Magma dengan geram merebut tas Leon. Wajahnya terlihat begitu marah, matanya bergantian menatap ketiga putranya yang kini berusia dua puluh tahun.
Untuk pertama kalinya Magma menggeledah isi tas putranya. Yakni Leon, sebab Laura mengatakan jika ia melihat bubuk putih di tas Leon.
Leon, Lucky dan Liham berdiri menunduk di depan sang Ayah. Sedikitpun mereka tidak berani menatap wajah pria tua yang seluruh rambutnya hampir di penuhi uban itu.
Magma menghela nafas kasar ketika melihat benar adanya serbuk putih di plastik kecil di dalam tas Leon.
"Ini milik siapa?" Tanya Magma.
"INI MILIK SIAPA JAWAB?! KALIAN PUNYA TELINGA KAN?! SETIAP HARI MAIN-MAIN, PERGI KE KLAB, MABUK-MABUKAN. DAD MASIH BISA TERIMA. TAPI NARKOT*KA?"
Magma menaikan satu alisnya dengan nafas menggebu-gebu antara kecewa dan marah.
"Leon ini milikmu?"
Leon sontak mendongak lalu menggelengkan kepala. "B-bukan Dad."
"Lalu kenapa ada di tasmu?"
"A-aku tidak tau, Dad." Wajah Leon berubah menjadi pucat. Liham dan Lucky menoleh ke arah Leon , mereka juga heran kenapa ada obat itu di dalam tas Leon.
Magma melangkah lebih dekat, kemudian di tariknya kerah baju Leon dengan geram membuat tubuh Leon gemetar seketika.
"Dad aku benar-benar tidak tau ..." seru nya dengan suara gemetar.
Melihat Magma mencengkram kuat kerah Leon membuat Liham dan Lucky terbelalak tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa atas kemarahan Ayahnya.
"Hukuman apa yang pantas untukmu!" Geram Magma.
"Lepaskan dia, Dad!"
Marvel datang tiba-tiba dengan Marsel dan Melvin.
"Aku bilang lepaskan!" Marvel menarik kerah belakang Leon hingga Leon kini berada di dekat Marvel.
"Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?" Tanya Magma menatap bergantian tripel M yang kini berada di hadapannya.
"Mom memberitahu kami," sahut Marsel.
Magma menghela nafas panjang. "Pergilah. Ini bukan urusan kalian!"
"Ini urusanku juga!" Sahut Marvel.
"Ada nark*tika di tas Leon --"
"Itu punyaku!" Potong Marvel membuat semua orang terkejut.
Magma, Marsel, Melvin, Lucky, Liham dan Leon menatap tak percaya ucapan Marvel barusan.
"Jangan sembarangan kalau bicara!" Tukas Magma.
"Aku bersumpah. Itu milikku, aku menyuruh Leon bertemu dengan bandar mengambil obat itu dan menyimpan nya di dalam tas. Leon tidak akan berani mengaku karena takut denganku!"
"Vel, serius?" Tanya Melvin dengan menaikan alisnya masih tidak menyangka.
Marvel menatap Melvin lalu mengangguk samar.
Magma mengepalkan tangan nya, mendesis kesal. "Berani sekali kau Marvel!"
--------------------------
Mobil klasik berwarna grey dengan plat M-ONE melaju menuju sebuah pantai.
Malam itu suasana sepi hanya ada suara ombak dan kerikil kecil yang terlindas ban mobil Marvel Mahavir.
Jika siang hari pantai ini terlihat begitu indah dengan air yang jernih dan terlihat berwarna hijau dan biru. Di kedua sisinya ada bukit yang tinggi dan pepohonan yang rindang.
Marvel keluar dari mobil klasik nya dan bersandar di depan kap mobil.
Pria itu mengamati pantai di malam hari dengan luka di sudut bibirnya, penampilannya sudah tidak sama lagi, rambut dan pakaiannya sudah berantakan. Bahkan ada bercak darah di kemeja putihnya akibat siksaan dari sang ayah, Magma.
Marvel merogoh sesuatu di saku celana nya. Serbuk putih di pelastik kecil yang tak lain Narkot*ka.
Ia memandang serbuk di tangan nya itu. Kemudian perlahan sudut bibirnya tertarik ke atas, pria itu tersenyum dan kemudian tertawa, tawa yang keluar terdengar seperti rasa sakit di dalam dada nya.
