Jasad telah terkubur. Bunga ditaburkan di atas tanah gundukan yang masih basah. Doa dipanjatkan, suara tangis terdengar dari beberapa pelayat.
Langit kelam mengiringi hari berkabung. Takut hujan mengguyur, para pelayat bergegas pergi setelah memberikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga yang berduka.
Sunyi. Kemudian, angin berembus pelan dengan disertai guruh di angkasa. Seorang wanita paruh baya memeluk anak lelaki remaja seraya sesegukkan, sementara seorang gadis berdiri di samping nisan sambil menunduk.
Kenapa begitu cepat? Lirihnya dalam hati. Ibu pergi ketika ia masih berusia 9 tahun, dan kini ayahnya menyusul saat ia sendiri belum siap kehilangan.
Telah banyak air mata tumpah sejak dokter mengumumkan kematiannya. Namun, begitu peti jasad ayahnya dikubur, gadis itu hanya terdiam tanpa menangis.
Sampai kapan ... sampai kapan ia bisa menahannya. Tubuhnya seketika jatuh berlutut di samping nisan. Lalu, tangisnya pecah sambil memeluk erat nisan yang telah terukir nama sang ayah.
Remaja lelaki itu menghampiri, tangannya meraih pundak sang kakak seraya berkata, "Kak, yuk pulang."
Ia tahu adiknya juga kehilangan, tapi belum bisa merelakan ayahnya pergi.
"Kamu bawa mama pulang duluan, aku akan menyusul," jawabnya di sela isakannya. "Aku masih mau di sini."
"Tapi, sebentar lagi mau hujan, Kak."
"Iya, Kiara," timpal mama tirinya, lembut. "Yuk, pulang. Kamu boleh ke sini lagi besok."
Kiara menggeleng, pelukan pada nisan ayahnya semakin dipererat. Ia tak mau pergi, ia ingin di sini menemani ayahnya tanpa takut akan angkernya makam ini. Kalau perlu, cabut saja nyawa ini. Ia tak sudah kehilangan kedua orangtua kandungnya.
Guruh berbunyi lagi, mama dan remaja bernama Kelvin itu menegadah ke langit dengan cemas. Awan seakan tak tahan lagi mengeluarkan isinya. Ibu dan anak itu sepakat memaksa gadis itu untuk beranjak.
Keduanya meraih lengan Kiara, lalu menghelanya berdiri. Gadis itu tak kalah keras kepalanya, sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak beranjak sambil menjerit dan menangis.
"Lepaskan aku! Ma, Kelvin, aku nggak mau pergi dari sini!"
"Maaf, Nak. Tapi, Mama juga tidak bisa membiarkan kamu kehujanan di sini," kata wanita paruh baya itu. "Ayo, pulang Kiara. Please, jangan siksa dirimu seperti ini."
Drama tarik-menarik ini tak kunjung usai. Bahkan, ketika rintik hujan mulai turun satu per satu. Mama dan Kelvin baru berhenti memaksa ketika mendengar bunyi derak ban mobil melindas tanah. Keduanya menoleh terpana pada mobil Jeep itu, sementara Kiara berkesempatan untuk kembali memeluk nisan papanya.
Empat pria berbadan kekar keluar dari mobil itu. Mata mama dan Kelvin membulat kala mereka berjalan mendekat ke arah mereka. Salah satu dari mereka, yang berkepala pelontos, menghadap mama, kemudian dia berkata:
"Sesuai perjanjian, kami harus membawanya pergi!"
Membawa pergi? Siapa? Kelvin akan menanyakan hal itu pada mamanya yang tengah mendelik. Akan tetapi, pria itu sekonyong-konyong memerintahkan anak buahnya tanpa mendengar jawaban mama.
Dua orang pria berbadan kekar itu menghampiri dan menyergap kedua lengan mereka. Kiara tak berdaya ketika tubuhnya terangkat langsung dengan mata mendelik.
