Hari yang begitu cerah, awan putih menghiasi langit di pagi hari. Suara kicauan burung terdengar dari pepohonan area taman kampus. Terlihat seorang gadis berlari di lorong sembari mendekap beberapa buku. Dia terlihat sangat tergesa-gesa sekali. Rambutnya terurai dan melayang di udara saat dia berlari.
"Sial, aku telat." Umpat Zoya, gadis berusia 20 tahun yang terkenal sangat pintar di kampus. Dengan mengenakan knee length dress yang sederhana Zoya menarik perhatian beberapa mahasiswa lainnya.
Universitas Leighton tempat dimana semua orang-orang besar dan sukses terlahir. Universitas swasta ini tidak hanya menampung para mahasiswa dari keluarga kalangan elit, namun juga mahasiswa yang memiliki talenta yang bagus seperti Zoya Amanda.
Empat semester telah berlalu dan Zoya sama sekali tidak pernah mengeluarkan biaya untuk kuliah. Selain dari beasiswa Zoya juga mendapatkan dana dari magangnya sebagai seorang dancer bersama dengan grubnya.
"Entah kenapa ibu memintaku membereskan kamar utama tadi pagi, kan aku jadi terlambat sekarang." Zoya terus mengumpat merasa sedikit kesal. Tadi pagi ibunya bilang bahwa akan ada tamu besar yang datang, karena itu dia harus membereskan sebuah kamar yang sangat besar sebelum berangkat ke kampus. "Padahal, kamar itu tidak pernah di pakai, memangnya siapa sih tamu besar yang di bicarakan ibu."
Zoya terus berlari sembari menengok arlojinya, sehingga tanpa dia sadari ada seorang lelaki yang muncul dari tikungan lorong.
Bruk.
Zoya menabrak lelaki bertubuh jangkung itu, semua bukunya berterbangan ke udara.
"Aduh..." Zoya merintih kesakitan jatuh ke lantai, dia memegang sikut kirinya yang lecet.
"Apa kau jalan tidak pakai mata?!" Lelaki jangkung itu masih berdiri dan memarahi Zoya dengan nada pelan namun menusuk sampai ke tulang.
Zoya mendongak ke atas melihat wajah lelaki itu dengan samar-samar. Dia kemudian memasang kembali kacamatanya dan melihat sosok yang begitu tampan berdiri di depannya. Sejenak Zoya merasa sedikit terpana, dia tidak pernah melihat lelaki yang begitu tampan bak seorang pangeran, dengan Hoodie hitamnya lelaki itu terlihat sangat cool.
"Hei, kau yang menabrakku, lihat ini sikutku sampai lecet!" Zoya kemudian tersadar kembali dan mulai menatap lelaki tadi dengan sinis.
Zoya kemudian memunguti satu persatu bukunya yang berserakan di lantai.
"Makanya, lain kali kalau jalan tuh pakai mata." Lelaki itu kemudian beranjak pergi tanpa menghiraukan Zoya yang terduduk di lantai. Dan tanpa sengaja dia menyepak salah satu buku Zoya yang di lantai hingga terseret jauh.
Melihat sikap lelaki itu Zoya melongo di penuhi ketidakpercayaan. Bukannya minta maaf dan membantu Zoya yang terjatuh di lantai, lelaki itu dengan arogannya malah pergi begitu saja.
Zoya kemudian berdiri dan berteriak, "Hei, berhenti!" ekspresinya terlihat sangat kesal.
Namun lelaki tadi tidak menghiraukan Zoya dan terus melangkah ke depan.
Darah Zoya semakin mendidih dan naik ke kepala hingga wajahnya terlihat merah.
"Apa kau tidak dengar, kau sudah menabrakku dan kau malah pergi begitu saja, begitu kah ibumu mengajarimu." Amarah Zoya begitu meledak-ledak, sampai dia melayangkan sendalnya ke arah lelaki itu.
Mendengar ibunya disebut lelaki tadi menoleh kebelakang dan memiringkan sedikit tubuhnya ke samping. Sehingga sandalnya Zoya meleset dan malah mendarat di wajah seorang dosen wanita.
Melihat hal itu, wajah Zoya langsung berubah, keningnya mengkerut, kedua alisnya terangkat dan bibirnya menegang menunjukan ekspresi cemas.
"Zoyaaaaa......" Teriak dosen wanita itu dengan penuh amarah.
"Aduh, matilah aku." Ucap Zoya penuh dengan ekspresi menyesal.