Tawa nya terdengar miris dan menyedihkan.Semakin lama tawa nya semakin keras dengan air mata yang keluar di pelupuk mata nya.
Marah dan kecewa itu yang Marvel rasakan sekarang. Di lemparnya serbuk putih itu dengan kuat hingga jatuh ke air laut.
Marvel menengadah menatap langit tanpa bintang malam itu. Kemudian ia menghela nafas panjang dan memejamkan mata.
Gemercik air membasahi wajahnya, tanpa membuka mata Marvel tahu itu air hujan. Air hujan turun membersihkan darah di wajah Marvel.
Rasa sakit di wajahnya bukan hal besar bagi pria berusia tiga puluh tahun itu.
----------------------
Setelah dari pantai, mobil klasik itu kembali melaju membawa pria setengah kacau di dalamnya dengan pakaian basah.
Wajahnya memucat dengan tatapan kosong ke depan. Tapi walau begitu ia masih bisa fokus mengendalikan mobilnya.
Matanya beralih menatap spion di depan. Ada satu mobil yang mengikutinya dari belakang, ia kembali menarik ujung bibirnya tersenyum meremehkan.
"Bedeb*h!" Umpatnya dengan kesal.
Marvel mengatur gigi dan menginjak pedal gas nya dengan kuat. Mobil klasik grey dengan plat M-ONE itu melaju begitu cepat.
Walaupun hanya mobil klasik biasa tapi Marvel sudah mengutak-ngatik mobilnya agar kecepatannya setara dengan mobil balap. Lagi pula perusahaannya bergerak di bidang transportasi.
"Susul dia!" Seorang pria di mobil itu menepuk teman nya yang duduk di balik kemudi.
"Siap bos!"
Mobil hitam tersebut berusaha mengejar Marvel. Deru mobil antara keduanya terdengar begitu bising, decitan dari mobil yang mengerem mendadak ketika di tikungan saling bersahutan.
Mobil hitam itu hendak menyalip dari kanan tapi mobil klasik Marvel segera menghalanginya.
Tak pantang menyerah, mobil itu mencoba menyalip dari kiri tapi Marvel lebih cepat membanting stir nya ke kiri untuk memblok jalan agar mobil di belakangnya tidak bisa mendahuluinya.
"Si*l!!" Kesal pria di mobil hitam itu.
Pria tersebut merogoh pistol di saku celana nya kemudian membuka jendela mobil.
DOR
PRANG
"Akhh!"
Si*lnya, sebelum pria itu membidikan pistol, Marvel lebih dulu menembak jendela mobil mereka hingga retak sebagian.
Marvel mengambil kesempatan ketika mobil mereka oleng karena kaget, pria itu kembali menginjak pedal gas dengan kuat dan deru mobil terdengar gagah di jalanan.
"Apa yang kau tunggu. Kejar dia!" Teriak pria tersebut kepada supirnya.
"Siap bos!"
Aksi saling mengejar pun masih berlangsung. Pria tersebut berusaha menembak tapi selalu gagal tepat sasaran. Karena Marvel pintar memainkan mobilnya.
Dua motor harley dengan pria berjaket hitam muncul di belakang mobil yang mengejar Marvel.
Mereka adalah Marsel dan Melvin yang datang untuk membantu kakaknya.
Satu tangan Marsel merogoh pistol di saku celana nya kemudian membidikkan nya ke arah ban mobil hitam di depan nya.
DOR.
Suara decitan kembali terdengar dari mobil hitam yang oleng seketika akibat satu ban nya meletus.
"BOS BOS ..." Teriaknya panik.
"KENDALIKAN MOBILNYA SIAL*N!!"
Pria yang menyetir itu berusaha membanting stir ke kanan karena sebelah kiri jurang yang dalam. Dia takut mobilnya malah masuk jurang.
DOR
DOR
PRANG
Dua tembakan kembali terdengar. Kali ini dari arah depan dan belakang, Melvin menembak ban yang satunya lagi dan Marvel kembali menembak dari arah depan dan kembali mengenai kaca mobil hingga hancur.
Mereka terpaksa harus berhenti ketika ban mobil sudah rusak parah. Hal itu membuat Marsel dan Melvin juga ikut berhenti.
Mereka turun dari motornya menghampiri mobil hitam yang terparkir di dekat bebatuan besar.
"Keluar!" Seru Marsel dengan membidikkan pistol ke jendela.
"Bos itu pistol edisi terbatas bukan ya? Kalau tidak salah peluru nya cukup tajam." Pria di balik kemudi itu memperhatikan pistol yang di pegang Marsel dengan berdecak kagum.