"Apa-apaan ini? Siapa kalian? Lepaskan saya!" pekik Kiara bingung.
Tanpa mengindahkannya si kepala pelontos berkata, "Bawa gadis itu ke mobil!"
Apa?
Kiara bingung dan panik. Kenapa ia dibawa oleh pria asing itu? Kelvin meraih tangan salah satu pria yang menyergap kakaknya untuk mencegahnya.
"Tunggu dulu! Kalian siapa? Kenapa kalian membawa kakak saya?" tanyanya, kemudian ia beralih tatap pada sang ibu. "Ma, ada apa ini? Kenapa diam aja? Jawab, Ma?"
Kiara juga penasaran, menoleh pada mamanya yang tengah menunduk dengan mulut dikulum serapat-rapatnya.
Mereka tidak punya waktu, bahkan tak peduli pada urusan keluarga ini. Tugas mereka hanya disuruh membawa gadis ini pada atasannya. Pria kepala pelontos itu memberi perintah lagi, dan mereka membawa Kiara tanpa mempedulikan Kelvin yang terus berusaha menahan mereka.
Kiara meronta dan menjerit sambil menatap adik dan ibu tirinya. Tubuhnya yang kecil dan lemah tak dapat melawan kekuatan kedua pria itu, sehingga sia-sia saja perlawanannya. Akhirnya, ia dengan mudah diboyong ke dalam mobil.
"Ma, ada apa ini? Kenapa Mama diam aja?" tanya Kelvin lagi, memelas karena terlalu putus asanya dalam kepanikan, kebingungan, dan lelah menghadapi bungkamnya sang ibu.
Tak mendapat jawaban Kelvin nekat untuk menyusul Kiara. Di sinilah mama baru bertindak, cepat ia menyambar lengan Kelvin untuk mencegahnya.
"Jangan, Nak," pintanya.
Heran, kenapa mama mencegahnya? "Kenapa, Ma? Kenapa? Apa hubungannya mereka sama kita? Apa yang Mama sembunyikan?" Pertanyaan itu kali ini bernada gusar dan agak membentak.
Mama bungkam lagi, Kelvin semakin kesal. Masa bodo, Kelvin menghempaskan genggaman tangan mama dengan kasar, lalu berlari menghampiri mobil Jeep tanpa mengindahkan seruan mama.
Sayang, mobil itu melaju. Sebisanya Kelvin mengejar mobil itu di tanah yang becek oleh air hujan yang turun semakin deras.
"Kakak! Kakak!" teriaknya, melewati jalan yang masih sebagian bertanah merah. Alhasil, celana bahan dan sepatu ketsnya kotor.
Kiara mendengar seruan itu, lalu melihat menoleh ke belakang. "Kelvin! Kelvin!" jeritnya sambil kembali meronta meski ia tahu usaha itu hanya sia-sia.
Mobil semakin menjauh, laju lari Kelvinpun melambat perlahan karena lelah. Sepatu yang dipakainya licin ketika menginjak tanah basah, yang mengakibatkannya jatuh terpeleset.
"Kakaaaaaakkk!" teriaknya dengan diselingi tangisan.
Mama datang tak lama kemudian, memeluk anak lelakinya yang terisak putus asa sambil terkadang menatap mobil Jeep yang telah keluar dari area pemakaman.
Kiara menangis pedih begitu melihat Kelvin terjatuh. Kepalanya tertunduk lemas.
Ada apa dengan hidupnya? Baru saja dipisahkan oleh sang ayah, sekarang ia direnggut oleh orang-orang asing ini. Siapa mereka? Kenapa mereka membawanya pergi dari adik dan ibu tirinya.
Tidak, ia tak bisa menyerah begini!
Tangisannya berhenti, tak ada lagi suara isakan yang terdengar. Secara mengejutkan Kiara meronta kembali ketika sergapan di lengannya melemah.
