NovelToon NovelToon

ELMIZAAJ (SUASANA HATI)

Bab 1

Malam dingin kali ini berbeda. Tidak menusuk-nusuk ke tulang seperti malam-malam sebelumnya. Setidaknya seperti selama beberapa bulan sebelumnya. Hembusan angin menerpa wajah. Membuat tiap helai rambutnya menari-nari dengan indah.

Oja duduk memeluk lutut di balkon kamarnya yang sangat luas. Matanya menatap sependar cahaya di langit. Bulat penuh yang sangat indah terlihat di sana. Memandang bulan dan bintang menjadi kebiasaan Oja akhir-akhir ini. Untuk beberapa bulan yang lalu setelah ibunya pergi menyusul sang ayah ke surga. 

Oja adalah anak yatim sejak berusia lima tahun. Ibunya menggantikan peran sang ayah dalam mencari nafkah dan memenuhi segala kebutuhan hidup keluarga kecil mereka. Sejak kecil, Oja sudah ditempa menjadi pribadi kuat tapi lembut. Sopan tapi tidak penakut. Kehidupan yang serba kekurangan membuat Oja tidak pernah menginginkan banyak hal seperti anak-anak lain pada umumnya. Hingga di usia sekarang. Delapan belas tahun.

Beruntung Oja masih bisa bersekolah dengan bantuan beasiswa hingga lulus Sekolah Menengah Atas. Oja merasa cukup selama ibunya masih bersamanya meski beberapa kali hanya bisa makan dengan lauk tempe goreng. 

Gadis keturunan Aceh itu menyeka setetes bulir yang mengalir turun dari pipinya. Dia rindu sosok ibunya. Rindu itu hadir setiap saat. Namun, setiap malam tiba, kadarnya semakin tinggi. Ibarat racun yang ditenggak paksa. Menusuk ke jantung dan terasa sangat menyakitkan. Melumpuhkan saraf-saraf pentingnya. Membuatnya merasa ingin ikut menyusul sang ibu.

Mendadak pintu kamar diketuk. Seorang pelayan memanggil dari luar kamar. "Nona, apa Nona sudah tidur?" 

Oja buru-buru menyeka air matanya lantas bangkit dari duduknya dan berjalan dengan susah payah untuk membuka pintu. 

Terlihat Fuji berdiri di ambang pintu dengan segelas susu. 

"Yang Mulia ingin Nona meminum ini setiap malam," kata Fuji tersenyum ketika melihat raut wajah protes Oja. 

Gadis itu tidak menyukai susu. Namun, Fuji selalu saja memberikannya susu setiap malam sejak dia tinggal di rumah ini. 

Yang Mulia yang disebut Fuji adalah ayah angkat Oja. Ibnu Saud Al Muthahar. Pengusaha kaya raya dari keluarga bangsawan Arab Saudi yang menetap di Indonesia. 

Sebenarnya Oja hanya pernah bertemu sekali dengan lelaki itu. Ketika pertama kali diajak ke rumah ini. Dia juga sedikit bingung kenapa mendadak Ibnu Saud Al Muthahar mengangkatnya menjadi anak. 

Kala itu hari ahad. Oja membereskan ransel kecilnya untuk bergegas pulang. Gadis itu bekerja di salah satu gerai fotocopy di depan rumah sakit persimpangan dekat rumahnya. Sebenarnya hari ahad adalah hari libur Oja, tapi karena dia merasa sepi di rumah sejak ibunya tidak ada, dia menerima tawaran pemilik gerai untuk membantunya di hari ahad sampai tengah hari.

Seperti biasa, setiap pulang kerja Oja menyempatkan diri menyunjungi ibunya. Ketika hampir tiba di makam, dia sedikit heran melihat di kejauhan berdiri beberapa orang dengan setelan hitam di sekililing pusara ibunya.

Oja melangkah pelan. Menyibak satu dua orang demi melihat apa yang terjadi dan mendapati seseorang bersimpuh di sana. Dialah Ibnu Saud Al Muthahar.

Semua terasa cepat dan membingungkan saat seseorang itu menjelaskan hal-hal aneh lantas menyatakan bahwa dia akan mengangkat Oja menjadi anak.