"Kau pikir aku tidak punya pistol hah?!" Teriak pria yang satunya lagi dengan ikut membidikkan pistol ke arah Melvin yang berada di luar mobil.
"Pistol butut. Peluru milikmu itu hanya peluru kecil yang tidak bisa menembus kaca anti peluru ini!" Sahut Melvin membuat dua pria di dalam mobil terdiam seketika.
Benar juga, mobil mereka sudah di lapisi kaca anti peluru tapi Marvel sudah berhasil menghancurkan kaca bagian depan nya.
Kaca bagian depan sudah hancur parah. Mereka berdua bisa saja menembak Marsel dan Melvin dari sana tapi dua pria kembar itu ada di samping pintu mobil dengan menodongkan pistol yang pelurunya siap kapan saja masuk ke kepala mereka apalagi yang di gunakan pistol terbaik.
Suara deru mobil kembali terdengar, Marvel putar balik dan melihat Marsel dan Melvin sudah memegang dua pria tersebut dengan mengikat kedua tangan nya ke belakang.
Setelah mobil berhenti. Marvel keluar dari mobilnya menghampiri mereka.
Dengan memasukan kedua tangan ke saku celana, Marvel berdiri tepat di depan pria yang mengikutinya tadi.
"Siapa yang menyuruh kalian?"
"Sepertinya mereka manusia biasa yang haus kekayaan. Tidak ada tanda apapun di tubuh mereka yang menunjukan organisasi mafia yang lain," sahut Melvin.
"Pencuri?" Marvel menaikan satu alisnya kemudian tertawa kecil. "Pantas bod*h!"
"Dari mana kalian mendapatkan pistol?" Tanya Marvel yang penasaran sebab ada dua tipe manusia yang mempunyai senjata. Yang pertama aparat penegak hukum dan yang kedua organisasi gelap seperti mafia.
"K-kita membelinya."
Marvel mendengus kasar. "Masukan saja ke penjara!"
"T-tuan."
Marvel melengos pergi masuk ke dalam mobilnya. Sungguh, dua maling sial*n itu menganggu waktunya saja.
"Nyawa kucing bos?" Tanya Melvin dengan senyuman meledek ke arah mereka berdua.
"T-tuan jangan masukan kami ke penjara," pintanya.
"Lalu masukan kemana?" Tanya Melvin dengan senyuman miring dan satu alis terangkat naik.
Sementara Marsel tengah menelpon polisi untuk cepat datang menjemput dua orang yang mengikuti Marvel tersebut.
Bersambung
-----------
Anggap aja cerita ini di buat setelah cerita Reagan (Dosenku seorang mafia) tamat ya guys. Karena umur Reagan lebih tua dari Marvel dan di cerita (DSM) Reagan baru berusia 28 tahun tapi Marvel di sini udah 30 tahun. Mereka gabakal ketemu karena ceritanya beda Negara 🙏🙏🙏
Hujan kembali turun, kali ini sangat deras membuat penglihatan Marvel terhadap jalan di depannya sedikit buram. Tapi pria itu tidak melambatkan laju mobilnya.
Dan dari arah berlawanan seorang gadis tengah menangis dengan mengendarai motor pesva berwarna kuning lengkap dengan helm bentuk bebek di kepalanya. Air matanya tidak terlihat sebab derasnya air hujan.
Gadis itu bahkan tidak memakai jas hujan. Dia membiarkan tubuhnya basah, tidak perduli akan hal itu gadis itu justru mengingat ucapan Kakaknya yang menyakitkan.
"Kau harus menikah dengan temanku karena aku kalah judi dengan dia!"
"Kakak jadikan aku jaminan? Kenapa kak?"
"Tidak usah banyak tanya, Linka! Kalau kau tidak menikah aku mati terbunuh. Kau mau?"
"Terus kakak mau nikahin aku sama orang sembarangan? Kak, aku udah bilang berhenti judi. Lebih baik aku yang cari uang untuk kakak kalau kaya gini!"
"Berisik! Aku sudah
menjadikanmu jaminan, Linka!" Teriak Lutfi kakak dari Halinka Maharani Rabu.
Linka kembali menangis tersedu-sedu dengan dada sesak. Lutfi satu-satunya keluarga yang ia punya tega menjadikan dirinya jaminan untuk permainan sial*n itu.