Lelaki tadi bahkan tidak bergeming sedikitpun melihat hal itu dan memilih untuk terus berjalan dengan santai.
"Temui aku di ruangan sekarang!" Seru buk dosen sembari menggenggam sendalnya Zoya.
Dengan cepat Zoya memungut semua bukunya dan segera pergi dari sana.
...
Di ruangan rektorat terlihat wanita paruh baya duduk menghadap Rektor yang bersandar santai di kursinya.
"Jadi, Nyonya Cody karena urusan bisnis kau memindahkan anakmu ke sini." Ucap pak Rektor dengan tampang serius.
"Ya, kami terpaksa harus meninggalkannya di sini." Ucap wanita itu.
Tidak lama kemudian seorang lelaki yang baru saja menabrak Zoya tadi terlihat memasuki ruangan.
Rektor itu menatap wajahnya dengan serius.
"Jadi dia putramu, Brian Cody."
"Ya, Brian sini sapa dulu pamanmu."
Brian berjalan mendekat dengan tampang acuh tak acuh, dia menarik kursi dan mulai untuk duduk dengan santai.
"Brian, kau sangat mirip dengan ayahmu." Ucap pak Rektor untuk basa-basi.
"Jangan pernah samakan aku dengan pak tua itu." Jawaban Brian terdengar sangat tegas dan menakutkan.
Seketika pak Rektor terkejut melihat sikap Brian yang begitu dingin. Baru kali ini dia melihat seorang anak menyebut ayahnya seperti itu.
"Brian! Tolong jaga bicaramu, maafkan dia pak! Brian memang seperti ini." Ucap ibunya Brian dengan jujur, dia tidak menyembunyikan sikap Brian yang begitu kurang ajar terhadap ayahnya sendiri.
"Hmm, aku mengerti. Tapi kau tidak perlu khawatir demi keluarga aku akan tetap menerimanya disini, besok dia sudah bisa masuk."
"Aku sangat berterima kasih, kalau begitu kami permisi dulu."
Dengan perasaan yang agak malu ibunya Brian menarik tangan putranya untuk segera pergi meninggalkan ruangan itu. Dia merasa sedikit malu karena Brian tidak bisa mengendalikan emosinya di depan pak Rektor.
Di dalam mobil Brian terlihat santai duduk di belakang dengan kedua tangannya yang melintang di bahu kursi.
"Brian, jika kau tidak bisa bicara dengan baik di depan kami, setidaknya jangan lakukan itu di depan orang lain." Seru Michelle ibunya Brian. Dia memperingati putranya untuk bersikap lebih sopan di depan orang lain untuk menjaga martabat keluarga Cody.
"Apakah ini sebuah ancaman, peringatan atau nasehat." Ucap Brian dengan acuh tak acuh.
"Brian, ibu tidak tahu sampai kapan kau terus bersikap seperti itu, seolah-olah kami ini adalah musuh bagimu." Michelle terus mengomeli putranya dari kursi depan.
Hubungan antara anak dan ibu itu terlihat sangat renggang. Walaupun Brian berasal dari keluarga kaya, itu tidak membuatnya hidup dengan bahagia. Karena masalah keluarga Brian sampai harus pindah Unversitas. Bukan atas keinginannya melainkan itu adalah kehendak kedua orang tuanya sendiri, dia bahkan merasa bahwa dirinya telah dicampakkan oleh kedua orang tuanya.
"Heh, tanyakan itu pada diri kalian." Ucap Brian dengan acuh tak acuh.
Melihat sikap putranya yang begitu dingin, Michelle tidak mau melanjutkan perdebatan mereka. Karena dia tahu jika ini terus berlanjut, maka akan berujung pada hal yang tidak diinginkan.
"Ayo pak, pergi ke mansion Cody." Seru Michelle kepada sang sopir.
Dengan patuh pak sopir menginjak gas.
Vrooom.
Marcedes benz itu melaju meninggalkan area parkiran kampus.
Sore harinya di mansion peninggalan keluarga keluarga Cody, terlihat seorang penjaga dengan segera membukakan gerbang saat melihat sebuah Marcedes mendekat.
Setelah sedikit belanja untuk keperluan putranya, Michelle akhirnya sampai juga ke mansion yang telah iya tinggalkan selama delapan belas tahun.
Saat dia keluar dan menginjakan kakinya, dia merasa bahwa kenangan masa lalu yang begitu hangat menghampirinya. Dia menatap rumah besar yang berdiri dengan megah itu dengan penuh perasaan terharu.
