Seorang gadis kecil menyisir rambutnya yang pirang panjang lalu mengikatnya kuncir kuda.
"Syifa, tolong antarkan kuenya ke rumah Umi Syarifah ya, Nak!" pinta Rosalina pada putrinya.
"Baik, Ma," jawab Asyifa patuh.
"Satu lagi Syifa, jangan lupa tutup pintu depan ya? Mama mau mencuci baju di belakang!" seru Rosa sembari berjalan ke belakang dengan menenteng keranjang baju yang berisi baju-baju kotornya dan juga baju putrinya.
"Iya, Ma!" jawab Asyifa.
Asyifa lantas mengambil kantong kresek besar yang berisi beberapa kotak Ontbijtkoek yang harus diantarnya kepada pelanggan. Ontbijtkoek merupakan roti rempah khas belanda, yang terbuat dari gandum hitam, lalu dibumbui rempah-rempah seperti cengkeh, jahe, kayu manis dan pala, kemudian ditaburi irisan kacang almond di bagian atasnya.
Dahulu Ontbijtkoek merupakan kue sarapan pagi. Berbekal dari resep yang diajarkan oleh sang ibu, mama Asyifa berjualan kue khas belanda itu untuk bertahan hidup sebagai seorang single mother.
Kesehariannya sepulang sekolah Asyifa membantu nenek Fatimah berjualan kain di ruko pusat perbelanjaan kain yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Fatimah merupakan seorang janda tua keturunan Arab. Asyifa dan mamanya hidup menumpang di rumah Nenek Fatimah di daerah kampung Arab. Di kampung Arab sebagian besar penduduknya merupakan keturunan Arab.
Kampung Arab berasal dari Hadramaut Yaman yang datang ke kota X untuk menyebarkan agama islam sekaligus berdagang rempah-rempah. Pada jaman penjajahan Belanda, pemerintah kota menempatkan penduduk Arab tersebut di satu wilayah agar lebih mudah mengidentifikasi.
Selain itu tempat tinggal Syifa juga berbatasan dengan lingkungan keraton. Rumah abdi dalem dan kampung arab dipisahkan dengan tembok besar yang menjulang tinggi di kedua sisinya yang dibangun sejak penjajahan Belanda.
Kemudian tidak jauh dari perkampungan Arab juga banyak rumah penduduk keturunan Tionghoa. Sehingga di kota itu terdiri dari beragam budaya. Warga keturunan Arab, keturunan Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan dengan rukun.
Asyifa meletakkan kuenya di keranjang sepeda. Lantas dia segera naik dan mengayuhnya dengan perlahan. Kue pesanan pelanggan ini cukup banyak, sebab hendak dibagikan bagi jama'ah salat Jum'at. Maka dia harus berhati-hati agar kuenya bisa sampai di tangan pelanggan dengan selamat dan tidak kurang suatu apa pun.
Gadis berusia sepuluh tahun itu bersenandung sembari mengayuh sepedanya melewati gang-gang sempit di perumahan kampung Arab. Rambutnya yang berwarna pirang panjang seolah melambai-lambai kala tertiup angin. Ditambah kulitnya yang putih bersih, serta kornea matanya yang berwarna keabu-abuan, menjadikan Asyifa terlihat berbeda dari gadis lainnya yang tinggal di kawasan itu.
Kring kring kring kring.
"Assalamu'alaikum, Ummi Syarifah!"
Asyifa membunyikan lonceng pada sepedanya saat sampai di tempat tujuan.
"Wa'alaikumussalam," ujar seorang wanita setengah baya membuka pintu. Syifa mengenalinya sebagai Umi Syarifah.
"Syifa ya, terima kasih ya, Fa?" ucapnya seraya mengambil kantong plastik besar dari keranjang sepeda Syifa. Ia lalu menaruhnya di atas meja teras depan rumahnya.
"Syifa, Umi nitip uangnya buat dikasihkan ke mama, ya?" ujar umi Syarifah.
"Iya, Ummi. Terima kasih!" ucap Asyifa, lalu memasukkannya ke dalam saku bajunya.