"Kak Lutfi jahat! Kak Lutfi jahat!" Teriaknya dengan menangis di jalanan yang gelap dan basah.
"Aku tidak mau menikah dengan pria itu huuuu ..."
Marvel merogoh ponsel di saku celana kala ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Magma.
"Marvel, kau dimana?"
Marvel tidak membalas pesan itu tapi ia segera menelpon Ayahnya. Tak butuh waktu lama, Magma langsung mengangkat.
"Ada apa, Dad?"
"Kau dimana?" tanya Magma.
"Di jalan menuju mansionku," sahut Marvel dengan masih melajukan mobil tanpa mengurangi kecepatannya.
"Begini, tiga adikmu sulit di atur dan anak dari Lalita dan si tukang masak juga sama. Mereka bertujuh sering kumpul di klab dan tidak pernah serius dengan kuliahnya. Kami berencana untuk ..." Magma berhenti sejenak karena merasa canggung untuk melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Apa Dad?"
"Memintamu untuk mengurus mereka."
Marvel terdiam, setelah Magma memukul dan menyiksanya tadi sekarang pria tua itu memintanya mengurus semua adiknya. Oke, Leon, Liam dan Lucky memang adik kandungnya tapi Kevin, Kenzi, Kavis dan Kalingga juga di serahkan kepadanya.
Senakal apa mereka sampai orang tuanya menyerah mengurus mereka.
"Apa Dad tidak takut aku memberi narkot*ka kepada mereka?" sindir Marvel dengan tersenyum miring.
Magma menghela nafas panjang. "Tes urine satu bulan sekali untuk mereka. Bagaimana?"
"Kenapa harus aku yang mengurus mereka?" Tanya Marvel.
"Karena mereka lebih takut kepadamu dari pada kepada kami, Marvel. Oke, Dad minta maaf soal tadi karena memukulmu tapi kau tau itu karena salahmu sendiri, bukan?"
"Hm." Marvel hanya menjawab dengan deheman.
Marvel terus menatap ke jalanan dengan ponsel yang menempel di telinganya. Magma bercerita apa saja kekacauan yang di buat oleh Leon dan yang lain.
Dari arah depan Marvel melihat lampu menyorot lurus ke kaca mobilnya. Dia heran kenapa pengendara dari arah berlawanan itu ada di tengah-tengah.
Marvel melebarkan matanya kala melihat seorang pengendara motor terus melaju ke arah mobilnya. Ia menekan klakson beberapa kali tapi tidak di gubris oleh pengendara motor tersebut.
"Si*l!" Umpat Marvel kemudian membanting stir ke arah kanan dan.
BRAKH
Mobilnya menabrak sebuah pohon. Pengendara motor tersebut juga terkejut dan berhenti lalu menoleh ke arah mobil klasik grey tersebut.
Linka, yang pikirannya kalut karena memikirkan perjodohan nya dengan teman kakaknya hampir saja menabrakan diri ke mobil Marvel untung saja Marvel bisa membanting stirnya dengan cepat
"Hallo, Marvel suara apa itu? Kau baik-baik saja?" Tanya Magma panik.
"Aku baik-baik saja. Sebentar Dad."
Marvel mematikan panggilan telpon nya lalu segera keluar dari mobil.
Melihat seorang pria keluar dari mobil klasik tersebut membuat Linka gugup seketika, apalagi melihat wajah tak bersahabat dari pria yang berjalan ke arahnya itu.
Saking gugupnya ia tidak bisa menyalakan motornya sendiri.
"Berhenti!" Marvel menahan motor Linka yang hendak melaju ketika berhasil menyalakan mesin motornya.
"T-tuan saya tidak sengaja ..."
"Turun," titah Marvel.
"Tuan saya benar-benar tidak sengaja. Maaf Tuan saya tadi ... saya tadi melamun karena ---"
"Turun!"
BRUKH.
Marvel menarik kasar tangan Linka agar turun dari motornya membuat motor Linka terguling seketika.
"E-eh motorku ..."
Langkah gadis itu di seret oleh Marvel yang membawanya menuju mobilnya.
"Lihat mobilku!"
Mata Linka perlahan menatap bagian depan mobil yang penyok sebab menabrak pohon.
Dan dengan pandangan takut ia kembali menatap Marvel.
"S-saya kan bilang tidak sengaja Tuan hehe ..." Linka menyengir menampakan gigi putihnya.
Marvel terdiam sejenak menatap lekat-lekat gadis di depan nya ini yang memakai helm bebek berwarna kuning.
