Di sebuah ruang bersalin rumah sakit, seorang ibu tengah berjuang melahirkan putri pertamanya. Sementara sang suami, menanti dengan cemas sembari terus memberikan semangat di samping istrinya yang tengah bertaruh nyawa. Dalam tarikan napas yang entah ke berapa kali, akhirnya seorang bayi mungil terlahir. Berjenis kelamin perempuan dan sangat sehat.
"Alhamdulillah!" semua orang mengucap syukur.
Demikian juga dengan seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di luar ruang bersalin. Ia terlihat menyunggingkan senyum sebelum kemudian mengajak asistennya untuk pergi dari sana.
"Ada apa ndoro (nyonya)?" tanya si asisten.
"Seloso legi, aku sudah menemukannya."
"Apa maksudnya?"
Si asisten terlihat bingung mendengar ucapan majikannya.
...🍂🍂🍂...
Keluarga yang tengah berbahagia memberi nama Karin untuk putri mereka. Seorang bayi perempuan yang lahir di hari jawa seloso legi. Hari yang sama baiknya dengan hari-hari yang lain tapi memiliki makna lebih bagi sebagian kecil orang yang memiliki maksud lain.
...🍂🍂🍂...
Karin dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Ia pun tumbuh dengan penuh kebahagiaan. Layaknya anak kecil kebanyakan. Karin juga memiliki teman imajinasi, Serena namanya.
Deg..
...🍂🍂🍂...
...🌷Inilah aku, Karin yang selama ini hidup dengan bahagia. Memiliki kedua orang tua yang penuh cinta dan seorang teman yang setia, Serena namanya. Tiap kali kuceritakan hari-hariku bersama Serena, ibu akan tersenyum senang lalu memujiku sebagai anak yang cerdas. Namun, semua berbeda ketika kumulai masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hampir semua temanku menganggapku aneh karena sering berbicara sendirian, tertawa sendiri bahkan terlihat seolah tengah bermain-main dengan sosok yang tak bisa mereka lihat. Apa yang salah dengan Serena? 🌷...
Deg..
Karin menutup buku diarynya lalu mulai mengerjakan tugas dari sekolah. Di tengah kesibukannya mengerjakan tugas, Serena tiba-tiba muncul dan duduk di samping Karin. Hal ini biasa Serena lakukan. Pada awalnya, Karin menganggap Serena sebagai teman. Namun, seiring bertambahnya usia, ia menilai kalau Serena hanya sekedar teman khayalan semata. Sayangnya, anggapan pertamanya lah yang benar. Hingga ia beranjak remaja, Serena masih ada. Seperti saat ini, ia menemani Karin yang tengah sibuk mengerjakan tugas sekolahnya.
Dengan sengaja Serena menjahili Karin dan membuyarkan konsentrasinya. Alhasil, mereka malah bermain bersama hingga hari kian petang. Serena akan tetap berada di sana sampai Karin menutup matanya. Atau mungkin, Serena memang tidak pernah meninggalkan Karin di mana pun ia berada.
...🍂🍂🍂...
Di sekolah, Karin memiliki dua sahabat karib. Nanda dan Agam namanya. Keduanya adalah teman Karin sejak di bangku Sekolah Dasar dan terus menjadi sahabat hingga mereka duduk di kelas tiga SMP sekarang. Bahkan, mereka membuat janji untuk sekuat tenaga berusaha agar dapat masuk ke SMA Favorit yang sama. Wajar saja Karin hanya memiliki sedikit teman sebab teman-temannya yang lain menganggap dirinya aneh.
"Apa kabar Serena?" tanya Agam yang telah terbiasa dengan keanehan Karin.
Baik Agam maupun Nanda, tidak mempermasalahkan sikap aneh Karin atau pun teman khayalannya. Yang terpenting, Karin baik-baik saja dan tidak melakukan hal-hal yang tercela. Keduanya menganggap bahwa Karin memang memiliki daya imajinasi yang tinggi dibandingkan mereka atau pun teman-teman mereka yang lain.
"Baik, dia lagi berdiri di sampingmu," jawab Karin.