"Sama-sama, sayang!" ujar umi Syarifah seraya tersenyum manis.
"Nafisa nya mana, Ummi?"
"Sepulang sekolah Fisa langsung bermain di rumah tetangga. Coba saja cari di gang belakang!"
"Oh, iya deh, Ummi! Syifa pamit ya, Ummi, assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam. Eh, uangnya di kasihkan mama dulu ya, baru main!" ujar Syarifah menasehati.
"Iya, Ummi!" jawabnya lalu kembali mengayuh sepeda menuju ke rumahnya.
Namun, ditengah jalan dia melihat Nafisa yang sedang bermain dengan tetangganya sesama keturunan Arab.
"Syifa!" panggil Nafisa tatkala melihat keberadaan Syifa.
Syifa pun menghentikan sepedanya dan menoleh pada Nafisa dengan tersenyum. Namun, tiba-tiba teman-teman Nafisa saling berbisik dan menarik paksa Nafisa untuk mengikuti mereka.
Terlihat Nafisa terus memandang ke arah Syifa dengan berat hati. Hingga mereka semakin menjauh masuk ke dalam salah satu rumah mereka.
Asyifa menatap sedih dan kecewa dengan kepergian mereka. Asyifa dapat merasakan jika sesungguhnya mereka tidak mau bermain dengannya.
"Mereka itu tidak suka padamu, jadi tidak usah berharap untuk bermain bersama mereka!" ujar seseorang.
Syifa seketika menoleh ke belakang. Nampak seorang anak perempuan yang seumuran dengannya. Anak itu merupakan keturunan asli jawa yang juga sedang melintasi jalan yang sama.
"Sana, pulang!" ucapnya lagi pada Syifa.
"Memangnya kamu tahu dari mana kalau mereka tidak mau main denganku?" tanya Syifa kesal.
"Aku dengar lah saat mereka saling berbisik. Mereka bilang tidak mau main denganmu, katanya kamu anak haram!" ujarnya blak-blakan.
Syifa sontak terkesiap mendengarnya. Dia semakin kesal pada anak perempuan itu yang secara terang-terangan mengatakan hal itu padanya.
Syifa segera menaiki sepedanya kembali dan mengayuhnya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Sepanjang jalan pulang air mata Syifa tak henti-hentinya menetas saat mengingat perkataan anak perempuan barusan.
Katanya kamu anak haram! kamu anak haram! kamu anak haram! kata-kata itu terus terngiang-ngiang di benaknya.
Saat melewati gang yang menjadi perbatasan antara dua tembok yang memisahkan wilayah rumah abdi dalem keraton dan kampung Arab, nampak seorang anak laki-laki berjalan dengan menenteng tas ransel besar di ujung gang.
Syifa mengusap dengan kasar pipinya karena malu terlihat sedang menangis. Namun, air matanya terus saja mengalir dari wajah cantiknya.
Anak laki-laki itu menatap Syifa dengan keheranan saat Syifa melewatinya. Namun, mereka tidak saling bertegur sapa lantaran baru pertama kalinya bertemu. Syifa mengabaikannya dan terus mengayuh hingga sampai di rumah.
Syifa turun dari sepeda kemudian berlari ke arah nenek Fatimah yang tengah duduk di depan rumah. Syifa memeluk neneknya dengan erat menumpahkan kesedihannya.
Fatimah menusukkan jarum pada baju yang sedang dijahitnya dengan tangan, kemudian meletakkannya di atas meja.
"Ada apa, Syifa? kenapa cucu nenek yang cantik ini menangis?" tanya nenek Fatimah.
"Nek, apa betul Syifa ini anak haram? mereka tidak mau main dengan Syifa karena Syifa anak haram, Nek!" ujar Syifa dengan sesenggukan dan isak tangis yang terus mengalir di pipinya.
"Siapa yang bilang?" tanya nenek yang nampak terperanjat mendengar penuturan Syifa.
"Anak-anak tetangga umi Syarifah, Nek. Teman-teman Nafisa," ujarnya.
