NovelToon NovelToon

Senyum Shanum

Bab 1

"Pak, Ibu ke pasar bentar. Mau nganterin barang dagangan terus pulang. Bapak nggak apa-apa 'kan Ibu tinggal sendiri?" pamit Bu Lestari pada suaminya.

Pak Yanto hanya mengangguk mendengar ucapan sang istri. Badannya sudah lemas sekali sehingga tidak sanggup berkata-kata. Hanya menggunakan bahasa isyarat saja.

Bu Lestari pun bergegas ke pasar dengan motor bebek jadulnya. Begitu sampai di pasar dia menyerahkan barang pesanan tengkulak. Kemudian, kembali ke rumah. Hanya satu jam dia meninggalkan sang suami di rumah sendiri.

Bu Lestari langsung masuk karena pintu tidak dikunci. Betapa terkejutnya dia, melihat sang suami sudah tergeletak di lantai dekat ranjang. Pak Yanto sudah tidak sadarkan diri saat Bu Lestari masuk rumahnya.

"Bapaaak!" jerit Bu Lestari histeris sehingga mengundang kedatangan tetangganya.

Beberapa jam kemudian ....

"Ibu ... Buuu ... Pak ... Bapaaak!" teriak gadis remaja berusia 13tahun.

Shanum menggedor pintu rumahnya yang terkunci. Gadis kecil berbaju merah putih itu baru pulang sekolah. Shanum saat ini masih duduk di kelas 6 SD.

Ketika dia pulang sekolah keadaan rumah sepi, bahkan rumah tetangga pun sepi. Semua pintu rumah tertutup rapat. Sebenarnya dia sudah biasa mendapati rumah tetangga tertutup rapat. Kenapa rumahnya pun sekarang juga terkunci? Padahal bapak dan ibu selalu berada di rumah pada saat tengah hari seperti ini.

"Kemana sih bapak sama ibu. Mana kuncinya nggak ada lagi." gerutu Shanum sambil terus mencari kunci rumah.

Biasanya orang tuanya selalu memberitahu Shanum jika ingin bepergian. Kalau pun pergi mendadak mereka akan meninggalkan kunci rumah di bawah pot bunga atau di bawah keset.

Shanum mengangkat satu persatu pot bunga yang berada di teras. Bahkan sela-sela genting teras pun tidak luput dari amatannya. Genting teras itu berantakan, kalau hujan nanti dapat dipastikan teras rumah itu akan basah oleh air hujan.

Setelah kelelahan mencari kunci rumah dan tidak mendapatkannya, akhirnya Shanum terduduk lemas di bangku panjang yang ada di teras rumah.

Saat Shanum mulai berlayar ke alam mimpi, ada suara seseorang mendekati Shanum. Kemudian orang itu memanggil Shanum.

"Num ... Anum!" panggil orang itu sambil mengusap tangan Shanum.

Dengan berat hati Shanum mulai membuka matanya.

"Iya," jawab Shanum malas.

"Bangun! Ini ibumu nitip kunci rumah sama Budhe," kata budhe Sri sambil menyerahkan kunci rumah pada Shanum.

"Memangnya bapak sama ibu kemana, Budhe?" tanya Shanum sambil mengambil kunci tersebut.

"Bapakmu sakit, sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Ibumu menjaga bapakmu di rumah sakit," jelas budhe Sri.

Shanum terdiam, gadis kecil itu tidak tahu harus berkata apa.

"Kamu yang sabar ya! Do'akan semoga bapakmu cepat sembuh. Kamu berani kan di rumah sendiri?" tanya budhe Sri.

"Berani kok, makasih ya Budhe. Anum masuk dulu, mau ganti baju dan istirahat," jawab Shanum meninggalkan budhe Sri.

Badan Shanum lemas tidak bertenaga, padahal biasanya gadis kecil itu sangat energik.

