Surya mencoba sekali lagi mencubit pahanya.
“Auww!.” pekiknya tertahan. syukurlah ini bukan mimpi.
Terus terang saja matanya masih belum mempercayai apa yang sedang dilihatnya sekarang. jempol kanannya menggosok berulang kali tulisan yang hampir membuat jantungnya copot itu.
“Ehem … Jika anda menggosoknya terlalu keras saya khawatir kertasnya akan rusak.” Suara bariton tegas di depannya berhasil membuat Surya menghentikan aksinya.
Pria berpenampilan gagah di depan Surya itu adalah Alfred Gray. Seorang pengacara yang ternyata disewa oleh seorang miliarder dari US untuk mengurusi wasiat terakhirnya.
“Maaf, Pak. Saya masih belum bisa percaya apa yang saya lihat ini. ini benar jumlah nolnya segini?” Tanya Surya penasaran.
“Saya sudah memeriksanya berulang kali dan itu sesuai dengan apa yang diwasiatkan oleh Tuan Frederick.” Si Pengacara memandang Surya dengan tatapan dingin karena merasa pemuda berambut hitam di depannya itu seperti meremehkan keahliannya.
Surya yang merasa pandangan Mr. Alfred berubah terhadapnya segera mengklarifikasi ucapannya. “Maaf bukan saya meragukan kinerja anda. Saya hanya ragu ada kesalahan penulisan.”
“Saya tekankan sekali lagi tidak ada kesalahan di sana.”
“Da … Dan uang ini semua untuk saya?” Gagap Surya.
Mr. Alfred hanya menganggukkan kepalanya sesaat. Jika orang tak memperhatikan dengan benar, anggukan itu mungkin tidak akan terlihat.
Pandangan pemuda tujuh belas tahun kembali tertuju pada dokumen di tangannya. Dalam dokumen itu tertulis jelas bahwa seorang pria bernama Frederick Langdon, entah siapapun itu, telah mewasiatkan untuk memberikan sepuluh persen dari seluruh harta kekayaannya untuk siapa saja yang menghadiri pemakamannya.
Hanya kebetulan saja saat itu Surya yang baru saja mengunjungi makam kedua orang tuanya berteduh di sebuah mausoleum. dan beberapa saat kemudian sebuah ambulans berhenti di depan bangunan itu. Saat itulah kali pertama Surya bertemu dengan Alfred Gray.
Surya sama sekali tak menyangka jika pertemuan tidak sengaja itu akan membuatnya menjadi seorang miliarder. Hal ini karena hanya Surya saja yang menghadiri pemakaman orang itu.
Jumlah uang yang diwariskan pada dirinya adalah lima belas milyar. Jumlah yang sangat fantastis. tetapi bukan itu yang membuat matanya semakin terbelalak. Satuannya bukan IDR tapi USD. Ia menghitungnya dalam hati dan mendapati jumlahnya dikonversi ke rupiah menjadi sekitar dua ratus triliun lebih.
Jika jumlah ini sampai bocor ke publik, dia bisa masuk dalam jajaran sepuluh orang terkaya di Indonesia.
Beberapa menit yang lalu ia hanya seorang pemuda biasa yang sedang mengkhawatirkan pendidikannya yang bisa putus kapan saja karena kurangnya biaya. Tanpa kedua orang tuanya, tak ada yang mau mengasuh dan menanggung biayanya. Meskipun masih ada keluarga dari ibu dan ayahnya, mereka tidak ada yang mau menampung Surya.
Sebelum masuk ruang konseling ini Surya hanya punya uang seratus dua puluh lima ribu rupiah sebagai bekalnya untuk bisa bertahan selama seminggu kedepan, Itu pun ia harus berhemat dan segera menemukan pekerjaan yang menghasilkan uang.
Kini dalam sekejap mata ia bisa masuk dalam jajaran sepuluh orang terkaya di Indonesia dengan aset lima belas milyar USD.