"Semua bayi terlahir suci, begitupun dengan Syifa. Sudah jangan menangis. Jika mereka tidak mau main dengan Syifa, masih banyak anak yang lainnya 'kan," ujar nenek Fatimah.
"Nek, sebenarnya di mana papa Syifa, Nek?" tanya Syifa yang tidak pernah mendapat jawaban setiap mempertanyakan hal itu pada mamanya.
"Syifa, setelah dewasa nanti kamu akan mengerti kenapa mamamu tidak memberitahumu, Nak. Jangan tanyakan hal itu pada mamamu ya? Syifa tidak ingin membuat mama sedih, kan?"
"Iya, Nek!" Syifa nampak mengangguk patuh.
"Oh ya, Nenek buatkan baju gamis untuk Syifa. Sebentar lagi akan jadi, nanti bisa dipakai saat mengaji," ujar nenek Fatimah sembari memperlihatkan baju yang tadi sedang dijahitnya.
"Terima kasih, Nek!" ujar Syifa dengan tersenyum senang, lalu memeluk nenek Fatimah kembali.
Dari dalam rumah Rosalina mendengar percakapan antara putrinya dengan nenek Fatimah. Ia berdiri di balik dinding samping pintu. Risa tak kuasa menahan air matanya saat Asyifa dikatai anak haram. Rosa menangis tanpa suara seraya membekap mulutnya. Hatinya terasa perih dan terluka.
Semenjak saat itu Syifa tidak pernah bertanya atau pun membahas lagi tentang siapa papanya. Syifa menutup telinganya rapat-rapat jika ada yang membicarakan tentang latar belakang keluarganya yang jauh berbeda dengan keluarga lainnya.
Dia adalah satu-satunya gadis keturunan Belanda yang tinggal di kampung Arab. Meskipun sesungguhnya dia sangat penasaran. Namun, Syifa memilih untuk mengabaikannya agar tidak membuat mamanya sedih.
...__________Ney-nna__________...
Sepulang sekolah Asyifa menyusul mama dan neneknya ke ruko. Dia menaruh sepedanya di samping tempat parkir motor. Saat melewati beberapa ruko dia melihat anak yang berbicara blak-blakan yang tempo hari bertemu di dekat rumah Nafisa.
Sebenarnya wajah anak itu tidak asing bagi Syifa, karena sering berpapasan di gang menuju kampung yang di tempati abdi dalem keraton. Namun, dia belum mengetahui namanya karena tidak pernah bertegur sapa sebelumnya.
Syifa bersembunyi di balik tembok ruko yang agak jauh dari keberadaan anak itu. Terlihat seorang laki-laki dewasa mendorong anak itu bahkan hendak memukulnya.
Namun, laki-laki itu menghentikan tindakannya saat menyadari jika dia tengah berada di tempat umum dan banyak pasang mata yang tengah melihat ke arahnya.
Syifa seketika menutup mulutnya dan hampir saja ingin memekik, ketika laki-laki itu menendang anak itu hingga tersungkur.
Ya Allah siapa laki-laki itu? mengapa beliau begitu kasar memperlakukan anak itu? gumam Syifa di dalam hati.
“Sana pergi! anak nakal bisanya hanya minta uang saja kamu!” ujarnya sembari berkacak pinggang dengan wajah sangarnya.
Anak itu dengan susah payah beranjak berdiri sembari memegangi pinggangnya yang terkena tendangan. Matanya memerah, namun hebatnya ia tidak menangis. Dengan perlahan dia beranjak pergi menuju ke luar gedung.
Syifa mengurungkan niatnya untuk mengunjungi ruko nenek Fatimah. Dia memutuskan untuk mengikuti anak itu karena merasa iba dan penasaran dengan keadaan anak itu. Syifa tergugah untuk menghiburnya.
Saat anak itu duduk sendirian di teras pintu belakang gedung, kemudian Syifa mendatanginya dan ikut duduk di sampingnya.
“Nih, minum!” ujar Syifa sembari menyodorkan segelas cup jus jambu ke hadapan anak itu.
Anak itu menoleh dan memandang tajam ke arah Syifa.
