NovelToon NovelToon

I'M THE ANTAGONIST

01| Novel

"Ya ya ya, setiap hari kau hanya akan membahas soal pangeran Max tanpa henti. Telingaku sudah sangat muak mendengar namanya bahkan rasanya aku ingin mencekik siapapun yang memiliki nama itu!" Seorang gadis mungil dengan tinggi hanya 155 cm itu menatap jengah pada temannya.

   "Ah, kau kejam sekali Melinda. Tidak bisakah kau membiarkan temanmu yang cantik ini merasa senang?" ucapnya sembari memeluk lengan gadis bernama Melinda yang tingginya jelas berbeda.

   "Kau tahu ... Aku rasa pangeran Max adalah manusia paling beruntung di dalam novel itu. Dia jelas-jelas selalu mendapatkan keberuntungan hanya dengan memanfaatkan satu wanita!"

   "Maksudmu?" tanyanya tak paham

Melinda membuang napasnya pelan sebelum menjelaskan maksud dari ucapannya.

   "Sudah jelas bahwa si penulis novel ini sangat amat tergila-gila pada tokoh Max sampai-sampai dia membuat pria itu tak mendapatkan masalah sama sekali. Bukankah itu tidak adil?"

   "Kau seharusnya memperhatikan para *npc  yang ada di dalam novelnya."

*npc\=karakter figuran

   "Mana bisa seseorang yang telah membantu hidup Max menjadi lebih baik malah dilupakan oleh si penulis. Aku rasa dia memang punya penyakit amnesia atau apapun itu. Aku turut prihatin pada karakter figuran lainnya."

   "Ah, kan tokoh utamanya memang si Max dan juga Lily. Memangnya ada yang salah dengan dua pasangan romantis itu?"

Jangan salah. Melinda adalah gadis yang sangat membenci orang ketika mereka telah ditolong, lalu kebaikan orang itu malah dilupakan begitu saja.

Oh ayolah, Melinda begini karena merasa kesal pada jalan ceritanya. Jelas-jelas diprolog menjelaskan tentang seorang gadis cantik keturunan bangsawan yang sangat amat berjasa besar bagi kelangsungan hidup pangeran Max. Lantas, mengapa pada saat memasuki bab pertama, justru ceritanya semakin berfokus pada pria itu?

Terlebih lagi, penulis itu tak menjelaskan lebih rinci mengenai kehidupan gadis tersebut yang diketahui bernama Elena.

   "Romantis apanya ... Kau itu bodoh atau apa? Kau bisa baca sendiri bagaimana Max dan Lily memperalat Elena. Bahkan, mereka tak segan-segan menjadikannya kambing hitam, setelahnya dia dihukum mati oleh Raja. Akhir yang tragis bukan?"

   "Mungkin, si penulis novel ini punya kelainan membenci tokoh protagonis. Ku rasa!"

Melinda baru saja pulang dari kuliahnya. Tubuh lelahnya itu ia baringkan ke atas ranjang, sebelum akhirnya ia bangkit dan pergi ke arah meja belajarnya.

Matanya menatap novel berjudul 'Story of Love' membuatnya seketika kesal mengingat temannya bernama Sarah selalu menyebutkan nama Max.

   "Aku benar-benar akan mencekik pria yang mempunyai nama Max."

Setelah mengembuskan napasnya kesal, ia lantas duduk dan membuka lagi novel tersebut.

Dia membaca sedikit penjelasan tentang si penulis di halaman paling akhir.

   "Menyukai pria fiksi ... Pantas saja. Dia memang orang yang aneh!" ucap Melinda semakin kesal.

Dia membuka halaman paling tengah, membaca beberapa kata hingga rasa kantuk menyerangnya. Ingin melangkah ke ranjang, tetapi ia terlalu mengantuk.

Tidurlah dia di meja belajar dengan beralaskan novel sebagai bantalannya.

                                 ***

Tidur seorang gadis cantik terganggu, perlahan ia membuka matanya. Penglihatan yang awalnya buram menjadi semakin jelas.

   "Sepertinya aku bermimpi aneh tadi!"

Dia lantas bangun dan duduk di pinggiran kasur, menatap setiap inci kamar dengan keadaan masih mengumpulkan beberapa nyawanya.

   "Kenapa tempat ini aneh sekali?"