Meski tiba-tiba, tak semudah itu melepaskan diri dari kedua pria itu. Genggaman tangan berotot mereka tetap kuat, tetapi mereka tetap kewalahan. Alhasil, semua penghuni di dalam mobil dibuat kesal dan cemas.
"Bekap dia!" Akhirnya, si kepala pelontos memberi perintah untuk mengatasi kekacauan ini.
Pria yang ada di kursi depan mengeluarkan sebuah sapu tangan dan sebotol obat bius berukuran kecil dari dalam laci dashboard. Obat bius itu dituangkan sedikit ke sapu tangan itu, kemudian ia berikan pada salah satu pria yang tengah memegangi Kiara.
Kiara mendelik, tahu bahwa dirinya akan dibius. Sebisa mungkin ia menghindari wajahnya, tapi pada akhirnya pria itu berhasil membekap mulutnya.
Meski berusaha tak menghirupnya, Kiara tak kuasa menahan obat itu masuk ke dalam pernapasannya. Lambat laun, tubuhnya melemas, dan kesadarannya menghilang.
Ia tak tahu apa yang terjadi setelahnya, dan entah sudah berapa lama ia pingsan. Ketika matanya dibuka, ia sudah berada di atas ranjang, dan pemandangan yang dilihatnya pertama kali adalah wajah seorang pria tampan yang jaraknya begitu dekat.[]
Meskipun kaya, Kiara tetap memilih bekerja sebagai guru TK. Alasannya? Karena ia menyukai anak-anak. Namun, ia bekerja bukan di sekolah TK biasa. Sekolah itu berbasis internasional, di mana hanya anak-anak orang kaya yang bisa bersekolah di sana.
Ia pulang sebelum jam makan siang. Setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya, Kiara langsung beranjak meraih tasnya, lalu keluar dari ruang guru.
Sekolah itu juga bergabung dengan sekolah SD. Oleh sebab itu, ia sering berpapasan dan kadang berinteraksi dengan beberapa guru SD lainnya, termasuk pria tampan berkacamata ini.
Dia mendekat, lalu kata sapaan terucap dari bibirnya. "Siang, Bu Kiara."
Kiara menoleh dan membalasnya dengan sapaan dan senyuman ramah. "Siang, Pak Rama."
"Mau pulang, ya?" tanyanya lagi kikuk.
"Iya. Bapak mau makan siang, ya?"
Pertanyaan yang memancing topik pembicaraan yang bagus. "Iya. Kalo berkenan ... kamu mau nggak makan siang bareng sama saya?"
Pria lajang yang merupakan pria idaman hampir semua wanita. Kiara cukup tersanjung dengan tawaran ini—bukan pertama kalinya pria itu melayangkan tawaran yang sama. Namun, sayangnya....
"Maaf, Pak Rama. Saya udah janji mau makan siang sama papa," jawab Kiara, dengan senyuman tipis karena merasa tak enak hati pada pria itu.
Again, with same reason. Entah apa yang salah dan kurang darinya sehingga Kiara terus menolak ajakan sederhana itu. Apa Kiara tak menyadari perasaan pria itu pada dirinya?
Senyum kecutnya terkembang, yang kemudian dilanjutkan oleh ucapan. "Ya, tidak apa-apa. Next time?"
Kiara tersenyum ragu. "Em ... aku nggak bisa janji."
"Oke, nggak apa-apa. Tapi, boleh, ya, aku antar kamu pulang?" Rama mencoba lagi.
"Sori, Pak. Saya bawa mobil sendiri," tolak Kiara sambil memperlihatkan kunci mobilnya.
Rama menghela napas. Apa sudah waktunya ia menyerah? Selama sebulan berkenalan, tidak ada perkembangan berarti. Sulit sekali untuk bisa lebih dekat dengannya. Apa ini cara Kiara untuk menolaknya?
"Oke, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan, ya."
Sapaan terakhir Rama hanya dijawab oleh senyuman manis Kiara. Kemudian, Kiara meninggalkannya menuju tempat mobilnya terparkir, dan buru-buru masuk ke dalamnya.