Agam sempat menoleh sebentar lalu memanyunkan bibir seraya mengeluarkan buku bahasa indonesia dari dalam tasnya.
"Kamu belum ngerjain PR (Pekerjaan Rumah) ya?"
Agam nyengir.
"Sudah kok, cuma ada sedikit yang belum."
"Berapa nomer yang belum?"
"Empat doang."
"Agam! PR nya cuma lima, kamu kurang empat. Artinya cuma satu nomer yang kamu kerjakan."
Agam kembali nyengir.
"Dasar!"
"Jangan dikasih contekan Rin!" timpal Nanda yang baru saja datang.
"Ih, masak tega sih kalian?"
Nanda dan Karin mulai mengejek Agam dengan beragam perumpamaan. Namun, pada akhirnya, Karin tetap menunjukkan pekerjaan rumahnya untuk disalin Agam.
...🍂🍂🍂...
Pelajaran pun di mulai. Kelas tiga adalah saat-saat yang sibuk. Ujian demi ujian menanti pasti di depan mata. Baik teori maupun praktek. Tiga sekawan mempersiapkannya dengan baik. Belajar dan menjaga kesehatan agar dapat mengikuti semua agenda sekolah yang padat.
Pada jam istirahat, Karin terlihat duduk di salah satu kursi panjang di lorong sekolah. Seorang diri jika dilihat dari mata manusia tapi sebenarnya, ada Serena yang sedari tadi memainkan rambut Karin. Karin tidak peduli, ia fokus membaca sebuah majalah sekolah yang baru kemarin diterbitkan. Tak lama kemudian, Zio menghampirinya seraya lekas duduk di sampingnya. Karin menoleh, Zio tersenyum.
"Tumben sendirian? Nanda mana?" tanya Zio.
"Nanda masih di ruang guru. Di panggil bu Ruli. Aku nungguin dia di sini."
"Oh, mau ke kantin bareng gak?"
"Gak usah, aku nungguin Nanda."
"Nanda udah gede, pakai ditungguin segala. Sudah hafal denah sekolah dia," timpal Zio disusul tawa.
Zio memang memiliki perasaan lebih terhadap Karin tapi Karin, memilih untuk menahan diri karena kedua orang tuanya masih belum mengizinkan dirinya berpacaran. Beruntungnya, Zio bisa memahami. Mungkin karena Karin melakukan hal yang sama kepada semua laki-laki yang mendekatinya. Sehingga Zio tak merasa dibohongi. Inilah yang mendasari sikap Zio yang tetap baik dan tetap menjaga perasaannya untuk Karin.
"Tunggu Nanda ya!" pinta Karin.
"Oke deh."
Beberapa saat kemudian, Nanda datang dan ketiganya pun berjalan menuju kantin. Memilih hendak memesan makanan apa lalu berdiri di depan stand untuk mengantre. Hal tak terduga terjadi setelahnya. Uang saku Zio hilang. Dia terlihat kebingungan sembari berpikir keras coba mengingat di mana terakhir kali ia letakkan. Karin menawarkan diri untuk membayar makanan Zio terlebih dahulu dan Zio pun mengiyakan. Mereka duduk di sebuah bangku yang kosong lalu memakan pesanan mereka.
"Kok bisa hilang sih? apa terjatuh ya? tadi pagi..."
"Kamu lupa minta uang saku kali Zi," sahut Nanda.
"Enggak kok, aku bawa."
"Zio bawa kok Nda cuma terjatuh saja di lorong barat," timpal Karin membuat kedua temannya melongo heran.
"Kamu lihat uangku terjatuh Rin?" tanya Zio.
"Enggak."
"Lah terus kamu tahu dari mana kalau uangku jatuh di sana?"
"Kata Serena, dia bilang begitu barusan."
"Oh.. Serena," celetuk Nanda yang telah terbiasa dengan keanehan Karin.
Sedangkan Zio, sebenarnya dia hanya mengimbangi Karin saja karena ia memiliki perasaan suka terhadapnya tapi, ia sulit percaya kalau benar, Serena yang mengatakannya. Akhirnya, Zio pergi memeriksa lorong barat. Celingukan, menunduk, mengamati setiap sudut. Ternyata benar, uang sakunya terjatuh di sana.