Ia bangkit dan berjalan menuju pintu, tetapi sebelum benar-benar sampai, dia membeku di tempat saat melewati sebuah cermin.

   "Tunggu sebentar!"

Dia pun berbalik dan melihat wajahnya. Suara teriakan pun terdengar sampai ke penjuru lorong, membuat beberapa pelayan dan penjaga ikut terkejut.

   "Apa-apaan ... Kenapa wajahku jadi berubah?"

Dia memegangi hidung, bibir, telinga bahkan mata dan rambut. Tak lupa dengan baju aneh yang dia gunakan membuatnya semakin kebingungan.

   "Kenapa ... Kenapa aku bisa berada di tubuh gadis ini. Siapa dia?"

Seorang pelayan membuka pintu dengan cepat, lantas berjalan menghampiri gadis itu.

   "Nona, apa ada yang terjadi? Mengapa anda berteriak di pagi hari begini?"

   "Haa, siapa kau?"

   "Apa maksud nona? Saya adalah pelayan pribadi anda, Frieda. Apakah nona mengalami amnesia jangka pendek? Ataukah benturan kemarin yang menjadi penyebabnya, sepertinya aku harus mencari tabib!"

   "T-tunggu dulu. Coba kau sebutkan siapa namaku?"

   "Astaga ... Sepertinya nona memang mengalami hilang ingatan jangka pendek."

   "Katakan saja."

   "Nama nona adalah Elena Freja Javosca, anak bungsu dari keturunan tuan Edward dan nyonya Loretta."

   "Sial. Ini tidak mungkin, tidak ... Aku tidak mungkin berpindah jiwa dan masuk ke abad pertengahan. Tidak mungkin aku menjadi Elena yang selalu dimanfaatkan oleh Max."

Gadis berjiwa Melinda itu sedikit merasa keseimbangannya hampir jatuh, untunglah ia bergegas menahan tubuhnya agar tidak tumbang

   "Sial sial sial. Kalau aku kembali ke tubuh asliku, akan kubunuh penulis aslinya karena telah menciptakan cerita yang tak masuk akal ini."

Melinda pun memilih untuk duduk, mencoba menetralkan rasa keterkejutannya.

   "Baik baik ... Sekarang aku telah masuk ke dalam tubuh Elena, jadi tugas utamaku adalah mengubah alur cerita sialan ini agar menjadi lebih baik lagi. Kebetulan aku juga punya dendam pribadi pada Max. Lihat apa yang akan aku lakukan!"

Melinda atau Elena pun mulai menampilkan senyum manisnya, membuat Frieda, selaku pelayan pribadinya itu terheran-heran.

   "Aku baik-baik saja. Kepalaku sedikit pusing dan aku ingin berkeliling sebentar."

Ia lantas bangkit dan mulai berjalan meninggalkan kamarnya.

Saat sedang asik melihat-lihat, ia ingat bahwa di bab pertama novel 'story of love' itu Elena bertemu dengan Max di taman utama milik keluarga Jovasca.

Saat itu Elena tengah duduk entah memikirkan apa hingga Max datang menghampirinya.

   "Hampir saja aku lupa. Lihat bagaimana aku mengubah alur ceritanya, bahkan penulis aslinya akan kubuat tercengang!"

Ia menyeringai sebentar, lalu berjalan melewati pintu utama. Saat itu terlihat seorang pria tampan yang memiliki tinggi sekitar 189 cm itu tengah berbicara dengan beberapa pelayan.

   "Dia pasti anak tertua keluarga Javosca. Bahkan orang yang paling tampan menurutku di novel ini pun disingkirkan oleh penulisnya. Ck, kasian sekali."

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kakak dari Elena memiliki wajah tampan bak pangeran dari negeri khayangan. Pahatan sempurna dari setiap inci wajahnya adalah bukti bahwa dewa jelas menciptakannya dengan penuh senyuman.

   "Salam dan selamat pagi kakak!" ucapnya sembari memberikan hormat lantas dibalas oleh kakaknya yang diketahui bernama Lucas.

   "Tumben sekali kau terlihat ceria, apakah ada sesuatu yang terjadi? Ah, kepalamu tidak apa-apa, kan?" tanyanya dengan menyentuh bagian kepala Elena yang terbentur kemarin.