Shanum adalah anak terakhir dari pasangan suami istri yang sudah berusia setengah baya. Dia dilahirkan saat usia ibunya 47 tahun, sedangkan usia bapaknya 64 tahun. Orang pun tidak akan percaya bahwa gadis cantik itu lahir dari pasangan yang sudah berusia lanjut.

Selisih usia Shanum dengan kakaknya yang paling kecil saja 10 tahun. Saat ini sang kakak kuliah semester akhir di Jogja. Shanum hanya tinggal bertiga dengan kedua orang tuanya. Sedangkan kakaknya tinggal bersama budhe, kakak dari pihak ibu.

Banyak orang yang mengira Shanum adalah cucu bapak Suyanto dan ibu Lestari. Hal ini dikarenakan anak pak Yanto, begitu beliau biasa disapa, yang paling besar sudah menikah saat Shanum lahir.

Shanum memiliki paras yang cantik, mata lebar dan berambut ikal panjang. Gadis kecil itu sejak kecil mudah sekali sakit, sehingga Shanum dimanjakan oleh kedua orang tuanya.

Pak Suyanto hanya seorang petani biasa, sedang ibu Lestari menyewa kios di pasar untuk berjualan sembako. Pak Suyanto dan ibu Lestari memiliki anak banyak, yaitu 5 orang. Mereka hidup sederhana tapi bahagia.

Dari sekian banyak anaknya hanya Mutia yang kuliah, ketiga kakak Mutia hanya lulusan SMA atau sederajat. Anak pertama dan kedua sudah menikah sedang anak ketiga bekerja di sebuah pabrik di ibukota.

🌼🌼🌼

Shanum mulai membereskan rumahnya, dimulai dari menyapu, mencuci piring, mengangkat jemuran pakaian dan melipatnya. Rumah itu ditinggal pergi dalam keadaan berantakan. Karena pada saat itu ibu Lestari yang baru pulang dari pasar, mendapati pak Yanto tergeletak di lantai ruang tengah, dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Sampai sore hari Shanum tetap sendiri di rumah itu. Shanum tidak berani keluar untuk bermain bersama teman-temannya. Selama ini Shanum lebih senang bermain di rumah seorang diri, karena orang tuanya selalu melarang dia bermain jauh dari rumah.

Hingga hari menjelang Maghrib, kakak Shanum yang kuliah di Jogja pulang ke rumah. Mutiara pulang setelah mendapat kabar bahwa bapaknya masuk rumah sakit. Sebelum pulang ke rumah, tadi Mutia menyempatkan diri untuk menjenguk bapaknya di rumah sakit.

"Assalamualaikum ...." sapa Mutia di depan pintu.

"Kok gelap sih?! Dek ... Sha ... nuuuummmmm!" teriak Mutia.

Mutia mulai melangkahkan kakinya memasuki rumah itu. Rumah itu gelap karena belum ada lampu yang menyala padahal matahari sudah lama terbenam. Mutia mulai menghidupkan semua lampu yang ada di rumah itu.

Mutia mendapati Shanum meringkuk di pojokan kamarnya, kamar dimana dia dan Mutia selama ini tidur. Shanum menangis karena takut di rumah sendirian.

"Dek ... lho kamu kenapa?" tanya Mutia mendekati adiknya, sebelumnya dia meletakkan tas ranselnya di atas meja.

"Sha takut mbak!" teriak Shanum sambil menangis.

"Ssttt ... ada mbak disini, jangan takut ya!" kata Mutia menenangkan adiknya. Mutia memeluk Shanum.

"Sha takut, bapak sama ibu bu kok nggak pulang pulang sih. Mbak memangnya libur kok pulang?" tanya Shanum sambil terisak.

"Ibu nemenin bapak di rumah sakit, Mbak pulang karena mau nemani Shanum di rumah. Biar Shanum ada temennya. Besok pagi Mbak ada kuliah jam sembilan pagi, jadi kalau berangkat jam tujuh masih bisa," jelas Mutia.

