Achilles Places, 22 Mei pukul 22:15.
Berkali-kali pria itu membenarkan tatanan rambutnya yang sudah nyaris sempurna. Setiap helainya seakan dibuat berbaris rapih menyesuaikan bentuk kepala pemiliknya. Cahaya matahari yang menembus kaca dari gedung itu membuat rambutnya tampak berkilauan. Wajah yang tegas dan datar seakan menambah kesan pria misterius pada dirinya. Meski dihiasi dengan paras yang rupawan tak membuat pria itu mengesampingkan tatakrama. Ia percaya bahwa tatakrama adalah hal yang harus dimiliki oleh semua pria hebat.
Pria itu berpenampilan sangat rapih setiap harinya bahkan saat hendak pergi tidur. Orang-orang di sekelilingnya mencuriagi pria itu sebagai pengidap OCD akut, yang pada kenyataanya tidak sama sekali. Mungkin itu hanya karakter yang melekat pada dirinya. Begitupun dengan sifat angkuh dan sok benarnya. Walau begitu ia adalah Presiden Armor Group, Arran Xavier. Ia merupakan pemimpin yang bisa diandalkan bagi perusahaanya. Sudah hampir delapan tahun ia memimpin perusahaan peninggalan mendiang Ayahnya itu. Di tangan pria itu perusahaannya kini mengalami kemajuan yang signifikan.
Mengingat tentang kesuksesan di usia mudanya banyak orang yang mempertanyakan soal privasinya. Terutama soal hubungan pribadinya. Orang di luar sana mengira bahwa Arran adalah sosok yang begitu dingin dan misterius sehingga para gadis enggan mendekatinya. Arran terkenal dengan sifat gila kerjanya. Setiap dua tahun sekali perusahaannya mengalami reorganisasi skala besar. Itu karena ia tidak bisa mentoleransi setiap kesalahan yang terjadi di perusahaannya. Ia selalu berani mengambil keputusan walaupun terkadang cenderung agresif. Tetapi selalu berhasil mencapai target kinerja perusahaan. Semua itu membuat wanita di luar sana semakin sulit untuk mendekati Arran. Beberapa orang mengira bahwa mungkin Arran adalah seorang G*y. Tentu saja itu tidak benar. Arran adalah pria normal yang terlalu meninggikan dirinya dan menganggap dirinya terlalu istimewa bagi dunia ini. Ia berpikir bahwa ia terlalu sempurna untuk wanita manapun di dunia ini. Wanita biasa bukan seleranya.
Arran kini menatap kosong ke arah jendela. Ia menatap pantulan dari dirinya sambil tersenyum sendiri. Ia lalu kembali merapikan tatanan rambutnya yang kini sudah rapih sempurna. Ia menyunggingkan senyuman sambil berkata pelan pada dirinya sendiri,
" Jika benar ada sosok wanita di luar sana yang memang diciptakan untukku, Ia pasti sama sempurnanya dengan diriku. Bukankah pasanganmu adalah cerminan dirimu?. Oh ya ampun, aku begitu bersinar hari ini". Ia menutup perkataannya dengan melakukan pose ganteng andalannya.
Atalanta hotels, 22 Mei pukul 22.30.
Seorang wanita terlihat tengah terisak haru. Berkali-kali ia menarik nafas panjang tanda tertekan oleh sesuatu hal. Kitchen face shield nya kini tampak beruap. Kedua bola matanya kini penuh oleh air mata yang siap untuk menetes ke wajahnya.
"Oi, kupas bawangnya lebih cepat. Pelanggan sudah tak sabar menunggu. Dasar lambat!". Seorang pria yang mengenakan hat cook serta chef jacket lengkap dengan apronnya meneriakinya dengan lantang.
Wanita itu sudah berusaha dengan keras untuk mengupas satu ember bawang bombay itu. Kini sekujur tubuhnya bak dilumuri oleh sebotol parfum bawang bombay. Tetapi masih saja ia menerima bentakan dari atasannya itu. Ia tak bisa berkutik jika menerima perlakuan seperti itu karena posisinya saat ini hanyalah sebagai cook helper. Ia terpaksa harus menerima berbagai tugas berat yang dibebankan kepadanya. Wanita itu terpaksa harus bekerja di tempat seperti ini demi bisa menghidupi dirinya sendiri.