   "Aku baik-baik saja, terima kasih telah mengkhawatirkanku. Aku pikir pangeran Max hari ini akan datang ke mari."

   "Kau benar. Sepertinya dia akan datang menemuimu."

   "Bagaimana kalau aku menolaknya? Bukannya aku tidak bersyukur dikunjungi oleh pangeran secara langsung, hanya saja aku masih sedikit pusing. Aku tidak bisa bertemu dengan pangeran dalam keadaan begini, bisa-bisa aku pingsan saat sedang berbicara dengannya."

Nampak wajah Lucas sendu saat menatap sang adik.

   "Kau benar. Sebaiknya kau kembali beristirahat, aku akan mengatakan pada pangeran bahwa kau belum bisa ditemui."

Setelahnya Elena memberikan salam pada sang kakak dan berjalan kembali ke kamarnya.

   "Bagus, dengan begini Max tidak bisa meminta bantuanku untuk pergi menemui Lily, sahabat kecilku. Ck! Lagipula Elena ini, untuk apa menaruh hati pada manusia rendahan seperti dia?"

Iya, Melinda bisa menerima dirinya masuk ke tubuh Elena juga karena alasan ini.

Dia tidak mau jika tokoh favoritenya sampai dicampakan begitu saja. Melinda, gadis itu tak akan tinggal diam dan membiarkan ending dari novel ini berakhir bahagia bagi Max dan Lily, tetapi tragis untuk Elena.

   "Mari kita lihat, siapa yang akan berakhir tragis dan bahagia di novel ini."

Bersambung...

02| Perjamuan

Siang itu nampak Elena telah berganti gaun dengan yang lebih sederhana, tetapi tetap elegan. Kebetulan akan perjamuan antar bangsawan yang diadakan oleh pihak kerajaan dikarenakan kemenangan telak terhadap peperangan yang sempat terjadi seminggu sebelum Melinda berpindah tubuh.

   "Nona, bukankah pakaian ini sangat sederhana? Jika ingin menarik perhatian laki-laki, setidaknya gunakanlah pakaian yang lebih bagus!" celoteh Frieda membuat Elena pusing.

   "Tenang saja. Jika kau terlalu mencolok, maka itu bisa menjadikanmu dalam bahaya."

Persiapan telah selesai, Elena bergegas menyusul kedua orang tua dan kakaknya. Setelah memberi salam, mereka pun menaiki kereta kuda.

   "Elena, kau nampak cantik hari ini sayang. Ibu lebih suka kau yang tampil apa adanya," ucap Loretta sembari tersenyum lembut ke arah putrinya.

   "Loretta Freja Javosca adalah ibu dari Elena yang bahkan sampai akhir tetap membela putrinya."

   "Ayah juga senang kau tidak berpakaian yang berlebihan."

   "Edward Freja Javosca, ayah dari Elena yang nantinya membantu acara eksekusi putrinya sendiri di depan bamyak orang. Ck! Jika aku mengingat tulisan menggelikan itu, membuatku seperti akan mual."

Sekitar setengah jam diperjalanan, akhirnya mereka tiba. Begitu memasuki ruangan, seorang pengawal berteriak menyebutkan nama keluarga itu.

Kini semua pasang mata tertuju pada Elena yang tak biasanya tampil sederhana, tetapi tetap memancarkan aura cantik dan elegan. Dia berjalan secara anggun dan memberikan beberapa kali senyuman pada orang-orang.

Inilah sikap yang harus ditunjukan pada sesama bangsawan. Terlebih, Elena adalah keturunan dari seorang bangsawan yang kedudukannya lumayan tinggi.

Saat itu, seseorang tengah menatap Elena dengan tak sukanya. Bahkan dengan terang-terangan ia menunjukan ekspresinya itu.

   "Ah, apakah dia Lily? Gadis dengan gaun ungu yang terlihat sedikit norak. Apakah dia tidak malu menggunakan banyak perhiasan pada setiap inci gaunnya? Ah, siapa yang merancang gaun tersebut? Jika itu aku, pasti akan ku penggal kepalanya."

Elena pun tersenyum ke arah gadis yang sejak tadi menunjukan rasa tak sukanya. Bukankah mereka teman kecil? Akan kuberitahu.