Napas panjang ia hela begitu ia duduk di dalam. Wajahnya berubah muram, memperhatikan Rama yang tengah memasuki mobilnya.
"Dia baik sih. Ramah pula. Tapi, bukannya mau sok jual mahal, cuma aku lebih mementingkan makan bersama keluargaku," gumamnya memelas.
Rasa tak enak hati merayap di dalam dirinya. Entah apa yang dipikirkan pria itu tentang sikapnya. Yah, semoga saja dia tidak berprasagka buruk padanya.
Setelah menghela sedikit keresahannya, Kiara menghidupkan mesin mobil lalu melajukannya. Jalanan Jakarta yang cukup padat membuatnya agak sedikit terlambat. Ia cemas jika ayah dan ibu tirinya sudah menunggu di meja makan dalam keadaan lapar yang tak tertahankan.
Ketika sampai di rumah, ia bergegas melompat turun dari mobil, lalu berlari kecil memasuki rumah. Namun, betapa tercengangnya ia, melihat meja makan belum tertata, dan tak ada seorang pun yang duduk di sana.
Ke mana papa dan mama?
Lantas, ia tergesa-gesa keluar dari ruang makan menuju ruang tamu. Iapun berpapasan dengan Kelvin, yang saat itu baru pulang sekolah.
Ia tertegun heran menatapnya, lalu melirik arlojinya. "Jam berapa sekarang? Kok udah pulang?" tanyanya pada remaja lelaki itu.
"Oh, itu. Tadi gurunya rapat. Oh, iya. Kakak kenapa keringatan gitu? Papa dan mama mana?" tanya Kelvin seraya melirik ke sekeliling ruangan.
Kiara menaikkan kedua bahunya. "Nggak tau. Mungkin masih di kamar."
"Oh. Kalau gitu, aku masuk kamar dulu, ya, Kak."
Setelah Kiara mengangguk mengijinkannya, Kelvin naik ke lantai atas menuju kamarnya. Sementara itu, ia memutuskan untuk menunggu di sini sambil duduk di sofa.
Baru akan mencapai sofa, derit pintu ruang kerja papanya terbuka. Spontan Kiara menoleh. Dua pria asing keluar dari ruangan itu. Namun, pria tampan yang berjalan di depan menarik perhatiannya.
Siapa mereka?
Kiara mematung memperhatikan kedua pria asing itu. Tak ada sapaan di antara mereka, tapi ia menunduk sebagai tanda penghormatan kepada tamu ayahnya itu.
Rasa penasaran terus menghampiri, sampai pandangannya tak lepas meski mereka telah keluar dari rumah ini. Kemudian, ia memalingkan wajah pada ibu tirinya yang baru saja keluar dari ruang kerja ayahnya.
Tunggu, ada yang janggal. Kenapa wajah ibunya muram, dan menghela napas berat?
Ia sengaja tak memanggilnya, tetapi menghampiri dengan dahi mengernyit. Sang ibu tiri baru menyadari kehadirannya begitu mendengar derap langkahnya yang semakin mendekat. Lalu, ia tersenyum dengan berusaha seceria mungkin.
"Kiara, kamu udah pulang, Nak?" sapanya.
Alih-alih tersenyum, Kiara semakin mengernyit. "I ... iya, Ma," jawabnya seadanya. "Oh iya, Ma. Tadi itu siapa?"
Air muka ibu tirinya berubah lagi, dan bahkan tak berani menatapnya ketika menjawab, "Mereka ... tamu papamu."
Meski senyuman wanita itu begitu lebar, semakin aneh bagi Kiara, seolah-olah sedang ada yang disembunyikan olehnya.
"Oh, gitu." Tak mau berdebat, Kiara hanya merespons seadanya.
"Oh, iya! Makan siang udah siap. Yuk, kita makan. Mama ajak papa dulu, ya. Kamu duluan aja ke ruang makannya." Cepat sekali wanita itu mengalihkan pikiran Kiara, dan itu berhasil.