"Ini.. kok bisa.. beneran di sini loh. Karin.. Serena.. ah gak mungkin. Pasti Karin sempat melihat, mana mungkin Serena yang bilang. Siapa juga Serena? hanya teman khayalan masa kecil Karin saja," ucap Zio sembari berjalan kembali ke kantin.
"Ketemu Zi?" tanya Nanda.
"Nih.." jawab Zio sembari menunjukkan uangnya.
"Wah beneran ketemu di lorong barat?"
"Iya beneran, kapan kamu lihatnya Rin?" tanya Zio lagi, coba mengulik.
"Aku gak lihat, Serena yang bilang."
"Serena? jangan merendah gitu lah! kayaknya kamu punya kelebihan deh. Bisa tahu hal-hal kayak begini, keren!" puji Zio.
Karin hanya nyengir.
"Ini, aku balikin uang kamu."
"Gak usah Zi, sekali doang aku bayarin kamu," tolak Karin.
"Hemm.. gak enak aku."
"Santai saja!"
...🍂 Bersambung... 🍂...
Hari berlalu dengan segala kesibukan. Satu persatu agenda sekolah, Karin laksanakan. Ujian demi ujian telah ia lalui hingga tibalah hari kelulusan. Semua murid bersorak senang sebab, tak ada satu pun yang tinggal. Semuanya lulus dan kini tengah berlomba masuk ke sekolah menengah atas sesuai harapan. Begitu pun dengan Karin, Agam, Nanda dan juga Zio. Sembari menunggu hari pengumuman penerimaan siswa, mereka berempat melakukan perayaan kecil di rumah Nanda. Sekedar makan malam sembari bersenda gurau bersama.
Hal yang sama dilakukan oleh Serena. Dia mengikuti Karin ke rumah Nanda. Terkadang berada di sampingnya, terkadang berada sedikit menjauh darinya tapi tak pernah sekali pun pergi dari sisinya. Semua terlihat gembira sembari sesekali tertawa lepas. Setidaknya hingga saat Zio dapat melihat sosok Serena untuk pertama kalinya.
Semua itu berawal ketika Zio mendengar suara tawa yang lain. Suara itu mengikuti suara tawa mereka tapi di akhir. Ketika Zio, Nanda, Agam dan Karin hampir selesai tertawa, suara kelima baru terdengar. Alhasil, ketika semuanya berhenti tertawa, suara kelima masih terdengar. Zio menajamkan pendengarannya sembari menengok ke sana ke mari tapi saat itu, ia masih belum melihat apa pun.
Pada akhirnya, Zio mengabaikannya sebab ia pikir, itu sekedar salah dengar saja. Namun, hal ini terulang hingga tiga kali membuat Zio menjadi penasaran. Dengan sengaja, Zio membuat lelucon agar ketiga temannya tertawa. Saat itulah, benar-benar ia fokusnya pendengarannya seraya mencari sumber suara ke lima, sayangnya masih gagal. Pada beberapa kali kesempatan, ia lakukan hingga akhirnya, ia benar-benar dapat melihat.
Sumber suara tawa kelima berasal dari seorang gadis yang berdiri di belakang Karin. Gadis yang memiliki rambut panjang sepunggung dan tengah mengenakan pakaian panjang berwarna biru. Tingginya sama seperti tubuh Karin tapi wajahnya pucat pasi.
"Siapa dia?"
Zio bertanya-tanya di dalam hati. Muncul rasa ingin bertanya tapi Zio mengurungkannya. Zio mengamati teman-temannya yang lain dan mulai menduga bahwa tidak ada yang menyadari akan adanya sosok kelima di antara mereka. Akhirnya, Zio memiliki ide yakni menuangkan minuman ke dalam lima gelas lalu membagikannya kepada teman-temannya dengan harapan akan ada yang bertanya tentang gelas kelima. Benar saja, Agam bertanya.
"Kok lima sih, kita kan berempat, buat kamu semua ya itu, dua gelas?"
