NovelToon NovelToon

The Story Untold: READY OR NOT [NCT DREAM]

Prolog

Suara sirine mobil makin terdengar jelas, Jung Jinhee, seorang wanita muda berpakaian serba hitam berjalan mendekat ke kerumunan warga yang berdiri di depan kamar sebuah apartemen tua. Ia melihat tandu ambulance datang dan memasuki area yang sudah diberi garis polisi. Jinhee sesekali melirik sekeliling berharap warga yang mengintip dari luar pintu segera pergi. Jinhee pun membalik badannya dan berjalan menjauh dari kerumunan.

“Hya Jinhee ssi!” Panggil suara berat penuh kekecewaan. Jinhee menoleh sambil tetap mengerutkan dahinya.

Jinhee menatap sosok yang hanya bisa ia lihat. Ya. Jinhee adalah wanita yang dapat melihat arwah. Dihadapannya kini ada seorang arwah pria tua yang menatapnya.

“Saya tidak bisa, ahjussi. Anda tidak lihat bagaimana penuhnya orang disana?” Jawab Jinhee. “Selain itu, saya tidak pernah membantu hantu. Kalau hantu yang lain tahu, bagaimana?!”

“A..akan aku rahasiakan!” Ucap sang hantu yakin. Ia menempelkan jari telunjuknya pada mulutnya. “kau hanya perlu mengambil tumpukan kertas yang ada di mejaku saja. Ambil lalu keluar. To..tolonglah….” Lanjutnya dengan suara parau. Entah ia menangis atau tidak, yang jelas kini hati Jinhee sedikit goyah.

Jinhee menghela nafas panjang. Sang hantu di hadapannya terus menatapnya penuh harap. Jinhee pun membulatkan tekadnya untuk menerobos kerumunan warga.

“Ka..kakeeek!!” Seru Jinhee sambil berlari. Ia menyenggol seluruh tetangga pria itu dan menerobos garis polisi. Ia terus memanggil ‘kakek’ sambil sesekali berpura-pura menyeka air mata.

“Siapa kau?! Dilarang masuk!” Ucap salah satu petugas kesehatan yang kini mengangkat sosok pria diatas tandu.

“Sa..saya cucunya! Ka..kakeeeek…..” Jinhee yang masih berpura-pura menangis terus berjalan masuk semakin dalam.

Seorang petugas kesehatan memandang Jinhee dengan wajah heran. “Sst, apa Penulis Kim menikah?” gumam petugas kesehatan satu sama lain. Pertanyaannya disambut gerakan mengangkat bahu oleh rekannya.

Jinhee semakin masuk ke kamar pria tua yang merupakan penulis ternama. Ia melihat garis polisi mengitari meja kerja sang penulis.

“Ah, itu dia!” Seru sang arwah penasaran. Ia menunjuk tumpukan kertas yang berantakan diatas meja.

Jinhee segera mengampir seluruh kertas disana dan menyembunyikannya di balik jaket hitamnya.

----------------+++++++++++++++-----------------

Kini Jinhee berdiri di depan sebuah pohon besar. Ia menggali lubang yang sangat dalam. Sang arwah penasaran ingin Jinhee mengubur kertas-kertas itu.

“Tidak kusangka kau bisa ber-akting,” ucap Penulis Kim.

“Saya bekerja di perusahaan entertainment, jadi sering melihat para calon aktor berlatih peran,” jawab Jinhee cuek sambil terus menggali lubang dengan sekop kecilnya. “Anda… dibunuh?”

“Mwo? Haha. Tidak, aku tiba-tiba terkena serangan jantung. Kalau dibunuh, sudah pasti kertas-kertas ini tidak akan tergeletak begitu saja,”

Lalu angin tiba-tiba bertiup sangat kencang, menggoyangkan dedaunan pohon besar hingga sedikit berguguran.

“Hhh… dia datang,” gumam Jinhee.

“Si..siapa?!” Seru Penulis Kim panik.

“Josung Saja (\=Malaikat Pencabut Nyawa)”

“Mwo?!!”

