Gu Anxin memandang takjub, pada keindahan Istana yang ada di depannya. Wajahnya tampak speechless dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. Dia lalu memutar kepalanya ke sisi kiri dan kanan bangunan istana. Hanya kata ’’ Waw’’ yang keluar dari mulutnya, untuk mendeskripsikan betapa indah dan megahnya bangunan Istana yang berpilarkan emas itu.
Karena penasaran, Anxin perlahan membawa langkahnya untuk memasuki pintu istana. Untuk kesekian kalinya, Axin kembali mengeluarkan decak kagumnya. Wanita itu kembali ternganga melihat sekeliling ruangan. Benar-benar luar biasa indahnya Istana itu, tapi ada satu yang membuatnya heran. Kenapa sejak tadi, dia tidak melihat siapapun di sekeliling istana? Bahkan pengawal atau pelayan pun tidak ada.
Tidak berapa lama, Anxin mendengar suara ringisan dan tangisan minta tolong. Anxin mulai merasa takut, karena tangisan kesakitan semakin jelas didengar olehnya. Perlahan, sambil beberapa kali menelan salivanya, Axin memberanikan diri untuk melangkah semakin masuk ke dalam ruangan kerajaan.
Hampir 5 menit Axin melangkah, dia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, matanya terbuka lebar, menatap tidak percaya pada apa yang dilihatnya kini. Wanita itu membisu dengan badannya yang sudah menegang, matanya memindai satu demi satu dari orang-orang yang tengah berteriak menahan sakit.
Axin tidak tahu apa yang terjadi pada mereka, tapi keadaan orang-orang itu sungguh mengerikan. Ada yang tubuhnya sudah dipenuhi luka, ada juga yang berteriak kepanasan, padahal tubuhnya terlihat baik-baik saja, ada yang terkapar tak berdaya dan ada juga yang sudah kehilangan nyawanya.
Karena penasaran, Axin memberanikan diri untuk melangkah lebih maju, tapi terlebih dulu dia merobek lengan pakaiannya dan menggunakan kain robekan itu untuk menutupi bagian mulut hingga hidungnya, seperti masker.
Axin tampak bingung, sesaat setelah memeriksa satu dari banyaknya orang yang berteriak kesakitan. Beberapa kali dia mengerutkan keningnya dan beberapa kali juga dia memeriksa keadaan orang tersebut. ‘’Apa mungkin ini racun?’’ tebaknya. Dia lalu berdiri dan berpindah untuk melihat keadaan beberapa orang lagi, untuk memastikan dugaannya.
Setelah memeriksa kurang lebih 6 orang, Axin semakin yakin kalau orang-orang itu diracuni, tapi untuk jenis racunnya, Axin masih kurang tahu.
Axin berpikir dengan keras, dia penasaran akan racun yang kini menyerang orang-orang itu.
‘’Siapa kau?’’ Tiba-tiba saja, Axin dikagetkan oleh bentakan seorang pria, wanita itu sampai terjungkal ke belakang, sebagai tindakan refleks untuk merespon rasa kagetnya.
Axin ingin menggerutu, tetapi dia tidak punya kesempatan, karena dihadapannya, kini sudah berdiri seorang pria bertubuh tinggi. Pria itu menggunakan topeng setengah wajah, hanya bagian mulut ke bawah yang terlihat.
Axin menelan salivanya beberapa kali, dia berusaha bangun dari duduknya, tubuhnya bergetar menahan rasa takut, apalagi setelah melihat runcing dan tajamnya pedang yang dibawa oleh pria bertopeng itu. Tidak hanya pria itu, Axin juga melihat beberapa pria yang berpakaian besi, khas tentara perang sedang berdiri di belakang si pria bertopeng. Pria-pria itu juga membawa pedang yang tidak kalah besar dan tentunya terlihat sangat tajam.
Perlahan Axin memundurkan langkahnya, tapi sialnya dia kembali terjungkal, karena tidak sengaja menginjak satu orang yang tengah terluka. Axin lantas berteriak dengan sangat kencang, begitu sadar kalau dirinya jatuh diatas tubuh seorang pria dengan wajah dan tubuh yang nampak membusuk, karena dipenuhi oleh banyaknya luka.