“Ini juga, ayo ambillah! Kamu pasti haus kan? Setidaknya dengan minuman yang menyegarkan dan permen coklat ini akan memperbaiki moodmu yang tidak baik,” ujar Syifa sembari menaruh permen coklat miliknya di telapak tangan anak itu.
Tanpa banyak bicara anak itu segera meminum jusnya hingga habis tak bersisa, kemudian mengembalikan cup kosongnya ke tangan Syifa.
Syifa seketika membulatkan mata dengan tindakan anak itu. “Wah-wah, kamu sama sekali nggak menyisakan sedikit pun untukku malah mengembalikan sampahnya kepadaku,” ujarnya.
Syifa kemudian beranjak berdiri menuju tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka duduk, untuk membuang sampahnya. Setelahnya dia kembali duduk di tempatnya tadi.
“Kamu bahkan tidak mengucapkan terima kasih!” ujar Syifa kepada anak itu.
“Kamu nggak tulus ngasihnya? salahmu sendiri, aku kan tidak memintanya kenapa juga tadi kamu memberikan jus mu kepadaku!” jawabnya acuh.
Syifa menggelengkan kepala penuh keheranan, dia tidak habis pikir kenapa anak ini begitu menyebalkan. Selalu berkata sesukanya tanpa memikirkan perasaan orang lain, dan bersikap acuh tak acuh kepadanya meski telah diperlakukan dengan baik.
“Ck … apa kamu selalu menyebalkan seperti itu!?” ujar Syifa yang menjadi gemas untuk mengatakan yang sesungguhnya, pendapatnya tentang gadis itu.
“Bagus, katakan saja pendapatmu dengan jujur tentang aku, tidak perlu sok baik di depan dan mengumpat di dalam hati. Aku sudah cukup kebal dengan umpatan dan caci maki yang jauh lebih menyakitkan dari pada hal ini!” ujarnya sembari menyandarkan bahunya ke tembok.
“Namaku Asyifa, panggil saja Syifa. Siapa namamu?” tanya Syifa , kemudian membaca nama dada yang ada pada seragam sekolah anak itu. “An-ti-ka,” ejanya.
“Nama itu terlalu bagus untukmu, kamu lebih pantas dipanggil si cengeng!” ujarnya sesukanya.
“Nama itu adalah doa, nenekku susah payah memikirkan nama itu ketika aku lahir, enak saja kamu menggantinya sesuka hatimu!” sanggah Syifa yang tidak sependapat.
“Iya, bawel!”
“Syifa!”
“Bawel!” ujarnya tepat di depan muka Syifa.
“Syi-fa!” ujar Syifa di telinga Antika dengan gemas.
Begitulah awal mula dua anak itu mulai berteman. Keduanya sama-sama memiliki nasib yang sama, yaitu dijauhi oleh anak-anak yang seumuran dengan mereka di lingkungan masing-masing.
Syifa sadar diri jika dirinya dijauhi karena dia tinggal di kampung Arab meskipun bukan keturunan Arab. Terlebih karena Syifa mempunyai latar belakang keluarga yang tidak jelas. Sedangkan Antika dijauhi karena perkataannya yang blak-blakkan.
Mungkin itulah anak-anak pribumi enggan bermain dengannya. Meskipun menurut Syifa, sesungguhnya apa yang dikatakan Antika itu adalah sebuah kejujuran dan keberanian untuk mengemukakan pendapatnya.
Setelah banyak mengobrol, Antika mulai sedikit terbuka dan menjawab dengan benar ketika Syifa bertanya. Rupanya laki-laki yang tadi memarahi Antika itu adalah ayahnya. Antika mengatakan hal itu sudah biasa dilakukan oleh ayahnya. Jadi tidak perlu dikhawatirkan.
Namun, tetap saja bagi Syifa perlakuan ayah Antika itu cukup menyeramkan. Bagaimana seorang ayah bisa sekasar itu terhadap anaknya. Beruntungnya meskipun dia tidak memiliki papa, namun mama dan nenek Fatimah selalu menyayanginya.
"Tik, aku ke toilet dulu ya?" ujar Syifa.
"Iya!"