Sudah empat tahun wanita itu bekerja di tempat ini. Ia sebenarnya tak memiliki background dalam dunia memasak. Hanya berbekal ijazah SMA dan kemampuan memasaknya yang selalu enak yang membuatnya bisa bekerja di tempat ini. Beberapa orang yang dulu bekerja bersamanya kini telah naik pangkat menjadi commis atau demi chef. Entah mengapa ia masih saja belum naik pangkat, padahal ia adalah pekerja yang paling baik dan dan rajin di tempat ini.
Meski harus menjalani pekerjaan yang berat itu setiap hari dan mengisi waktu liburnya dengan pekerjaan paruh waktu wanita itu tetap saja selalu terlihat ceria dan ramah. Wanita itu terlalu baik untuk dunianya yang begitu kejam dan keras. Wanita itu sudah hidup sebatang kara sejak kecil. Ia bukan berasal dari keluarga yang utuh. Ia dibesarkan di panti asuhan. Ia tak pernah bisa tahu siapa kedua orang tuanya dan dari mana ia berasal. Kehidupan yang pahit bahkan sudah ia alami sejak ia masih kecil. Tetapi hal itu tak menjadikannya tumbuh menjadi seseorang yang rapuh. Sebaliknya ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan ceria. Wanita itu memiliki senyuman hangat dan hati yang tulus.
Kini hanya tersisa satu lagi bawang bombay yang belum terkupas. Wanita itu akhirnya berhasil mengupas semua bawang bombay itu dengan rapih. Seharian ini sudah banyak pekerjaan dapur yang dibebankan kepada wanita itu. Malangnya, atasannya selalu memberi tugas yang aneh dan berat. Semua itu ia selesaikan dengan sendiri. Waktu kini sudah menunjukkan pukul 22:40. Ini artinya hanya dua puluh menit lagi sisa waktu kerjanya untuk hari ini. Setelah Chef itu selesai menghidangkan dua menu penutup pada tamu di meja nomor 16 maka ia bisa pulang.
Wanita itu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik pada hari ini. Pulang adalah waktu yang selalu ia nantikan. Kini ia memiliki tempat milik sendiri untuk pulang. Walaupun hanya sebuah rumah susun yang masih dicicilnya hingga saat ini tapi itu bisa disebut rumah bagi dirinya sendiri. Rumah itu adalah hasil kerjanya selama empat tahun terakhir ini. Setelah lulus dari SMA ia harus meninggalkan panti asuhan. Ia mulai mencari pekerjaan dan tinggal di mess. Setelah dua tahun bekerja ditambah dengan pekerjaan paruh waktunya wanita itu akhirnya bisa menyicil sebuah apartment berukuran mungil.
Jarak dari tempat kerja dan rumahnya cukup jauh. Tetapi wanita itu memutuskan untuk berangkat dan pulang dengan jalan kaki. Meski terkadang ia dihantui oleh rasa takut saat pulang tengah malam sendiri ia selalu memberanikan dirinya dan mengusir rasa takutnya.
Kali ini wanita itu tampaknya tengah memikirkan sesuatu. Ia tiba-tiba berhenti di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Ia memandangi rumah itu cukup lama. Ia kemudian menghela nafas dalam-dalam.
"Rumah. Entahlah. Aku bahkan tak pernah pulang ke rumah. aku tak memiliki rumah untuk pulang. Aku bahkan tak memiliki keluarga untuk kembali. Terkadang aku ingin mengasihani diriku. Ah, sudahlah. Aku hanya membung-buang waktu jika terus meratapi diriku seperti ini".
Wanita itu lalu melanjutkan langkahnya. Baru saja ia berjalan beberapa langkah tiba-tiba ia langsung menghentikan langkahnya kembali.
"Apakah hidupku akan terus menerus seperti ini?. Terkadang aku merasa kesepian. Adakah orang lain di luar sana yang akan mengisi ruang kosong ini?. Astaga. Lagi-lagi aku berpikiran aneh. Ayo pulang Aleris, hari sudah larut. Oh, ya ampun. Punggungku rasanya mau copot".
Wanita itu kini benar-benar melanjutkan jalannya hingga sampai di rumahnya.
Eternal Memorial Park, 29 Mei pukul 10:00.
