NovelToon NovelToon

Mengandung Anak Sahabat

INGATAN SEBELUM TRAGEDI

Brakk!!

Sheila Aluna yang disapa Luna sehari hari, memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya air mata di pipinya. Ada rasa sakit di hati Luna ketika mendengar setiap kalimat yang di ucapkan suaminya. Meskipun mereka terpaksa melakukan perkawinan siri ini, namun alangkah baiknya jika sang suami juga memperlakukan dia dengan manusiawi.

Karena dia juga terpaksa dan terdesak karena keadaan. Karena sedang membutuhkan biaya rumah sakit untuk sang Ibu yang sedang mengalami koma karena mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu.

Luna yang saat itu sangat membutuhkan biaya untuk ibunya, bertemu dengan dokter Fahri yang kebetulan menangani sang ibu.

"Dok, apakah rumah sakit ini tak memberikan penangguhan biaya untuk pasien yang kurang mampu? Saya harus mencari kemana uang segitu banyaknya, dok?" tanya Luna seraya berderai air mata di pipinya. Dia bingung harus mencari kemana biaya yang segitu banyaknya untuk ibunya. Sedangkan dia hanya gadis biasa yang kerja di sebuah toko roti dengan gaji yang pas-pasan.

Dokter itu menggelengkan kepalanya lemah, bertanda tak ada jalan lain untuk itu. Jika saja dia mempunyai banyak uang, bukan hal yang sulit untuk membantu Luna dalam urusan biaya rumah sakit. Karena dia juga pernah merasakan bagaimana sulitnya ketika berada di posisi Luna.

Luna menangis, menutup wajahnya sambil terus terisak dalam tangisnya. Mungkin terbesit di pikirannya untuk menyerah pada takdir dan melepaskan alat yang menopang hidup sang ibu. Dan itu artinya dia harus rela kehilangan sang ibu untuk selamanya.

Mereka saling diam. Dokter Fahri pun hanya menatap Luna yang masih menangis itu. Dia ragu saat akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membantu Luna untuk melewati masalah ini.

"Lun,"

Luna mengalihkan pandangan pada dokter Fahri. Menunggu apa yang akan di katakan dokter itu selanjutnya.

"Ada satu jalan Lun yang mungkin bisa menyelamatkan ibumu. Apa kamu mau mengambil itu sebagai jalan untuk ibumu?"

Sontak Luna menatap tak percaya ke arah dokter muda tersebut, "Apa dok?" Tanya Luna penasaran. Ada semburat semangat di mata Luna saat mendengar penuturan dokter Fahri.

"Mau kah kamu menghasilkan anak untuk teman saya?" tanya Dokter Fahri dengan takut dan sedikit ragu.

"Ma_maksud dokter, apa?!" tanya Luna tak mengerti dengan apa yang barusan dia dengar.

"Jadilah istri kedua untuk menghasilkan anak untuk sahabat saya,"

Duarr!!!

Bagai di sambar petir rasanya. Dia yang sama sekali tak ada pikiran untuk menikah, harus menikah dengan pria yang tak di kenal. Yang lebih parahnya harus menjadi yang kedua. Lalu bagaimana hidupnya untuk kedepan?

Rasanya lututnya lemas seketika, membayangkan saja sudah membuatnya takut dan bagaimana dia bisa menjalani pernikahan konyol ini dan hanya menjadi alat pencetak anak untuk suaminya. Sungguh dia tak sanggup untuk membayangkannya.

Awalnya Luna enggan menjadi gundik penghasil anak, namun karena keadaan yang terus mendesak, akhirnya Luna menyetujui penawaran itu setelah berpikir panjang.

Setelah mengucapkan ijab qabul, akhirnya Luna dan Hiko telah sah menjadi suami istri. Hanya beberapa orang yang menghadiri pernikahan mereka termasuk dokter Fahri sendiri yang menjadi jalan mereka berdua.

"Silahkan mbak Luna untuk mengecup tangan suaminya, Mas Hiko," ucap penghulu pada Luna.