“Setelah anda menandatangani berkas ini, uang tersebut akan segera ditransfer ke rekening anda secara bertahap hingga minggu depan. selama itu mohon anda jangan sekalipun mengecek rekening anda. Saya akan menghubungi anda setelah proses transfer selesai.”
“Kenapa harus menunggu selama itu, Sir?” Tanya Surya penasaran.
“Panggil saja saya Alfred. Masalah itu karena pihak kami akan mengatur transfer secara bertahap ke ratusan rekening yang kesemuanya akan bermuara di rekening anda. Hal ini untuk menghilangkan jejak transfer agar tidak bisa dilacak oleh orang - orang tertentu.”
“Apakah uang ini uang yang berbahaya?” Mendadak Surya menjadi enggan menandatangani dokumen itu. Timbul rasa takut di hatinya. Apa gunanya memiliki banyak uang tapi harus hidup dalam bayang - bayang ketakutan?
“Anda tenang saja semua uang ini murni hasil kerja keras dari Tuan Frederick. Hanya saja ada beberapa orang yang masih mengincar harta beliau, oleh karena itu saya membuat proses ini untuk menghilangkan jejaknya.”
Surya masih belum bisa mengendalikan rasa takutnya. Meskipun perkataan Alfred sedikit bisa membuatnya tenang tangannya masih berat untuk menggoreskan tanda tangannya.
Pikirannya masih berkutat seputar pembagian uang warisan ini. Masih menjadi tanda tanya besar kenapa pemakaman orang sekaya ini tak ada pelayat sama sekali. Apakah orang ini tak memiliki keluarga? teman? kerabat?
Ia benar - benar tidak mengerti jalan pikiran para orang kaya. Tingkah mereka kadang sangat aneh dan nyentrik.
Banyak orang kaya yang pura-pura jadi ojol, ada yang hanya jadi pelancong. Ada yang pura-pura jadi orang miskin untuk memberi pelajaran pada orang yang semena - mena. Surya sudah sering mendengar hal yang semacam itu.
Tetapi orang yang membagikan kekayaannya secara acak seperti ini, baru pertama kali ia temui. Ditambah lagi Frederick Langdon adalah orang berkewarganegaraan Amerika tetapi ia ingin dimakamkan di Indonesia. Pasti ada sesuatu yang sangat besar dibalik ini semua.
Kemungkinan besar ada permasalahan tertentu sehingga orang ini melarang atau menghalangi keluarganya ikut serta dalam pemakaman. Apakah sembilan puluh persen hartanya yang lain digunakan untuk hal ini.
Sepertinya Albert memperhatikan gerakan tangan Surya yang terhenti di atas kolom tanda tangan. Pengacara paruh baya itu bisa merasakan jika pikiran bekerja dengan sangat cepat entah apa yang dipikirkan pemuda itu.
“Setelah anda menandatangani dokumen ini kontrak kerja sama saya dengan Tuan Frederick secara otomatis akan berakhir. Selanjutnya kita tidak akan bertemu lagi dan saya menjamin dengan segala kemampuan saya tidak ada yang akan curiga semua uang ini masuk ke rekening anda.”
Surya mendongak ke arah Alfred. Pengacara ini mampu memahami kegundahannya. Seulas senyum terukir di wajah pemuda itu.
Tangannya dengan gesit menggoreskan tinta pada kolom tanda tangan. Namun sepertinya baru separuh jalan goresannya berhenti.
“Pak Alfred Sebelum saya menuntaskan tanda tangan saya dan mengakhiri tugas anda, izinkan saya menanyakan hal ini pada anda. Jika seandainya anda yang menerima uang ini hal apa yang akan anda lakukan?”
Alfred segera mengubah penilaiannya terhadap pemuda di depannya. Pada umumnya seseorang akan menerima tanpa bertanya apapun jika mendapat uang sebanyak ini. Apalagi jika dia masih remaja. Kebanyakan dari mereka akan berpikir bagaimana menghabiskan uang sebanyak ini.