TAP.

Benar dugaan Jinhee. Sosok tinggi berbaju hitam datang. Sepertinya ini bukan kali pertama Jinhee bertemu Josung saja, sebagai manusia yang memiliki kekuatan melihat makhluk tak kasat mata, tentu ia juga sering melihat sosok sang pencabut nyawa.

“Sedang apa kau?” Ucap pencabut nyawa.

“Ini… aku sedang…”

“Aku berbicara pada tuan Kim Jaejoon,” sela Josung Saja. Jinhee diam seketika.

“Ne? Sa…saya?” Penulis Kim terbata-bata. “Sa..saya baru saja meninggal. Lalu saya ke kuil dan bertemu manusia yang dapat melihat arwah.. la..lalu…”

Josung Saja yang tidak menghiraukan jawaban Penulis Kim pun mengeluarkan buku tebal hitam. “Saatnya kau ‘naik’,”

“Ta..tapi…”

“Rupanya kau adalah arwah penasaran…”Josung Saja berbicara sambil terus menatap bukunya. Ia seperti sudah mengerti nasib arwah di depannya ini. “Kau akan menjadi arwah gentayangan karena mati-mu tidak tenang,”

“Ten..tu saja tidak tenang! Sa..saya meninggal sebelum naskah saya terbit!”

“Oh… jadi karena ini..” Gumam Jinhee. “jadi ahjussi ini akan bergentayangan selamanya?” Tanya Jinhee pada Josung Saja.

Josung Saja menggeleng. “Jangan seenaknya menjadi hantu. Lakukan sesuatu agar naskah ini selesai,”

“Sa..saya akan selesaikan!’

“Mwo?!” Seru Jinhee. “Bagaimana caranya?”

Josung Saja menghela nafas dan memutar bola matanya. “Kau ini merepotkan saja,” ia menatap Penulis Kim dengan sorot mata merendahkan. “Selesaikan naskahmu di ‘Langit’. Kalau sudah, kau tidak akan menjadi hantu lagi,”

“Be..benarkah?”

“Bisa begitu ya, Josung Saja?” Jinhee membulatkan matanya mendengar kenyataan bahwa sang hantu memiliki ‘pekerjaan’ di ‘Langit’.

“Aigoo.. semua orang pasti akan mati penasaran. Kalau mereka semua menjadi hantu, ‘Langit’ akan penuh. Tidak akan ada orang yang bereinkarnasi,”

Jinhee mengangguk angguk. Ia kemudian melihat sang Josung Saja membuka telapak tangannya dan menghadapkannya ke lebar-lebar kertas di atas tanah. Seketika itu cahaya kekuningan mucul dan mengelilingi naskah cerita itu.

“Naskah itu sudah kuberi jimat,” ucap Josung Saja setelah menyegel naskah itu ke dalam amplop coklat yang bertuliskan huruf aksara Korea kuno. “Kuburlah,” perintahnya.

--------------------------------------++++++++++++++++++++++++-------------------------------------

Park Jisung berjalan keluar sekolah sendirian. Ia menyusuri lapangan olahraga yang tampak kosong. Ia harus pulang di tengah pelajaran berlangsung. Jisung bersekolah di sekolah seni ternama di Seoul, sekolah yang memiliki banyak murid yang berprofesi menjadi artis itu tentu paham akan kesibukan Jisung.

“Ssst. Jisung ah!” Kepala seorang anak laki-laki muncul dari gerbang luar sekolah. Anak laki-laki itu kemudian melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

“Hyuuung!” Jisung berlari kecil menuju gerbang sekolah. “Wah! Semua datang!” Seru Jisung menatap satu-satu anak laki-laki di hadapannya.

Jisung dijemput oleh ke-enam temannya yang tergabung dalam grup idol yang sama, yaitu NT DREAM. Mark yang tadi memanggilnya langsung mengacak-acak rambut Jisung.

“Iya, kita ‘kan mau makan tteokpokki bersama!” Ujar Chenle yang merangkul pundak Jisung sambil tersenyum hingga matanya menyipit.