Dengan tangan gemetar Luna meraih tangan suaminya. Ada setitik lara yang keluar dari ekor matanya. Ibu, keluarga satu-satunya yang dia punya sedang tergolek bagai mayat hidup di rumah sakit. Sedangkan pernikahannya yang dia lakukan saat ini bukanlah pernikahan impian yang selama ini dia idamkan. Justru pernikahan ini lah yang mungkin akan membuatnya jatuh ke lubang kenastapaan yang tiada berujung.

Yang lebih parah lagi, dia telah menyakiti hati seorang wanita dengan menikahi suaminya. Wanita mana yang akan menerima semua kedustaan ini. Sesabarnya seorang wanita, dia akan berubah menjadi sosok yang mengerikan jika miliknya di renggut oleh wanita lain. Dan mungkin dia akan pasrah jika istri pertama suaminya akan menolaknya, bahkan bisa saja membunuhnya. Mungkin itulah salah satu resiko menjadi duri dalam daging rumah tangga seseorang.

Luna memejamkan matanya, bukanya dia tak paham. Namun dia berusaha menerima garis tangan yang sudah Tuhan tentukan untuknya. Jika boleh memilih nasibnya sendiri, dia tak akan mau menjalani hidup susah seperti sekarang ini. Namun apa mau di kata, dia hanya bisa berpasrah dengan takdir Tuhan untuknya.

***

Brakk..

Pintu terbanting dengan kerasnya. Membuat Luna yang sudah hampir terlelap berjengkit terkejut. Dia segera beranjak duduk dan melihat sang suami yang berdiri di depan ranjang dalam keadaan berantakan.

"Cepat, buka bajumu!!" perintah Hiko dengan tiba-tiba. Matanya memerah seolah sedang menahan sesuatu. Sungguh, membuat Luna sangat ketakutan.

"Hah!! U_untuk apa?!" tanya Luna gugup. Tangannya meremas kancing piyamanya dengan erat.

Luna menatap sinis ke arah Luna.

"Bukankah kita suami istri sekarang? Jadi sudah sewajarnya jika kita melakukannya. Karena kita juga sudah sah di mata agama. Apa kamu lupa, Luna." terang Hiko dengan suara serak. Membuat Luna merinding mendengarnya.

Luna segera memundurkan tubuhnya takut ketika Hiko mulai mendekatinya.

"Jangan. Aku mohon!!" lirih Luna dengan gemetar. Ia ketakutan setengah mati ketika melihat Hiko yang sudah mulai menanggalkan setiap pakaiannya dan melemparnya ke sembarang arah.

"Apakah aku harus melakukan pemaksaan pada istriku sendiri. Hem??" tantang Hiko dengan pandangan tajamnya.

Dia mendekati Luna yang sudah tidak bisa bergerak lagi. Dengan segera dia meraih dagu wanita itu dan mendekatkan wajahnya.

Cukup lama Hiko menatap wajah istri barunya itu dengan dekat. Tapi yang ada hanya kebencian di mata Hiko. Benci karena takdir memaksanya untuk menikahi wanita lain untuk bisa melahirkan keturunannya. Karena istri yang sangat di cintainya tak mampu untuk melahirkan buah cintanya.

Hiko melahap bibir itu dengan brutal, meskipun beberapa kali Luna menolak ******* itu, namun Hiko mengabaikannya. Tangan Luna pun tak henti memukul dada Hiko untuk melepas pagutan mereka.

"Aakkhh!!!" Luna memekik karena rasa sakit dan perih menghantam inti tubuhnya. Dia mencengkram sprei dengan kuat hingga kukunya berubah memutih.

"Sakiit!!! Hentikan!!" pinta Luna. Ia merintih kesakitan karena ulah Hiko yang tiada kelembutan menjamah tubuhnya. Pria itu dengan brutal mendorong inti tubuhnya yang sangat sakit dan sesak.

Namun Hiko tak menggubrisnya. Dia masih menggoyangkan tubuhnya di atas tubuh Luna. Tiada kenikmatan yang terasa, hanya rasa terpaksa yang mendominasi hati Hiko saat ini.