Pemuda ini jelas bertanya padanya dari sudut pandang seorang pengacara yang sudah sering berhubungan dengan orang kaya. Jika itu orang kebanyakan pasti jawaban yang didapat adalah membeli kemewahan. Tapi sudah pasti berbeda jika yang ditanya adalah seorang pengacara profesional yang sudah terbiasa menangani uang dengan jumlah besar.
“Jika anda bertanya pada saya tentang apa yang akan saya lakukan jika saya yang menerima uang ini, maka jawaban saya adalah …”
Kepala Surya masih terasa pening. Penjelasan dari Alfred beberapa menit yang lalu benar-benar membuat otaknya berasap. Sepertinya makan siangnya kali ini adalah otak-otak asap.
Berpikir tentang makan siang, tiba-tiba perutnya berontak ingin diisi. Ia segera mengarahkan langkahnya ke kantin karena kebetulan juga sudah jam istirahat.
Ia segera menuju ke warung paling pojok karena menunya termasuk yang paling marah. Ia sengaja melebihkan jumlah nasinya yang memang digratiskan di warung ini. Meskipun demikian Surya tetap mengambil dalam batas wajar.
Dalam sekejap nasi telah diguyur kuah rawon ditambah lauk tahu dan kerupuk udang. Menu ini Surya cukup membayar sepuluh ribu rupiah saja.
“Tiap hari rawon terus nggak bosen tuh anak?”
“Biasalah itu orang miskin yang penting makan.”
“Kok bisa ya ada anak miskin bisa masuk sekolah ini?”
“Namanya juga sekolah negeri mau kaya mau miskin ya bisa aja masuk.”
“Denger-denger biar miskin gitu dia selalu dapat juara umum lho.”
“Sering dapat juara kalo nggak punya koneksi dan duit nggak bakalan sukses.”
Begitulah kasak-kusuk yang Surya dengar sepanjang perjalanannya ke meja. Meski sudah terbiasa dengan cemoohan mereka tapi tidak bisa dipungkiri jika hatinya juga bisa sakit.
Surya duduk tanpa menghiraukan suara sumbang yang mengiringi acara makannya. Ia dengan lahap menyantap rawon tanpa daging didepannya.
Acara makannya baru setengah jalan dan makanan di piringnya masih setengah penuh, tiba - tiba ada sekumpulan bayangan yang menutupi mejanya. Nampaknya ada beberapa orang kurang puas hanya dengan berbicara di belakangnya dan memutuskan untuk menghadapinya langsung.
“Pantes dari tadi gue nyium bau aneh dari sini. ternyata ada ada bau ini.” suara cempreng Sania menggema di seantero kantin. Suara “indah”-nya berhasil menarik perhatian seluruh pengunjung kantin.
“Emang ada bau apa, San?” Tanya Yeni yang masih satu geng dengan Sania.
“Bau kemiskinan!” Ketus Sania dan disambut oleh tawa seisi kantin.
Meskipun nafsu makannya raib seketika sejak kedatangan empat kuntilanak ini. Surya masih tetap berusaha menelan sarapan, makan siang dan bisa jadi makan malamnya ini. Sudah terlanjur dibayar tak boleh disia-siakan.
Melihat kehadirannya sama sekali tak diindahkan oleh Surya, membuat Sania naik pitam. Gadis teman sekelas Surya itu tiba-tiba menggebrak meja.
Surya berhasil bertahan untuk tidak terlompat karena kaget. Kalau dia sampai terlompat bisa hilang harga dirinya. Segera saja ia menuntaskan rawonnya dan mengelap bibirnya dengan tisu.
“Ternyata selain miskin kamu juga tuli.” Suara Sania kembali menggema.
Surya yang sudah selesai dengan aktivitasnya segera berdiri dan mencondongkan tubuhnya. Jarak wajah keduanya cukup dekat membuat pipi Sania memerah. Surya tidak memperdulikan hal itu, tetapi pandangannya terfokus pada hidung gadis di depannya.