Axin mengoceh, wanita itu masih merasa geli akan tubuh dari pria yang baru dilihatnya itu, dia bahkan sampai gemetar, karena rasa geli yang terus melandanya. Beberapa kali juga dia menyeka bagian tubuhnya, untuk menghilangkan jejak dari pria tadi.
Masih dengan rasa gelinya, Axin membalikan dirinya, siaallnya, kepalanya malah membentur dada pria bertopeng tadi. Anxin kembali merutuki dirinya, dia benar-benar lupa akan pria bertopeng dan rombongannya, karena terlalu geli dengan pria yang memiliki banyak luka itu.
‘’Oh astaga kenapa dirinya siaall sekali?’’ pikirnya sambil mendesah kasar. Tidak lama, tubuhnya sudah ditarik paksa oleh beberapa pria yang kemungkinan adalah bawahan ataupun pengawal pria bertopeng.
Axin berteriak ketakutan, sambil terus bertanya, kemana mereka akan membawa dirinya, tetapi tidak ada satupun yang menjawab pertanyaannya. Axin menghentikan teriakannya, saat dirinya kembali melihat kelompok orang-orang yang sedang berteriak sambil meringis kesakitan.
‘’Apa yang terjadi, kenapa mereka sampai bisa keracunan seperti itu?’’ tanpa sadar Axin bertanya. Wanita itu tidak lagi memperdulikan kemana dirinya akan dibawa, karena matanya sudah teralihkan pada warga-warga yang terus meringis.
‘’Darimana kau tahu kalau mereka keracunan?’’ tanya si pria bertopeng
‘’Ya jelas aku tahu, begini-begini, aku ini adalah seorang pharmacist,’’ jawab Axin tanpa mengalihkan perhatiannya.
Pria itu lalu melangkah mendekat pada Axin dan memutar kepala wanita itu, agar melihat padanya.
‘’Siapa kau sebenarnya?’’ tanyanya dengan tatapan penuh selidik.
‘’Sudah kukatakan kalau aku adalah seorang pharmacist, kenapa tanya lagi sih, kau tuli atau bagaimana?’’ Axin keceplosan, dengan cepat wanita itu langsung mengatup rapat mulutnya, saat melihat pelototan pria bertopeng itu.
‘’Kutanya sekali lagi, siapa kau sebenarnya?’’
‘’Ini orang budek atau apa? Untung aku takut, kalau nggak, aku pasti sudah meneriakinya sejak tadi,’’ gumam Axin dalam hatinya. Tidak lama dia kembali mendengar, pria itu memerintahkan para pengawal, untuk memenjarakannya.
Mata Anxin kembali terbuka lebar. ‘’Hei apa salahku, kenapa kau ingin memenjarakanku?’’ protesnya pada si pemberi perintah. Axin kembali memprotes, karena si pria tidak menanggapinya dan malah melangkah terlebih dulu.
Karena sudah sangat kesal, Anxin berusaha memberontak, wanita itu menggigit pengawal yang sedang menariknya, lalu dia berlari mendekati si pria, saat jarak mereka semakin dekat, Anxin secara perlahan menundukan kepalanya dan ….
Dia langsung berteriak kesakitan, sambil memegang kepalanya. Niatnya, tadi dia ingin menyundul perut pria itu dengan menggunakan kepalanya. Apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?
‘’Aish, ada apa dengan perutmu, kenapa keras sekali?’’ gerutunya dengan wajah penuh kekesalan. Entahlah, Axin tiba-tiba mengangkat tangannya, untuk meraba perut si pria, bukan karena dia ingin memegang perut kotak-kotak, tapi karena dia penasaran akan apa yang membuat perut pria itu sangat keras. Dia yakin, yang di sundulnya tadi bukanlah perut si pria.
Tangan Axin terhenti, saat si pria menangkap tangannya dan membuangnya dengan kasar. Axin bahkan kembali meringis, karena ulah pria itu.