"Siapa namamu?" Tanya Marvel kemudian.
"Linka."
"Nama lengkap?"
"Halinka Maharani Rabu."
"Tempat tinggal?"
"Hah?" Linka menaikan kedua alisnya tidak mengerti. Untuk apa pria di depannya ini bertanya soal tempat tinggalnya.
"Jawab saja atau aku akan menyuruhmu ganti rugi!" Seru Marvel.
"Eh iya, jangan Tuan. Saya tinggal di desa Tejada, gran canaria. Saya kesini merantau baru satu bulan karena menyusul kakak saya."
"Jadi sudah tidak tinggal di desa itu lagi kan?" Tanya Marvel dengan tangan bersedekap dada.
Linka menggeleng pelan. "Saya tadinya mau kabur dari kakak saya tapi saya tidak tau kabur kemana." Gadis itu kembali menunduk dengan wajah sedih.
"Oh."
Linka kembali mendongak menatap Marvel kala pria itu hanya menjawab singkat. Linka pikir pria di depan nya akan merasa kasihan kepada dirinya dan mengatakan.
Kau bisa tinggal di rumahku dan menjadi pembantu di sana.
Sungguh, Linka rela jadi pembantu asal punya tempat tinggal dan bisa menghindar sementara waktu dari kakaknya.
"Oh saja Tuan?" Seru Linka menaikan alisnya.
"Minggir!" Marvel mendorong Linka ke samping lalu masuk ke mobil untuk mengambil ponselnya lalu pria itu menyodorkannya kepada Linka.
"Nomor ponselmu!"
"Hah? Untuk apa?"
"Siapa tau nanti aku memintamu untuk ganti rugi! Cepat atau aku akan melaporkan ke pihak berwajib atas kelalain berkendara!"
"E-eh iya jangan Tuan." Linka yang takut di laporkan langsung mengambil ponsel Marvel dan mengetik nomornya.
Setelah selesai Marvel langsung masuk ke mobilnya meninggalkan Linka seorang diri.
Linka langsung menggedor jendela mobil Marvel. "Tuan ... Tuan ... tidak bisakah anda membantu saya? Beri saya pekerjaan atau apalah itu. Saya butuh tempat tinggal."
"TUAN!" Linka semakin menggedor jendela mobil ketika Marvel menghidupkan mesin mobilnya.
"TUAN KENAPA KAU TIDAK BERPERIKEMANUSIAAN!!" Jerit Linka menatap kepergian mobil Marvel yang begitu cepat sampai deru mobilnya terdengar begitu menusuk ke telinga Linka.
Linka menghentak-hentakan kakinya kesal. Sekarang ia harus pergi kemana malam-malam seperti ini.
Linka celengak-celinguk memperhatikan jalanan yang sepi kemudian ia segera berlari menuju motornya karena takut ada orang jahat yang hendak mencelakainya.
-------
Gerbang berwarna hitam dengan logo M-ONE terbuka ketika Marvel menekan tombol otomatis di mobilnya.
Satu wanita berkebaya khas Indonesia dengab rambut di sanggul berlari tergopoh-gopoh dengan empat pelayan wanita di belakangnya.
Mereka langsung berjajar menyambut kedatangan Tuan nya.
"Tuan ..."
Marvel yang hendak masuk ke mansion menghentikan langkahnya.
"Pakaian anda basah. Ini handuknya ..." kepala pelayan tersebut memberikan handuk yang dia ambil dari pelayan wanita di belakangnya.
Marvel mengambil handuk tersebut dan kembali berjalan masuk ke mansion nya.
Kepala pelayan di mansion itu menghela nafas panjang sambil mengelus dada nya. "Oke, Magma ternyata tidak terlalu menyeramkan di banding anaknya. Huh sabar Jeni sabar ..." gumam nya.
Jeni si pria tulang lunak mantan asisten Laura atau Ibunya Marvel kini menjabat sebagai kepala pelayan di mansion Marvel. Tapi terkadang Jeni di butuhkan untuk menjadi asisten Marvel jika Marsel dan Melvin tengah sibuk.
"Heh kenapa berdiri di sini. Masuk!" Titah Jeni ketika berbalik dan melihat empat pelayan wanita itu masih berdiri di belakangnya.
"Iya madam," sahut mereka kompak dengan kepala menunduk lalu mereka berempat pun kembali masuk ke mansion mengerjakan tugas yang lain.