Lily tidak benar-benar menganggap Elena sebagai temannya, sebaliknya dia justru merasa bahwa gadis itu adalah saingannya dalam mendapatkan hati pangeran Max.

Melihat bagaimana Max selalu bersama Elena adalah bukti rasa cemburunya.

Sayangnya, itu dulu. Kehidupan Elena yang ini dipegang penuh oleh Melinda. Gadis yang akan membalaskan semua dendam dan sakit hati Elena.

Lily perlahan berjalan mendekati Elena dan mengajaknya ke para gadis.

Ia bermaksud ingin mempermalukan Elena, sayangnya dia tidak tahu bahwa saat ini jiwa yang mendiami tubuh musuhnya adalah Melinda, si mulut pedas.

    "Wah, Elena. Kau hari ini nampak sangat cantik. Aku suka dengan dirimu yang nampak sederhana dan elegan ini!" ucap salah seorang gadis dengan rambut berwarna hitam pekat.

   "Iyakan. Dia nampak sangat sederhana, ya itu cocok padanya!" ucap Lily dengan sedikit menyunggingkan senyumamnya.

Elena tahu apa maksud dari ucapan Lily barusan. Ia lantas tersenyum dan berterima kasih.

   "Ah, terima kasih atas pujiannya. Aku sungguh tersanjung dengan pujian kalian semua."

Mendengar itu Lily sedikit menggeram, sementara Elena menatap ke arah temannya itu.

   "Lily, bukankah pakaianmu hari ini terlihat berlebihan? Lihat bagaimana perhiasan yang lumayan berat ini menggantung. Apakah perancang pakaianmu tak tahu bahwa terlalu banyak perhiasan di gaun akan membuatnya terlihat buruk?"

Mendengar itu, Lily tak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Beberapa gadis yang mendengar hanya bisa setuju. Mereka juga berpikir bahwa Lily berpakaian terlalu berlebihan.

   "Mampus kau ... Memangnya kau pikir bisa melawanku?"

   "Ah, maafkan atas kelancanganku mengkritik pakaian yang menjadi favoritmu. Mari lupakan apa yang baru saja aku katakan dan kita nikmati saja perjamuannya."

Elena nampak menyunggingkan bibirnya dan hal itu tidak diketahui oleh siapapun.

Keluarga kerajaan pun tiba, semua perhatian kini beralih. Elena tentu sangat penasaran dengan wajah tokoh utama kita, siapa lagi kalau bukan Maxime Davey Endevour.

Elena meletakan minuman di atas meja dan berjalan sedikit mendekat agar wajahnya terlihat oleh Max. Itulah tujuan utamanya, membuat Lily terbakar api cemburu.

   "Yah, wajahnya memang tampan hanya saja aku masih memiliki niat yang kuat untuk mencekiknya. Haha, bercanda!" batinnya sembari tersenyum geli.

Sesaat sebelum raja mengeluarkan ucapannya, kini Max mendapati sosok yang tadi pagi sempat dia cari, tetapi menolak untuk bertemu.

   "Elena. Kau tadi pagi tak ingin bertemu denganku, tetapi siang ini kau menyempatkan diri untuk datang ke mari."

Raja pun mulai bangkit dari duduknya dan membacakan isi dari pesan yang telah dia tulis.

Para bangsawan yang telah berjuang digaris depan akan mendapatkan penghargaan. Elena tak begitu tertarik jadi dia menarik diri dari kerumunan membuat Max mencari-carinya.

Gadis tersebut tersenyum senang, seperti mangsanya telah dipancing sempurna.

Elena mendekat ke arah ayahnya dan meminta izin untuk keluar. Mereka tahu kebiasaan Elena adalah tak terlalu suka dengan tempat keramaian.

   "Ayah, bolehkan aku menunggu acara ini selesai di taman utama kerajaan? Di sini terlihat sedikit sesak."

   "Baiklah, tunggulah kami di sana. Begitu acara selesai, ayah akan menyuruh kakakmu untuk menjemputmu."

   "Baik ayah."

Elena pun berjalan ke arah pintu yang terlihat langsung oleh Max. Hal itu membuat pria yang memiliki gelar sebagai putra mahkota pun meminta izin pada sang ibu.

   "Ibu, bolehkan aku izin untuk keluar sebentar. Hanya menghirup udara segar?"