Lalu seketika sepasang pria dan wanita paruh baya keluar dari rumah megah itu dan menyambut Michelle dengan penuh hormat.
"Selamat datang kembali nyonya."
Ucap mereka bersamaan sembari membungkukkan tubuh mereka kedepan.
......................
"Nyonya sudah lama sekali anda tidak mengunjungi rumah ini." Ucap mbok Ratih sembari menuangkan teh di atas meja.
Terlihat di ruang tamu, Brian sedang terbaring santai di sofa yang panjang, sedangkan ibunya duduk di seberang dan terus menatap putranya dengan ekspresi serius.
"Mbok, aku senang kalian ternyata telah merawat rumah ini dengan baik." Ujar Michelle sembari menyesap tehnya.
"Yah, nyonya sudah banyak membantu kami. Jadi kami tidak mungkin mengecewakan nyonya." Simbok terlihat sangat sopan saat bicara pada Michelle.
"Mbok pasti sudah tahukan maksud kedatangan kami?" Tanya Michelle sembari melirik putranya.
"Ya, nyonya. Tuan besar sudah menelfon kami tadi pagi."
"Kalau begitu, apa semuanya sudah di siapkan?" Tanya Michelle.
"Iya nyonya, tadi pagi aku dan putriku sudah membereskan semuanya kok..."
Tapi tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang masuk dari pintu depan sambil terus mengomel-ngomel. Dia terlihat sangat kesal sekali seperti habis keluar dari angkot.
"Zoya, ada apa nak?" Mbok Ratih bertanya dengan nada pelan pada putrinya.
"Dasar, lelaki itu benar-benar tidak punya sopan santun, karena dia juga aku harus di hukum." Zoya menggerutu sembari duduk di sebelah Michael dengan penuh kekesalan.
"Apa ibu tahu, tadi pagi aku bertemu dengan dengan lelaki yang begitu arogan, dia sudah menabrakku sampai jatuh lihat ini."
Zoya menunjukan sikutnya yang lecet karena jatuh di kampus tadi pagi. Sontak mbok Ratih kaget dan memegang sikut putrinya.
"Ya ampun Zoya, kenapa kau sampai begini."
"Aduh...ibu, kenapa di pegang." Zoya meringis kesakitan.
"Oh sakit ya." Mbok Ratih segera menarik tangannya kembali.
"Enggak tapi geli, hu...uh." Wajah Zoya menjadi mewek.
Dengan sigap, mbok Ratih mengambil kotak P3.K. "Baiklah duduk di sini, ibu akan ambil kotak obat."
Michelle tersenyum melihat itu, dia tentu tahu siapa gadis yang sedang duduk ngambek di sebelahnya ini. Sebuah kenangan masa lalu tiba-tiba terlintas diingatan Michelle. Saat itu semuanya begitu terasa begitu sangat indah.
"Nak, kenapa cemberut begitu." Ucap Michelle sembari memegang dagu Zoya.
"Bibi tidak tahu apa yang aku alami, aku terpaksa harus di hukum oleh dosenku karena lelaki yang tak tahu tata krama itu, rasanya ingin sekali aku menendang lelaki itu." Zoya mulai curhat kepada Michelle seolah mereka sudah sangat dekat. Padahal mereka baru saja bertemu, tetapi karena sangking kesalnya Zoya sampai mengabaikan hal itu.
"Baiklah tenangkan dirimu dulu, ini minumlah." Michelle memberikan segelas teh lemon kepada Zoya.
Zoya tidak menolaknya dan tanpa ragu dia menyesap teh lemon itu.
"Merasa lebih baik? Sekarang coba ceritakan seperti apa lelaki yang tak tahu tata krama itu sehingga berani membuat gadis kecilku ini terluka." Ucap Michelle dengan lembut sambil membelai rambut Zoya.
Zoya yang menatap wajah cantik Michelle merasa seolah seperti tak asing. Dia seperti sudah lama mengenal wanita ini. Matanya sampai berkaca-kaca menatap Michelle sembari terus menyesap secangkir teh lemon.
Setelah itu Zoya sedikit lebih tenang dan meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Mbok Ratih juga sudah kembali dengan kotak P3.K nya.