“Hya, tapi sebelum itu…” Anggota bernama Haechan berjalan mundur dan mengangkat kepalan tangannya setinggi wajah. Ia menggoyang -goyangkan lengannya hingga gelang yang ia pakai ikut terayun.

Jisung tersenyum. “Hehe..” Ia ikut menggoyangkan lengannya.

“Bukit itu ada di belakang sekolah ini ‘kan?” Jeno menatap sisi kanan nya. Terlihat jelas bukit tinggi yang ada di balik sekolah itu. “Sudah lama aku tidak kesini,” Lanjutnya yang merupakan alumni di sekolah yang sama dengan Jisung.

Mereka pun ikut menatap bagian bukit belakang sekolah yang menjadi tujuan mereka. Mark yang sudah lulus sekolah lebih dulu sudah lupa bahwa dibelakang sekolah terdapat bukit yang dipenuhi pepohonan rindang.

“Ayo!” Seru Haechan yang berlari kecil dan berada di barisan paling depan.

“Ckckckck….” Cibir Jaemin yang menolak berlari dan memilih berjalan santai bersama Renjun di barisan paling belakang.

----------++++++++--------

Mereka ber tujuh saling bertatapan. Mereka sudah menemukan lokasi yang tepat untuk mengubur gelang yang mereka gunakan. Beberapa waktu lalu, Renjun menonton sebuah film tentang time capsule, ia mengatakan bahwa ia ingin membuatnya. Awalnya semua menolak karena biasanya time capsule diisi oleh surat yang ditulis dengan penuh kata kasih sayang, namun setelah Jisung mengajukan ide untuk mengubur benda yang sama, mereka pun setuju.

Mereka bertujuh memiliki gelang yang sama dari segi bentuk dan warna. Mereka akan mengubur gelang itu dan mengambilnya beberapa tahun kemudian. Entah apa faedahnya, namun jika tidak dilakukan, Renjun akan teus merengek kesal.

“Wuuah…” Jaemin menatap pohon di depannya dari akar sampai dedaunan yang berada nun jauh di atas. “Besar sekali pohon ini."

“Disini ya?” Mark mulai menekuk lututnya. Ia mengeluarkan sekop kecil dari dalam tasnya.

Anggota lain ikut menekuk lutut yang berjongkok melingkar. Mark menggali semakin dalam, sedangkan Jisung mengumpulkan gelang dan memasukannya ke dalam plastic transparant.

“Oh?” Gumam Mark kala sekopnya menyentuk sesuatu di bawahnya. “sepertinya aku menyentuh akar,”

“Mwoya? Kalau begitu gali ditempat lain saja, Hyung. Ini tidak cukup dalam,” usul Renjun.

Mark tidak menghiraukan. Instingnya memerintahkannya untuk terus menggali hingga sosok akar itu terlihat.

“Mwoya!” Seru mereka hampir bersamaan. Mereka melihat amplop coklat di dalam tanah. Sekop Mark bukannya menyentuh akar, namun, menyentuh amplop coklat yang keras.

Gerakan tangan Mark semakin cepat. Ia pun menyeluarkan amplop coklat itu dan membersihkannya dari tanah-tanah yang menempel.

“Apa itu, hyung?!” Seru Jeno heboh.

Mark menatap Jeno dan menggeleng. Ia menggoyang goyangkan amplop itu. “Ini…berat,”

“Itu coba hyung balik, ada tulisan di baliknya,” Seru Jaemin yang jongkok di depan Mark. Ia sempat melihat coretan di sisi belakang amplop.

Mark membalik ampop itu. Semua hening karena mereka tidak bisa membaca tulisan kuno Korea yang mirip aksara China.

“Hya, Renjun ah, coba kau baca,” Pinta Mark pada Renjun yang bisa berbahasa China.

“Mmm… ‘jaa….ngan… dibuka’?”

“Bukannya ‘jangan dibaca’, hyung?” Ucap Chenle yang juga bisa berbahasa China.