Syifa segera menuju toilet dan menuntaskan kebutuhannya. Saat hendak kembali, tiba-tiba ada yang menyentuh pantatnya.
Syifa seketika berbalik menoleh ke belakang mencari pelakunya. Terlihat ada salah seorang laki-laki dewasa mengedipkan mata sembari tersenyum mengejek ke arahnya. Syifa yang merasa kesal seketika berjalan cepat untuk menjauh dari laki-laki itu, namun saat dia menoleh lagi ke arah laki-laki tadi, rupanya dia masih terus mengikutinya dari belakang. Syifa menjadi sangat ketakutan karena terus dibuntuti. Dia berlari dengan tunggang langgang menuju ke tempatnya semula.
Sesampainya di luar ternyata Antika sudah tidak ada. Syifa menjadi bingung karena laki-laki itu terus mendekat ke arah Syifa seraya tersenyum. Syifa semakin tersudut dengan jarak mereka yang semakin dekat.
Bugh!
Syifa yang gugup tersandung hingga tersungkur ke lantai.
Hal itu semakin menguntungkan bagi laki-laki yang sejak tadi mengejar Syifa. Laki-laki itu memegang tangan Syifa dan semakin mendekat.
"Tolong! tolong!" seru Syifa berteriak meminta bantuan.
Syifa berusaha menghalau agar laki-laki itu tidak menciumnya. Syifa menangis sejadi-jadinya dan sangat ketakutan. Dia tidak menyangka jika di tempat umum ada saja orang senekat itu berbuat yang tidak pantas terhadapnya.
Beruntunglah tak berapa lama seorang ibu-ibu datang menarik-narik laki-laki itu. Seorang petugas keamanan juga segera datang untuk memegangi tubuh laki-laki itu.
"Anak nakal! jangan lakukan itu! kenapa kamu selalu mempermalukan ibumu!" ujar seorang ibu itu sembari menatap kesal pada laki-laki yang tadi menyerang Syifa.
"Mohon maaf ya, Dek. Anak saya ini menyandang keterbelakangan mental. Tolong dimaklumi!" ujar ibu itu lalu membawa putranya pergi bersama.
Syifa tidak tahu harus berkata apa, dia masih sangat ketakutan dan napasnya tersengal. Baginya ini adalah pengalaman buruk yang sangat meresahkan.
Tiba-tiba saja Antika datang dan merangkulnya. "Ada apa, Fa?" tanyanya.
"Aku takut! aku takut, Tik!"
Antika memeluknya kemudian mengusap punggung Syifa untuk menenangkan. Setelah Syifa tenang, Antika mengantar Syifa menuju nenek dan ibunya.
...________Ney-nna________...
"Mama, hiks ... hiks...!" ujar Syifa seraya memeluk mamanya.
"Ada apa, Syifa? ada yang nakal sama kamu? ha?" tanya Rosalina dengan cemas.
"Hmm ...!" gumam Syifa sembari mengangguk lesu.
"Siapa orangnya, ha? ayo bilang sama, Mama!"
Syifa menggelengkan kepalanya.
"Kamu dihina? apa yang mereka lakukan, Syifa? katakan sama, Mama!" ujar Rosalina dengan sangat panik. Rosa khawatir jika ada yang mengatai Syifa macam-macam lagi.
"Bukan itu, Ma. Tadi ada laki-laki yang maksa-maksa mau cium Syifa. Syifa takut!" ujar Syifa dengan sedikit ragu, sebab mengingat hal itu membuatnya malu sekaligus kesal.
"Astaghfirullah, Syifa! terus gimana? apa yang dilakukannya sama kamu, Fa?" Rosa seketika panik dan mengecek setiap bagian dari tubuh putrinya.
"Syifa ..., Syifa nggak apa-apa kok, Mah. untung Ibunya dan satpam langsung datang dan menolong Syifa," tutur Syifa dengan hati-hati agar tidak membuat mamanya semakin khawatir.
Syifa tau mamanya memang selalu panik jika menyangkut tentang dirinya. Entah apa penyebabnya, mamanya selalu berusaha dengan keras menjaganya.