Diantara kelima anaknya, hanya Mutia dan Shanum yang dekat. Mungkin karena sejak kecil mereka selalu bersama. Berbeda dengan ketiga kakaknya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.

"Tadi Mbak sudah jenguk bapak di rumah sakit kan? Keadaan bapak gimana, Mbak?" tanya Shanum.

"Bapak sudah mendingan kok, dokternya cepat menangani tadi siang. Kamu sudah mandi?" tanya Mutia.

"Sudah, tadi Sha nimba pelan-pelan." jawab Shanum meringis.

Sumur mereka masih manual belum ada mesin pompa air. Kata pak Yanto sambil olahraga biar sehat, kalau pakai pompa air nanti jadi malas bergerak dan tidak keluar keringat.

Alasan sebenarnya adalah keuangan yang pas-pasan. Membiayai anak kuliah butuh uang yang banyak. Sedangkan pak Yanto sudah tua, sudah tidak bekerja lagi. Selama beberapa tahun terakhir hanya mengandalkan hasil sawah dan penjualan di pasar tradisional yang tidak seberapa.

"Waaahhh, tumben adik Mbak nimba sendiri. Sudah pinter ya, sudah beres juga rumahnya. Tadi kamu semua yang mengerjakannya?" tanya Mutia dengan wajah berbinar.

Mutia tidak menyangka adiknya mau mengerjakan itu semua. Padahal selama ini Shanum hanya tahu bermain dan belajar saja.

"Iya, Sha yang kerjain semuanya. Pelan-pelan tapi, kan Sha belum terbiasa," jawab Shanum malu-malu.

"Pelan-pelan nggak apa-apa yang penting beres!" kata Mutia sambil mengacungkan jempolnya pada Shanum.

"Sha sudah lapar belum, kalau sudah kita makan bersama ya. Tapi Mbak mau mandi dulu." sambung Mutia.

"Iya Mbak, Mbak mandi dulu! Sha tungguin Mbak," jawab Shanum.

Bab 2

Dua Minggu sudah berlalu, Pak Yanto masih dirawat di rumah sakit. Selama bapaknya dirawat di rumah sakit, Shanum hanya sekali saja menjenguk sang bapak. Hal ini dikarenakan Shanum sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti serangkaian ujian kelulusan.

Saat ini Shanum duduk di kelas 6 SD, Shanum menginginkan masuk ke SMP favorit di kabupaten tempatnya tinggal. Shanum ingin merasakan sekolah di kota, dimana tidak sembarang orang bisa sekolah disana. Hanya orang dengan kemampuan otak yang cerdas yang bisa masuk ke sana.

Shanum memiliki semangat yang tinggi, dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Tapi sayang sekali, keadaan orang tuanya tidak mendukung. Kondisi ekonomi serta usia kedua orang tua membuat Shanum mengubur dalam-dalam cita-citanya.

"Bagaimana ujiannya? Bisa kan mengerjakannya?" cerca Mutia kakak Shanum.

Sore itu selepas beberes rumah serta mandi mereka berdua duduk di ruang tengah sedang menonton TV.

"Gampang! Itu mah kecil!" jawab Shanum dengan sombongnya.

"Yakin bisa dapat nilai diatas rata-rata?" selidik Mutia.

Mutia tahu adiknya saat ini dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Shanum lebih sering melamun, dan kelihatan lesu.

Bagaimana Shanum tidak sedih, pak Yanto bukan hanya ayah baginya tapi juga seorang teman. Setiap hari dia selalu bersama sang ayah karena sang ibu berjualan di pasar setiap hari tanpa libur. Sang ayah lah yang banyak mengajarkan dia tentang pekerjaan rumah dan cara bertahan jika menghadapi masalah.

Bukan berarti Shanum tidak dekat dengan ibunya, Shanum anak yang paling kecil di rumah itu. Shanum sangat dimanja dan disayang, tidak heran di usianya yang sudah menginjak 13 tahun, Shanum belum bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Shanum hanya bisa menyapu rumah dan halaman saja.