Ibunya mengangguk tanda setuju, toh perjamun ini dibuat untuk para bangsawan yang mengikuti perang.

Max pun mengikuti langkah Elena yang ternyata dilihat langsung oleh Lily.

   "Kemana Max akan pergi?" tanyanya yang kemudian mengikuti pria itu.

Di sisi lain, nampak Elena sedang duduk menunggu mangsanya tiba. Menatap sendu ke arah bunga yang bermekaran.

   "Elena!" Gadis itu tak terkejut, melainkan dia menoleh dengan lembut.

   "Ah, salam pangeran. Ada apa gerangan sampai anda datang menemui saya?"

Melihat sifat formal dari Elena tentu membuat Max semakin kebingungan. Biasanya gadis itu akan sangat berantusias saat Max mengajaknya berbicara.

   "Aku hanya ... Kau baik-baik saja?" tanyanya memastikan sesuatu.

   "Ya, seperti yang anda lihat. Saya dengar dari kakak saya, anda tadi pagi sempat datang ke kediaman keluarga Javosca. Ah, maafkan saya yang tidak datang menemui anda. Tadi pagi kepala saya pusing, mungkin efek dari benturan kemarin."

   "Dia nampak berbeda. Elena yang ini jauh lebih baik."

   "Tidak masalah. Bisakah kita berjalan-jalan berdua? Ada yang ingin aku katakan."

Sebelum ia menjawab, Elena mengintip sedikit dan tersenyum kecil.

   "Maafkan saya, tetapi saya harus menolaknya dan tentu anda sangat ingin mengetahui alasannya."

   "Apa itu?" tanya Max yang sama sekali tak paham.

   "Sepertinya anda memiliki penguntit kecil. Sedari tadi nona Lily memperhatikan kita, jika and mau saya bisa kembali ke-"

   "Tidak perlu. Biarkan dia begitu, dia bahkan tidak memperhatikan gaunnya. Mari kita menjauh."

Mendengar itu tentu saja membuat Elena semakin puas.

   "Bahkan Max pun tak sudi melihat dia yang mengenakan pakaian norak itu!"

Keduanya kini tengan berjalan-jalan mengelilingi sekitar taman utama yang memang luas.

   "Apa yang ingin anda katakan, pangeran?"

   "Bisakah kau berbicara biasa saja padaku? Aku tak nyaman mendengarnya," ucap Max yang kemudian merasa bahwa Elena jelas berbeda dari sebelumnya.

   "Maafkan saya pangeran, tetapi anda adalah putra mahkota. Bagaimana bisa saya memiliki keberanian untuk berbicara secara informal pada anda."

   "Tidak masalah. Kau hanya perlu menjadi seperti biasa Elena. Melihatmu begini, rasanya sangat aneh."

   "Baiklah."

   "Kau yang meminta dan aku hanya menuruti saja."

   "Lalu, apa yang ingin kau katakan?"

Max kali ini merasa sedikit lega.

   "Aku ingin meminta pendapatmu mengenai Lily. Kau dan dia adalah teman sedari kecil, tentu kau tahu pasti dirinya."

Elena menyeringai.

   "Tentu saja, tetapi memangnya Lily menganggapku sebagai temannya?" Pertanyaan Elena membuat Max kembali bingung.

   "Aku tidak yakin kalau Lily menganggapku begitu. Padahal aku selalu berbagi padanya, bahkan ketika aku menyukai seorang pria, dan dia menginginkannya, aku memberikannya secara ikhlas."

   "Benarkah begitu? Memang, sih Lily hampir tak pernah menceritakan kebersamaan kalian ketika sedang bersama denganku."

   "Itu karena dia tidak mau aku ada dalam hubungan kalian. Pange- maksudku Max, aku mungkin di anggap sebagai pengganggu olehnya. Karena itu, maafkan aku jika perlahan-lahan mulai menjauh darimu."

   "Aku tak mau menjadi teman yang menusuk teman lain dari belakang, terlebih itu adalah Lily."

   "Kau tentu tidak mengganggu. Aku mengenal Lily dari kau, bukankah itu sudah jelas?"

   "Ck! Mudah sekali memprovokasi pangeran bodoh ini."

   "Maaf pangeran ... Aku hanya takut saja. Ah, ku rasa sebentar lagi perjamuannya selesai, sebaiknya kita kembali."