‘’Kau itu pria bukan sih, kenapa kasar sekali pada wanita?’’ ucapnya dengan suara yang sedikit besar, tetapi si pria kembali tidak menanggapi. Dia malah kembali memerintahkan para pengawalnya, untuk membawa Anxin ke penjara.
Anxin berulang kali berteriak, tetapi tidak ada yang menanggapi. Semakin jauh mereka melangkah, Axin lantas memicingkan matanya sambil bergidik ngeri, saat para pengawal membawanya masuk ke sebuah ruangan bawah tanah. Matanya ikut memperhatikan para tahanan yang pastinya penampilan mereka sudah sangat berantakan. Semakin ketakutan saja Anxin, saat melihat seorang pengawal sedang mencambuk beberapa tahanan.
‘’Apa aku juga akan diperlakukan seperti itu?’’ pikir Anxin dengan tubuh yang gemetar. Dia menatap kiri dan kanan, ruangan dengan pencahayaan seadanya itu.
Anxin pun dimasukan kedalam penjara. Wanita itu sedikit bersyukur, setidaknya dia diberi penjara sendiri dan tidak digabung dengan orang-orang yang sudah berpenampilan sedikit mengerikan itu.
‘’Hei, sampai kapan aku akan berada disini?’’ tanyanya pada satu pengawal yang tadi membawanya ke penjara.
Bersambung.....
Jangan lupa tinggalkan like dan komennya ya😘
Anxin pun dimasukan kedalam penjara. Wanita itu sedikit bersyukur, setidaknya dia diberi penjara sendiri dan tidak digabung dengan orang-orang yang sudah berpenampilan sedikit mengerikan itu.
‘’Hei, sampai kapan aku akan berada disini?’’ tanyanya pada satu pengawal yang tadi membawanya ke penjara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
‘’Sampai waktunya kau dieksekusi.’’ Si pengawal menjawab dengan santai. Tidak tahu saja dia kalau tubuh Anxin langsung bergetar, jantungnya langsung berpacu dengan cepat saking takutnya pada apa yang diucapkan pengawal itu. Kakinya sampai lemas dan tidak mampu menanggung berat tubuhnya, alhasil, tubuhnya jatuh. Bukannya bangun, wanita itu malah menangis, membayangkan apa yang akan terjadi padanya nanti.
Hari-hari berlalu, penampilan Anxin semakin memprihatinkan. Wanita itu tidak pernah sekalipun menyentuh makanan yang diberikan oleh pengawal, dia ingin membuat dirinya kelaparan dan mati secara perlahan, setidaknya itu masih lebih baik daripada hukuman eksekusi yang harus ditanggungnya.
Tubuh Anxin semakin lemah, dia hampir tidak kuat lagi. ‘’Siaall, kenapa aku belum mati juga sih? Harus berapa lama lagi aku menahan kelaparan seperti ini?’’ gerutunya karena kesal dia belum juga mati, setelah menahan lapar selama berhari-hari.
Disaat yang sama, seorang pengawal masuk dan kembali memberikan makan untuknya. Anxin menelan salivanya beberapa kali, matanya berbinar melihat makanan itu, tetapi dia terlalu takut untuk menyentuhnya. Wanita itu hanya tidak ingin kembali sehat dan bugar, lalu dirinya malah akan dieksekusi, itu sangat menakutkan untuknya. Jadi, untuk kesekian kalinya, dia kembali tidak menyentuh makanannya.
Hari hampir malam, saat si pria bertopeng, muncul dan mendatanginya. ‘’Apa kau benar-benar ingin mati?’’ tanya pria itu.
Anxin hanya menggeleng pelan dan tanpa sadar, dia mulai menangis. Walau dia sering mengatakan lebih baik untuk mati kelaparan, tapi nyatanya, dia belum mau mati di usianya yang masih terbilang muda.
‘’Hei kenapa kau malah menangis?’’
‘’Kenapa kau jahat sekali, aku bahkan tidak mengenalmu, kenapa kau malah ingin memberiku hukuman eksekusi?’’
Si pria lantas heran dengan ucapan Anxin. Hukuman eksekusi, memangnya kapan dia mengatakan akan mengeksekusi wanita itu? Pikirnya, tetapi tidak lama dia sudah tertawa kecil, karena kebodohan Anxin yang memilih kelaparan karena takut akan hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dia takuti.