Wajah cantik dan polos Luna pun tak mampu menggoyangkan imannya. Dan hanya wajah Laura lah yang tergambar jelas di pelupuk matanya saat ini. Istrinya.

"Laura, aku mencintaimu!!" Erang Hiko ketika mencapai puncak kenikmatannya. Tanpa sadar bibirnya berucap demikian.

Hati Luna mencolos, merasakan pilu sang amat sangat karena suaminya menyebut wanita lain ketika sedang bersamanya. Tak terasa air matanya tumpah kepermukaan. Hatinya amat perih saat ini.

Luna dengan cepat menutupi tubuhnya setelah Hiko bangkit dari tubuhnya. Dia meringkuk, air matanya deras mengaliri pipinya.

"Kenapa rasanya sesakit ini?" Tanyanya dalam pilu. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah menangis, meratapi nasibnya yang entah bagaimana kelanjutannya.

Brukk..

Sebuah handuk dengan sengaja Hiko lempar ke arah Luna. "Cepat bersihkan tubuhmu. Aku tak ingin jejak kepemilikanku menempel di tubuhmu," ketus Ananda Hiko yang setelah itu beranjak keluar dari sana.

Kemudian dia berjalan keluar, menuju dapur lebih tepatnya. Mengisi tenggorokannya yang sudah kering karena pergulatan hambarnya dengan Luna.

"Maafkan aku, Lara. Aku berdosa sama kamu, aku terpaksa melakukan ini agar aku tak kehilangan dirimu," lirih Hiko dengan sorot mata yang penuh dengan penyesalan.

Aluna tak percaya, pria yang menikahinya adalah suami sahabatnya. Ia bodoh dan merasa bersalah, ketika menatap layar ponsel foto Ananda Hiko dengan Alara Patricia, yang disapa Lara.

Tbc.

BERUSAHA TEGAR

Luna segera melangkah pergi ke dapur setelah membersihkan tubuhnya. Dia berencana akan membuatkan makanan untuk pria tampan yang baru saja menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dia hanya ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya itu, meskipun dia belum tentu bisa meraih hati sang suami. Luna juga tak berharap terlalu banyak atas cinta Hiko untuknya. Karena dia sadar posisinya siapa.

Hiko mau menanggung pengobatan sang ibu pun Luna sudah sangat merasa bersyukur dan berterima kasih. Karena baginya kesembuhan ibunya adalah nomer satu. Apapun akan ia lakukan agar sang ibu bisa sembuh seperti sedia kala dan bisa berkumpul dengannya di hari tuanya kelak.

Ada rasa perih ketika dia melangkahkan kakinya ke dapur, namun dia sama sekali tak menghiraukan rasa sakit itu. Karena ini adalah sebagai bukti jika Hiko sudah menjalankan kewajibannya. Dan oleh sebab itu Luna juga harus melayani sang suami dengan baik sebagai baktinya seorang istri.

"Mas." panggil Luna dengan lirih ketika melihat Hiko yang baru saja masuk ke area dapur. "Mas Hiko mau makan apa? Biar Luna yang masakin untuk mas Hiko?" tanya Luna seraya tersenyum manis menatap Hiko. Walaupun sejujurnya Luna masih canggung dan malu di saat bertemu Hiko.btapi mau bagaimana lagi jika kenyataannya Hiko sekarang sudah menjadi suaminya.

Hiko menatap tajam ke arah Luna yang menatap ke arahnya dengan senyum di bibirnya. Dia sungguh muak melihat sikap Luna yang sok baik terhadapnya. Baginya, tiada wanita sempurna selain sang istri, Laura.

"Kamu tak perlu bersusah payah memasak untukku, Lun. Aku juga tak sudi memakan masakan dari tanganmu yang menjijikkan itu," ucapnya dingin. Namun tatapan matanya masih tertuju pada Luna dengan tatapan yang sulit di artikan.

Deg..

Luna mendongak, menatap wajah Hiko yang menatapnya penuh kobaran api kebencian terhadapnya. Jika jijik, kenapa juga tadi malam mereka menghabiskan waktu bersama? Apalagi Hiko berkali-kali menyirami rahimnya dengan benih hangat miliknya. Apakah itu bisa dikatakan jijik? Sungguh Luna ingin marah tapi tiada daya untuknya.