Lalu di sinilah Oja sekarang. Di kediaman keluarga Al Muthahar yang bagaikan istana.

Fuji masih berdiri di ambang pintu lantas masuk ke dalam kamar setelah Oja mempersilahkan. Oja duduk di sofa kamarnya dan menenggak habis susu itu dengan susah payah. Fuji lantas tersenyum setelah melihat gelas itu kosong. Kemudian pelayan itu pamit undur diri. 

Oja tidak pernah sekalipun bermimpi tinggal di rumah yang sangat besar dan mewah, apalagi memiliki pelayan pribadi.

Gadis itu beberapa kali merasa segalanya adalah mimpi dan suatu saat dia akan terbangun lantas menemukan dirinya meringkuk di sudut kamar beralaskan tilam busa super tipis dengan dinding-dinding anyaman bambu yang dilapis koran-koran bekas yang diminta ibunya kepada keluarga tempat ibunya menjadi buruh cuci, yang membuatnya setiap malam memeluk dingin. 

Oja memandangi kamarnya kembali. Meski sudah entah keberapa belas kalinya. Dia masih saja tampak tidak percaya memiliki kamar yang nyaris sepuluh kali lebih besar dari rumah gubuk kecilnya.

Pilar besar dan anak tangga ada di dalam kamarnya yang unik. Kamarnya berada di dua lantai rumah ini. Di lantai bawah sofa dan rak buku serta lemari besar yang isinya puluhan pasang sepatu dengan berbagai model serta sebuah wastafel lengkap dengan cermin yang besar. 

Di lantai dua tempat tidur dan lemari pakaian super besar yang berisi puluhan pakaian serta beberapa abaya yang sangat indah. Entah untuk apa abaya itu. Oja bahkan tidak pernah bermimpi akan memakai pakaian seperti itu.

Ada juga kamar mandi yang sangat mengagumkan. Oja harus beberapa kali diberitahu fungsi segala alat-alat yang ada di kamar mandinya oleh Fuji. Sementara lantai kamarnya dengan marmer putih gading yang berkilau sangat indah.

Entah bagaimana sudut lain dari rumah ini. Oja belum pernah benar-benar mengelilinginya. Selain dia tidak berani, Fuji juga baru dua hari menjadi pelayannya. Oja masih merasa canggung.

Pelan-pelan Oja kembali menaiki anak tangga dan duduk di balkon memeluk lutut kembali. Posisi yang sama seperti sebelumnya. Matanya menatap air mancur yang di kelilingi tanaman indah di bawah. Daun-daun masih menari-nari diterpa angin. Bahkan halaman rumah ini saja Oja perkirakan hampir lima ratus meter. Pertama kali di bawa ke sini, Oja tidak pernah bisa menutup mulutnya dengan sempurna. Dia terus saja tergagum dan menganga. 

Mendadak dari atas balkon Oja melihat cahaya lampu mobil mendekat sebelum akhirnya berhenti tepat di depan teras. Kamar Oja berada tepat menghadap teras. Membuatnya sering melihat siapa saja yang keluar masuk istana ini. Ya, bagi Oja, rumah ini bagaikan istana.

Seorang pemuda keluar dari dalam mobil setelah supir membukakan pintu. Pemuda itu adalah orang Arab, terlihat dari wajahnya meski pakaian yang digunakannya tidak seperti orang arab kebanyakan di negeri para Nabi tersebut.

Pemuda itu berjalan dengan langkah tegap. Mendadak langkahnya berhenti, wajahnya terangkat ke atas dan menatap ke arah Oja yang tengah berdiri dan menatap ke arahnya. Tatapan yang kosong. Untuk beberapa detik waktu berlalu begitu saja.

Oja melihat supir mengikuti arah pandang pemuda itu. Kemudian bergumam entah apa sebelum akhirnya pemuda itu membuang wajah dan berlalu. Baru pada saat itu Oja ingat beberapa saat dirinya menahan napas.

Oja masuk ke dalam kamarnya. Menjatuhkan diri di tempat tidur dan meringkuk. Dipejamkannya mata dan mulai tertidur.