Zoya pun mulai ingin menceritakan kejadian yang menimpanya tadi pagi pada Michelle. "Bibi, lelaki itu bertubuh tinggi dan sedikit berisi, wajahnya ala orang eropa. Rambutnya pirang dan sikapnya itu..." Zoya benar-benar mendeskripsikan ciri-ciri pria yang menabraknya tadi pagi dengan jelas dan terperinci. "Sikapnya sangat bertolak belakang dengan wajahnya yang tampan, dia benar-benar tidak tahu sopan santun, bukannya minta maaf dia malah memarahi aku bibi."
"Sudahlah Zoya, kenapa harus marah-marah sih, mungkin dia juga tidak sengaja." Mbok Ratih mencoba menenangkan sembari menutupi luka putrinya.
"Gak bisa gitu dong buk, dia sangat tidak sopan sekali, dia bahkan bertingkah sangat arogan dan merasa seperti tidak bersalah." Ujar Zoya dengan ekspresi tidak terima.
Mendengar pengaduan dari Zoya, Michelle sampai menaikkan salat satu alisnya. Sepertinya dia tahu sosok lelaki yang di ceritakan Zoya ini. Lelaki jangkung dengan wajah ala eropa?
"Apa dia juga mengenakan Hoodie berwarna hitam?" Michelle bertanya dengan ekspresi serius.
Zoya mencoba mengingat dan dia menjadi sedikit kaget, "Ya betul sekali bibi, bagaimana bibi bisa tahu, apa bibi seorang peramal?"
Zoya merasa agak aneh dan mencoba menyesap kembali teh lemon itu lagi.
Michelle menghela nafas dan berkata, "Aku bukan peramal, aku hanya berharap lelaki yang kau maksud itu bukan seperti yang berada di depan kita saat ini." Nada Michelle terdengar sedikit pasrah saat menunjuk ke arah Brian yang masih terbaring santai di sofa.
Sontak Zoya melirik kedepan sembari terus menyesap teh, dia baru sadar kalau ada lelaki yang terbaring di sofa depannya. Seketika Zoya langsung memuncratkan semua teh yang ada di mulutnya karena terkejut.
"Zoyaaaa!" Teriak Ratih dengan penuh rasa terkejut melihat tingkah putrinya.
"Kau...kenapa kau ada disini." Seru Zoya sembari menunjuk ke arah Brian.
Michelle hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat hal itu. Dia sudah menebak bahwa lelaki yang dimaksud Zoya tidak lain adalah putranya 'Brian'.
Brian melirik sedikit ke arah Zoya dengan acuh tak acuh dari tadi dia sengaja diam dan mendengar semua pengaduan Zoya kepada ibunya sendiri.
"Ibu, bibi, dia lelaki yang telah menabrakku hingga jatuh."
Mbok Ratih menjadi sedikit panik dan mencoba menangkan putrinya.
"Zoya...apa yang kau katakan nak, dia adalah putra nyonya Michelle yang sedang berdiri sampingmu, mereka adalah tamu terhormat kita sang pemilik mansion ini. Mereka baru saja tiba, bagaimana mungkin tuan muda Brian melakukan itu padamu?"
Mendengar perkataan ibunya Zoya lantas semakin terkejut dan menatap wajah Michelle. "Haaaaah....dia putra mu bibi?"
Michelle menutup wajahnya dengan telapak tangan karena malu, kemudian dia mengangguk pelan dan berkata. "Yah, sudah kuduga, Brian memang tidak akan pernah bersikap ramah pada siapapun."
Rasanya Zoya hampir mau pingsan melihat kebenaran yang terkuak begitu saja di depannya.
"Astaga, kenapa jadi begini, ternyata lelaki yang ingin aku tendang bokongnya adalah anak dari pemilik rumah besar ini. Tamat sudah riwayatku." gumam Zoya dalam hatinya, wanita itu menjadi diam dan terpaku.
"Maafkan putraku mbok, dia sudah membuat putrimu terluka seperti ini, tadi pagi sepertinya Brian sudah menabrak Zoya saat kami ke kampus." Michelle mencoba menenangkan ketegangan yang ada ruangan itu.
"Hehe, tidak masalah nyonya mungkin itu hanya salah paham saja." Mbok Ratih menjadi tidak enak, di tambah lagi Zoya tadi bilang mau menendang Brian. Bagaimana bisa seorang pembantu mau menendang majikannya. Yang ada mereka yang akan ditendang keluar dari rumah ini.
Zoya terus menatap Brian yang masih saja rebahan di sofa dengan kakinya yang menyilang. Jika di lihat Brian memang sangat tinggi, sofa itu bahkan tidak cukup panjang untuk menampung tubuhnya.