"Harusnya kamu tau diri, Laluna Annisa. Jika saja aku tak membutuhkan rahimmu, tak mungkin juga aku mau tidur denganmu. Kamu juga harus menjaga sikapmu jika kita bertemu di suatu tempat. Anggap saja kita tak saling kenal dan kamu harus berusaha menghindariku dan jangan pernah ganggu keluargaku," ucap Hiko kemudian.

Luna memejamkan matanya, menahan bulir yang ingin tumpah di pipinya. Mencoba menghela nafas panjang untuk mengurangi rasa nyeri dalam hatinya karena ucapan Hiko.

Sungguh kejam ucapan Hiko yang sudah menyakiti hatinya. Jika dia malu menikah dengannya, seharusnya dia tak melakukannya. Hiko masih bisa berusaha dengan cara lain, bukan menikahinya lalu menganggapnya tak ada. Tapi sayangnya bibirnya terkatup rapat, seolah susah untuk mengungkapkan kata.

"Kenapa kamu masih mematung di sana? Duduklah," pinta Hiko. Dia menunjuk kursi di depannya dengan dagunya.

Luna pun menurutinya. Dia segera melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang ditunjuk oleh Hiko. Dia duduk dengan tak nyaman, karena merasa mata tajam Hiko terus memindai dirinya dengan lekat.

Luna memilih menundukkan wajahnya agar tak menatap wajah Hiko yang tampan namun sangat menyeramkan. Wajah tampan Hiko tak mampu membuatnya kegugupannya hilang, malah semakin membuatnya tersiksa karena di dekatnya.

Cukup lama mereka saling membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Luna juga enggan membuka mulutnya terlebih dahulu. Karena dia tak ingin di hina kembali oleh Hiko lagi yang bermulut pedas dan menyakitkan.

Terdengar hembusan nafas berat yang keluar dari bibir Hiko, Seolah beban berat tengah menghimpitnya dadanya saat ini. Mungkin Hiko menyesal telah menikahinya. Namun dia bisa apa, mungkin yang di lakukan saat ini hanyalah pasrah. Karena nyawa sang ibu taruhannya. Dia hanya ingin diam agar Hiko tak nekat mencabut biaya rumah sakit sang ibu.

Luna mencoba berbesar hati menerima nasibnya. Mungkin inilah jalan yang harus di laluinya demi sang ibu. Dia tak akan menyesal jika itu untuk kesembuhan wanita yang telah melahirkannya. Apapun akan dia lakukan untuk wanita yang paling berharga di hidupnya.

"Ini untukmu," Hiko menyodorkan sebuah kartu sakti di depan Luna. Sehingga membuat lamunan Luna buyar seketika.

Mata Luna menatap benda tersebut. "Apa ini?" tanya Luna dengan polos. Bukannya dia tak tau, namun dia tak mengerti untuk apa itu. Sedangkan dia sudah bekerja dan bisa menghidupi dirinya sendiri jika Hiko tak mau menanggung hidupnya.

Hiko tersenyum sinis mendengar pertanyaan Luna. Semakin ilfil Hiko pada Luna yang sok polos itu.

"Kamu pura-pura tak tau atau memang kamu bodoh, Lun?" tanya Hiko sambil mendekap kedua tangannya. Matanya masih terpaku pada Luna yang tampak serba salah.

"Ma_maksud Luna?" Dia segera menunduk takut karena tatapan tajam Hiko yang seolah menghunus jantungnya.

"Udah. Jangan sok polos kamu. Ini untuk kebutuhan kamu selama menjadi istriku. Dan ini bukan termasuk biaya rumah sakit ibu kamu. Tenang saja, aku nggak bakalan mengingkari janjiku. Aku akan menanggung semua biaya rumah sakit untuk ibumu. Dan jangan lupa jika kamu juga harus dengan segera mengandung anakku. Karena aku tak sudi jika terus-terusan tidur denganmu dan mengabaikan istriku."