"Alhamdulillah, Mama benar-benar takut jika sampai terjadi sesuatu sama kamu, Fa," Rosa segera memeluk putrinya dengan erat. "Lain kali jangan mampir-mampir, pulang sekolah langsung ke sini, Fa!"
"Iya, Ma."
"Syifa, ingat ya pesan Mama, jaga jarak dengan laki-laki!" ujar Rosa dengan tegas.
"Iya, Ma," jawab Syifa patuh.
"Ayo kita pulang sekarang, Fa! kuenya sudah habis semua, kasih tahu Nenek gih!"
"Iya, Ma."
Setelah berpamitan pada nenek, Syifa dan mamanya pulang ke rumah. Rosa pulang dengan menaiki becak, sedangkan Syifa mengendarai sepedanya mendahului becak yang ditumpangi mamanya.
"Syifa!"
Saat melewati kampung Arab tiba-tiba ada yang memanggil Syifa. Syifa berhenti lalu menoleh ke belakang. Terlihat Nafisa tengah berdiri di pinggir jalan di depan rumahnya.
"Syifa, tunggu!" ujarnya kemudian berlari sedikit mendekat.
"Syifa boleh bicara sebentar?" tanya Nafisa.
Syifa diam seraya melirik ke arah mamanya seolah bertanya.
"Kalau Syifa mau main ke rumah Nafisa, Mama akan pulang duluan," ujar Rosa agar Syifa yang membuat pilihan. Dia mengerti terkadang anak kecil mudah bertengkar, namun akan berbaikan dengan sendirinya.
"Syifa, ke rumah Nafisa sebentar ya, Ma?" ujar Syifa pada akhirnya.
"Baiklah, Mama pulang duluan. Nanti pulangnya jangan terlalu sore, ya!"
"Iya, Ma."
Rosa lalu meminta tukang becak untuk kembali mengayuh becaknya, melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah nenek Fatimah yang berada di paling ujung.
"Syifa, ayo ke rumahku dulu!" ujar Nafisa.
Syifa lalu menuntun sepedanya mengikuti Nafisa.
Sesampainya di teras rumah, Nafisa mengajak Syifa duduk di teras rumahnya.
"Syifa, seminggu ini kenapa nggak lewat depan rumahku?" tanya Nafisa.
"Emm, kadang aku lewat jalan raya. Cari suasana baru," ujar Syifa beralasan.
"Syifa, aku minta maaf atas perkataan teman-temanku yang tempo hari itu, ya? waktu itu aku mau ngejar kamu tapi kamu udah keburu pergi," tutur Nafisa seraya menggenggam tangan Syifa.
Sejenak Syifa terdiam mengingat bagaimana perkataan teman-teman Nafisa yang menyakitkan hatinya. Namun, akhirnya dia berpikir bahwa Nafisa dan keluarganya cukup dikenal baik oleh keluarganya, Syifa pun akhirnya menganggukkan kepala menerima permintaan maaf Nafisa.
"Aku tahu itu bukan salah kamu Fisa, aku juga tidak membencimu setelahnya. Hanya saja aku tidak ingin kamu ikut mendapat masalah oleh teman-temanmu karena kamu berteman dengan aku," jawab Syifa.
"Jangan pedulikan mereka, ummiku bilang mereka hanya segelintir orang yang tidak tahu tapi sok tahu, aku masih punya banyak teman yang lainnya, Aku juga suka berteman sama kamu, karena kamu teman yang baik. Oh ya, kata ummi besok kamu harus datang ke TPA, Oke?" ujar Nafisa.
Syifa mengangguk senang. Ada perasaan lega di hatinya, seperti terlepas dari belenggu yang sempat menjeratnya.
Cklek!
Tiba-tiba terdengar pintu ruang utama terbuka. Nampak seorang anak laki-laki ke luar dari dalam rumah Nafisa.
Dia terdiam saat bersitatap dengan Syifa. Syifa pun sejenak terdiam saat melihatnya
Nafisa melihat ke arah keduanya, lalu berdehem, "Ekhm ...ekhm!"