"Shanum bisa kerjain semua soal ujian, hanya saja..." Shanum terdiam tidak melanjutkan kata-katanya.

"Shanum, mbak yakin Shanum bisa. Shanum kan anak pinter. Jangan terlalu memikirkan bapak. Bapak sudah baik, besok bapak sudah boleh pulang kok." kata Mutia menghibur adiknya.

Shanum mengangguk mendengar kata-kata sang kakak.

🌼

Keesokan harinya...

Akhirnya pak Yanto dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah. Anak-anak pak Yanto semua berkumpul di rumah besar itu. Semua anak pak Yanto langsung pulang begitu mendengar kabar pak Yanto sakit dan dirawat di rumah sakit.

Pak Yanto berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah. Biarlah hidup sederhana tapi memiliki akhlak yang baik, begitulah prinsip pak Yanto. Kita hidup tidak memakai apa-apa, tidak membawa apa-apa, jadi kalau suatu saat kita tidak memiliki apa-apa itu adalah hal yang wajar. Lumrah, karena kita mati pun tidak akan membawa apa-apa.

Kepulangan pak Yanto dari rumah sakit disambut oleh beberapa tetangga kiri kanan rumah pak Yanto. Hal ini dikarenakan pak Yanto dan istrinya sangat peduli dengan lingkungan sekitar. Mereka selalu ringan memberikan bantuan kepada tetangga di sekitarnya, sehingga tidak heran banyak orang yang menjenguk pak Yanto, saat dia sakit.

Pak Yanto dikenal orang yang ramah, beliau juga bisa mengobati orang sakit. Banyak yang datang untuk meminta air putih untuk mengobati sakit gigi, demam bahkan ada juga yang meminta bantuan pak Yanto untuk memilih hari baik. (Orang Jawa selalu memakai perhitungan hari setiap ada acara.)

Saat ini pak Yanto dan bu Lestari sudah berada di rumahnya dikerubuti tetangga. Pak Yanto langsung masuk kamar untuk istirahat, sedang bu Lestari menemani para tetangga.

"Lara apa tha pak Yanto? Kok nganti mondok barang!" tanya salah satu tetangga yang menunggu kepulangan pak Yanto dari rumah sakit.

(Sakit apa sih pak Yanto? Kok sampai opname segala!)

"Jare dokter lara jantung karo penyempitan paru-paru. HB ne rendah jare dokter, nambah getih nganti sewelas kantong wingi," jawab bu Lestari.

(Kata dokter sakit jantung sama penyempitan paru-paru. HB-nya rendah kata dokter, tambah darah sampai sebelas kantong kemarin.)

Shanum hanya mendengarkan pembicaraan antara mereka yang sudah dewasa. Dia tidak berani ikut berbicara, cukup menjadi pendengar dan merekam setiap kata-kata mereka ke otaknya. Jadi dia bisa jawab bila suatu saat nanti ditanya bapaknya sakit apa.

🌼🌼

Hari berganti, pak Yanto pun sudah pulih seperti semula. Bu Lestari sudah kembali berjualan di pasar, kakak-kakak Shanum pun sudah kembali merantau dan pulang ke rumah masing-masing. Ujian Shanum pun sudah selesai hanya menunggu pengumuman hasil ujian, antara lulus atau tidak.

Suatu hari di siang yang panas terik, Bu Lestari mengeluh kurang enak badan. Beliau meminta Shanum untuk mencuci piring dan peralatan masak yang kotor karena makan siang tadi. Shanum juga diminta tidur siang bersama di kamar Bu Lestari.

Dengan patuh Shanum mengikuti setiap perkataan sang ibu. Tanpa Shanum sadari itu detik-detik terakhir bersama ibunya. Shanum tidak menyadari bahwa itu salah satu tanda akan kepergian sang ibu.