Kiara mengangguk setuju sambil tersenyum. "Kebetulan Kelvin udah pulang. Aku ajak dia sekalian, ya?"
"Kelvin udah pulang? Bagus kalau gitu," seru ibu tirinya riang. "Ya udah, panggil dia. Kita makan siang bersama."
Kiara terlalu polos, sehingga dengan mudah mengenyahkan kecurigaannya tadi, lalu berlari kecil menaikki tangga menuju kamar adiknya.
Makan siang bersama, itu adalah hal langka. Selama ini, hanya mereka bertiga yang makan siang bersama di rumah, Kelvin belum pulang sekolah. Tentu, Kiara sangat senang jika mereka berkumpul siang ini di meja makan. Ia sangat menyayangi Kelvin, meskipun mereka hanya saudara tiri.
Ibu kandung Kiara sudah meninggal ketika dirinya berumur 10 tahun. Dua tahun kemudian, papa menikah lagi dengan wanita baik hati yang sangat menyayanginya, yang saat itu memiliki seorang anak lelaki berusia 2 tahun.
Kehidupannya tak murung lagi setelah kehadiran mereka. Beruntung hidupnya, karena ibu dan adik tirinya juga menyayanginya.
Sementara ia memanggil Kelvin untuk turun, ibu tirinya mendatangi sang suami di ruang kerjanya. Ia berdiri di ambang pintu, menghela napas lagi. Suaminya itu tengah membelakanginya sembari memijat keningnya. Ia tahu, betapa gelisahnya pria itu saat ini.
"Sayang, anak-anak udah pulang. Tolong, usahakan tersenyum, jangan sampai mereka tahu tentang keadaan kita," katanya, begitu ia sampai di dekat pria paruh baya itu.
Pria itu memutar kursi rodanya, dan menatap sang istri dengan kemuraman yang tergambar jelas di wajahnya. "Entahlah, apa aku sanggup menipu mereka dengan senyum palsuku. Bagaimana aku bisa tersenyum ketika perusahaan yang aku bangun diambang runtuh?"
Ia bukan wanita pintar, dan ia tak tahu cara mencari solusi atas masalah yang menimpa suaminya. Ia hanya bisa menghiburnya dengan pelukan, memasrahkan diri sebagai tempat untuk berbagi penderitaan yang dirasakan suaminya.
"Sabar, sayang. Pasti ada jalan keluar atas masalah ini," ucapnya seraya mengelus pundak suaminya.
***
Sejak meninggalkan keluarga Rahardi, pria tampan itu termenung di dalam mobil selama perjalanan. Ada hal menarik yang menganggunya, dan itu membuatnya semakin penasaran.
"Siapa gadis muda tadi?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan jalanan Jakarta yang padat.
Sekretarisnya itu mengernyit, agak heran dengan maksud bosnya itu. "Maksud Bapak, wanita yang ada di rumah keluarga Rahardi?"
Pria itu langsung melempar tatapan gusarnya. "Memang siapa lagi? Hari ini, hanya dia gadis muda yang kita temui," sahutnya, menahan geram.
Menyadari kekesalannya, sekretarisnya sontak menjawab, "Oh, itu ... dia anak pertama pak Freddy."
"Dia sudah menikah?" tanyanya, semakin tertarik.
"Belum, Pak. Umurnya 26 tahun, dan dia sedang menggeluti kariernya sebagai guru TK."
Putri kaya yang memilih menjadi guru TK. Sungguh tak biasa. Menarik, pikirnya.
Tak ada pertanyaan lagi darinya, dirasa sudah cukup baginya untuk mengetahui tentang gadis itu. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada jendela mobil. Lalu, sebuah senyuman misterius terkembang di bibirnya.[]
Kiara mendengus. Ban mobilnya kempes, padahal mau buru-buru pulang ke rumah.