‘’Kenapa kau malah tertawa, apa nyawaku begitu lucu dimatamu?’’ Anxin terlihat kesal, bagaimana bisa ada orang yang menertawai nyawa orang lain? Pikirnya, lalu mengumpati pria itu dalam hatinya, ‘’dasar pria gila, menakutkan, aneh, breenggsek, sok jago.’’ Seandainya bisa, dia ingin mengutuk pria dihadapannya itu, terserah mau jadi apa, batuk kek, nyamuk kek, rumput atau lain sebagainya, asal dia tidak bisa melihat lagi rupa dan bentuk pria bertopeng dan menakutkan itu.
‘’Siapa yang mengatakan kalau kau akan dieksekusi?’’ tanya pria itu masih dengan tawanya.
‘’Pengawalmu.’’
Semakin besar saja tawa pria itu. ‘’Aku tidak ingin mengeksekusi wanita sepertimu, setidaknya tidak disaat tubuhmu kurus seperti ini.’’ Si pria malah menggoda Anxin.
Anxin menatapnya dengan perasaan kesal dan juga bercampur takut. ‘’Bagaimana bisa ada orang yang mengucapkan kalimat menakutkan itu dengan nada santai? Dasar psychopath!’’ Dia kembali memaki dalam hatinya.
‘’Sudahlah, lebih baik kau makan, agar aku bisa segera mengeksekusi mu. Coba kau bayangkan, bukankah hal itu lebih baik daripada kau harus menahan lapar seperti sekarang? Eksekusi tidak akan membuatmu menderita, hanya sekali tebas dan kau langsung kehilangan nyawamu.’’
‘’Kau pikir aku sudi kehilangan kepalaku juga?’’
Si pria tidak mempedulikan, dia malah membuka pintu penjara Anxin dan dengan santainya masuk dan duduk di samping wanita itu, lalu memberikan beberapa wadah makanan yang dibawanya. Si pria sempat tersenyum, melihat Anxin yang beberapa kali menelan salivanya.
‘’Makanlah dan jangan memikirkan soal eksekusi.’’
‘’Bagaimana aku tidak memikirkannya, itu berhubungan dengan nyawaku.’’
‘’Kelaparan seperti ini, bukannya berkaitan dengan nyawamu juga?’’
‘’Tapi tidak setragis di eksekusi.’’
‘’Sudahlah makan saja, jangan pikirkan hal itu lagi, aku tidak akan mengeksekusi mu.’’
Anxin menyatukan alisnya. Entahlah, dia harus mempercayai ucapan pria itu atau tidak. Jelas-jelas pria itu yang sudah memenjarakannya. Tapi, entah kenapa hati kecilnya ingin mempercayai pria itu. Dia pun mulai memakan makanannya. Semuanya baik-baik saja, sampai beberapa menit setelah kepergian pria itu, beberapa mengawal datang dan langsung membawa Anxin keluar dari penjara.
Axin langsung tersenyum sumringah, dia berpikir kalau para pengawal akan membebaskannya, tetapi dugaannya salah, dia malah dibawa ke tempat eksekusi. Dia melihat beberapa tahanan juga. Tubuhnya mulai bergetar ketakutan, saat dirinya di dudukan bersama dengan beberapa tahanan. Dalam hatinya, dia memaki dirinya yang sudah mempercayai ucapan si pria bertopeng. Harusnya dari awal dia tahu kalau pria itu hanya membohonginya.
Satu persatu dari tahanan dieksekusi, Anxin hanya bisa menutup rapat matanya, dia terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi. Sampai tiba pada gilirannya, dia mendengar dengan sangat jelas, bunyi pedang yang diseret di depannya. Berbeda dengan saat mengeksekusi tahanan lain, kali ini si pengeksekusi seperti tengah mengetes tingkat ketakutan Anxin. Bagaimana tidak, sejak tadi, Axin hanya mendengar suara pedang yang beradu dengan lantai dan sialnya, si pengeksekusi sempat-sempatnya bertanya tentang kesiapan Anxin untuk menghadapi maut, lucu bukan?