Bu Lestari hanya mengeluh sudah lelah, ingin istirahat. Beliau juga meminta semua anaknya berkumpul bersama. Shanum pun segera menghubungi kakak-kakaknya agar kembali pulang atas permintaan sang ibu.

Seminggu kemudian semua anak-anak pak Yanto dan bu Lestari berkumpul, mereka semua diminta Bu Lestari untuk membacakan surat Yassin serta beberapa surat pendek lainnya yang sudah dihafal.

Setelah selesai mengaji dan makan malam, semua anggota keluarga berkumpul di kamar pak Yanto dan bu Lestari. Bu Lestari minta dipijit kakinya. Anak-anak secara gantian memijit kaki dan tangan bu Lestari.

Saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam Bu Lestari meminta Mutia untuk membawa Shanum tidur di kamarnya sendiri.

"Mut, bawa adikmu tidur sana! Keloni dia biar tidurnya pulas. Jangan lupa besok antar dia berobat ke dokter! Kasihan dia, sakit belum ada obatnya. Kalian jaga Shanum baik-baik, jangan sakiti dia." pesan Bu Lestari.

Shanum hanya diam tanpa membantah ucapan ibunya.

"Inggih Bu!" jawab Mutia.

"Ayo Sha! Tidur tak keloni wis, ora tak tinggal!" kata Mutia sambil menarik tangan Shanum keluar dari kamar orang tuanya.

(Tidurnya aku keloni, nggak aku tinggal!)

"Iyaaa!" jawab Shanum.

Shanum tidak menyadari bahwa itu adalah terakhir kali dia melihat ibunya bernafas.

Akhirnya Shanum dan Mutia meninggalkan kamar orang tuanya. Mereka menuju kamar Shanum dan Mutia. Selama ini mereka satu kamar karena Shanum takut tidur sendiri. Bila Mutia di Jogja, Shanum minta ditemani ibunya.

"Mbak, ibu sebenarnya sakit apa sih? Kok tiba-tiba sakit begitu, sampai rumah sakit pun malah disuruh bawa pulang lagi. Memangnya sakit ibu nggak bahaya?" tanya Shanum dengan polosnya.

"Sakit apa pun itu, kita do'akan saja semoga ibu cepet sembuh. Sekarang kita tidur biar besok bangun nggak kesiangan, ini sudah malam!" kata Mutia.

Mereka tidur saling berhadapan dan berpelukan. Tidak lama setelah itu Shanum tertidur, sedang Mutia masih terjaga.

Sayup-sayup Mutia mendengar suara jeritan dari kamar kedua orang tuanya. Mutia pun berlari ke arah kamar itu. Begitu sampai di kamar itu, Mutia mendapati sang ibu sudah terbaring kaku dipangkuan kakak laki-lakinya yang nomor tiga.

Bab 3

Shanum sudah masuk ke dunia mimpi saat sang ibu menghembuskan napas terakhirnya. Walaupun usia Shanum sudah 13 tahun, dia masih seperti anak kecil yang polos. Dia lebih pendiam dibandingkan dengan anak seusianya. Tak jarang kakak-kakaknya memanggilnya Markonah karena daya tangkap Shanum yang lamban.

Setelah mendengar kabar bu Lestari meninggal, para tetangga berdatangan. Saat rumah sudah ramai pun Shanum masih terlelap dalam tidurnya. Dia sama sekali tidak terganggu dengan suara berisik orang yang datang melayat.

Tepat tengah malam, ada seorang ibu-ibu tetangganya membangunkan Shanum.

"Num! Num! Bangun yuk!" kata ibu itu sambil menggoyang tangan Shanum.

Shanum terbangun setelah lama dibangunkan. Dia mulai menggeliat dan mengucek matanya, kemudian duduk di pinggir ranjang.

"Iya, ada apa ya?" tanya Shanum kebingungan. Shanum bingung kenapa tengah malam banyak orang di rumahnya.