...

Pukul lima pagi Oja sudah bangun. Karena sudah menjadi kebiasaan baginya bangun pagi sejak bersama ibunya. Gadis itu segera berbenah diri dan keluar kamar. Selama beberapa hari ini dia hanya beberapa kali keluar kamar. Melihat-lihat dibagian sayap kiri rumah mewah ini.

Pagi ini Oja berniat jalan-jalan ke paviliun belakang. Melihat-lihat untuk membunuh rasa bosan. Kata Fuji, dirinya ada di sana bersama pelayan lainnya.

Oja menyusuri lantai marmer yang senada dengan warna lantai di kamarnya. Pelan Oja melangkah menuju paviliun belakang.

Gadis itu berdiri di depan pintu. Paviliun ini ternyata adalah dapur. Ada sekitar dua belas orang di sana yang tengah sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan pagi ini.

Di sudut kiri Oja melihat Fuji sedang merapikan gelas dan piring. Oja segera masuk dan menghampirinya dengan langkah ringan.

Semua pelayan tampak berhenti dan memperhatikan Oja. Fuji terkaget mendapati majikannya ada di sini.

"Nona," panggil Fuji.

Oja tersenyum lalu senyum itu hilang ketika melihat semua pelayan memandanginya. "Ada apa?" tanyanya berbisik.

Fuji tersenyum dan menggeleng. "Kenapa Nona ke sini? Ini hanya tempat untuk pelayan."

"Aku ingin mencarimu," jawab Oja pelan.

"Maaf, Nona. Apa yang Nona inginkan?"

Mereka berjalan ke luar paviliun. "Sebenarnya aku hanya bosan, jadi aku jalan-jalan," cicit Oja.

Fuji tersenyum. "Tapi ini masih terlalu pagi, Nona. Yang Mulia masih di kamar. Hari ini beliau mengatakn ingin bertemu dengan Nona."

Mata Oja seketika membulat. "Yang Mulia di sini?" tanyanya. "Maksudku, ayah angkatku di sini? Kapan dia pulang?"

"Tadi malam. Bersama Nyonya Muda dan Putri Faatin," ungkap Fuji.

Oja terdiam sesaat. Dia belum pernah bertemu keluarga Ibnu Saud Al Muthahar. Gadis itu menggigit bibirnya dengan rasa entah.

"Sarapan pagi ini di ruang makan bersama anggota keluarga yang lain," lanjut Fuji.

Bab 2

Oja duduk di pinggiran kasur ketika Fuji masuk ke kamarnya. "Nona, sudah waktunya bergabung untuk sarapan pagi," kata Fuji menghampiri Oja.

Oja memilin jemarinya. "A-aku sedikit takut," balasnya gugup.

Fuji menatapnya prihatin lantas tersenyum. "Apa yang Nona takutkan?" Fuji berdiri dengan sopan di sebelah Oja.

"Ya, s-semua," jawab Oja meringis. Fuji tahu bagaimana perasaan Oja saat ini. Tentu saja sebagai anggota keluarga baru dari kalangan menengah ke bawah terasa canggung jika harus berbaur dengan keluarga bangsawan. Apalagi Oja belum mengerti fungsi pisau dan garpu di meja makan meski beberapa kali sudah Fuji beritahu.

Namun bagaimanapun, keluarga Al Muthahar sudah menunggu di sana dan Fuji harus segera membawa Oja untuk bergabung di meja makan. Akan sangat menakutkan jika terlalu mengulur waktu. Adik laki-laki termuda Ibnu Saud Al Muthahar bukan orang yang sabar.

Fuji mengamit lengan Oja lembut. Dibimbingnya gadis yang lima tahun lebih muda darinya itu dan membawanya ke luar kamar. Meski Oja bersikeras tidak ingin, tapi Fuji berhasil menyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

- - -

Berbekal merapal mantra bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang pelayannya katakan, di sinilah Oja sekarang. Di meja makan bersama dengan keluarga Al Muthahar.