Segera ia memberi salam dan pergi dari sana. Baru akan melangkah masuk, perutnya sudah berbunyi.

   "Ck! Aku belum makan apa-apa sejak tadi!" gumamnya dengan melihat-lihat hingga akhirnya dia menemukan apa yang dia cari.

Elena lantas berjalan mendekati meja yang sudah tersedia oleh kue basah.

   "Yah, lumayan menggiurkan kuenya!"

Dia mengambil sepotong dan melahapnya sekaligus. Saat itu juga mulutnya penuh membuatnya kesulitan berbicara.

Lucas datang menghampiri adiknya dan mencubit gemas pipi Elena.

   "Acara hampir selesai dan kau masih makan? Setelah ini kau bisa makan puas di rumah. Ayo!"

Bersambung...

03| Kunjungan

Pagi yang cerah untuk Elena, ia sedang menikmati pemandangan para prajurit yang berlatih pedang. Bukan tanpa alasan dia datang ke sana.

Elena tahu di kehidupan yang dia rasakan sekarang tidak hanya bisa menggunakan otak, melainkan fisik juga.

Kekerasan tak mandang gender, itulah mengapa Elena ingin belajar menggunakan pedang agar suatu saat nanti, dia bisa melindungi diri tanpa harus menunggu orang lain melindunginya.

Lucas mendekati sang adik dan ikut duduk memperhatikan para prajuritnya.

   "Kak, aku dengar di sekitar perbatasan ada sebuah kastil yang menjadi tempat tinggal para penyihir tingkat tinggi."

   "Benar, apa kau tertarik dengan ilmu sihir?" tebaknya.

   "Ku rasa begitu. Di keluarga kita tidak ada yang menguasainya, jadi aku rasa setidaknya diri ini memiliki perbedaan atau keunggulan tersendiri. Aku akan ke sana sore nanti, apakah menurutmu ayah akan mengizinkannya?" tanyanya sembari menghirup udara di sekitar.

   "Ayah pasti mengizinkannya, terlebih lagi keluarga kita ada yang mau mempelajari ilmu sihir. Memang belajar seminggu saja tidak cukup, karena lumayan sulit. Itulah mengapa banyak bangsawan yang menolak mempelajarinya."

   "Aku memiliki niat yang kuat dengan begitu aku yakin tidak butuh waktu lama untuk menguasainya. Mau bertaruh?"

Lucas menatap adiknya yang tersenyum.

   "Coba tebak, aku bisa menguasai ilmu sihir ini dalam beberapa waktu?" tanyanya membuat Lucas nampak berpikir dan ragu untuk menjawab.

   "Mungkin setengah tahun?"

Elena nampak tertawa kecil, sementara Lucas mengangkat satu alisnya tak paham.

   "Aku bertaruh hanya dalam waktu setengah bulan."

Setelahnya ia bangkit dan melangkah maju menuju kepala prajurit. Lucas tersenyum saat melihat betapa percaya diri adiknya itu.

   "Ya, kita lihat nanti!"

Sore itu Elena telah bersiap untuk mengunjungi kastil yang menjadi tujuannya.

Elena dan keretanya menempuh sekitar dua jam perjalanan, lumayan jauh batinnya. Begitu turun, dia langsung di sambut oleh penjaga kastil. Tak lupa Elena membawa Frieda, agar gadis itu bisa membantunya nanti.

   "Selamat datang nona Elena. Nyonya Merida telah menunggu ada di dalam, mari ikuti saya."

Elena hanya tersenyum sembari mengangguk dan mengikuti penjaga itu. Sebelum dia pergi, ayahnya lebih dulu mengirimkan pesan melalui burung merpati.

Selain tukang pengantar pesan, mereka juga menggunakan merpati sebagai pengantar pesan lewat udara dan itu dikhususkan untuk jalur jauh.

Elena merasa terpukau dengan setiap interior kastilnya, bahkan tak jarang dia memuji.

Tibalah mereka, setelahnya penjaga itu pamit undur diri.

Keheningan menyelimuti mereka, ada sedikit aura mencekam yang membuat Frieda harus benar-benar berdekatan dengan Elena.

   "Nona ... Apa anda yakin ingin belajar ilmu sihir?" tanyanya sembari menatap ke setiap sudut ruangan.