"A-aku ke masjid dulu. Assalamu'alaikum!" ujar anak laki-laki itu dan dengan cepat menundukkan pandangannya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Syifa dan Nafisa berbarengan.
"Siapa?" tanya Syifa sedikit berbisik ke arah Nafisa.
"Abangku, dapat jatah libur dari pondok," ujar Nafisa menjelaskan.
Syifa menganggukkan kepalanya perlahan. Rupanya anak laki-laki yang tempo hari sempat berpapasan dengannya di gang antara dua tembok besar itu adalah abangnya Nafisa.
Setelah beberapa saat mengobrol terdengar suara adzan Azhar
"Sya, udah adzan ... aku musti ke toko nih bantuin ummi beberes. Kapan-kapan kita lanjut lagi, ya?" ujar Nafisha.
Syifa pun mengerti, Nafisa harus membantu umminya beres-beres sebelum menutup toko. Orang tua Nafisa berjualan kurma dan oleh-oleh haji. Tokonya yang dekat dengan jalan raya dan dekat masjid jami yang tersohor di kota itu, tentunya cukup ramai dikunjungi pembeli. Kawasan itu pun cukup terkenal, karena sebagian besar penjualnya adalah orang-orang keturunan Arab.
Mulai dari kurma, sate buntel, nasi kebuli khas timur tengah, serba-serbi perlengkapan haji, hingga oleh-oleh haji, sembako, rempah-rempah, perlengkapan salat, dan masih banyak yang lainnya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli. Dan dikawasan itu akan ditemui pemandangan yang lain dari tempat lain yaitu laki-laki yang mengenakan gamis putih lengkap dengan peci yang nampak berlalu lalang di sekitaran kawasan masjid dan perempuan dengan gamis hitam pasmina hitam yang tengah menaiki becak.
Nafisa buru-buru mengunci pintu, kemudian mereka bersepeda bersama hingga di ujung gang. Setelahnya mereka berpisah karena Nafisa harus pergi menuju jalan raya, sedangkan Syifa pergi menuju gang di antara dua tembok besar untuk menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan Syifa mengagumi suara sang muadzin yang terdengar. Suaranya merdu dan indah. Syifa merasa kali ini sangat berbeda dari biasanya yang dia dengar.
Sungguh meneduhkan dan mengena ke dalam relung jiwa, gumam Syifa di dalam hati seraya tersenyum sembari membaca doa.
................
Malam mulai larut, namun Rosalina masih saja terjaga untuk mencatat kebutuhan hariannya. Mulai dari kebutuhan dapur untuk makan sehari-hari, pengeluaran untuk membuat kue, laba dari penjualan harian dan yang juga penting adalah uang untuk membayar sekolah Syifa.
"Ros, kamu nggak capek setiap malam menghitung pengeluaran hingga sedetail itu?" tanya nenek.
"Harus, Bu. Kalau tidak nanti uangnya kepakai buat yang lainnya, Bu," jawab Rosa.
"Baiklah Ros, kamu masih muda, menikahlah! kamu dan Syifa membutuhkan seorang laki-laki yang bisa menjaga kalian. Terlebih ketika aku sudah tiada lagi nantinya. Aku akan senang jika kalian ada yang menjaga," ujar nenek Fatimah menjeda perkataannya. "Lupakan masa lalumu itu dan jadikan pelajaran saja. Mulailah lembaran baru yang menyenangkan. Tidak semua laki-laki mengecewakan, Ros."
Rosalina terdiam, dia melamun memikirkan perkataan nenek Fatimah seraya mengusap kepala putrinya yang tengah tidur. Tanpa mereka ketahui saat itu sebenarnya Syifa terbangun dari tidurnya dan mendengar semua perkataan nenek Fatimah.
Namun, Syifa pura-pura tetap memejamkan mata agar tidak diketahui. Mendengar perkataan neneknya itu Syifa semakin penasaran seperti apa kehidupan mamanya dahulu. Namun, sayangnya Syifa tidak bisa bertanya kepada siapa pun yang dapat dia gali dari kisah masa lalu mamanya.
..._________Ney-nna_________...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!