Lagi dan lagi ucapan Hiko bagai tombak yang menghunus tepat di hatinya. Rasanya sungguh sakit tiada terbanding. Jika Hiko menyesal, dia menerima itu. Tapi jangan terus-terusan menghinanya. Karena yang dirugikan di sini bukan hanya Hiko, namun juga dirinya dan masa depannya. Mau jadi apa dia besok jika berpisah dengan Hiko? Mungkin akan banyak cacian dan gunjingan jika mengetahui masa lalunya yang hanya menjadi pencetak anak untuk suami sirihnya.

"Ba_baiklah, Mas!!" Hanya itu yang bisa Luna katakan. Mau protes pun tiada guna dan daya. Dia takut jika Hiko berubah pikiran dan mencabut semua biaya ibunya. Dia tidak ingin itu terjadi.

"Dan satu lagi. Kamu jangan coba-coba dekat dengan pria lain. Karena aku tak ingin anak yang kamu kandung kelak tak jelas nasabnya itu anak siapa."

Duarr..

Luna terkesiap. Dia mendongakkan wajahnya menatap sang suami yang dengan tega kembali melukai harga dirinya. Ia menatap tak percaya jika Hiko dengan tega menggores hatinya.

"Maksud mas Hiko apa? Meskipun kita menikah sirih, tapi aku sangat menghargai pernikahanku, mas. Aku akan menjaga pernikahan ini sampai waktunya tiba. Jadi mas Hiko tak perlu menyinggung harga diriku. Aku tak serendah yang mas Hiko pikirkan." balas Luna dengan tegas. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi dia juga perlu melindungi harga dirinya agar tak selalu menjadi bulan-bulanan suaminya.

"Halah, siapa tau kan kalau kita jauh kamu open BO. Dan bisa meraup uang lebih banyak dariku dengan mengatasnamakan anak di dalam kandunganmu. Padahal Zonk!" cibir Hiko lagi.

"Cukup mas!!"

Luna menggebrak meja dengan keras. Dia sudah tak tahan mendengar ucapan pedas yang selalu di lontarkan Hiko padanya. Jika terus-terusan begini, mungkin dia akan gila sendiri menghadapi sikap Hiko yang keterlaluan.

Lalu dia segera bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju kamarnya. Rasa lapar yang tadi menderanya, sudah hilang entah kemana. Yang ada hanya rasa kenyang karena ucapan pedas yang Hiko gaungkan terhadapnya.

Sedangkan Hiko hanya menatap punggung kecil itu yang semakin menjauh. Tapi tak berniat untuk mengejar dan meminta maaf atas ucapan yang mungkin menyakiti hati istrinya.

Tapi mau bagaimana lagi. Mereka sama-sama dalam keadaan yang salah. Keadaan yang mengharuskan mereka mengambil langkah ini untuk kepentingan masing-masing.

Tbc.

PERMULAAN SENGSARA

Luna terbangun ketika matahari sudah di atas kepala. Dia tak ingat menutup matanya jam berapa, yang dia ingat hanya dia menutup matanya kala rasa kantuk yang mendera. Tubuh dan hatinya lelah karena mendengar cacian dari suaminya, hingga membuatnya menangis dan mengabaikan rasa laparnya.

Dia segera beranjak bangun dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Luna tersenyum nanar ketika melihat bayangan dirinya di cermin yang nampak mengenaskan. Matanya yang bengkak hampir menutup matanya, hidungnya pun masih memerah akibat menangis. Melihat tubuhnya sendiri pun dia tidak tega, apalagi Hiko.

Setelah mandi dan berpakaian, dia memoles sedikit bedak pada wajahnya agar tak terlalu pucat dipandang. Setelah semua selesai, dia segera keluar dari kamarnya.

Dia memutar handel pintu dan membukanya, namun dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Mencari sosok yang sudah membuatnya menangis tadi pagi. Namun dia tak menemukan di dalam kamarnya. Setelah memastikan jika Hiko tak berada di dalam, Luna segera keluar dari kamar.