Tanpa sadar Sania menahan nafasnya. Meskipun ia sudah sering berhadapan dengan lawan jenis tapi tidak ada yang pernah sedekat ini padanya.
Kalau Sania boleh jujur sebenarnya penampilan Surya lumayan tampan. Tubuhnya juga tinggi dan atletis. Cowok seperti ini adalah idaman Sania. Hanya saja pemuda di depannya ini berasal dari keluarga kurang mampu. Seandainya Surya berasal dari keluarga menengah ke atas, Sania tidak akan keberatan berteman atau bahkan pacaran dengan Surya.
“Aneh.” Gumam Surya singkat.
Sania yang mulai mendapatkan kesadarannya kembali merasa tersinggung dengan ucapan Surya. Hilang sudah ketertarikan Gadis itu terhadap Surya. Dan kini matanya berubah nyalang “Aneh? Apanya yang aneh? Kamu yang aneh!” Sewot Sania.
“Setauku yang namanya bau itu ya wangi, amis, atau busuk. Nggak pernah tuh nyium bau kemiskinan. Biasanya yang bisa nyium kayak gitu ya yang setipe.” Jawab Surya santai
“Maksud kamu aku juga miskin gitu, kayak kamu?” Mata Sania makin melotot.
“Aku nggak bilang.” Surya menyunggingkan senyum tipis dan berlalu meninggalkan keempat teman sekelasnya yang masih berdiri di tempat..
Karena tidak memesan minum Surya yang masih seret kerongkongannya bergegas menuju ke keran air di depan kantin dan langsung minum dari sana.
Surya menghela nafas frustasi karena menyadari empat gadis tadi mengikutinya. Baru saja Sania mau membuka mulutnya, Surya lebih dulu bersuara.
“Kalau mau ikut minum harap antri!”
Mendengar kalimat Surya, Sania menghentakkan kakinya dengan kesal dan pergi begitu saja.
Menghadapi gadis seperti Sania benar-benar melelahkan batinnya. Walaupun parasnya memang cantik namun mulutnya tajam. Bagi Surya yang sudah terbiasa menghadapi situasi ini otaknya harus bekerja lebih keras agar tidak kalah omong dengan gadis itu.
Beberapa saat kemudian bel jam kelima berbunyi. Saatnya kembali berkutat dengan pelajaran. Ia harus belajar giat agar bisa mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia. Ia ingin menimba ilmu mengenai manajemen bisnis.
Surya ingin membuat sebuah jaringan bisnis yang kuat di masa depan. Ia ingin mengubah stigma dirinya yang selalu dicap miskin. Tetapi ia juga tidak ingin menghambur - hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu.
Uang yang didapatkan dari warisan Frederick Langdon memang sangat banyak. Tetapi uang itu suatu saat pasti akan habis. Apalagi menurut Alfred akan ada banyak orang yang mengincar harta itu jika tersebar kabar bahwa yang mendapatkan wasiat itu hanya Surya seorang.
Bukannya Surya meragukan kemampuan Alfred untuk menutupi jejaknya. Namun ia harus tetap berhati - hati karena cepat atau lambat bau bangkai pasti akan tetap tercium seberapa rapi pun dikubur.
Rencana jangka panjangnya adalah ingin menggunakan uang itu untuk menguatkan posisinya sehingga jika suatu saat orang-orang itu muncul, ia sudah siap menghadapi mereka.
Demi tujuan ini pula ia tidak boleh terlalu menonjol dalam membelanjakan uang ini. Surya tidak ingin membuat dirinya mencolok dan mengundang perhatian yang diinginkan dari pihak - pihak tertentu.
Sekarang masih ada waktu satu minggu sebelum proses transfer selesai. Masih ada waktu untuk memikirkan langkah apa yang harus ditempuh untuk mengamankan asetnya.