Zio nyengir karena yakin kalau memang tidak ada yang menyadari tentang adanya sosok ke lima. Tiba-tiba Zio teringat akan sosok Serena yang mana biasanya Karin sering katakan.
"Ini, buat Serena," jawab Zio sembari tertawa kecil.
Karin lantas tersenyum sembari menoleh ke belakang, Zio terbelalak.
...Deg.....
"Serena tidak minum Zi, dia tidak minum dan tidak makan," jawab Karin seraya menyunggingkan senyuman.
"Jangan ikut-ikutan deh Zi! cukup Karin saja yang kayak begini," celetuk Nanda sembari mencandainya karena Nanda merasa kalau Zio sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatian Karin.
Suasana pun menjadi riuh seketika. Saling melempar ledekan dan candaan. Sementara Zio seolah kaku, antara takut dan juga bingung untuk bersikap. Zio tertawa kecil, sekedar mengimbangi ketiga temannya sembari sesekali melirik ke arah Serena. Namun, betapa pun Zio coba menyembunyikan. Rasa tidak nyaman terlanjur muncul. Zio sulit menjaga pandangannya untuk tidak menatap Serena. Hal ini tentu wajar karena Serena, hanya bisa dilihat olehnya juga Karin. Zio tidak menyangka kalau Serena benar adanya.
"Selama ini.. Karin. Astaga! aku kira dia hanya berimajinasi. Kalau seperti ini, bukankah artinya.. Serena hantu?"
Batin Zio bergejolak hebat. Dia bingung hendak berbuat apa. Di sisi lain ia merasa takut. Namun, muncul penasaran juga yang sama besarnya. Ternyata, gestur anehnya disadari oleh Agam yang lekas meledeknya seperti orang yang sedang kebelet buang air besar. Lagi-lagi, Zio tertawa lalu mengiyakan candaan Agam dan meminta izin untuk menggunakan kamar mandi di rumah Nanda. Nanda mengangguk lalu bangkit seraya menunjukkan Zio jalannya.
"Aku tinggal ya Zi?"
"Iya, makasih!"
"Iya."
Di kamar mandi, Zio berpikir dengan keras. Dia mencoba untuk menguatkan diri tapi tangannya malah gemetar. Rasanya, dia tidak mampu untuk berada di dekat Serena lebih lama dari ini. Alhasil, ia memutuskan untuk berpura-pura sakit.
"Kok bisa tiba-tiba sakit?" tanya Karin.
"Emm, ini biasa kok Rin. Aku memang punya sakit magh sejak kecil."
"Sejak kecil?"
"Oh enggak, maksudku sejak dua tahun terakhir."
"Hemm.."
"Nyeri sekali rasanya, aku pulang dulu ya! terima kasih semuanya!"
"Mau kuantar Zi?" tanya Agam.
"Gak usah Gam, aku bisa sendiri."
Bersamaan dengan itu, Serena tiba-tiba mendekat dan berbisik ke telinga Ozi.
"Mau kuantar Ozi?"
Deg..
Ozi membulat, matanya terbelalak, kerongkongannya serasa tercekat. Tanpa basa-basi lagi, Zio lekas melesat pergi. Sementara Serena, menyunggingkan senyum sinis.
"Astaga! Serena tahu kalau aku bisa melihatnya."
Setelah kejadian tersebut, Zio memilih untuk menjaga jarak dengan Karin. Setidaknya, sampai rasa takutnya memudar atau menghilang.
🍁🍁🍁
Hari berlalu, Agam dan Karin berhasil masuk ke SMA yang sama. Sementara Nanda dan Zio tidak. Akhirnya Nanda dan Zio mendaftar di SMA yang berlainan sebab menuruti permintaan orang tua masing-masing. Hal ini pula lah yang mendasari jarangnya intensitas pertemuan mereka. Kecuali Agam dan Karin yang memang berada di sekolah yang sama.
Setelah melewati serangkaian acara MOS ( Masa Orientasi Siswa ), Karin dan Agam resmi menjadi siswa dan siswi SMA Negeri 5. Karin bercermin cukup lama untuk merapikan seragam barunya. Senyum terulas menyiratkan rasa bahagia. SMA favoritnya berhasil ia masuki.