Hari ini matahari seperti membelokan arah cahayanya dari tempat ini. Sedangkan awan hitam malah berduyun-duyun mengerumuni lagit Eternal Memorial Park. Beberapa orang dari kalangan atas tampak silih berganti mengunjungi tempat ini dengan mengenakan pakaian serba hitam. Seolah suasana kesedihan selalu menyelimuti tempat ini setiap saat.
Pagi ini genap delapan tahun sudah Ayah Arran meninggalkan dunia ini. Setiap tahun semua keluarga Arran berkumpul di tempat ini. Termasuk Ibu dan Kakak tiri Arran. Arran begitu membenci ibu dan kakak tirinya itu. Dia sempat mengira bahwa mereka berdualah dalang dari kematian Ayahnya itu. Tetapi dugaan Arran terpatahkan oleh seorang pria yang ternyata adalah pembunuh Ayah Arran yang sebenarnya. Tetapi tetap saja, perasaan bencinya kepada Ibu dan kakak tirinya tidak berkurang sedikitpun.
Mereka menutup peringatan itu dengan lantunan doa. Ibu tiri Arran yang menangis sejak peringatan ini dimulai kini berhenti menangis seiring dengan selesainya kegiatan ini. Arran yang tengah menyoroti gelagat Ibunya itu kini memalingkan wajahnya. Ia sudah muak melihat drama yang dibuat oleh ibunya itu. Sejak kapan ibu tirinya itu peduli pada Ayahnya. Bukankah saat kematian Ayahnya pun ibu tirinya itu menghilang entah kemana. Ibunya baru muncul setelah tiga hari kemudian dengan tangisan yang dibuat-buat.
Ibu dan kakak tirinya serta semua keluarga kecuali Arran beranjak pergi. Arran masih terdiam di depan pemakaman Ayahnya dengan tatapan kosong. Tak ad orang yang mau menegurnya atau mengajaknya untuk pulang. Setiap tahun, setelah semua orang selesai berdoa Arranlah yang terakhir meninggalkan pemakaman. Ia berdiam diri cukup lama di depan makam Ayah dan Ibu kandungnya itu. Tak ada orang yang mengetahui bahwa Arran perlahan menitikan air mata.
Sebenarnya Arran sangat menyayangi Ibu dan Ayah kandungnya itu. Malangnya Arran, Ibunya sudah meninggalkannya saat usianya masih tujuh tahun dan Ayahnya kemudian menyusul Ibunya tiga belas tahun kemudian. Meski Arran menghabiskan waktu lebih sedikit dengan Ibunya tapi justru lebih dekat dengan Ibunya. Ayah Arran terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga setelah kepergian Ibunya Arran begitu kehilangan dan kesepian. Belum lagi setelah satu tahun kepergian Ibunya, Ayah Arran tiba-tiba membawa orang asing yang kini ia panggil ibu tiri dan kakak tirinya itu ke rumahnya. Arran semakin tertinggal dan kesepian.
Sudah satu jam Arran merenung di depan makam kedua orang tuanya. Arran Akhirnya memaksakan dirinya untuk bangkit dan beranjak pergi dari tempat itu. Ia meraih sapu tangan dari dalam saku jasnya dan mengelap kelopak matanya. Saat hendak melangkahkan kaki dari pemakaman Arran melihat seseorang yang tampaknya berjalan ke arahnya. Seseorang itu tak mampu Arran kenali dari kejauhan. Semakin dekat jarak antara keduanya, barulah Arran mengenali siapa seseorang itu. Seorang pria paruh baya mengenakan kaca mata dan menenteng koper hitam serta setelan jas hitam rapih yang ternyata adalah notaris kepercayan Ayahnya. Pak Cornelius nama notaris itu, ternyata tidak datang sendiri. Dua orang pria yang mengenakan setelan jas hitam dan kaca mata hitam tampak berjalan di belakang Pak Cornelius. Mereka berdua sepertinya adalah asisten Pak kornelius.
Pak Cornelius menjabat tangan Arran. Ia lalu memeluk erat Arran dan membisikkan sesuatu ke telinga Arran.
"Sulit sekali untuk menemui Tuan tanpa diketahui oleh siapapun. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Tuan. Ini terkait Tuan Ares".
Pak Cornelius lalu melepaskan pelukannya pada Arran.
Arran menatap wajah Pak Cornelius dengan keraguan. Ia melepaskan kacamata hitamnya yang dari tadi ia kenakan.