Ibnu Saud Al Muthahar tersenyum lembut namun penuh wibawa ketika memperkenalkan anggota keluarganya kepada Oja. Beliau duduk di kursi ujung. Di sebelah kanannya ada istri muda yang teramat cantik, Nyonya Muda Shareen. Dari wajahnya sepertinya bukan keturunan arab saudi. Sementara disebelah Nyonya Shareen ada Putri Faatin yang masih remaja.

Suasana sarapan pagi ini terasa begitu canggung dan agak menakutkan untuk Oja. Dia belum pernah bertemu dengan Nyonya Muda Shareen dan Putri Faatin sebelumnya, apalagi satu meja dengan mereka.

Namun, bukan hanya itu yang suasana hatinya makin tidak karuan, melainkan tatapan tajam dari seorang pemuda yang duduk tepat di sisi kiri ayah angkatnya, Ayyub Al Muthahar.

"Jadi, bagaimana rasanya setelah menjadi bagian dari keluarga Al Muthahar?"

Oja mengangkat wajah. Tatapan ingin tahu yang tulus dari Faatiin membuat bibirnya melengkung sedikit. Hanya sedikit. Gadis itu masih canggung dengan situasi ini.

"Luar biasa," jawab Oja lembut dan tak kalah tulus.

"Benarkah? Kurasa selain fasilitas, tidak ada yang luar biasa." Faatin mengangkat bahu. "Aku tidak pernah bisa keluar rumah tanpa pengawal," bisiknya pelan.

Nyonya Muda Shareeb berdehem lantas memberi kode kepada anaknya untuk menjaga sikap di depan sang ayah, lalu Faatin menjauhkan wajah dari Oja seraya berkata ups tanpa suara.

Oja memerhatikan ayah angkatnya. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak marah. Dia bahkan tersenyum setelah sebelumnya meletakkan pisau dan garpunya serta mengelap bibir. Acara sarapannya telah usai. Cepat sekali. "Ayah tidak pernah menutup kebebasan untuk semua anggota keluarga. Hanya saja, demi keamanan kita bersama, harus ditemani pelayan dan pengawal."

Oja menerjap sekali. Dua kali. Sementara Faatin tersenyum penuh arti pada Oja. Nyonya Muda Shareen tersenyum lembut dan pemuda itu hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi.

"Apa kamu sudah pernah mengenal setiap sudut rumah ini?" tanya Nyonya Muda Shareen mencoba mengalihkan pembicaraan.

Oja menggeleng. "Hanya paviliun belakang," jawabnya.

"Oh, astaga! Itu tempat para pelayan," kata Faatin sedikit kaget.

"Mau kah kalau aku temani melihat-lihat?" tanya Nyonya Muda Shareen tersenyum lembut.

"Tentu saja, Nyonya. Dengan senang hati."

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku ibumu," kata wanita cantik berpenampilan sederhana itu. Setelah Oja benar-benar memerhatikan ibu angkatnya itu, dia berdecak kagum dengan paras wajah yang sangat cantik di depannya.

Nyonya Muda rumah ini tidak memakai abaya seperti istri para bangsawan arab di negeri timur tengah sana. Dia hanya mengenakan setelan simpel dengan bahan yang sangat lembut ketika tidak sengaja tersentuh kulit Oja.

"Baiklah. Aku pergi dulu. Masih banyak urusan di kantor," kata pemuda itu pamit dan bergegas pergi. Oja memandangi punggung lebar itu sambil menahan napas.

"Dia pamanku. Orang yang paling tidak menyenangkam di rumah ini," kata Faatin kembali berbisik.

Acara sarapan selesai begitu Ibnu Saud Al Muthahar bangkit berdiri dan pamit untuk berangkat ke kantor sama seperti adiknya. Padahal Oja ingin sekali mengobrol dengan lelaki itu.

Nyonya Muda Shareen berdiri lantas mengajak Oja untuk berkeliling. Faatin mengekor dari belakang. Mereka berjalan ke arah sayap kanan. Oja belum pernah melihat sampai ke sana karena posisi kamarnya yang sedikit jauh. Dia agak senang ketika Nyonya Muda Shareen mengajaknya berjalan-jalan, tapi mendadak ponsel wanita cantik itu berdering.