Hari-hari menjadi anak SMA sangat menyenangkan. Karin begitu antusias berangkat sekolah, mengerjakan tugas dan banyak hal lainnya. Seperti kali ini, ia tengah berdiri di antara rak buku di sebuah toko buku. Karin tengah mencari beberapa buku pendamping untuknya belajar ketika tanpa sengaja, ia bertemu dengan Zio. Zio menyapa dan kemudian mereka mengobrol dengan hangat seperti biasanya.
Ya, seperti biasanya, menyenangkan hingga tiba-tiba Serena muncul di samping Karin. Zio membulat lalu menundukkan kepalanya. Fokusnya buyar dan mulai menanggapi ucapan Karin asal-asalan. Karin yang merasa aneh lantas menanyainya tapi Zio mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
"Rin, aku balik dulu ya, ada yang harus kukerjakan!" pamit Zio.
"Gak mau bareng aja nih?"
"Lain kali ya?"
"Oke, hati-hati!"
Zio mengangguk lalu lekas ngacir setelah melirik sebentar ke arah Serena. Karin sendiri kembali sibuk dengan deretan buku novel yang terlihat di sepanjang ia memandang. Zio menyalakan mesin motornya seraya menoleh kembali ke arah toko buku yang baru saja ia tinggalkan.
"Karin, apa kamu baik-baik saja? aku merasa, Serena memiliki aura jahat yang kuat. Aku.. maaf! aku masih butuh waktu untuk terbiasa. Aku akan menjauhimu untuk beberapa waktu. Setidaknya, hingga aku siap tapi perasaanku, jangan kamu ragukan! aku tetap menyayangimu."
🍁🍁🍁
Di bangku SMA ini, Karin lebih berhati-hati. Ia bisa menahan diri untuk tidak sering berbincang atau pun bercanda dengan Serena sebab, ia mulai mengerti bahwa Serena, hanya dirinya seorang yang dapat melihatnya. Karin pun mulai memahami kalau ia terlahir dengan kelebihan khusus yang belum tentu orang lain miliki. Hal ini membuat kesehariannya menjadi anak SMA menjadi lebih mudah. Tidak ada lagi yang mengatainya, menjauhinya atau mengucilkannya. Bahkan, Agam nyaris percaya kalau Karin sudah tidak memiliki teman khayalan lagi.
🍁🍁🍁
"Buruan naik! lapar banget nih. Mampir dulu ke bakso langganan ya!" pinta Agam.
"Iya-iya, aku juga lapar," jawab Karin sembari naik ke boncengan motor Agam.
Biasanya, Karin membawa sepeda motor sendiri ke sekolah. Hanya saja, motornya sedang bermasalah. Sehingga hari ini, ia berangkat dan pulang bersama dengan Agam.
Setelah bertahun-tahun bersahabat, kali ini, giliran Agam yang melihat. Agam menggosok matanya beberapa kali ketika melihat sosok kedua di boncengan motornya. Reflek Agam menoleh tapi, hanya ada Karin di sana. Agam kembali mengalihkan pandangannya ke spion motor dan kembali ia lihat, ada seorang perempuan lain yang tengah melayang di samping Karin.
Deg..
Seketika tangan Agam lemas hingga terjatuh dari setir motor. Beruntung, Agam masih bisa mengendalikan diri untuk tidak langsung melompat pergi.
"Tenang-tenang-tenang! ini masih siang bolong. Apa yang perlu ditakutkan?" ucap Agam pada dirinya sendiri.
"Kenapa Gam? ayo jalan!"
"Iya Rin, ayo!"
Agam menyalakan mesin motornya lalu melaju tanpa berani menoleh ke arah spion lagi.
🍁🍁🍁
Di warung bakso, Agam mencoba untuk bersikap senormal mungkin. Meski ia masih melihat keberadaan Serena. Namun, ia bersikap seolah tidak melihat apa-apa. Agam dan Karin bersenda gurau seperti biasa hingga saat batin Agam tak lagi bisa menahan. Akhirnya, Agam pun bertanya:
"Rin.."