"Ayah? Ada apa lagi dengannya? Apakah Ayah memiliki masalah yang aku tidak ketahui?".
"Sebenarnya bukan masalah Ayah anda, tetapi masalah Anda lebih tepatnya. Akan kuberi tahu detailnya nanti. Temui aku di Atlanta hotel pada pukul sembilan malam dan usahakan tidak ada orang yang mengetahuinya. Aku harus segera pergi sekarang".
"Aku? Baiklah. Sampai jumpa lagi nanti Pak Cornelius. Ku harap hal itu sangat penting sehingga aku harus merahasiakan kepergianku nanti malam".
"Sampai jumpa lagi nanti Tuan".
Arran kembali sendirian. Ia tak bisa membiarkan kesendirian ini menyelimutinya. Ia akhirnya juga beranjak pergi dari tempat itu.
*
Cereon Apartment, 29 Mei 13:20 siang.
Di rumah, Aleris menjadikan dapur sebagai ruang prakteknya. Hari ini ia tengah menikmati hari liburnya yang begitu berharga. Dalam sepekan ia memperoleh dua hari jatah libur. Hari kamis dan hari jum'at. Baik hari libur atau hari kerja Aleris adalah seorang yang selalu sibuk. Hari libur ia gunakan untuk kerja part time di sebuah Caffe. Ia akan berangkat kerja ke Caffe itu nanti sore dan pulang ke rumah larut malam.
Pagi ini ia tengah mencoba sebuah resep baru yang diberikan oleh Chef Arges atasannya di Atlanta hotel tempat kerjanya. Sebuah resep kreasi masakan oriental berbahan dasar mie. Ia sengaja membuatnya pagi ini untuk teman dekatnya Tryan. Tryan hari ini tengah bekerja di Cafe yang sama dengan Caffe tempat Aleris bekerja. Aleris berencana untuk membawakan Tryan makan siang.
Cafe Kelana adalah nama tempat Aleris bekerja saat akhir pekan. Teteapi hari ini ia datang bukan untuk bekerja melainkan untuk menemui Tryan. Tryan telah memesankan sebuah meja untuk Aleris. Namun ternyata hari ini Cafe sedang ramai sehingga Aleris agak kesulitan dalam menemukan mejanya. Meja nomor 17 adalah meja yang telah dipesankan Tryan untuk Aleris. Aleris akhirnya berhasil menemukan menjanya. Tryan kemudian menghampirinya.
“Oh, kau datang lebih awal dari dugaanku. Tunggu sebentar ya, aku telah menyiapkan secangkir latte dan sepotong cake istimewa untukmu”.
“Kau tak perlu repot-repot Kak. Oh ya, aku memasak menu baru hari ini, aku membawanya untukmu agar kau bisa mencicipinya. Ambilah!”.
“Wuah dari baunya saja sudah menggugah selera, baiklah akan ku makan dengan baik. Terima kasih Al”.
“emm, sama-sama”.
Tak lama Tryan kembali datang dengan membawa secangkir latte art dengan hiasan bentuk hati di atasnya dan sepotong black forest. Wajahnya tampak begitu gugup. Ia lalu menyajikan latte itu kepada Aleris, ia mencoba untuk tetap terlihat tenang di depan Aleris. Ia lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi Aleris.
“Ih, look so cute. Aku mau foto dulu ah”. Ucap Aleris sambil mengarahkan ponselnya ke arah cangkir latte.
“aku makan ya Kak, makasih”.
“emm, sama-sama”.
Aleris tampak bahagia saat menikmati cake dan latte dari Tryan, sampai tak menyadari bahwa ada sesuatu dalam cake tersebut.
“uhuk”. Aleris memuntahkan suapan cakenya.
“apa ini? sebuah cincin?”. Ucap Aleris sambil memandangi cincin itu. Pandangannya lalu berubah ke arah Tryan. Tryan lalu mengeluarkan senyum bahagianya yang sudah ia sembunyikan sejak tadi.
"Aleris".
"Ya".
Tryan lalu mengambil cincin itu.
"Aleris. Aku sudah lama menunggu waktu ini akan datang. Sekarang tibalah saatnya. Aleris, maukah kau menikah denganku?".
Mereka saling berpandangan. Wajah Aleris tiba-tiba berubah menjadi serius dan berkaca-kaca. Tangannya menutup mulutnya. Pipinya berubah menjadi kemerahan. Ia mencoba untuk membuka mulutnya dan mengucapkan sesuatu.