“Ah, aku tidak tahu, itu ‘kan aksara lama Korea. Memang mirip China, tapi tidak semua,” Renjun menjatuhkan pantatnya ke tanah.

“Isinya apa, sih?” Jeno mulai penasaran.

“Hyung, itu ‘kan tidak boleh dibuka,” cegah Jisung mencoba mematuhi larangan ditulisan itu.

Mark yang sedari tadi memegang amplop itu menatap temannya satu persatu. Jisung masih konsisten dengan gelengan kepalanya. Jaemin hanya terkekeh usil. Kini ia menatap Haechan, tanpa bersuara, Haechan membuka mulut dan berkata, “Bu-ka,”

“Ah tidak tau, lah!” Mark pun membuka amplop itu dan menarik kertas di dalamnya.

Seluruh anak laki-laki yang penuh rasa penasaran pun mendekatkan diri ke Mark yang kini sedang membaca tulisan di kertas itu.

“Ready or not?” Ucap mereka hampir bersamaan.

DUAR!!!

“Omo!”

Mereka ber tujuh dikagetkan dengan suara petir di siang bolong. Suara petir itu diikuti oleh angin kencang yang tiba-tiba datang. Kertas yang dipegang Mark pun berhampuran keluar dan berputar mengelilingi mereka.

“Hyung!!” Seru Jisung ketakutan.

“AAAAAAA!!!”

1. Mark

Mark

“AAAA!”

Suara Mark berhenti ketika menyadari bahwa angin kencang sudah tidak ada di sekelilingnya. Mark tetap panik karena ke-enam teman nya tidak ada di sisinya. Ia kini berada di tempat aneh. Sebuah rumah dengan lampu redup.

“Di..dimana aku?!” Ucapnya sambil memegang seluruh badannya. Ia memastikan badannya dalam kondisi baik-baik saja.

Ia berjalan mengelilingi rumah sambil memanggil satu per-satu nama teman-temannya.

“Omo! Kaget!” Seru Mark yang menatap sosok pria tinggi berbaju hitam. “Si…sapa kau..”

Mark berjalan mundur kala sang pria berjalan mendekat. Ia melihat tangan pria itu memegang amplop berisi kertas dengan jumlah banyak, mirip dengan amplop yang tadi ia temukan di bawah pohon.

“Hya!” Seru pria itu. “Aigoo…” ia lalu menyentuh bagian belakang lehernya. Pria itu tampak marah. “Kau ini! ‘Kan sudah ada tulisan ‘jangan sentuh’! Kenapa malah dibuka?!” Ucapnya sambil mengangkat amplop kertas itu.

“Ma..mafkan sa..saya..”

“Hhhh…. Kau menambah kerjaanku saja,” Gumamnya. “Aku Josung Saja,”

“Mwo?! Jo…sung Saja?! A..aku akan mati?!”

Sang Josung Saja kemudian menghela nafas beratnya dan duduk di kursi kayu di dalam rumah. “Hya, dengar. Kau kini masuk ke dalam cerita ini,” ucap Josung Saja sambil mengambil kertas di dalam amplop. “Mmm…coba kulihat…”

“A..”

“Ssst. Ssst! Kau diam dulu,” sela Josung Saja. “Aigoo, bahkan sekarang pekerjaanku bukan mengambil nyawa orang saja..” Gumamnya. “Karena kau ada dirumah ini… kau jadi.. mantan ‘prajurit yang pergi dari istana’. Mwoya.. ini cerita tentang apa sih?” Josung Saja membalik-balik naskahnya.

Josung Saja pun terdiam dan membaca lembar synopsis naskah itu. “Ah, jadi…” ia menatap Mark yang masih berdiri dengan memasang wajah bingung. “Negeri ini sedang diserang oleh penyihir dan naga-naganya. Istana sekarang telah diambil alih oleh penyihir dan naga. Nanti kau harus membunuh penyihir agar cerita ini tamat,” ucapnya santai. “Seperti itulah,”

“Ne? Penyihir? Naga?”