"Iya?"
"Temanmu Serena itu, sungguh ada atau hanya khayalan?"
Karin menatap Agam lekat-lekat.
"Setelah sekian tahun lamanya, kenapa kamu baru bertanya?"
"Dulu terlihat biasa tapi sekarang kan, kita sudah dewasa. Sedikit mengganjal saja jadi kutanyakan."
"Hemm.. begitu, Serena itu nyata dan dia ada di sini nih!" jawab Karin sembari menunjuk sisi kirinya di mana itu adalah tempat berdirinya sosok yang sedari tadi Agam lihat.
Deg..
Jantung Agam berdegup lebih kencang tapi ia masih berusaha tertawa.
"Oke-oke, aku percaya," jawabnya seraya memasukkan sebutir bakso ke mulutnya.
"Sialan! itu beneran Serena. Selama ini.. Karin.." benak Agam yang tak lagi bisa tenang.
🍁🍁🍁
Usai makan, Agam mengantar Karin pulang. Entah kenapa, Agam merasa kalau Serena akan memberikan dampak buruk pada sahabatnya.
"Rin.."
"Ya?"
"Kamu baik-baik saja selama kenal Serena?"
"Hah? maksud kamu apa?"
"Hemm.. gak ada apa-apa sih, cuma.. kita kan sudah dewasa, seharusnya.."
"Kamu pikir, Serena sekedar teman khayalanku semata?"
"Bukan, bukan itu maksudku. Hemm.. aku percaya kalau dia itu nyata tapi kamu sadar kan kalau dia.. bukan manusia kayak kita?"
Deg..
Karin seakan tersadar.
"Itu.."
"Kamu pikirkan baik-baik saja perkataanku Rin, demi kebaikanmu oke?"
"Iya."
"Ya sudah, aku balik dulu ya!"
"Iya."
"Kalau sampai besok belum kelar motormu, WhatssApp (WA) saja, aku jemput!"
"Iya."
"Yaudah, duluan ya?"
"Iya."
Agam berlalu dengan jantung yang masih berdegup dengan kencang. Bagaimana pun, ia telah memberanikan diri untuk memperingati Karin ketika sosok Serena ada di sebelahnya. Bukan perkara mudah untuk tetap menormalkan gestur tubuh dikala ketakutan menyerang hebat.
...🍁 BERSAMBUNG 🍁...
Di kamar, Karin duduk di tepian ranjang lalu memanggil nama Serena. Dalam sekedipan mata, Serena telah muncul di hadapannya. Karin terdiam cukup lama, memandangi sahabat dari dimensi lain tersebut.
"Ada apa Karin?" tanya Serena dengan nada khasnya yang lembut menyapa indra pendengaran.
"Serena.."
"Iya."
"Kamu memanglah bukan manusia."
Mendengar ucapan Karin, Serena tak bergeming.
"Entah apa yang kupikirkan hingga dapat berteman denganmu untuk sekian tahun usiaku. Semenjak aku bisa mengingat, aku sudah mengenalmu. Siapa kamu? untuk apa mengikutiku?"
Serena mengulas senyum segaris sebelum menjawab pertanyaan Karin.
"Aku temanmu," jawabnya singkat.
Karin lantas mengamati Serena lekat-lekat. Rasanya, baru kali ini Karin memperhatikan penampilan Serena. Serena begitu pucat, bagaimana pun ia menebar senyuman, tetap tak mengindahkan ekpresi wajahnya.
"Kamu hantu, hantu dan manusia tidak semestinya bersama."
"Kita berdampingan Karin, semua makhluk saling berdampingan."
"Tapi tidak berhubungan seperti yang kita lakukan."
"Ada banyak yang seperti kita. Hanya saja, kamu tidak mengetahuinya saja."
Karin mengerutkan dahi lalu menggelengkan kepalanya.
"Sudahlah, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Katakan!"
"Setelah aku benar-benar menyadari perbedaan kita, aku ingin kamu tidak sembarangan muncul kecuali saat, kita hanya berdua!"