Anxin berteriak dalam hatinya, saat mendengar suara pedang yang beradu dengan angin, dia yakin, dalam hitungan detik saja, pedang itu sudah akan menghampiri dan memisahkan kepala serta tubuhnya.
‘’Aakkhhh.’’ Anxin berteriak dengan sangat keras, saat tubuhnya merasakan sakit, karena saling menghantam dengan permukaan yang keras. Apa itu? Anxin memberanikan diri untuk membuka matanya.
‘’Lantai? Dia langsung membawa matanya ke seluruh ruangan dan tidak lama dia langsung bernafas legah, ternyata hal menakutkan tadi hanya mimpi. Dengan cepat juga, dia berdiri dari rebahannya, dia tidak peduli lagi akan rasa sakit akibat tubuhnya yang terjatuh ke lantai.
Dengan cepat dia melangkah menghampiri cermin yang ada di kamarnya. ‘’Kepalaku masih ada,’’ ucapnya dengan perasaan legah.
‘’Kau kenapa?’’ Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Fefei, si wanita cantik yang adalah sahabat baiknya. ‘’Kau kenapa?’’ tanya wanita itu lagi pada Anxin.
‘’Aku tidak pa-pa,’’ jawab Anxin sambil tersenyum senang.
‘’Lalu kenapa kau berteriak dengan keras seperti tadi, bikin khawatir saja.’’
Anxin pun hanya menyengir. ‘’Jatuh dari tempat tidur.’’
‘’Itu akibat dari kau yang malas bangun pagi. Lihatlah, sampai ranjang saja ingin menendangmu pergi.’’ Setelah itu, Fefei kembali menutup pintu kamar Anxin dan langsung pergi begitu saja.
Anxin dan Fefei, pertama kali bertemu dibangku kuliah, hingga saat ini, keduanya sudah saling mengenal selama hampir 5 tahun. Mereka berprofesi sebagai Pharmacist. Karena belum menikah, keduanya memutuskan untuk tinggal bersama. Alasannya adalah, biar bisa saling menjaga dan tentunya untuk lebih menghemat pengeluaran.
*****
Hari yang tadinya terang, kini sudah berubah menjadi gelap. Matahari sudah beristirahat, kini giliran bulan dan bintang yang bertugas untuk menyinari gelapnya malam.
‘’Anxin … Anxin, kau ingin menonton bersamaku tidak?’’ teriak Feifei masuk ke kamar Anxin, dia langsung mengambil remot tv. Kamar Anxin memang tersedia tv yang berukuran lumayan besar, Anxin membelinya, karena kebiasannya yang sangat suka menonton drama, terlebih drama kolosal.
‘’Drama apa?’’ tanya Anxin bangun dari rebahannya.
Bersambung.....
Jangan lupa tinggalkan like dan komennya ya😚
‘’Anxin … Anxin, kau ingin menonton bersamaku tidak?’’ teriak Feifei masuk ke kamar Anxin, dia langsung mengambil remot tv. Kamar Anxin memang tersedia tv yang berukuran lumayan besar, Anxin membelinya, karena kebiasannya yang sangat suka menonton drama, terlebih drama kolosal.
‘’Drama apa?’’ tanya Anxin bangun dari rebahannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
‘’Itu loh drama yang sekarang lagi hype banget, drama yang dibintangi He Tianze.’’
Dengan cepat Anxin meletakkan ponselnya, dia langsung mengambil posisi di samping Feifei. Kini, keduanya sudah tengkurap di atas ranjang, dengan selimut yang menutupi tubuh sampai atas kepala mereka, beberapa jenis cemilan dan empat kaleng cola juga sudah disiapkan, lampu kamar juga sengaja dimatikan, agar mereka lebih fokus pada cahaya yang ditampilkan dari layar Tv.
Hampir satu jam menonton, Feifei tidak lagi fokus pada layar Tv. Bukannya apa, pendengarannya sudah terbagi dengan suara tangis Anxin yang sangat mengganggu indera pendengarannya. Apalagi, saat sahabatnya itu terus dan terus saja membuang air hidungnya.