Luna segera menuju ke dapur untuk membuat makan siang. Tubuhnya terasa bergetar karena menahan rasa lapar yang sangat. Dia hanya meneguk air putih untuk mengganjal perutnya yang terasa melilit.

Memeriksa semuanya, tapi ternyata kosong. Yang ada hanya mie instan yang berjajar rapi di laci dapur. Alhasil ia hanya memasak mie instan, karena yang ada hanya itu untuk mengganjal perutnya. Tak lupa dia pun menambah telur dan sayuran ala kadarnya.

"Ah, kenapa lama sekali sih kamu matangnya wahai mi instan? Aku sudah kelaparan dan mau pingsan." Luna berbicara sendiri untuk menghilangkan rasa sepi karena berada di rumah milik Hiko seorang diri.

Rumah minimalis dan hanya ada dua lantai. Tapi sangat mewah yang kadang membuat Luna terkagum olehnya. Karena seumur-umur baru kali ini Luna menempati hunian nyaman seperti ini.

"Heem, wanginya," Luna terus meracau karena rasa laparnya. .

Hingga dia tak menyadari jika Hiko sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. Seolah dia siap menerkam Luna saat ini juga.

"Akh!!" Luna memekik kaget karena melihat Hiko yang tiba-tiba berada di belakangnya. Dan hampir saja dia menjatuhkan mangkuk yang berisi mie panas itu jika saja dia tak memegang piring yang sebagai tatakan mangkoknya itu dengan erat.

"Mas Hiko ngapain tiba-tiba muncul di depan Luna?"

Luna masih berusaha menguasai rasa terkejutnya. Karena dia adalah wanita yang gampang sekali terkejut jika ada suara atau apapun yang bisa membuat jantungnya berpacu lebih kencang.

Hiko bersendekap tangan. "Memang kenapa? Ini rumahku. Jadi wajar jika aku berkeliaran di rumahku sendiri." ketus Hiko memandang sinis pada Luna.

Lalu dia melirik mie yang berada di tangan Luna. Dia tersenyum sinis dan mengoloknya. "Pantas, orang kampung makannya hanya mie instan. Dasar orang susah!" ucapnya dengan seringai di bibirnya.

Luna yang mendengarnya pun memutar mata jengah. Dia sama sekali tak berminat jika harus berdebat dengan Hiko. Dia lebih memilih makan karena rasa laparnya yang sudah merongrong sedari tadi.

Sehingga dengan santainya Luna melewati Hiko begitu saja dan menuju ke meja makan.

Sikap Luna yang menghindarinya pun membuat Hiko berang seketika. Dia segera menyusul Luna dan menampik mie instan itu hingga berhamburan di lantai.

Praangg...!!

Luna menutup telinganya kala piring itu menghantam lantai keramik milik Hiko. Lalu ia mengalihkan pandangan menatap Hiko yang masih berdiri di samping. Matanya menatap tajam seolah siap melawan Hiko yang sudah membuatnya naik darah.

"Kenapa sih mas Hiko tidak ada puasnya menganggu hidupku? Aku sudah berusaha sabar mendengarkan semua caci makimu. Aku sudah menuruti kemauanmu. Lalu kenapa sekarang kamu menumpahkan makananku? Apa kamu mau membunuhku sekarang juga?" bentak Luna yang sudah emosi. Bahkan dia sampai melotot pada Hiko.

Dia menunjuk-nunjuk Hiko dengan jari telunjuknya. Dia sudah berusaha menghindari pertengkaran dengar Hiko, tapi Hiko seolah suka mencari gara-gara dengannya dan membuatnya marah.

Hiko tersenyum tipis melihat kemarahan Luna. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia menatap Luna namun sama sekali tak berniat membalas ucapan Luna.

Luna pun geram bukan main. Dia segera mendorong dada Hiko dan berniat melangkah pergi. Namun cekalan Hiko membuatnya dia menghentikan langkahnya.

Luna meronta melepaskan diri karena cengkraman Hiko di lengannya yang membuat kesakitan.