"Setuju," jawab Serena dengan cepat.
Karin melengkungkan alisnya lalu mundur ke tengah kasur seraya menarik selimut.
"Kita sudah sepakat, sekarang aku mau beristirahat, kamu pergilah!"
"Baik," jawab Serena lalu menghilang.
Sepersekian detik kemudian, Karin mulai menyadari. Selama bertahun-tahun, ia berinteraksi dengan sosok yang tak seharusnya ia jadikan teman. Muncul dan menghilang di depan mata tapi tak ada rasa takut dalam batinnya. Karin merasa sangat biasa meski kini, ia mengerti kalau yang ia lakukan, tidak wajar.
"Apa Aku dan Serena harus berhenti berteman?" tanya Karin di dalam hati.
🍁🍁🍁
Hari-hari berikutnya berjalan seperti yang Karin harapkan. Sesekali matanya memandang ke segala penjuru arah. Namun, tak ada Serena di mana pun ia memandang. Karin senang sebab Serena menepati ucapannya.
Semua hal turut membaik juga. Agam tak lagi ketakutan. Begitu pun dengan Zio yang kembali dekat dengan Karin. Hubungan keduanya pun kian intens dan sepertinya, status keduanya akan segera berubah menjadi pasangan.
Zio mempersiapkan sebuah kejutan manis untuk Karin yang tak lain adalah sebagai simbol pernyataan perasaan. Sebuah kado berisikan kue bertuliskan I LOVE YOU, Zio berikan. Karin tersenyum tapi sanyangnya, ia menolak. Karin mengatakan kalau ia enggan berpacaran sebelum duduk di bangku perkuliahan. Meski kecewa, Zio menghormatinya.
"Maaf ya Zio!"
"Iya Rin gak apa-apa. Kalau sekedar nganterin kamu pulang, boleh kan?"
"Iya boleh," jawab Karin seraya mengulas senyuman.
Zio membalas senyuman Karin lalu mengajaknya berjalan ke parkiran. Tolakan Karin sama sekali tidak mempengaruhi hubungan keduanya. Zio dan Karin tetap dekat dan tetap baik. Saling memberikan perhatian dalam batas yang wajar serta saling mendukung dalam meraih masing-masing harapan.
🍁🍁🍁
Di tempat lain, ndoro Retno tengah menyiram tanaman di kebun rumahnya. Ya, dia adalah nyonya yang dulu berada di depan ruang bersalin ketika Karin dilahirkan. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia masih terlihat bugar. Asisten rumah tangganya pun sama, bik Irah namanya. Ia telah mengikuti ndoro Retno selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya. Bisa dibilang ia betah dan ndoro Retno sangat menyukainya karena bik Irah tergolong setia.
"Teh melatinya sudah siap ndoro," ucap bik Irah sembari meletakkan baki berisi teh ke atas meja taman.
"Melatinya tiga kuntum kan bik?"
"Iya ndoro."
Ndoro Retno pun meletakkan semprotan airnya lalu mengelap tangan seraya beranjak duduk di kursi taman.
"Benar-benar tidak ada yang bisa mengalahkan teh buatanmu bik."
Bik Irah tersenyum.
"Ndoro saja yang sudah terlanjur terbiasa. Asisten yang lain juga pasti bisa membuat teh seperti buatan saya."
Ndoro Retno menghirup perlahan aroma teh yang telah bercampur dengan wangi bunga melati.
"Wangi sekali," gumamnya sebelum kemudian menyesap teh di cangkir favoritnya.
🍁🍁🍁
Siang hari pada jam pulang sekolah, ndoro Retno meminta sopirnya berhenti di sebrang gerbang sekolah Karin. Ndoro Retno mengamati dari dalam mobil hingga Karin keluar menggendarai motor matiknya. Setelah melihat Karin, ndoro Retno lantas tersenyum lalu bergumam:
"Kurang beberapa tahun lagi, dia akan siap dan aku, akan menemuinya."
"Dia siapa ndoro?" tanya bik Irah.
"Bayi yang waktu itu."
"Bayi?"