Tepat pukul tiga seluruh pelajaran telah selesai. Surya yang tidak memiliki kesibukan klub atau ekstrakurikuler segera beranjak keluar sekolah. Giliran kerja sampingannya akan dimulai pukul empat dan dia harus pulang dulu untuk bersih - bersih dan mengganti seragamnya.
Dia baru saja masuk gang komplek rumahnya ketika pandangan menangkap kegaduhan di halaman rumahnya. Banyak warga yang berkumpul dan ada setumpuk barang yang sepertinya adalah miliknya.
Merasa ada yang tidak beres Surya segera mempercepat larinya menuju rumahnya.
Dengan susah payah ia menerobos kerumunan warga untuk melihat situasi rumahnya. Meskipun warga berjubel, sebenarnya hanya butuh waktu kurang dari lima menit bagi pemuda bertubuh kekar itu untuk sampai di depan pagar halamannya.
Dengan mata kepalanya sendiri Surya melihat beberapa orang tengah mengangkut semua perabot peninggalan orang tuanya keluar rumah dan menumpuknya di tengah halaman. Seorang pria berusia tiga puluhan dengan pakaian rapi tampak berdiri di dekat pintu. di tangannya terdapat beberapa dokumen. Sepertinya orang itu yang bertanggung jawab di sini.
“Ini ada apa, Pak? Kenapa semua barang saya dikeluarkan?” Tanya Surya saat mendekati orang tersebut.
“Oh, jadi kamu yang tinggal di rumah ini.” Pandangan pria itu tampak sinis dan merendahkan Surya. Tentu saja Surya langsung merasa jengkel terhadap pria itu.
“Iya betul saya yang tinggal di sini.”
“Ini surat perintah penyitaan dari bank karena jatuh tempo pembayaran hutang.” Pria itu dengan kasar menyodorkan dokumen di tangannya tadi ke wajah Surya.
Hutang? Siapa yang berhutang? Kedua orang tuanya tidak pernah bercerita kalau mereka memiliki hutang. Bahkan tidak pernah sekalipun berurusan dengan utang piutang dengan bank manapun.
Pria di depannya menggoyang-goyangkan dokumen itu karena Surya tak kunjung mengambilnya. Meskipun Surya bertubuh lebih tinggi ia tetap berusaha menghormati pria di depannya dengan menerima dokumen tadi.
“Apaan ini!?” Pekik Surya tertahan.
“Apaan ini?”
Untuk kesekian kalinya hari ini Surya harus mengalami kejut jantung. Dokumen utang piutang bank ini memang menjelaskan bahwa rumah peninggalan orang tuanya telah dijaminkan. Akan tetapi nama peminjam bukanlah nama ayahnya, melainkan Hariyadi dan Tatik yang merupakan adik-adik ayahnya.
Jumlah dana yang dihutang kedua orang itu juga tidak main - main. Termasuk dengan bunga dan denda semuanya berjumlah tiga ratus lima puluh juta.
Surya hampir sesak nafas melihat jumlah nominal yang tertera dalam dokumen itu. Ia membolak - balik bendelan kertas itu dan menemukan surat pemindahan kuasa kepemilikan lahan pada paman dan bibinya.
Matanya memerah karena marah ketika melihat tanggal dibuatnya surat kuasa tersebut. Penanggalan pada surat itu sekitar tiga bulan yang lalu saat tujuh hari meninggalnya orang tua Surya.
Surya saat itu tengah dalam keadaan terpuruk dan sama sekali tidak mengurusi dokumen-dokumen penting milik orang tuanya. Kemungkinan besar pada saat itulah kedua saudara ayahnya itu melancarkan aksi mereka.
“Pak disini tertulis tanggalnya 23 April sedangkan ayah dan ibu saya meninggal tanggal 17 April. Jelas sekali kalau surat ini palsu.” Surya mencoba memberi pengertian pada pria itu.