‘’Hiks … hiks … hiks.’’ Sambil terisak, Anxin mengambil tisu yang tadi sengaja diletakan di sampingnya, matanya tidak bisa lepas dari layar tv yang kini menampilkan adegan yang sangat menyedihkan, menurutnya. Wanita cantik itu terus saja menangis, tanpa menoleh atau memperhatikan wajah wanita di sampingnya, yang sudah nampak kesal padanya.
‘’Menurutku ceritanya biasa saja, kenapa kau sampai menangis tersedu-sedu seperti itu? Inilah yang tidak aku sukai, kau selalu saja menangis untuk hal sepele!’’ Feifei menatap tidak suka pada Anxin yang berulang kali meremas hidungnya yang berair dengan tisu. Tiba-tiba Feifei menyesal, kenapa juga dia harus mengajak sahabat dramatisnya itu untuk menonton bersama? Tahu begitu, lebih baik dia nonton sendiri di kamarnya, walaupun hanya dengan menggunakan laptop.
Begitulah Anxin, dia selalu menangis saat melihat orang menangis, tapi lucunya, hal itu cuman berlaku untuk drama yang ditontonnya, sedangkan dalam kehidupan nyata, dia bahkan tidak akan peduli saat seseorang menangis di depannya dan malah akan berkata. ‘’Jangan lebay deh, hidup itu simple jangan dibawa susah.’’
‘’Apanya yang tidak sedih? Kau saja yang tidak punya hati,’’ jawabnya masih terus terisak, tanpa sama sekali melirik pada Feifei.
‘’Ck bukan aku yang tidak punya hati, tetapi air matamu yang terlalu murahan, sedikit-sedikit keluar. Apa-apa nangis, adegan sedih sedikit aja nangis, lebay banget!’’
‘’Diamlah, kau mengganggu konsentrasiku!’’ protesnya, mulai terganggu dengan suara Feifei yang seperti tengah berlomba dengan suara yang keluar dari tv.
Karena kesal dan tidak bisa fokus lagi, Feifei memilih menyingkirkan selimut dari tubuhnya, dia lalu duduk dan mengambil ponselnya, membiarkan Anxin dengan tangisan dramatisnya.
Setengah jam kemudian, dramanya berakhir juga. Cepat-cepat Feifei berdiri, berjalan diatas meja kecil yang ada di ruangan itu lalu berpindah ke sofa dan menyalakan lampu kamar lagi. Matanya melotot seketika, melihat banyaknya tisu yang berserakan dilantai.
Sambil berkacak pinggang, Feifei membawa pandangannya pada Anxin yang masih terisak di atas ranjang, wanita itu bahkan belum mengubah posisinya dan tangisannya malah semakin kencang.
Feifei kembali melotot, saat melihat Anxin yang dengan santainya kembali melemparkan tisu ke lantai.
‘’Berhentilah menangis, kau terlalu lebay!’’ Feifei geli sendiri, matanya kembali melihat tisu-tisu di atas lantai, niatnya ingin kembali ke kamarnya, tetapi rasa gelinya terlalu besar, dia tidak mau kalau harus menginjak tisu-tisu yang berisi perasaan air hidung Anxin, si penonton dramatis itu.
Bukannya merespon, Anxin malah kembali membicarakan drama. ‘’Aku tidak akan menonton kelanjutan drama itu lagi, terlalu menyedihkan dan takutnya akan berakhir sad ending,’’ ucapnya dengan setengah mengomel. Padahal, dia baru menonton 2 episode dan dia sudah berspekulasi kalau drama itu akan berakhir sad ending, hanya karena episode pembukanya sedikit menyedihkan. Ada-ada saja bukan?
‘’Jangan protes padaku, memangnya aku penulisnya!? Berhentilah memikirkan drama itu dan bersihkan tisu-tisu itu karena aku ingin ke kamarku sekarang juga!’’ Dengan kesal, Feifei menunjuk tisu-tisu yang berserakan itu lalu kembali melayangkan tatapan tajamnya pada Anxin yang nampak cuek, seperti tidak mendengar apa yang tadi disuruhnya.