Bik Irah mengerutkan dahi sembari berpikir.
"Jalan pak!" perintah ndoro Retno kepada sopirnya.
"Baik ndoro."
🍁🍁🍁
Karin merebahkan diri di ranjang seraya memainkan ponselnya. Tiba-tiba Serena datang dengan tampilan yang tak biasa. Serena mengenakan kebaya tradisional dipadu dengan kain jarik dan rambutnya pun disanggul ke belakang. Karin lekas meletakkan ponselnya seraya bertanya, hendak ke manakah Serena?
"Ada undangan nikahan," jawabnya.
"Nikahan? siapa?"
"Seorang teman lama sedang menikahkan anaknya."
"Siapa temanmu? usiamu saja kurang lebih sama sepertiku. Mana mungkin temanmu sudah punya menantu."
"Yang kamu lihat tentulah tidak sama."
"Maksud kamu apa? kondangannya di mana?"
"Apa kamu mau ikut?"
"Untuk apa? anak SMA, mana ada yang sudah datang ke acara kondangan temannya? teman-temanku masih sibuk mengerjakan tugas sekolah."
"Kalau kamu mau ikut, tentu akan kuajak."
"Hemm.."
"Bagaimana?"
"Tidak mau, seperti orang tua saja. Aku di rumah saja, kamu pergilah!"
"Baik, kalau kamu berubah pikiran, segera panggil aku!"
"Gak akan, udah sana!"
Serena mengangguk lalu menghilang. Setelah Serena pergi, mulai muncul rasa penasaran di benak Karin.
"Kira-kira, seperti apa sih acara nikahannya hantu?"
"Lain kali, boleh deh aku ikut. Kalau sekarang, aku mau tidur, ngantuk."
Karin terkekeh lalu beranjak untuk tidur.
🍁🍁🍁
Dalam tidurnya, Karin bermimpi melihat seorang perempuan mengenakan kebaya tradisional dan jarik seperti yang Serena kenakan tapi dengan corak yang berbeda. Karin tidak bisa melihat wajahnya sebab, sosok itu membelakangi Karin sembari terus berjalan menjauh. Tanpa dikomando, Karin mengikuti. Anehnya, langkahnya sama pelannya dengan sosok tersebut. Tiap kali Karin mempercepat langkahnya, seolah ada yang menahannya.
"Sial! padahal kan aku ingin melihat wajahnya," gerutu Karin.
Sosok tersebut berperawakan tinggi dengan tubuh yang berisi, bisa dibilang gemuk. Namun, tampilannya dalam balutan kebaya dan kain jarik sungguh sempurna. Rambutnya disanggul ke belakang dengan beberapa mawar terselip di sanggulnya. Karin merasa sangat penasaran tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Hendak memanggil pun, tidak ada suara yang keluar.
"Siapa sih dia? kenapa rasanya penasaran sekali? seharusnya kan tidak ada urusannya denganku."
Karin terus mengikuti hingga pada suatu titik, sosok itu berhenti. Tubuh Karin pun ikut berhenti seolah ada rem otomatis. Sekuat apa pun, Karin coba menggerakkan, tubuhnya tetap diam. Alhasil, Karin membiarkannya seraya fokus memandang tubuh bagian belakang sosok si perempuan paruh baya. Sekitar sepuluh menit kemudian, sosok itu memalingkan wajahnya perlahan. Karin sungguh menantikan tapi ketika wajah si perempuan paruh bawa menghadap belakang, Karin terbangun dari tidurnya. Sontak ia merasa sangat kesal.
"Dikit lagi kelihatan mukanya loh. Ah sialan! bikin penasaran kan?"
Karin menghela napas panjang seraya melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Terbangun di waktu yang tidak tepat pikirnya. Disusul perut yang keroncongan. Mau tidak mau, Karin berjalan menuju ruang makan dan membuka kulkas, andai masih ada makanan yang tersisa.
"Alhamdulillah masih ada," serunya.
Karin pun mengambil nasi di piring, mengambil sayur dan lauknya lalu makan dengan lahap.
...🍁 Bersambung... 🍁...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!