“Kalau tidak ada dokumen kematiannya pihak kami tetap menganggap surat itu sah.” Jawab pria itu dengan nada dingin.
“Tentu saja ada, Pak”
Surya segera menuju tumpukan barang yang biasanya berisi dokumen-dokumen penting. Dengan panik dia segera mengeluarkan seluruh isinya. Ijazah, sertifikat prestasi, buku nikah orang tuanya semua kini berserakan di halaman. Tapi yang dicarinya sama sekali tidak ketemu. Surat keterangan kematian dari kelurahan sepertinya juga dilenyapkan oleh kedua saudara biadab itu.
Menyadari akan hal itu, Surya hanya bisa terkulai lemas. Lenyap sudah peninggalan orang tuanya. Jika ia ingin mempertahankan rumah ini, ia harus membuat surat keterangan kematian kedua orang tuanya di kelurahan.
“Pak, bisa tolong beri saya waktu seminggu untuk menyelesaikan permasalahan ini? Saya janji saya akan membawa bukti kalau surat itu palsu.” Surya memelas.
“Silahkan saja, tapi rumah ini akan tetap dikosongkan hari ini juga.”
“Kenapa demikian? Saya berjanji hanya satu minggu saja izinkan saya tinggal di sini.”
“Saya hanya bekerja sesuai prosedur. Jadi tolong jangan mempersulit tugas saya.” Nada pria itu masih tetap dingin dan ketus. “Ayo kalian lebih cepat kerjanya dan segera kita segel rumah ini.”
Surya hanya bisa menatap tak berdaya saat rumah peninggalan orang tuanya di segel. Matanya terasa perih karena menahan tangis. Tetapi hatinya jauh terasa lebih perih akibat pengkhianatan kerabatnya sendiri.
Waktu sudah mulai senja dan warga yang berkerumun di depan rumahnya juga sudah pulang saat Surya memutuskan untuk mengemasi dokumen penting dan beberapa potong pakaian.
Beberapa saat kemudian ponselnya berbunyi.
“Ya, halo Mbak Riri.”
“Kemana aja kamu? Ini udah jam berapa? Niat kerja nggak, sih?” Cerocos suara dari seberang.
“Tapi mbak saya sedang …”
“Nggak penting! segera kesini sekarang juga atau saya pecat kamu!” Potong Mbak Riri.
“I … Iya mbak saya segera kesana sekarang.”
Terdengar bunyi sambungan telepon diputus. Tanpa menunggu lebih lama, Surya segera bergegas menuju Pujasera Sentono tempat ia bekerja sebagai pramusaji. Karirnya sedang dipertaruhkan saat ini.
Surya segera bergegas menuju ke Pujasera Sentono. Butuh setidaknya lima belas menit dari lokasinya sekarang.
Tepat lima belas menit kemudian pemuda berkulit sawo matang itu tiba di lokasi kerja. Sebuah lapak yang menjual cilok, pukis dan berbagai minuman dingin. Kedai Riri namanya.
“Mbak maaf sa …”
“Udah nggak usah banyak ngomong, ini anter pesenan. Habis itu bersihin piring dan mangkok. Jangan lupa buang sampah.” Belum juga Surya menjelaskan alasan keterlambatannya, Mbak Riri si pemilik kedai sudah memberinya sederet perintah.
Meskipun hari ini bukan akhir pekan, tetapi Pujasera Sentono benar-benar penuh sesak dengan pengunjung. Para pegawai dari tiga puluh lapak yang berdagang di area kuliner itu benar-benar sibuk mengantar pesanan. Mereka bahkan tak punya waktu untuk sekedar duduk dan mengobrol. Tak terkecuali dengan Surya.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas ketika Surya melemparkan kantong sampah terakhir. Tenaganya benar-benar diperas habis malam itu. Para pegawai yang kebanyakan masih seusianya banyak yang duduk menyebar di beberapa meja dan mengobrol. Surya memilih duduk di salah satu meja yang paling dekat dengan Kedai Riri.