"Halo, selamat pagi," sapa Nyonya Muda Shareen dengan lembut dengan orang di sebrang sana. "Oh, tentu saja. Senang bisa membantu Kakak Maduku." Sambungan telepon dimatikan.

Nyonya Muda Shareen berbalik. "Maaf. Sepetinya aku tidak bisa menemanimu berkeliling. Ada panggilan darurat dari Ibumu." Wanita itu tersenyum lembut seraya memainkan matanya.

Oja yang tidak terlalu mengerti dengan ucapan Nyonya Muda Shareen hanya mengangguk dan tersenyum. "Tidak masalah. Pergilah, Ibu."

"Faatin," panggil Nyonya Muda Shareen kepada putrinya.

"Ya, Mom. Aku akan menemani kakakku," jawabnya cepat seolah tau apa yang akan dikatakan ibunya.

Wanita itu tersenyum dan berlalu. Tinggallah Oja dan Putri Faatin berdiri bersisian sambil menatap punggung indah sang ibu.

"Jadi," tanya Faatin setelah ibunya menghilang di belokan.

Oja mengangkat alis. "Apa?"

"Rumah ini tidak terlalu menarik." Remaja itu berkata pelan.

Oja tersenyum. "Oh, ya? Jadi apa yang menurutmu lebih menarik?" tanya Oja.

"Pergi ke perpustakaan dan membaca buku," kata Putri Faatin mengangkat bahu.

"Novel?" tanya Oja.

"Tentu saja," jawabnya dengan mata berbinar. "Tapi jika kau ingin tau satu tempat yang paling menarik, ayo aku tunjukkan."

Putri Faatin menarik tangan Oja dengan lembut ke halaman belakang. Rumput-rumput kecil terasa menggelitik di kaki Oja yang hanya memakai sendal tipis.

Dari jauh Oja tahu bahwa Putri Faatin akan membawanya ke mana. Kandang kuda.

"Namanya Istal," kata Putri Faatin tertawa. Ternyata tadi Oja menyuarakan hatinya.

Oja tertawa. Mereka sudah sampai di pintu masuk. Oja berdecak kagum melihat kandang kuda keluarga bangsawan ini. Sangat bersih dan mewah. Bahkan kandang saja sebagus ini, bisik hati Oja.

"Aku sangat suka berkuda," kata Putri Faatin. Mereka hanya berdiri di depan pintu. Oja menghitung ada sekitar delapan kuda dengan kandang terpisah untuk setiap kuda.

Putri Faatin menghela napas dan menghembusnya pelan. "Kau tau, berkuda adalah hal yang paling menyenangkan," lanjutnya.

Oja hanya mendengarkan dalam diam. "Dulu, aku dan Paman Ayyub berkuda setiap akhir pekan," ucap Putri Faatin menerawang. Seolah mengingat-ingat kenangan lama. "Dia Paman yang baik, sebelum dia menjadi seperti sekarang."

"Apa yang terjadi?" tanya Oja penasaran.

Putri Faatin menoleh dan menatap wajah Oja tanpa ekspresi. Bibirnya bergerak dan mengeluarkan suara yang sangat pelan. Namun, Oja tetap bisa mendengarnya. "Calon istrinya jatuh dari kuda yang kehilangan kendali dan meninggal."

Oja terdiam.

"Sejak saat itu Paman Ayyub tidak ingin lagi berkuda."

Ada hening yang tercipta beberapa saat. Oja tidak berani memecahnya, dia hanya menunggu gadis yang setahun lebih muda darinya itu memecahnya.

Satu menit kemudian Putri Faatin menghela napas. "Jadi kurahap kau paham kenapa Paman jadi sedikit tidak menyenangkan," katanya tersenyum yang langsung dibalas Oja dengan anggukan.

"Ceritakan hal lain tentang keluargamu," pinta Oja. Mereka berjalan kembali ke rumah melewati halaman belakang.

"Baiklah, apa yang ingin kau tau?"

"Hmm. Tadi Nyonya Muda Shareen...."

"Ah, dia ibumu," potong Putri Faatin cepat.

Oja meringis pelan.