KRIEEEKKK...

Pintu rumah Mark tiba-tiba dibuka. Seorang anak kecil masuk dan tersenyum pada Mark.

“Siapa anak ini?” Ucap Mark dan Josung Saja bersamaan.

Josung Saja seketika membaca naskah itu. Mark menyapa gadis kecil itu dengan senyuman hangat. Sang gadis kecil yang berumur sekitar 5 tahun itu pun berlari dan memeluk kaki Mark.

“Dia… entahlah..” Mata Josung Saja masih fokus menatap tulisan di naskah itu. “Oh, dia adalah anak yang kau rawat,”

“Ne? Sudah? Itu saja keterangannya?” Mark membulatkan matanya. “Namanya? Orang tuanya?”

“Lin-lin,” Anak itu bersuara pelan. Ia menarik-narik celana Mark. “Lin-Lin,”

“Sepertinya itu namanya,” tebak Josung Saja. “Hya, pokoknya, kau harus melawan raja. Di naskah ini, kau kemudian akan ke rumah seorang pembuat pedang dan membeli pedang disana. Lalu..”

“Tunggu-tunggu…” Sela Mark. “Saya masih tidak mengerti. Saya masuk ke dalam cerita, lalu saya berperang sendirian, lalu saya harus melaw…”

“Tidak sendirian,” kini giliran sang pencabut nyawa yang menyela. “Bukankah kau tadi membuka naskah ini bersama teman-temanmu?”

“Jadi teman-temanku ikut masuk ke dalam cerita ini? Dimana mereka?”

“Mana aku tahu. Setelah ini aku akan menemui mereka satu per-satu. Aigoo merepotkan…”

“Tu…tunggu, saya masih punya pertanyaan lagi. Eummmm…”

“Hya, kau tidak dengar? Aku akan menemui temanmu yang lain lagi. Sudah ya, semoga kau menang,”

Mark hanya membuka mulutnya dan terpatung melihat sosok di depannya yang tiba-tiba menghilang. Ia menggaruk kepalanya bingung.

“Lin-lin?” Si Lin-lin besuara sambil menatap Mark yang tampak lebih tinggi darinya.

“Ha..hai Lin-lin..”

2. Jeno-Chenle

Jeno

PRANG!

Suara besi-besi yang berjatuhan terdengar nyaring. Jeno berusaha berdiri sempurna setelah sebelumnya badannya tidak sengaja menatap sudut meja dan menyebabkan besi-besi tajam berjatuhan.

“Ini… pedang?” Jeno membungkuk untuk menatap salah satu pedang yang berjatuhan dari meja kayu.

Ia kemudian melihat sekeliling. Tak hanya pedang yang ada di sana. Ada panah, pisau-pisau kecil, serta boomerang besi. Jeno kemudian meraba dirinya. Lengkap dan tidak terluka sama sekali. Ia mendekat ke perapian yang masih menyala. Terdapat besi-besi di dalamnya. Jeno sedikit mundur kala ia sadar kalau ia terlalu dekat dengan api yang masih menyala.

“Uhuk uhuk!”

Jeno menoleh. Rupanya ia tidak sendirian. Ia menatap pria tinggi dibelakangnya. Pria itu terus mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah.

“Hya, bersihkan cerobong asapmu. Asapnya jadi ikut masuk ke rumah,” komentar pria itu sambil menunjuk perapian ‘rumah’ Jeno.

“Siapa kau?!”

“Aku?” Josung Saja melihat sekeliling dan menarik kursi. “duduklah, santai saja,”

Dengan wajah panik Jeno ikut menarik kursi dan memegang pisau kecil di tangan kirinya. Ia bersiap-siap jikalau pria misterius dihadapannya ini tiba-tiba menyerangnya.

“Dengarkan baik-baik. Pertama-tama, kau masuk ke sebuah cerita. Ingat amplop ini?” Josung Saja mengangkat amplop coklat itu.

“Mwo?! Masuk ke cerita? Bagaimana bisa?”