Dan benar saja, Anxin malah membuang nafas kasar dan kembali membicarakan drama. ‘’Seandainya aku penulisnya ….’’
Saking kesalnya, Feifei mengambil satu kaos putih yang kebetulan ada di ujung sofa, dia lalu melempar kaos itu, hingga mengenai dan menutupi kepala Anxin. ‘’Dari pada terus memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik kau bersihkan dulu semua tisu ini, aku mengantuk, ingin tidur!’’
Sambil berdecak, Anxin menyingkirkan kaos itu, dia menatap tajam Feifei, sebelum balik melemparkan kaos itu, tetapi sayang, lemparannya tidak mengenai target, kaos malah jatuh ke lantai dan menutupi sebagian tisu yang berserakan.
‘’Cepatlah, aku ingin tidur, besok aku harus berangkat lebih pagi.’’ Feifei kembali menyuruh, mau tidak mau, Anxin bangun dari duduknya, dia lebih dulu mengambil kaosnya, sebelum menyingkirkan tisu. Tidak membersihkannya, wanita itu hanya menyingkirkan sebagian tisu, hanya agar Feifei bisa lewat.
Setelah itu, dengan wajah datarnya, dia membungkuk mempersilahkan Feifei untuk lewat, tangannya mempersilahkan seperti seorang hamba yang mempersilahkan nona besar. ‘’Silahkan nona …,’’ ucapnya.
Belum juga Feifei lewat, badannya sudah kembali diluruskan, dia lalu melirik Feifei dengan ujung matanya dan langsung melangkah menuju ranjang lagi. Membuang tubuhnya di atas ranjang empuk miliknya. Kaos yang tadi dipegangnya, diletakan begitu saja di nakas kecil samping ranjang.
‘’Katanya kau mengantuk!?’’ ucapnya pada Feifei yang belum juga keluar dari kamarnya. Ditariknya guling dan selimut lalu mulai memejamkan matanya. Bukan karena mengantuk. Entahlah, dia hanya ingin memejamkan mata.
Feifei kembali memperhatikan tisu-tisu yang masih berserakan lalu perlahan menurunkan kakinya dari sofa. Setelah itu, dia berlari dengan kaki yang dijinjit dan menutup pintu kamar Anxin dengan sedikit keras. Bukan karena marah, tetapi lebih pada ketidaksengajaan.
Mata Anxin kembali terbuka karena suara pintu. Tidak lama, dari balik pintu yang barusan tertutup muncul kepala Feifei, wanita itu sedang tersenyum pada Anxin yang sepertinya kesal akan masalah pintu tadi. ‘’Maaf, aku tidak sengaja,’’ ucapnya dengan dua tangan yang terangkat, membentuk pose jari V.
‘’Oh ya, kudoakan semoga kau bisa masuk ke dalam sana,’’ ujarnya sedikit menggoda, sambil menunjuk ke arah tv yang masih menyala, setelahnya dia kembali menutup pintu kamar lagi.
Anxin tidak merespon ucapan itu dan malah mengubah posisi berbaringnya, menjadi terlentang. Matanya tertuju pada langit-langit kamar dengan kedua tangannya yang diletakan diatas perut.
Tidak lama, angin yang cukup kencang masuk kedalam kamarnya, melalui cela tirai besi yang ada di jendela. Gorden kamar terus bergerak tidak beraturan karena ulah angin kencang. Setelah angin, turunlah hujan, disertai dengan suara-suara petir yang cukup mengganggu pendengaran. Bukannya takut, wanita itu hanya tidak terlalu suka dengan suara petir yang kadang kala membuatnya kaget.
Dengan malas, dia bangun dari rebahannya, melangkah menuju jendela kamar. Dia terlebih dulu memperhatikan keadaan luar, sebelum akhirnya menutup kaca jendela kamarnya. Setelah itu, dia kembali melangkah menuju ranjang dan kembali berbaring menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang entah kemana, sampai matanya perlahan mulai menutup karena kantuk mulai menyerang dan memaksanya untuk menutup mata hitam bulat dan indah miliknya.
Bersambung.....
Jangan lupa tinggalkan like dan komennya ya😚
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!