"Vel ..."
Marvel yang baru saja mau membuka pintu kamar menoleh ketika Marsel memanggilnya.
"Kau darimana?"
"Ada apa?" Marvel balik bertanya dengan wajah datarnya.
"Tidak. Aku hanya bertanya ... oh iya soal ..." Marsel menggantung kalimatnya menatap wajah saudara kembarnya itu. Ia sedikit ragu ingin bertanya soal narkot*ka kepada Marvel. Takut Marvel tersinggung.
"Soal itu ---"
"Soal narkot*ka itu bukan urusanmu!" Marvel masuk ke kamarnya.
Marsel berdecak dengan menggelengkan kepala pelan.
Marvel membersihkan dirinya di kamar mandi. Ia membuka kancing kemeja nya satu persatu hingga menampakan tatto kecil di leher samping kiri yang bertuliskan 'Recobra.'
Pria itu mematut dirinya dengan angkuh di depan cermin. Dada nya yang bidang dan perutnya yang berotot membuat tubuhnya terlihat begitu atletis.
Di bagian kiri tepatnya di bagian bawah tulang rusuk ada bekas jahitan yang belum pudar setelah tiga tahun lama nya.
Ketika dia mengguyur dirinya di bawah air shower yang hangat. Marvel mengingat nama gadis yang dia temui tadi.
Halinka Maharani Rabu.
Dari nama dan wajahnya lebih mirip orang asia. Rabu? Apa perempuan itu lahir di hari rabu.
Marvel berdecih ketika otaknya mencoba berpikir bagaimana jika gadis itu lahir di hari kamis. Apa namanya akan menjadi Halinka Maharani Kamis?
Selesai mandi, dengan handuk sepinggang yang melilit bagian tubuhnya dan rambut basahnya, pria itu berjalan ke meja kecil dengan satu kursi dari kayu jati di dekat jendela kamar.
Ia duduk di sana dan membuka laptopnya. Marvel memasuka nama lengkap dan nomor ponsel gadis itu untuk melacak keberadaan Linka.
Marvel menaikan alisnya ketika melihat tanda merah dari ponsel Linka ada di rumah bordil. Kenapa gadis itu ada di sana? Apa sebenarnya gadis polos dengan helm bebek di kepalanya tadi adalah gadis pelacur?
Bersambung
Seorang perempuan terkapar di ranjang ketika sebelumnya melayani seorang pria yang menyewa nya.
Pria itu menaikan resleting celana nya lalu melempar segepok uang ke tubuh gadis tersebut.
"Mulai sekarang jangan muncul di hadapanku lagi jal*ng!" Seru nya lalu keluar dari kamar tersebut setelah memakai kaos putih polos miliknya.
Di luar Lutfi sudah menunggu. Ia menatap pria di depan nya dengan wajah gugup, Lutfi menelan saliva nya susah payah.
"Dimana adikmu itu? Aku ingin cepat menikahinya!" Seru nya dengan tersenyum miring.
"Dia di kamar," sahut Lutfi.
"Baiklah. Sebelum menikahinya aku harus mencicipinya dulu ..."
Jaxon Billiam seorang pria pengusaha di Spanyol, suka bermain wanita dan lagi dia juga keturunan organisasi mafia bernama Kartel.
Jaxon dan Lutfi tidak terlalu dekat. Hanya beberapa kali bertemu di klab untuk main judi, Jaxon menawarkan harga yang fantastis untuk siapapun yang berani main judi dengan nya. Banyak orang yang tertarik melawan Jaxon, termasuk Lutfi.
Tapi sayangnya ketika lawan nya kalah Jaxon berhak meminta apapun dari lawan nya. Termasuk Lutfi yang harus memberikan adiknya.
Jaxon berjalan meninggalkan Lutfi menuju kamar.
Lutfi menatap kepergian Jaxon dengan menghela nafas panjang. Dia sebenarnya tidak mau menyerahkan Linka kepada pria itu tapi jika tidak dia akan mati terbunuh.
Lutfi dengan gelisah menunggu adiknya di kamar dengan Jaxon. Pria itu terus meminum alcohol untuk menghilangkan kegelisahannya.
"LINKA SIAL*N BERHENTI KAU!"
Linka berlari dengan rambut berantakan dan bajunya yang robek sebab di kamar Jaxon memaksa dirinya untuk menyerahkan semuanya kepada pria itu. Yang tak lain tubuhnya sendiri.