Rama datang tepat ketika ia tengah menelepon seorang sopir agar segera menjemputnya. Pria itu mengernyit memperhatikan raut wajah Kiara yang begitu gusar.
"Kiara, ada apa?" tanya Rama, setelah Kiara selesai menelepon.
"Ah, ini ... mobilku bannya ... yah, bocor," jawab Kiara, akhirnya pasrah sambil menunjuk mobil merk Audi warna merah miliknya.
Rama melirik arah tunjukan, memperhatikannya seolah memahami. "Em, udah panggil derek?"
"Iya, ini baru mau telepon," jawab Kiara sambil menekan sebuah nomor telepon di ponselnya.
Senyum penuh arti Rama terkembang. Mungkin Tuhan memberi kesempatan ini untuknya agar bisa mengantarkan Kiara pulang. Cuma hari ini, dan ia takkan menyianyiakannya!
"Ya udah, kalau gitu aku antar pulang, ya," ucap Rama setelahnya, agak hati-hati sambil berharap dapat sambutan dari Kiara.
Melihat Kiara tengah menimbang-timbang jawabannya, harapan Rama semakin besar. Sepertinya, keberuntungan memang berpihak padanya. Tak berapa lama kemudian, Kiara memberi jawaban dengan senyuman simpul yang disertai dengan anggukkan ragu.
Senyum Rama terkembang lebar, langsung bersemangat mengajak Kiara ke tempat mobilnya terparkir. Ia memperlihatkan sikap ramahnya yang membukakan pintu mobil untuk Kiara. Gadis itu cukup terkesan, menerima sikap itu dengan senyum canggung.
Begitu senangnya hati ini, sampai Rama buru-buru ke kursi pengemudi setelah mempersilahkan Kiara masuk ke mobilnya. Gegas, ia melajukan mobil, tapi dengan kecepatan biasa untuk mengulur waktu lebih lama berduaan dengan gadis itu.
"Udah ditelepon tukang dereknya?" tanya Rama basa-basi, begitu melihat Kiara yang baru saja selesai menelepon.
"Udah, Pak," jawab Kiara sambil memasuki ponselnya ke dalam tas. "Makasih banyak atas tumpangannya, saya jadi nggak enak sama Bapak."
Rama tertawa kecil. "Jangan panggi 'bapak' dong, saya belum nikah, dan kita seumuran, 'kan? Panggil aku 'Rama' aja."
"Rama?" Kiara mengulang, canggung. "Oh, oke...."
Meski terkesan masih enggan, hati Rama seakan melayang ke nirwana. Namanya disebut olehnya saja sudah cukup. Namun, ia berharap bisa lebih dari ini. Dan mungkin, mengantarkannya pulang adalah awal dari hubungan yang akan berkembang setelah ini. Syukur-syukur kalau mereka sampai ke tahap lebih serius. Kiara memang tipe wanita idamannya.
Oke, kini ia berani melangkah maju lebih cepat. "Em ... kalau diijinkan, aku pengin sekalian makan bareng sama keluarga kamu. Itupun kalau dibolehkan," ucap Rama tanpa ragu menerobos batasnya.
Akan tetapi, Kiara yang malah tidak nyaman dengan sikap buru-buru Rama. Pasalnya, ia belum memberitahukan tentang dirinya pada orangtuanya. Ia sendiri oke aja, tapi yang dicemaskan adalah tanggapan kedua orangtuanya nanti.
Rama jadi kecewa melihat raut wajah keraguan Kiara, apalagi gadis itu berpikir cukup lama untuk mengambil keputusan. Yah, mungkin langkahnya terlalu cepat. Ada baiknya ia meralat sebelum Kiara merasa tak nyaman.
"Oh, ya udah kalau nggak boleh. Nggak apa-apa kok," kata Rama seraya tertawa kecil sebagai samaran dari rasa kecewanya. "Mungkin lain kali aja."
