duduk dengan meratapi nasibnya sendiri yang akan menjadi istri kontraknya.
"Sepertinya dia sedang tertekan dengan keadaan yang memaksa dirinya untuk tetap tenang dan berusaha untuk kuat, walaupun sebenarnya dirinya sedang mencari perlindungan." Ujar sekretaris Hans dengan kasihan.
"Sekretaris hans, kamu bisa membaca pikiran orang ya? seolah kamu sudah mengetahui yang di pikirannya." Ejek Huzaifi dengan kesal.
"Maaf pak saya mungkin lancang, bukan kah sudah terlihat dari wajahnya yang terlihat sedang berusaha untuk bangkit dari kegelapan yang menyelimuti dirinya, seperti anda yang tidak bisa merelakan nona tiara". Ungkap sekretaris Hans sedikit menyindir.
Setelah mendengar perkataan sekretaris hans, membuat huzaifi terdiam dan berfikir harus melakukan segala cara untuk membuat nara bisa aman bersama dengannya.
Setelah menenangkan pikirannya, nara mendapatkan pesan dari ayahnya bahwa ayahnya akan keluar kota untuk bisnisnya di kantor cabang, nara sesekali menyeka air matanya yang akan tumpah.
Nara beranjak dari kursinya untuk pulang sebelum tantenya mengomelinya, ketika nara baru keluar dari kafe, mobil hitam berhenti di hadapannya.
"Ayo naik, saya akan mengantar anda pulang." Titah huzaifi tanpa melihat lawan bicaranya.
"Tidak perlu saya bisa pulang dengan taksi." Sahut Nara menolak ajakan Huzaifi. Namun huzaifi tetap membukakan pintu mobil untuk nara karena dirinya tidak suka ada penolakan.
"Ayo naik, tidak mudah saya membukakan pintu mobil untuk orang lain." Ujarnya.
"Saya tidak meminta anda untuk membuka pintu mobil untuk saya." Ungkap Nara tetap menolak, Huzaifi semakin kesal namun tetap menahan amarahnya, sekretaris hans hanya tertawa pelan melihat tingkah atasannya.
"Ayo cepat! banyak orang yang memperhatikan kita."Pinta Huzaifi sambil menarik tangan nara untuk masuk ke mobil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!