Di rumah bordil itu semua mengalihkan pandangannya ke arah Jaxon yang berlari mengejar Linka dengan hanya memakai jeans hitam saja.
"LINKA!"
"Tidak, aku tidak mau!" Linka menangis tersedu-sedu, air mata terus keluar dari pelupuk matanya.
"Linka!"
Lutfi langsung menangkap Linka. Linka bisa mencium bau alcohol yang menyengat dari tubuh kakaknya.
"Kak, aku tidak mau. Aku mohon ..." Linka menangis dengan menggelengkan kepala. Wajahnya memelas kepada Lutfi agar mau membantunya melepaskan diri dari kejaran Jaxon.
Tapi justru itu tidak mungkin. Karena Lutfi lah biang kerok dari semua ini.
"Kau tidak bisa seperti ini Linka!" seru Lutfi.
Linka tersentak kaget ketika tangan nya di tarik dengan kasar oleh Jaxon. Jaxon melingkarkan lengan nya di leher Linka membuat gadis itu kesulitan bernafas, Lutfi melebarkan matanya melihat kemarahan Jaxon.
"Berani sekali kau kabur dariku!" Geram Jaxon.
Semua orang yang ada di rumah bordil saling mendempet ketakutan melihat wajah kemarahan Jaxon.
"Kau pikir kau siapa hah?!"
"T-tolong ... le-lepaskan a-aku." Linka terbata dengan wajah memerah ketika udara tak bisa masuk ke dalam tubuhnya.
"Menurut denganku. Kalau tidak, kau dan kakakmu akan mati!" Seru Jaxon mematikan berbisik di telinga Linka.
Ucapan Jaxon membuat Linka merinding seketika. Gadis itu mengangguk dengan terpaksa dan berlinang air mata sementara sang Kakak Lutfi hanya bisa mematung tanpa membantu. Tapi Lutfi juga terlihat panik dengan kemarahan Jaxon.
Jaxon menyeret gadis itu menuju kamarnya dengan masih melingkarkan lengannya di leher Linka.
"Berhenti!"
Jaxon menghentikan langkahnya, berbalik dengan mencengkram tangan Linka agar tidak kabur. Linka terbatuk ketika lengan kekar Jaxon akhirnya lepas dari lehernya.
Marvel berjalan menghampiri dua manusia itu dengan Madam Jeni di belakangnya. Wajah Marvel begitu angkuh sama seperti wajah Madam Jeni. Yang beda hanya cara jalan nya saja, madam Jeni berjalan melenggak-lenggok khas model dengan pakaian kebaya khas Indonesia nya dan sanggul besar di kepalanya.
Mata Jaxon mengintimidasi menatap kedatangan Marvel.
Lutfi menepi ke dinding rumah bordil, memberi jalan untuk Marvel dan Madam Jeni. Lutfi tahu siapa Marvel, hal itu membuat jantung Lutfi berdegup kencang. Apa yang akan terjadi selanjutnya kenapa Marvel mendatangi Jaxon di rumah bordil padahal setahu Lutfi mereka tidak dekat sama sekali.
"Lepaskan gadis itu!"
"Apa urusanmu?" tanya Jaxon.
Linka melebarkan matanya ketika melihat pria yang hampir ia tabrak beberapa jam yang lalu ada di rumah bordil. Linka sampai mengabaikan rasa sakit di tangan nya akibat cengkraman Jaxon yang kuat.
"Aku bilang lepaskan!"
"Dia milikku kau tidak bisa ikut campur!!" Jaxon mendorong dada Marvel dengan kasar.
Madam Jeni berdecih dengan menatap Jaxon jengah seakan meremehkan pria itu.
Mata Marvel beralih menatap Linka. "Kau miliknya?" Tanya Marvel dengan wajah angkuhnya.
Linka menggeleng cepat. "Tidak. Aku di jadikan jaminan judi oleh kakak ku!" Sahut Linka dengan menangis.
"Linka!" Seru Lutfri memperingati Linka untuk tidak menjawab apapun.
Marvel menoleh ke belakang menatap Lutfi dengan pandangan mematikan. Lutfi mundur ketakutan.
Kemudian Marvel kembali menatap Jaxon.
"Kau melawan manusia yang ada di belakang? Lemah sekali lawanmu!" Marvel tersenyum meledek.
"Aku bilang ini bukan urusanmu sial*n!!"