"Lepas mas, lepas!!!" Teriak Luna. Dia memukul lengan Hiko berkali-kali agar segera melepaskan cengkeramannya.

Namun Hiko mengabaikannya. Kemudian Hiko langsung menarik Luna memasuki kamar tamu dan melemparkan tubuh Luna di ranjang besar besar itu.

Luna yang merasa ada bahaya, bergegas duduk dan menggelengkan kepalanya ketakutan. Dia takut jika Hiko akan bertindak kasar seperti yang dia lakukan semalam terhadapnya.

"Jangan, mas. Aku mohon!!" mohon Luna dengan melas. Bahkan air matanya sudah merebak memenuhi mata bulatnya.

Luna makin beringsut mundur ketika Hiko mendekatinya dengan bertelanjang dada. Karena sebelumnya Hiko sudah melepas pakaian yang dikenakannya.

Hiko tersenyum sinis dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Luna dan Luna dengan cepat menutup matanya dan menunduk agar tak melihat wajah Hiko yang berjarak begitu dekat.

Hiko segera meraih dagu Luna dan menghadapkan ke wajahnya. Namun Luna masih memejamkan matanya erat, takut.

"Kenapa kamu menunduk, Lun? Bukannya ini yang kamu inginkan?"

Seketika Luna membuka matanya. Dia tak percaya apa yang di ucapkan Hiko padanya. Mata mereka saling menatap, menyelami manik indah mata masing-masing.

"Kenapa kamu bingung seperti itu? Bukankah kamu ingin segera hamil dan melahirkan, agar kamu bisa dengan cepat lepas dariku," ucap Hiko dengan mengeratkan cengkramannya di dagu Luna.

"Ta_tapi," Luna tak melanjutkan ucapannya karena bibirnya di sumpal dengan bibir Hiko. Dengan kasar dia melahap bibir Luna.

Luna mengerang. Bukan karena nikmat, namun rasa sakit yang di bibirnya karena ulah Hiko. Dia memberontak dan mendorong dada Hiko. Namun Hiko sama sekali tak bergeming.

Hiko segera meraih kedua tangan Luna yang sedari tadi memukulnya dan mengunci tangan Luna di atas kepalanya. Dengan bebas Hiko meraup bibir Luna dengan nafsu yang sudah membumbung.

"Lepas, Mas. Lepas!!!" raung Luna kala mendapati Hiko yang sudah melepas sebagian bajunya. Dia tak terima di perkosa seperti ini, tapi dia sama sekali tak bisa melawan karena kekuatannya lebih kecil dibandingkan Hiko.

"Aakh!! Ampun mas!!" pekik Luna ketika Hiko berhasil membenamkan miliknya di inti tubuhnya. Luna memekik kesakitan karena Hiko terus menghujamnya dengan kasar bak binatang.

Luna menangis ketika Hiko meninggalkannya setelah penyatuan keduanya. Dia merasa tak berharga dan bagaikan wanita rendah yang melayani dengan imbalan segepok uang. Dia mencengkram selimut dengan eratnya dan meratapi nasibnya.

Dia merasakan nyeri luar biasa di daerah intinya, karena Hiko menyetubuhinya seperti binatang buas yang mencengkram musuhnya, tiada rasa cinta di dalamnya.

Dia masih ingat perkataan Hiko yang kembali menyakiti hatinya kala telah menumpahkan benihnya di rahim Luna.

"Gue terpaksa melakukan ini. Karena gue cinta istri gue. Gue harap lo bisa di ajak kerja sama dengan baik. Sekali saja lo berhianat, bersiaplah melihat jasad ibumu terbujur kaku di kamar mayat. Karena gue akan mencabut semua biaya untuk ibu lo saat itu juga. Dan satu lagi, cepatlah mengandung, agar gue tak perlu menyentuhmu lagi dan lagi."

Setelah mengatakan kalimat itu, Hiko bergegas meninggalkan kamar dan berjalan keluar. Dan tak lama kemudian, dia mendengar mobil Hiko yang yang melaju keluar dari gerbang.

"Kamu berengseekk, Hikoooo!!! Aku benci kamu!!"

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!