"Bangun dulu, cuci muka. Yuk!" kata ibu itu sambil menggandeng tangan Shanum menuju kamar mandi di belakang. Kamar mandi di rumah itu hanya satu, di dekat sumur.

Shanum pun kencing dan cuci muka, dia belum tahu kalau ibunya sudah meninggal.

"Duduk dulu sini! Minum?" tanya ibu tersebut, panggil saja Marni.

Shanum duduk sambil menggelengkan kepalanya. Dia bingung tapi tidak berani bertanya.

"Anum sudah tahu belum kalau ibunya sudah nggak ada?" tanya Marni.

"Memangnya ibu kemana?" tanya Shanum dengan polosnya. ( Nggak salah kan kalau kakak-kakaknya manggil dia Markonah, karena saking lemotnya dia🤣).

"Ibu Anum sudah meninggal, tadi sewaktu Anum tidur." kata Marni lembut.

Shanum mendengar ibunya sudah meninggal, hanya diam tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba Shanum berdiri dan melangkah kakinya ke kamar mandi, lalu dia mengambil air wudhu.

"Anak pinter, ibunya meninggal nggak nangis." puji Marni sambil tetap mendampingi Shanum.

"Wis pinter tenan anak wedok, ora nangis blas. Malah wudhu!" kata salah seorang warga yang membantu kerepotan di rumah Shanum.

(Pinter banget anak perempuan ini, tidak menangis sama sekali.)

Sesampainya di ruang tamu, tempat ibu Lestari disemayamkan, Shanum mengambil salah satu Al Qur'an yang berada di dekat jenazah ibunya.

Shanum membuka dan mulai membaca satu persatu ayat Al Qur'an. Awalnya Shanum melantunkan ayat-ayat Allah dengan merdu dan jelas, tapi lama kelamaan bukan lagi suara merdu yang terdengar. Suara isakan tangis tidak bisa ditahannya lagi.

Mutia yang mendengar isakan tangis Shanum menghentikan kajiannya. Mutia langsung mengaji, begitu tahu ibunya meninggal. Tidak ada bekas tangisan yang terlihat di matanya.

"Sha, kalau nangis nggak boleh mengaji. Nanti ibu disiksa malaikat kalau kita menangisi kepergian ibu." nasehat Mutia.

"Kalau Shanum mau menangis berhenti mengaji, tutup dulu Al Qur'annya. Terus menjauh dari ibu!" kata Mutia sedikit keras.

Mutia berkata demikian karena Shanum tidak berhenti menangis sambil membaca Al Qur'an.

Mendengar suara kakaknya yang kuat, Shanum menghentikan tangisnya. Tidak hanya tangisan saja yang berhenti, Shanum pun berhenti mengaji. Shanum diam mematung menatap wajah sang ibu.

Dilihatnya Bapak dan kakak-kakaknya mengaji mengelilingi jenazah ibunya. Shanum mulai membuka Al Qur'an dan kembali membaca dengan lirih.

🌼

Keesokan harinya, jenazah ibu Lestari disucikan dan dikafani kemudian disholatkan. Banyak pelayat memenuhi halaman rumah Shanum yang luas, bahkan sepanjang jalan di depan rumah Shanum dan beberapa rumah tetangganya. Berbagai kalangan datang melayat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibu Lestari.

Walaupun pak Yanto dan istrinya hanya orang dari kalangan biasa saja, tapi orang tua ibu Lestari dulunya adalah seorang saudagar kaya yang terkenal di kabupaten itu. Hampir semua orang mengenal kakek Shanum.

"Aku kira pak Yanto yang meninggal, ternyata Den Ayu yang meninggal." terdengar suara bisik-bisik para pelayat.

"Iya ya, padahal beberapa hari terakhir kan pak Yanto yang sakit sampai dirawat di rumah sakit dua Minggu." jawab salah satu pelayat.

"Sakit apa sih, kok mendadak begitu?"

"Mboh ra ngerti aku, aku dewe ya kaget krungu kabar iki mau."