Jaxon hendak melemparkan pukulan ke wajah Marvel tapi dengan sigap Marvel menangkis tangan Jaxon dan menjadi Marvel yang memukul Jaxon. Semua orang yang ada di rumah bordil itu menjerit termasuk Linka.
"Jika kau merasa manusia yang hebat cari lawan yang seimbang bedeb*h!! Bukan pria lemah!!" Seru Marvel dengan amarah yang menggebu-gebu.
Jaxon mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Menatap Marvel dengan tatapan permusuhan.
"Lawan aku jika kau merasa hebat!" Seru Marvel.
"Apa jaminannya?" Tanya Jaxon.
"Gadis ini ..." Marvel kembali menatap Linka. Linka terbelalak, ia kira kedatangan Marvel akan membantu dirinya. Nyatanya malah di jadikan jaminan kembali.
"T-tidak. Aku mohon jangan aku ..." lirih Linka menatap bergantian Marvel dan Jaxon dengan wajah memohon.
"Oke," sahut Jaxon membuat Linka semakin terbelalak.
Jaxon tersenyum sinis. Dengan senang hati menerima tawaran dari Marvel sebab ia merasa sangat percaya diri untuk menang.
Marvel membuka jas hitam yang ia kenakan kemudian melemparnya ke wajah Linka karena melihat baju gadis itu robek di bagian dada dan memperlihatkan tanktop yang di kenakan nya. "Tutupi tubuhmu!"
Marvel berbalik menuju sebuah meja diikuti Jaxon. Marvel sempat melempar tatapan mematikan kepada Lutfi yang masih berdiri ketakutan.
"Yuk capcus ..." Madam Jeni menarik lembut tangan Linka.
"Plis aku tidak mau." Linka terisak dengan memeluk jas hitam Marvel untuk menutupi robekan bajunya.
"Jangan membantah sayang. Semuanya akan rumit kalau kau mengelak. Terima takdirmu, oke?" Seru Madam Jeni kemudian membawa Linka mengikuti Marvel.
Linka duduk di salah satu kursi dengan mengenakan jas hitam Marvel. Madam Jeni duduk di sampingnya.
Dengan tatapan kosong Linka menatap meja yang tertera kartu judi di atasnya. Dua pria tengah memperebutkan dirinya, sama-sama menjadikan dirinya jaminan. Ia tidak tahu bagaimana hidupnya setelah permainan ini berakhir. Karena untuk Linka, dua pria itu sama-sama menghancurkan hidupnya.
Kedatangan pria yang hampir ia tabrak mobilnya beberapa jam yang lalu, Linka pikir akan membantu dirinya.
Tapi ternyata Linka salah, Linka seperti meloncat dari satu jurang ke jurang lain.
Di tatapnya wajah kakaknya yang juga duduk bersama mereka. Wajah marah bercampur dengan rasa kecewa, melihat adiknya menatapnya dengan tersirat dendam di kedua matanya, Lutfi langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Permainan kartu itu terus berlanjut. Meja judi tersebut di kelilingi banyak orang yang ikut menonton. Para wanita pelac*r juga pria pemain wanita ikut menyaksikan Marvel dan Jaxon. Mereka penasaran siapa yang akan menang.
Setengah jam kemudian akhirnya Marvel bisa tersenyum miring kala ia berhasil mengalahkan Jaxon.
"Dia milikku ..." seru Marvel beralih menatap Linka yang duduk di samping Jeni.
Terlihat dari mata Jaxon pria itu sangat tidak terima. Helaan nafasnya penuh amarah.
BRAKH
Dia menggebrak meja dengan keras. "Dari awal dia untukku," desisnya.
Marvel tersenyum angkuh membuat Jaxon semakin murka. Pria itu berdiri dan menarik kasar tangan Linka.
Marvel masih bergeming ketika Linka memberontak meminta di lepaskan ketika Jaxon terus menyeret langkahnya.
Semua orang memusatkan pandangan mereka ke arah Linka dan Jaxon. Termasuk sang kakak, Lutfi.
"Tuan ..."
Marvel mengangkat tangan nya ketika Madam Jeni hendak berbicara. Ia meminta Madam Jeni untuk diam.
Dalam sekali gerakan, Marvel berdiri, berbalik dan.
DOR.
Semua orang menjerit kaget ketika Marvel menembak kepala Jaxon.
Linka mematung di tempat, jantungnya seakan berhenti berdetak ketika wajahnya terkena cipratan darah dari kepala Jaxon.
Jaxon seketika terjatuh tak bernyawa.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!