"Bukan gitu." Buru-buru Kiara menyahut, tak enak hati. Kemudian, ia terdiam dan berpikir ulang lagi.
Mungkin, ia tak perlu mencemaskan soal orangtuanya. Toh, papa dan mamanya orang baik, pasti mereka akan menerima Rama dengan senang hati. Harapnya.
"Ya, kamu boleh kok makan siang bersama di rumah," katanya menambahkan.
Sekalipun senang, Rama tak mau buru-buru ber-euforia. "Yakin? Aku nggak maksa kamu buat...."
"Benaran kok, nggak apa-apa," sela Kiara, lalu tersenyum. "Kamu boleh gabung makan siang dengan keluargaku. Tapi, maaf kalau makanannya cuma masakan ala rumahan."
Apa pun itu, Rama tetap bahagia. Senyum semringahnya terkembang, dan iapun menjawab, "Masakan rumahan? Aku suka banget kok."
Syukurlah jika memang begitu. Kiara tersenyum lega sambil mengangguk. Topik bahasan berubah agar kecanggungan memudar, dan membunuh waktu di jalan menuju rumah Kiara. Mereka membicarakan kegiatan mengajar dan anak didik mereka. Mudah sekali bagi mereka untuk akrab, dan Rama bisa menikmati setiap senyuman dan tawa Kiara ketika pembicaraan diselingi oleh sedikit candaan.
Sambil melajukan mobil, Rama merekam dalam otaknya seluruh rute jalan menuju rumah Kiara. Walau hanya sekali, ia sudah menghapalnya. Jadi, besok-besok ia bisa ke sini untuk sekadar mampir atau menjemput Kiara.
Sampailah mereka di depan pagar cokelat yang terbuat dari kayu jati yang cukup tinggi. Rama menekan klason mobilnya dua kali atas saran dari Kiara, dan pagar pun dibuka oleh seorang satpam. Rama kembali melajukan mobilnya sampai di depan pintu rumah.
Namun, Kiara mengernyit saat melihat mobil mewah yang terparkir di depannya. Bukannya itu milik mobil pria asing yang datang minggu lalu? Mau apa lagi dia ke sini?
"Kiara, kenapa? Yuk, turun," kata Rama, membuyarkan lamunannya.
Kiara tertegun dan sontak menoleh. "Ah, iya!" sahutnya, lalu gegas membuka sabuk pengaman.
Tepat saat mereka turun dari mobil, pria asing tampan bersama dengan sekretarisnya baru saja keluar dari rumahnya. Tatapan pria itu langsung mengarah padanya, begitu juga dengan Kiara. Mereka berpapasan tanpa menyapa, Rama bertanya-tanya dalam hati tentang pria tampan yang ada di hadapannya.
"Ayo, kita pergi," kata pria itu dingin, langsung memalingkan wajah setelah pertemuan pandang di antara dirinya dengan Kiara terjadi selama hampir semenit.
Kiara mendengus. Apa-apaan dia? Pria sombong! Sebagai seorang tamu, bukankah dia seharusnya menyapa pemilik rumah?
"Siapa dia, Kiara?" tanya Rama, yang sejak tadi menahan pertanyaan itu di kepalanya.
Tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya pada mobil mewah pria itu, Kiara menjawab sinis. "Nggak tau. Tamunya papa kali? Udah, nggak usah dipikirin. Yuk, masuk ke dalam. Silakan."
Kiara mengulurkan tangan, mempersilakan Rama dengan ramah. Namun, pria itu menyuruh Kiara untuk jalan duluan di depannya. Kiara menyambut keramahan itu seraya tersenyum dan menaiki anak tangga menuju pintu.
Ia memasuki rumah dengan riang. Rasanya ingin buru-buru memperkenalkan Rama pada orangtuanya. Akan tetapi, ia malah dibuat heran begitu melihat papa dan mamanya berpelukan di ruang tamu seraya menangis.