   "Jika aku tidak bersungguh-sungguh, lalu untuk apa kita berada di sini?"

   "Anda benar ju-"

   "Selamat datang nona Elena Freja Javosca. Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya ada bangsawan yang mau mengunjungi kastil tua ini!"

Seorang wanita yang diperkirakan berumur hampir lima puluh tahun itu berdiri dari duduknya. Wajahnya sedikit lelah dilihat dari keriput akibat usianya.

Ia berjalan mendekat Elena dan memperkenalkan diri.

   "Tidak sopan jika saya tidak memperkenalkan diri. Anda bisa memanggil saya Merida, pemilik kastil tua ini."

   "Salam Nyonya Merida!"

   "Saya senang dengan kunjungan anda dan berniat mempelajari ilmu sihir."

   "Saya juga merasa terhormat bisa bertemu langsung dengan anda."

Bibir itu senantiasa menunjukan senyuman. Elena tahu, Merida ini adalah orang yang mudah sekali akrab, tetapi menyimpan banyak misteri tentangnya.

Tak banyak yang tahu tentang kehidupan seorang penyihir tua.

Malam itu, Merida langsung memberikan pelajaran pertama bagi Elena untuk menguasai sihir membuka portal.

Bukan tanpa sebab, Elena sendirilah yang minta agar dia bisa leluasa pergi ke mana saja tanpa harus berjalan kaki, terlebih dengan para pengawal.

Merida sedikit terkejut melihat bagaimana Elena dengan tanggap menguasai sihir pembuka portal.

   "Dia jelas bukan gadis biasa."

Sekitar tiga jam Elena menghabiskan waktu dengan Merida, membuat Frieda yang berada di luar ruangan sedikit khawatir.

Pinti terbuka, pelayan pribadi Elena lantas berlari dan memeriksa kondisi majikannya.

   "Nona baik-baik saja?"

Elena yang memang sudah lelah pun hanya bisa menjawab seadanya.

   "Aku baik-baik saja. Sebaiknya kau siapkan aku air, badanku lengket semua."

   "Ah, baiklah."

Ini bukan hanya sebuah kastil tua yang orang-orang tahu sebagai tempat pelatihan, tetapi ada juga kamar yang siap menampung para murid nantinya.

   "Sungguh menajubkan. Anda bisa menguasai sihir pembuka portal hanya dalam waktu dua jam saja. Ini adalah sebuah berita yang sangat besar."

Elena tersenyum puas saat mendapatkan pujian seperti itu.

   "Ini juga berkat anda, saya hanya mengikuti apa yang anda ucapkan. Selebihnya saya berfokus dan melakukannya. Menyenangkan bisa belajar bersama anda, tetapi saya rasa tidak bisa secepat itu merasa senang."

Merida tahu, gadis di depannya ini bukanlah orang biasa.

   "Benar. Ilmu pembuka portal masih berada tingkat bawah, jadi mari kita beristirahat dan dilanjutkan dengan besok."

                                ***

Hari-hari Elena seperti biasa, hanya berlatih sihir. Jika ada waktu luang, dia akan diam-diam melatih gerakan pedangnya.

Elena memiliki pemikiran, bersantai sama saja dengan menghambur-hamburkan uang. Jadi dia tidak akan melewatkan kesempan bahkan jika itu sekecil lubang semut.

Tibalah di mana dia harus kembali, mengingat dia sudah berada di sana setengah bulan. Ah, dia jadi merindukan Max. Bagaimana reaksi pria itu saat tahu Elena telah menguasai beberapa ilmu sihir dan juga telah ahli dalam menguasai pedang.

   "Nyonya Merida, kapan-kapan berkunjunglah ke kediaman keluarga Javosca, kami akan menyambut anda dengan baik."

   "Suatu kehormatan bisa mendapatkan undangan secara langsung. Jika ada waktu luang, saya akan mampir dan menyapa anda serta keluarga anda."

Setelah sesi berpamitan, akhirnya kereta kuda milik Elena meninggalkan perkarangan kastil tersebut.

Setelah kereta kuda Elena menghilang dari pandangan, seorang pria bertopeng muncul begitu saja.

   "Jadi bagaimana bu?" tanyanya sembari melepas topengnya.