"Ck, dia masih saja bertingkah sok keren..." Gumam Zoya, salah satu sudut bibirnya terangkat melihat Brian yang masih saja santai seperti tak memperdulikan keadaan sekitarnya.
"Brian, ayo minta maaf sama Zoya, bukankah kau tadi yang membuat dia terjatuh sehingga tangannya lecet." Michelle mencoba membuat putranya untuk menjadi pria yang bertanggung jawab.
"Nggak!" Jawaban Brian terdengar singkat dan padat, dia sama sekali tidak peduli dengan perkataan ibunya. Dengan santai dia terus menggoyangkan kakinya dan menatap langit-langit ruangan.
Melihat sikap Brian yang benar-benar kurang ajar pada ibunya sendiri, membuat Zoya tidak bisa menahan mulutnya yang dari tadi ingin mengucapkan sesuatu.
"Dasar lelaki tidak punya sopan santun, bagaimana bisa kau berbicara seperti itu pada ibumu, kau..."
Zoya ingin terus mengomeli Brian tapi Ratih memegang bahu putrinya agar berhenti.
"Zoya, dia adalah tuan muda dari keluarga Cody. Kau tidak boleh bicara seperti itu." Mbok Ratih kemudian menjelaskan tujuan dan maksud kedatangan Brian dan ibunya kesini.
"Tuan muda datang dari ibu kota dan akan tinggal bersama dengan kita mulai sekarang, dia akan melanjutkan studinya disini." Jelas Ratih dengan lembut, agar Zoya bisa mengerti.
Zoya menatap ke arah Michelle dan berkata, "Jadi bibi adalah nyonya besar pemilik rumah ini."
Michelle tersenyum manis dan mengangguk ringan pada Zoya. Tentu saja dia terlihat sangat ramah pada putri pembantunya karena dulu dia pernah menggendong Zoya di rumah ini saat masih kecil.
"Mbok, sekarang Zoya sudah besar ya, dia tidak hanya terlihat cantik tapi dia juga penuh dengan sopan santun." Pujian Michelle itu mulai memancing perhatian Brian. Lelaki itu mulai melirik mata ibunya dengan tajam. Tak pernah sekalipun dia mendengar pujian seperti itu terhadap dirinya.
"Heh..." Brian mendengus sambil memejamkan matanya mencoba untuk tidak peduli.
"Terima kasi nyonya. Oh iya, tuan muda kelihatannya sangat lelah karena perjalanan jauh, kalau begitu lebih baik tuan muda beristirahat di kamar yang sudah kami siapkan di atas." Mbok Ratih mencoba menyarankan pada Brian dengan sangat ramah.
Bahkan terhadap ibunya Zoya pun, Brian masih bersikap acuh tak acuh. Melihat hal itu membuat Zoya semakin geram sekali dan menggertakkan giginya dengan keras.
"Zoya, bawakan koper tuan muda ke atas, dan tunjukan kamarnya." Seru mbok Ratih.
Dengan penuh rasa enggan Zoya berjalan menuju Brian tanpa memalingkan sedikitpun pandangannya. Tatapan mata Zoya bagaikan elang yang siap memangsa.
Sebelum Zoya bisa menggapai koper yang ada di dekat sofa Brian, dia kaget melihat Brian bangkit dari sofa dan secepat kilat menyambar kopernya.
"Aku bisa membawanya sendiri." Ucap Brian dengan nada dan ekspresi yang datar. Dia sama sekali tidak ingin menatap Zoya dan memilih untuk membuang pandangannya.
Bahkan Zoya yang ingin bersikap baik pada Brian tidak membuat lelaki itu membuang sifatnya yang sangat arogan.
Ini pertama kalinya Zoya menemui lelaki yang begitu sombong seperti Brian. Ingin sekali rasanya dia berkata-kata tapi dia mengingat kalau ibunya Brian juga ada disitu, jadi dia menelan semua kata-katanya kedalam hati.
"Tunjukkan saja padaku di mana kamarnya." Seru Brian dengan tampang acuh tak acuh.
Zoya tidak menjawab dan menatap sinis wajah Brian, dia kemudian berjalan menaiki tangga menuju ke kamar utama yang terletak di lantai atas.
Rumah itu sangat besar dan megah, banyak sekali hiasan vas dan lukisan mewah yang memenuhi sudut ruangan. Gaya bangunannya juga cukup elegan seperti ala eropa. Hentakan kaki terdengar sangat lantang saat mereka menginjak lantai marmer itu.