"Ibu Shareen istri termuda Ayah," katanya. "Ayah punya tiga istri. Aku anak dari istri kedua. Tapi, aku dibesarkan oleh Ibu Shareen. Ibuku di Inggris dan tipe wanita yang bebas."

Oja ber-oh tanpa suara.

"Yang menelpon tadi itu istri tertua Ayah. Ibu Eiliyah."

Mereka baru saja sampai di pintu belakang dan hendak masuk ketika seorang pelayan mendekat. "Putri Faatin, ponsel ada berdering." Pelayan itu menyerahkan benda pipih kepada Putri Faatin yang langsung diterima. Nama Ayyub Al Muthahar ada di sana.

"Ada apa? Sekarang? Kenapa kau begitu menyebalkan, Paman? Kau memiliki banyak pelayan dan pengawal. Suruh saja mereka yang mengantar." Ada jeda beberapa saat. "Aku membencimu," ucap Putri Faatin kesal dan menutup telepon.

Oja menatapnya khawatir. "Dia menyebalkan. Aku harus pergi mengantar file bodoh yang tertinggal di kamarnya. Apa kau mau ikut?"

"Apa boleh?" tanya Oja.

"Tentu saja," jawab Putri Faatin. "Suruh supir menyiapkan mobil. Kami mau pergi ke kantor Paman," perintahnya pada pelayan.

"Baik, Putri." Pelayan itu berlalu.

Mereka berjalan ke sayap kiri dan masuk ke dalam kamar besar yang hampir sama seperi kamar Oja. Ada anak tangga di dalam kamar tersebut. Rumah ini memeliki kamar yang terhubung langsung ke lantai dua. Menakjubkan!

Tanpa bertanya Oja tahu ini kamar Ayyub Al Muthahar. Ada satu pigura di atas nakas dekat telepon rumah yang menampilkan Ayyub yang tengah merangkul seorang wanita. Dia berdiri memandangi nuansa kamar yang sedikit berbeda dari kamarnya. Sementara Putri Faatin membuka laci di lari dekat rak buku dan mencari file yang dimaksud.

"Ini dia," kata Putri Faatin. "Ayo."

Mereka keluar kamar dan menuju ke pintu utama. Di depan sudah terparkir mobil. Supir segera membuka pintu dan mempersilahkan keduanya naik.

Sekitar dua puluh menit mereka sudah sampai di kantor Ayyub Al Muthahar. Oja turun dari mobil setelah Putri Faatin. Dia merasa sedikit senang bisa berjalan-jalan. "Ayo, masuk."

Keduanya melangkah memasuki gedung tinggi tersebut. Resepsionis tersenyum hormat melihat Putri Faatin dan beberapa karyawan lain yang berpapasan dengan mereka.

Lift membawa mereka ke lantai di mana ruangan Ayyub Al Muthahar. Di depan ruangan Putri Faatin berbicara dengan seorang wanita yang diduga Oja sekretaris.

"Bapak sedang ke luar," kata sekretaris tersebut. "Tapi kalau Putri mau menunggu di dalam. Silahkan."

"Baiklah." Putri Faatin dan Oja masuk ke dalam ruang kerja yang besar dan tampak rapi.

Ada sepasang sofa besar di sana, jadi keduanya mendaratkan punggung sambil menunggu. Lima menit berlalu Ayyub belum juga muncul. Ketika menit ke enam Putri Faatin berkata, "Aku mau ke lantai bawah sebentar. Kau tunggu di sini, ya?!"

Oja hanya bisa mengangguk. Sekaligus berharap jangan sampai Ayyub Al Muthahar datang sebelum Faatin kembali.

Bab 3

Detik berganti menit. Bergulir begitu saja. Sudah lima belas menit Oja menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Dia bukan jenis gadis yang suka mengusik barang pribadi atau ingin tahu urusan orang lain. Maka selama menunggu dia hanya duduk sambil menatap langit-langit ruangan kerja Ayyub, sesekali melirik ke arah pintu.

Detik berikutnya pintu kaca itu terbuka. Langkah besar-besar dari pemilik sepatu pantoffel yang mengilat seketika membuat Oja berdiri cepat, hingga hampir terjengkang. Beruntung dia bisa menyeimbangkan badan saat itu juga.