   "Kau tidak salah memilih. Kapan-kapan kita harus mengunjunginya, ah bagaimana dengan pelatihanmu?"

   "Berjalan lancar."

Elena tiba lebih lambat dari ada saat dia datang ke kastil tua itu. Alasannya adalah Frieda meminta untuk mampir ke pasar, ia ingin membeli beberapa bahan makanan yang hampir habis.

Seharusnya ini tugas pelayan yang ditugaskan bagian dapur, tetapi Frieda berkata waktu sekalian saja.

Begitu turun dari pasar, ternyata Elena ikut berbelanja. Beberapa pakaian yang setidaknya nyaman untuk dia gunakan, Frieda telah melarangnya membeli pakaian dari pasar, karena pasti kualitasnya buruk, tetapi gadis itu menolak.

   "Tidak tahu saja, belanja pakaian di pasar itu menyenangkan dengan harga yang terjangkau!" batinnya senang.

Elena telah tiba di kamarnya, menatap beberapa pakaian yang telah dibelinya. Sesungguhnya dia sedikit muak selalu memakai gaun ke mana-mana, setidaknya sekali dalam kehidupannya yang ini dia merasakan memakai celana.

Sedikit lain memang Elena berjiwa Melinda ini. Namun, ketika berlatih pedang atau sihir, dia kadang terganggu.

Sebuah ketukan terdengar, Elena bergegas menyimpan pakaian tadi dan mempersilahkan seseorang itu masuk. Pintu terbuka, menampilkan Lucas yang datang.

   "Oh, kakak. Ada apa?" tanyanya sembari berdiri dan menghampiri kakaknya.

   "Bagaimana dengan pelatihanmu, lancar?"

   "Oh, tentu saja. Aku bahkan bisa menguasai sekitar lima atau enam sihir. Seperti yang kau tahu, aku belajar cara membuka portal, kemudian mengendalikan angin, yah beberapa di antaranya juga aku pelajari."

   "Bagus, adikku memang pintar. Ada yang datang menemuimu, dia sering datang ke mari."

   "Oh, benarkah? Siapa dia?" tanyanya penasaran.

   "Kau lihat saja sendiri. Dia menunggu di taman utama."

   "Baiklah."

Elena bergegas pergi ke arah taman, benar saja ada seorang pria yang menunggunya dengan sabar. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

   "Salam pangeran!" Elena memberikan salan sebagai tanda hormat.

   "Ah, Elena. Akhirnya aku bisa mengunjungimu."

   "Ada apa kau datang menemuiku, Max?" tanyanya, yah sejujurnya ia sedikit penasaran.

   "Sebentar lagi adalah acara ulang tahunku aku berniat ingin mengadakan sebuah perlombaan untuk mencari calon istri. Menurutmu perlombaan seperti yang akan cocok nantinya?"

Elena telah mengantipasi hal ini, itulah mengapa dia memilih untuk membuat dirinya semakin kuat dan menguasai ilmu sihir.

   "Max, setelah mau mempersunting seseorang untuk menjadi istrimu, saat itu juga kau akan di angkat menjadi raja. Jadi saranku adalah, kau adakan saja lomba menangkap beruang atau babi hutan. Jangan terkejut, ini kedengarannya seperti aneh."

Max masih menatap Elena yang sibuk menjelaskan maksudnya.

   "Menjadi seorang ratu juga harus memiliki kemampuan untuk melindungi kerajaan dan rakyatnya, tentu ratu yang kuat serta pandai melindungi diri adalah yang paling dicari."

   "Tidak mungkin jika gadis bangsawan tak ada yang mencoba untuk berlatih bela diri atau sekedar latihan memanah."

   "Jadi maksudmu aku harus mencari istri yang juga memiliki kemampuan berkelahi?"

   "Bisa dibilang seperti itu. Menangkap babi hutan atau beruang memang sulit, tetapi bukankah perjuangan yang dibutuhkan di sini?"

   "Jika kau tak menyukai saranku, maka hal itu tak jadi masalah bagiku."

   "Tidak Elena, saranmu cukup masuk akal. Aku juga ingin tahu apakah Lily pantas menjadi istriku kelak. Em, apakah kau tidak ada niatan untuk ikut?" tanya Max, tetapi Elena membalasnya dengan senyuman sebelum akhirnya dia berkata.

   "Kita lihat nanti."

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!