(Entahlah nggak tahu, aku sendiri kaget mendengar kabar ini tadi.)

"Anak-anaknya tegar semua ya, nggak ada yang menangis. Malah banyak pelayat disini yang menangis."

Bisik-bisik itu terus terdengar saling bersahutan memenuhi indra pendengar Shanum. Saat itu Shanum dan kakak-kakaknya serta beberapa kerabat dari keluarga ibu Lestari sedang berdiri di samping Kepala Desa yang memberi sambutan salam perpisahan untuk almarhumah ibu Lestari.

Bagaimana orang lain tidak kaget mendengar kepergian Raden Ayu Lestari Mangunkusumo, anak dari Raden Mas Petrus Mangunkusumo, selama ini tidak pernah sakit tiba-tiba meninggal dunia.

Ibu Lestari adalah anak dari seorang priyayi yang terkenal di kabupaten itu. Sebenarnya yang terkenal adalah orang tua Lestari, terkenal karena kedermawanannya dan rendah hati.

Banyak priyayi yang selalu merasa tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang biasa pada umumnya. Tapi orang tua Lestari tidak pernah membedakan silsilah atau derajat, baginya semua manusia itu sama saja. Yang membedakan itu amal ibadahnya selama di dunia.

Walaupun memiliki gelar, anak-anak Mangunkusumo tidak ada yang memakainya. Hanya Raden Mas Petrus Mangunkusumo tidak menyematkan gelar pada namanya. Hal ini dikarenakan menurut mereka gelar di depan nama itu tidak berarti apa-apa. Pada dasarnya seseorang itu dihormati karena tingkah lakunya, dilihat dari unggah ungguh (perilaku) dalam kesehariannya.

Pada siang hari, jenazah ibu Lestari dimakamkan. Salah satu kakak laki-laki Shanum pingsan begitu peti jenazah ibunya diangkat hendak dimakamkan. Shanum beserta kakak-kakaknya yang lain ikut mengantarkan sampai tempat peristirahatan terakhir ibu Lestari.

Tidak ada air mata yang mengiringi kepergian ibu Lestari, bukan berarti keluarganya bahagia dengan kepergian beliau. Tapi karena air mata itu mengering, hanya tangisan batin yang ada. Tangisan yang tidak bisa dikeluarkan lagi dengan air mata.

Kepergian sang ibu, membuat Shanum melupakan sekolahnya. Pendaftaran murid baru di sekolah yang diincarnya sudah berakhir dan ditutup. Hal ini tidak diketahui oleh Shanum dan keluarganya.

Shanum sakit selepas mengantarkan ibunya ke peristirahatan terakhir. Shanum masih terlihat kuat tapi suara Shanum hilang sampai liburan sekolah berakhir. Bahkan sudah dibawa berobat kemana-mana, tapi suara Shanum belum juga pulih.

Adik Bu Lestari merasa heran karena Shanum masih belum mendaftar sekolah SMP, bahkan belum mempersiapkan segala keperluan sekolah. Akhirnya pak Sena, adik Bu Lestari, mendatangi rumah pak Yanto.

"Kang Yanto ini bagaimana, anaknya kok nggak diurus? Mau disekolahkan apa nggak?" pak Sena memarahi pak Yanto begitu sampai di rumah pak Yanto.

"Tunggu, ada apa kok datang marah-marah? Duduk dulu sini, baru ngomong." kata pak Yanto menggunakan bahasa Jawa halus.

"Si Shanum sudah daftar sekolah belum? Ini sudah mulai daftar ulang, kenapa Shanum masih di rumah saja?" tanya pak Sena.

Pak Sena adalah salah satu adik Bu Lestari, adik ipar pak Yanto. Pak Sena tidak memiliki anak perempuan, anaknya dua laki-laki semua. Dia sudah lama ingin mengambil Shanum sebagai anaknya. Karena dia ingin memiliki seorang anak perempuan, dia sangat menyayangi Shanum seperti anak sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!