Brian terus berjalan mengikuti Zoya seperti anak itik. Dia menatap punggung Zoya dari kejauhan dan tak sengaja dia mulai memperhatikan seluruh tubuh Zoya dari atas rambut hingga ujung kaki. Seketika Brian mencoba untuk membuang pandangannya terhadap gadis bertubuh mungil yang ada di depannya. Brian tipe orang yang tidak mau tertarik dengan mudah pada seorang wanita.
Karena dia memalingkan pandangannya, Brian sampai menabrak tubuh Zoya yang tiba-tiba saja berhenti. Karena tubuh Zoya sangat mungil, membuat gadis itu terpental saat di tabrak tubuh Brian yang setinggi tiang tower.
"Haaaah," Teriak Zoya yang hendak tersungkur ke depan.
Tap.
Namun kali ini Brian dengan reflek menangkap tangan Zoya yang hampir terjatuh ke lantai.
"Kenapa kau tiba-tiba berhenti di tengah jalan tanpa memberi peringatan." Ucap Brian dengan nada datar sembari menarik Zoya kembali berdiri tegak. Dengan segera dia juga melepaskan tangannya dari gadis itu.
"Kau melakukannya lagi, apa kau kira aku ini sebuah kendaraan yang jika berhenti itu harus ada lampu peringatan begitu, heeeeeh!" Zoya mengomel dengan penuh rasa kesal.
Bukannya merasa bersalah Brian malah menyalahkan Zoya. Dia sama sekali tidak menghiraukan perkataan Zoya dan memalingkan wajahnya ke samping.
Zoya sudah muak sekali melihat sikap Brian dan segera membuka pintu kamar yang ada di hadapan mereka. Sangking kesalnya Zoya mendorong pintu itu dengan sangat keras hingga terbentur di dinding.
Dan terlihat ruangan kamar yang begitu besar dan di penuhi dengan berbagai barang-barang mewah. Lemari dan kasurnya jelas terlihat sangat elit. Jika di nilai secara kasat mata semua isi kamar itu bisa mencapai puluhan juta.
Semuanya sudah tersusun dengan sangat rapi dan simetris. Seperti yang di katakan ibunya, kalau tamu penting yang akan tinggal di kamar ini sangat tidak suka kalau keadaan kamarnya dalam bentuk yang acak. Karena itu butuh memakan waktu yang agak lama untuk menyiapkan kamar itu.
"Ini kamarmu..." Zoya terlihat acuh tak acuh juga.
Melihat semuanya sudah tersusun rapi, akhirnya Brian mulai melangkah untuk memasuki kamarnya. Tapi Zoya merentangkan tangannya dan menghalangi jalan Brian.
"Eits, tunggu dulu. Kau tidak boleh masuk begitu saja, apa kau tahu aku sudah menyiapkan kamar ini dengan susah payah, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau aku melakukannya untuk orang sepertimu." Zoya tampak menyesal.
"Apa maumu?" Tanya Brian dengan nada dingin.
"Sejenak aku berpikir bahwa mungkin orang yang akan tinggal di kamar ini mengidap penyakit OCD, tapi ternyata aku salah," Zoya menatap Brian dengan tajam. "jika aku tahu aku melakukannya hanya untuk orang tidak waras sepertimu maka aku lebih baik membereskan kotoran kucing saja."
Brian tidak merubah ekspresi wajah datarnya, dia menatap mata serius mata gadis yang setinggi bahunya itu. Baru kali ini juga Brian bertemu dengan seorang yang tidak mau tunduk padanya.
"Bagus kalau begitu pergilah dan buang kotoran kucing saja." Brian melangkah maju sembari menarik kopernya.
Sontak Zoya minggir karena tidak mau di tabrak lagi oleh tubuh raksasa itu.
"Hey, bukannya berterima kasih, malah masuk seenaknya saja, kau juga seharusnya minta maaf karena sudah dua kali menabrakku." Seru Zoya sembari menghentakkan kakinya ke lantai karena merasa sangat kesal.
"Bukan salahku, seharusnya kau berjalan pakai mata." Ucap Brian saat menoleh ke belakang dan segera menutup pintu kamar.
Zoya dengan penuh amarah hendak menggedor pintu itu tapi dia menahan kedua tangannya untuk melakukan itu.
"Eeeeee, dasar. Jalan tuh pakai kaki bukan pakai mata." Zoya menendang pintu kamar Brian kemudian berbalik pergi dengan perasaan yang begitu kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!