“Hya! Itu karena kau yang penasaran ‘kan?! Aku tadi melihatmu. Kau duluan yang ingin membuka naskah ini,” jawab Josung Saja dengan nada tinggi. “Aigoo, padahal sudah kuberi jimat, malah dibuka oleh anak-anak kecil seperti kalian,”

“’Kalian’?” Jeno mengeryitkan dahi. “Oh ya. Bagaimana dengan teman-temanku? Apakah mereka ikut…”

“Ssst! Sst! Sst!” Sela Josung Saja. “’Kan sudah kubilang, dengarkan dulu. Jadi, kau menjadi salah satu tokoh di cerita ini. Ini cerita tentang….Aigoo! Iya-iya! Semua temanmu masuk ke cerita ini, puas?!” Ucap Josung Saja kesal melihat wajah semberut Jeno yang pertanyaannya belum dijawab. “Aku baru bertemu satu temanmu,”

“Benarkah? Siapa?”

Josung Saja mendongak ke langit-langit seperti berpikir. “Aku lupa tanya namanya,” Jawabnya diikuti senyuman jahil. “Pokoknya, dia akan segera menemuimu. Dia adalah manusia biasa, dia akan datang menemuimu untuk membeli pedang,”

“Saya berjualan pedang?"

“Hya, kau tidak hanya berjualan, kau seorang pembuat senjata, lihat sekelilingmu,”

Jeno mulai berpikir ia mendapatkan peran yang keren. Jeno yang belum pernah melihat pedang sebelumnya mencoba memegang gagang pedang yang dipenuhi ukiran-ukiran artistik.

“Jual pedang terbaikmu pada Pangeran Negeri ini,” Lanjut Josung Saja sambil terus membaca naskah.

“Ne?”

“Yah, itu yang tertulis disini,” Ucapnya sambil mengengkat naskah.

“Tapi, pak penulis, ini..”

“Bukan. Aku bukan penulis,” Josung Saja mulai berdiri dan melihat pisau-pisau kecil yang tergantung di dinding. “Aku Malaikat Pencabut Nyawa,”

“Ne?!!” Seru Jeno berlebihan. “Ba..bagaimana bisa?!”

BUAK

Kumpulan kertas naskah tebal menghantam kepala Jeno. Josung Saja itu memukulnya.

“Itu karna kau buka naskah ini. Seharusnya tugasku hanya mengambil arwah di dunia saja, tapi sekarang malah mengawasi kalian,”

“Oh. Hehe…”

------------------------------------------+++++++++++++++++++++++++----------------------------------------

Chenle

“Hhh…hhh…hh…” Chenle terbangun, keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Nafasnya masih sesak dan sulit diatur. Ia menatap langit-langit dan selimut yang menutupi tubuhnya.

Ruangan itu bukan ruangan yang ia kenal. Ruang tertutup itu berisi pedang, baju perang, serta peta yang tergantung di tembok ruangan. Chenle terduduk dan semakin memandang sekeliling.

“Halo,”

“Omo!” Seru Chenle pada seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping ranjangnya. “Si..siapa kau?”

Josung Saja menarik nafas berat. “Aigoo, entah aku harus menjelaskan untuk yang ke-berapa kalinya,” Gumam Josung Saja.

“Apa katamu?” Chenle mengeryitkan dahinya agar Josung Saja berbicara lebih keras.

“Kau masuk dalam naskah ini,” Josung Saja mengangkat amplop naskah di tangan kanannya.

“Amplop itu…”

“Iya, ini yang kau temukan di bawah pohon. Ini naskah cerita milik seorang penulis, sang penulis tiba-tiba meninggal, jadi ia menjadi arwah penasaran yang harus kutangani. Aigoo…ckckck…..”

Chenle membulatkan mata dan mulutnya mendengar ucapan Josung Saja.

“Oh, Aku Josung Saja,” ucapnya santai. “Saat ini si penulis masih di ‘Langit’, aduh, untuk apa aku ceritakan ini padamu ya…”

“Tunggu.” Chenle menghadapkan telapak tangannya pada Josung Saja untuk menghentikannya bicara. “Kalau sang penulis tiba-tiba meninggal… berarti ceritanya belum selesai?”