“Nih!” Mbak Riri menyodorkan sepiring cilok dan segelas teh hangat di depan Surya.
“Makasih, Mbak.” Dengan senang hati Surya melahap hidangan di depannya.
“Ya sama - sama. Hari ini lumayan ramai jadi cuma sisa segitu.” Jelas Mbak Riri singkat.
“Ini lebih dari cukup kok, Mbak.”
Suasana di meja mereka mendadak hening. Hanya ada suara sendok beradu dengan piring. Tak bisa dipungkiri kalau Surya merasa sedikit canggung, karena Mbak Riri ini lumayan cantik. wajahnya putih dan matanya sipit. Mirip orang tionghoa. Padahal perempuan berusia dua puluh satu tahun itu Jawa tulen.
“Kamu kenapa tadi telat? Nggak biasanya kamu telat.” Tanya Mbak Rini membuka obrolan.
“I… Itu mbak, se..sebenarnya …” ucap Surya tergagap.
“Kamu ada kesulitan?” Mbak Riri memperhatikan perubahan gelagat Surya merasa sedikit curiga.
“Sebenarnya tadi ada petugas bank datang buat menyita rumah.”
“Kamu pinjam uang dari bank?” Mbak Riri mengerutkan alisnya.
“Bu...Bukan Surya mbak. Tapi Paman dan bibi, hanya saja yang jadi jaminan adalah rumah orang tua Surya.” Surya menunduk malu setelah menjelaskan duduk permasalahannya.
“Lho kok bisa? Memangnya ada surat kuasa dari orang tua kamu?”
“Ada sih .. tapi sepertinya palsu.” Surya menggosok dagunya.
“Palsu gimana maksud kamu?”
“Surat kuasanya tertanggal tujuh hari setelah orang tuaku meninggal. Tanda tangannya pun sepertinya palsu.”
“Wah bisa dijerat pidana itu. Kenapa nggak kamu laporin ke Polisi?” Mbak Riri masih terus mencecar Surya.
“Niatnya begitu mbak setelah ngurus surat keterangan kematian dari kelurahan.”
“Memangnya sampai sekarang belum kamu urus? itu dokumen penting lho.” Nada bicara Mbak Riri semakin meninggi seperti menyalahkan Surya atas kecerobohannya.
“Sudah saya urus mbak bahkan sebelum tujuh hari ayah dan ibu meninggal Pak carik sudah datang ke rumah mengantar surat itu. Hanya saja waktu tadi kucari nggak ketemu. Sepertinya memang sengaja ada yang menghilangkan.” Jelas Surya.
“Oh maaf ya, mbak udah salah paham. Terus ini nanti kamu tidur di mana?”
“Nggak tahu mbak. Kalau boleh izin saya mau tidur di lapak saja.” Kata Surya malu-malu.
“Jangan!” Cegah mbak Riri. “Di sini kotor dan sempit. Lebih baik kamu nyewa kos di papaku. Nanti biar aku yang ngomong.” Tawar Mbak Riri.
“Tapi mbak uangnya …”
“Udah nggak usah khawatir. Nanti kalau sudah gajian bisa kamu bayar.”
“Terima kasih kalau begitu.”
“Pulang sekarang aja kalau gitu biar nggak kemaleman. Besok kamu sekolah, kan?”
“Iya, Mbak. Sekali lagi terima kasih Mbak.”
Setelah menutup kedai keduanya pun pulang menuju ke kosan milik orang tua Mbak Riri. Letaknya tak jauh dari Pujasera hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki.
Kebetulan masih ada kamar kos yang kosong dan Surya bisa langsung tinggal di situ. Ia langsung merebahkan diri untuk tidur di kasur busa yang memang sudah disediakan pemilik kos.
Hari ini ia begitu lelah hingga tanpa sadar ia sudah terbuai dalam mimpi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!