Ayyub Al Muthahar berdiri di sana. Menatap Oja dengan tajam. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya tanpa basa-basi.

"S-saya... Maaf, Yang Mulia. Saya menunggu Putri Faatin." Oja menunduk gugup.

Ayyub berjalan ke arah mejanya dan menemukan amplop kuning di letakkan di sana. File yang dimintanya kepada Faatin.

"Silahkan keluar. Aku ingin bekerja," perintahnya dingin.

Oja tersentak kaget. Lalu buru-buru keluar ruangan sebelum akhirnya pamit tanpa melihat Ayyub. Gadis itu berjalan pelan ke arah lift seraya melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari Putri Faatin.

Lama Oja menunggu, namun Putri Faatin tak kunjung datang. Dia juga tidak menemukan mobil yang membawa mereka tadi ke sini.

Oja berdiri di depan gedung kantor seperti orang kebingungan. Dia tidak melihat siapapun yang dikenalnya.

Oja tertawa miris. Memangnya siapa yang dia kenal di kota ini? Dia baru beberapa hari berada di kota ini. Keluar rumah kediaman Al Muthahar pun baru kali ini.

Kehidupan di kota besar sangatlah beda, pikir Oja. Orang-orang saling hilir mudik tanpa sedikitpun memperhatikan sekitar. Padahal jika di kota kecil di kampungnya, melihat seseorang kebingungan saja semua orang sibuk bertanya dan membantu.

Oja menghela napas. Dia tidak tahu hendak ke mana. Ingin kembali ke rumah Al Muthahar tapi dia bahkan tidak tahu di mana tepatnya rumah itu.

Akhirnya Oja melangkahkan kaki menyusuri jalanan aspal. Berusaha mengingat-ingat jalan yang tadi mereka lewati.

Sementara di tempat lain Putri Faatin menatap pamannya dengan tatapan jengkel serta tidak habis pikir.

Gadis remaja itu menggeleng-gelengkan kepala. "Paman keterlalulan," katanya.

"Aku hanya menyuruhnya keluar karena aku tidak ingin pekerjaanku terganggu," kata Ayyub.

"Apa salahnya jika dia di sini sebentar saja?" tanya Putri Faatin geram. Putri Faatin mengambil ponselnya dan menghubungi para pengawal untuk mencari Oja.

"Aku harus bilang ini sama Ayah," kata gadis itu lantas menekan nomor ponsel ayahnya. Di seberang meja Ayyub menatapnya tanpa ekspresi.

Panggilan itu terjawab setelah dering ketiga. "Ayah, Oja menghilang," ucap gadis itu tanpa memberi salam.

Di ujung sana Ibnu Saud Al Muthahar terkejut. "Menghilang bagaimana?" tanyanya. Ayah angkat Oja itu sampai harus berdiri demi mendengar penuturan anaknya.

"Tanyakan saja sama adik kesayangan ayah. Dia mengusir Oja." Kemudian panggilan itu dimatikan oleh Putri Faatin. Dengan geram dia keluar ruangan sebelum menoleh ke arah pamannya.

Satu menit kemudian setelah Putri Faatin keluar dari ruangannya, sekarang giliran ponsel Ayyub yang berdering. Sebuah panggilan dari abangnya.

"Halo," sapanya pelan.

"Apa yang terjadi? Kata Faatin, Oja menghilang. Bisa kau jelaskan itu?" tanya Ibnu Saud Al Muthahar di ujung sana.

"Aku tidak tahu kalau dia akan menghilang. Aku hanya menyuruhnya menunggu di luar," kata Ayyub.

Dia tidak habis pikir gadis kampungan itu bisa membuat semuanya kacau seperti ini.

"Dengar, apapun itu alasannya. Cepat cari Oja," perintah Ibnu Saud Al Muthahar pada adiknya.

Ayyub menggeram marah lantas menelpon Jevan, orang kepercayaannya untuk mengerahkan semua pelayan agar mencari Oja.

Satu jam berlalu. Dia belum mendapat kabar para pengawalnya menemukan Oja. Sementara abangnya sudah belasan kali menelponnya.