Josung Saja menutup mulutnya dan memasang ekspresi kaget yang dramatis. Ia lalu bertepuk tangan. “Wuah…kau sesuai sekali dengan karakter buatan penulis Kim! Kau memang Pangeran ber-otak encer!” Josung Saja mengacungkan jempolnya.

“Ba..bagaimana bisa kami masuk ke cerita yang bahkan belum selesai?! Teman-temanku juga? Bagaimana dengan mereka?!"

BRUAK!

“Pangeran!” Seru beberapa prajurit yang membuka pintu kamar Chenle. Mereka ber-empat kemudian berlari kecil mendekat. “Pangeran sudah siuman?”

“Ne?”

“Dokter, panggil dokter!” Teriak salah satu prajurit.

Chenle masih kebingungan. Ia menatap Josung Saja yang berjalan mundur dan berbisik, “Mereka tidak dapat melihatku,” ucapnya sambil menunjuk prajurit-prajurit Chenle. “ah iya, temanmu, semua ada disini. Selamat berjuang,”

“Tunggu!” Teriak Chenle.

Semua mengikuti sorot mata Chenle yang menatap tembok. “Pangeran? Apa pangeran baik-baik saja?” Tanya salah satu prajurit yang khawatir.

Chenle kemudian terdiam. Ia menatap satu-satu prajurit berbaju besi di hadapannya. Sang dokter yang kini mencari titik nadi di pergelangan tangannya pun tak luput ia tatap.

“A..aku baik-baik saja,” jawab Chenle sambil menarik tangannya agar sang dokter berhenti memeriksanya lebih lanjut.

Semua pun berdiri dan terdiam. Chenle tersenyum kecil agar meredakan kekhawatiran mereka.

“Pangeran?” Seorang pria tua berdiri di pintu kamar Chenle yang terbuka.

“Astaga… pangeran? Anda sudah sadar…” Pria itu berjalan mendekat dengan membawa nampan dan teh diatasnya.

“Kalian boleh kembali ke tempat,” ucap Chenle pelan. Para prajurit dan dokter kemudian menunduk hormat dan pergi meninggalkan ruangan.

Hanya ada Chenle dan pria tua itu. “Maaf.. kau..”

“Saya pengawal Ming, apa pangeran lupa?” Ucapnya sambil memberikan segelas teh hangat. “Apa pangeran baik-baik saja?”

Chenle membalas dengan anggukan. “Sa..saya sedikit lupa dengan apa yang terjadi. Bisa kau jelaskan?”

Pengawal Ming terkejut mendengar Chenle yang sepertinya kehilangan ingatan. “Istana diserang para penyihir…” Jawabnya yang kemudian duduk di kasur dan menatap Chenle. “Para penyihir tiba-tiba datang membawa seluruh naga dan para titan (\=raksasa), mereka menyerang seluruh penghuni istana, mereka menyihir seluruh penghuni istana untuk memihak para penyihir,”

Chenle yang sebenarnya terkejut tetap memilih memasang wajah datar dan mendengarkan dengan seksama.

“Setelah kematian Yang Mulia Raja dan Ratu, mereka tiba-tiba datang,” Pengawal Ming bercerita dengan suara sedih. “Kakak perempuan Anda juga meninggal saat para penyihir datang dan akan merebut tahta Yang Mulia. Lalu pangeran terluka seperti ini pun…. Karena saat itu ada naga yang menyerang pangeran, kami pun membawa pergi pangeran dan tinggal di sini, di luar istana,”

“Mwo? La..lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Aigoo… kasian sekali, pangeranku yang malang…” Pengawal Ming mengelus kaki Chenle yang masih bersembunyi di balik selimut. “Kita pasti akan segera merebut kembali tahta milik pangeran. Anda beristirahat dulu, sekarang kami sedang mengumpulkan para petarung terbaik di Negeri ini,”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!