Segera ia menghampiri keduanya, bersimpuh di hadapannya, lalu bertanya, "Pa, Ma, ada apa ini? Kenapa kalian nangis? Apa ... apa pria tadi melakukan sesuatu pada kalian?"
Ibu tirinya berhenti menangis, menatapnya seraya menggeleng. "Bukan, Nak. Tapi ... tapi...." Suaranya tercekat akibat isakan, tapi kepahitan yang dirasakan juga jadi penyebabnya sulit untuk melanjutkan ucapannya.
"Tapi apa, Ma?" desak Kiara. "Oke, Mama coba tenang dulu, baru nanti cerita, ya?"
Mungkin memang sudah saatnya Kiara tahu. Dia bukan gadis kecil lagi, dan papanya akhirnya membuka suara. "Perusahaan kita bangkrut, Nak," ucapnya terisak, tetap menundukkan kepalanya.
Bangkrut? Sejak kapan? Selama ini, yang Kiara tahu perusahaan mereka dalam keadaan baik. Tentu ini membuatnya syok. Cukup lama baginya untuk mempercayai kebenaran yang terucap dari bibir sang ayah.
"Nggak mungkin, Pa. Selama ini, perusahan kita tidak mengalami masalah. Tapi, kenapa tiba-tiba...."
"Gimana kamu bisa tahu!" sahut ibu tirinya gusar. "Bukannya bekerja di perusahaan, kamu malah memilih bekerja sebagai guru TK!"
Ibunya membentaknya? Kiara mendelik, terkejut. Tak disangka, ibu tirinya yang dikenal lembut dan menyayanginya melakukan hal ini.
"Bukannya, selama ini Mama mendukungku menjadi guru TK?" keluh Kiara, memelas sedih.
"Iya! Karena kupikir perusahaan dalam keadaan baik, dan papa masih sanggup menjalankan perusahaan. Tapi kamu lihat? Kondisi kesehatan papa sekarang memburuk! Laju perusahaan semakin merosot, beberapa investor menarik dana mereka, dan sekarang kita punya utang di bank. Memangnya kamu pikir...."
"Farah, tolong jangan diteruskan," tegur suaminya, yang tak ingin anak perempuannya semakin iba pada keadaan keluarga ini. Apalagi, saat ini mereka tengah kedatangan tamu.
Wanita itu menutup mulutnya, kembali duduk di samping suaminya seraya mendengus gusar. Pria paruh baya itu memperhatikan anak perempuannya yang membeku dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, Kiara juga mencemaskan keadaan mereka.
Ia tak mau hal itu membebaninya. Ia harus menenangkannya. Maka, diraihnya tangan Kiara, lalu membungkus lembut tangannya dengan kedua tangan keriputnya.
Isakan Kiara terhenti, mengalihkan tatapannya pada sang ayah yang tengah tersenyum getir.
"Nak, jangan cemas. Semuanya akan baik-baik saja. Papa akan berusaha keras untuk mempertahankan perusahaan," ucapnya, tersimpan kehangatan yang justru semakin membuat hati Kiara mencelus.
"Seandainya aku memilih bekerja di perusahaan, mungkin tidak akan jadi gini," kata Kiara, terisak sembari menangkup wajahnya pada genggaman tangan ayahnya.
Tangan papa mencapai puncak kepalanya, lalu membelainya lembut. "Jangan salahkan dirimu. Papa justru mendukung apa pun yang kamu cita-citakan."
Tetap saja, Kiara semakin merasa bersalah. Sejak itu, ia menyesali pilihan yang didasari atas egonya.
Tubuh rentanya mulai lelah. Ditambah lagi, melihat kesedihan sang anak membebani pikirannya yang kacau. Papa mengulurkan tangannya pada istrinya, memintanya untuk membawanya ke kamar.
Sang istri dengan hati-hati memapahnya. Namun, baru beberapa langkah, tubuh papa tiba-tiba ambruk. Kiara bergegas bangun dan menghampiri seraya menjerit panik.
"PAPA!"[]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!