Rasa kesal menjalar begitu saja di hati Ayyub. Siapa gadis itu sampai harus membuat semua orang kerepotan. Jika dia menghilang toh tidak terjadi apapun. Tidak ada efek untuk dirinya dan harusnya untuk keluarga Al Muthahar juga. Namun, lihatlah kenyataannya. Semua orang harus sibuk mencari. Abangnya bahkan meminta Ayyub untuk turun tangan sendiri. Padahal biasanya dia tidak harus repot-repot melakukan banyak hal. Ada pengawal yang bisa diandalkan.

Pada akhirnya Ayyub harus meninggalkan pekerjaannya dan meminta sekretarisnya, Vindy, untuk membatalkan semua janji untuk hari ini. Pemuda itu ikut turun tangan dalam pencarian gadis kampung bernama Oja.

Di perjalanan ponsel Ayyub berbunyi. Panggilan dari Jevan. Cepat pemuda itu menjawab. "Bagaimana? Apa sudah ketemu?"

Terdengar helaan napas lega detik berikutnya. Kemudian panggilan diputus, lantas Ayyub menyebutkan satu nama jalan kepada supirnya. Mobil segera putar arah menuju tempat yang dimaksud Ayyub.

Sementara di tempat lain Oja tertawa gembira. Sudah sangat lama rasanya dia tidak sesenang ini. Bermain bersama anak-anak. Sesepele ini. Namun jangan tanya bagaimana suasana hatinya.

Dia sungguh merindukan masa-masa kecil penuh canda tawa.

Di depan tanah lapang yang tidak terlalu besar itu berhenti beberapa mobil. Tidak tanggung-tanggung, ada sekitar lima atau enam mobil mewah. Oja tidak fokus lagi menghitungnya ketika melihat Putri Faatin turun dari salah satu mobil.

"Kak Oja," panggil Putri Faatin dari jarak jauh.

Di belakangnya terlihat pemuda paling menyebalkan bernama Ayyub Al Muthahar.

Melihat kedatangan keduanya di susul para pengawal yang tampak mencolok itu menimbulkan senyap seketika, membuat Oja meringis. Anak-anak itu berhenti bermain.

Putri Faatin memeluk Oja seketika. Bergumam hal-hal yang tidak terlalu dimengerti Oja karena dia mengatakannya sambil terisak. Namun Oja yakin, adik angkatnya itu mengawatirkannya.

"Apa kai baik-baik saja? Semua orang mengawatirkanmu." Akhirnya ada kalimat Putri Faatin yang benar-benar terdengar jelas.

Suasana haru jadi agak canggung ketika Ayyub berdehem dan memandangi mereka tanpa ekspresi. Pemuda itu lalu mengulurkan tangan seraya berkata, "Syukurlah kau tak apa-apa. Maaf."

Ada desir aneh seketika, tapi secepat kilat ditepis Oja lantas menerima uluran tangan Ayyub. "Tidak apa, Yang Mulia," katanya tersenyum lembut.

Kemudian Oja berpamitan kepada anak-anak itu lantas pulang bersama Putri Faatin. Sedangkan Ayyub kembali ke kantor.

"Dia mengawatirkanmu," bisik Putri Faatin. "Itu semua karena aku yang sudah mengancamnya!"

Mereka sudah berada di dalam mobil yang akan membawa mereka ke kediaman Al Muthahar.

"Oh, ya?" tanya Oja. Tidak terlalu mendengarkan karena dia tengah fokus melihat bangunan-bangunan yang sangat besar di kanan kiri.

Kemudian selama perjalanan mereka saling diam hingga mobil memasuki halaman kediaman Al Muthahar.

"Itu ayah," kata Faatin menunjuk tempat Ibnu Saud Al Muthahar dan Nyonya Muda Shareen berdiri.

Ketika mobil berhenti, Oja dan Putri Faatin turun lantas menyalami keduanya. Mereka tampak lega melihat Oja pulang dalam keadaan utuh.

Nyonya Muda Shareen membawa Oja kedalam pelukannya, sementara Ibnu Saud Al Muthahar mengelus puncak kepala Oja.

"Aku ingin berbicara denganmu, Nak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!