"Kak Tryan...., Aku..., Aku...".
"Kriiiiiiingggg".
Belum sempat Aleris menyelesaikan perkataannya sebuah panggilan masuk di handphone nya. Panggilan itu benar-benar merusak suasana yang khidmat nan romatis itu.
"Aish..., Padahal tinggal sedikit lagi". Ucap Tryan.
"Kak Tryan. Aku harus menerima panggilan dulu. Permisi". Aleris menggapai handphone nya.
"Siapa yang berani mengacaukan moment penting dan bersejarah dalam hidupku".
Gerutu Aleris pada dirinya sendiri.
"Dasar pengac...,
Chef Arges?! Oh ya ampun. Hampir saja aku berkata buruk tentangnya. Dia akan mendengarnya walau jaraknya ratusan kilo meter".
"Hallo Chef,...".
"Ale, kau tengah menggerutu tentang diriku kan ? Jangan banyak bicara dan cepat datang ke sini. Jangan menggerutu juga tentang hari liburmu yang kacau karena panggilan dariku. Besok kau bisa mengambil ganti hari liburmu. Pokoknya cepat kesini secepatnya".
"Tapi Chef, bukankah ada Andres dan Lily yang menggantikanku hari ini?"
"Andres sakit dan Lily cidera, lengannya terkena minyak panas. Jangan banyak tanya lagi dan cepat datang ke sini".
"Tuuut...". Chef Arges langsung mengakhiri panggilannya.
"Huaaaaaaa... Kenapa?...". Aleris menangis setelah menerima panggilan dari Chef Arges.
"Kenapa Aleris? Ada apa?".
Tryan langsung menghampiri Aleris.
"Kak Tryan, aku minta maaf. Aku harus pergi sekarang. Chef memanggilku untuk datang ke sana. Soal pertanyaan Kakak yang tadi, aku akan menjawabnya besok. Sekali lagi aku minta maaf".
Wajah Aleris begitu sedih dan kecewa. Ia begitu tak enak dengan Tryan tapi ia juga tak bisa menolak panggilan kerjanya.
"Oh, tak usah khawatirkan soal pertanyaanku. Aku akan sabar menunggunya. Bergegaslah, kau pasti sudah di tunggukan?".
"Makasi Kak, sampai jumpa besok".
"Em, bye".
Tryan memasukkan lagi cincin itu ke kantungnya. Sebenarnya ia begitu kecewa, rencana yang sudah ia persiapkan sejak enam bulan terakhir tiba-tiba hancur berantakan oleh sebuah panggilan. tetapi ia tak akan bersedih dan berputus asa. Masih ada besok kan ?
Atlanta Hotel, 29 Mei pukul 19:00.
Malam itu Aleris begitu sibuk. Sejak sore tadi ia sudah kewalahan karena harus mempersiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Masalahnya, pemesan kali ini meminta hidangan barat dan timur yang sulit. Belum lagi hari ini hanya ia dan Chef Arges yang bertugas.
"Siapa orang yang memesan menu malam ini chef? Aku dengar ia memesan semua kursi, benarkah? Wah pasti ia akan menggelar moment romatis di sini malam ini".
"Hei, kau ini. Kepo! Lagi pula bukan urusan kita untuk mengetahui masalah pribadi pemesan. Kita hanya bertugas menyajikan makanan yang enak padanya. Lagi pula pemesan kali ini dirahasiakan identitasnya. Bahkan tidak ada waiters untuk mengantarkan makanannya. Sudah ada orang dari mereka yang ditugaskan untuk mengantar makanannya. Kembali fokus pada masakanmu Al!".
"Baik chef!"
Semua menu sudah siap disajikan. Aleris yang begitu penasaran mengintip dari balik jendela pantry. Aleris begitu kaget saat melihat orang-orang yang ditugaskan untuk mengantar hidangan datang memasuki pantry. Tampak beberapa orang berbaju hitam dan bertubuh kekar dengan mengenakan kacamata hitam mengambil hidangan masakannya. Nampaknya orang yang memesan di restoran pada malam ini adalah orang penting. Tapi gerak-gerik mereka begitu mencurigakan dan janggal. Belum lagi pen-settingan tempat makan. Meja pemesan di tutup tirai setinggi dua meter dan di jaga oleh pengawal. Semua jendela restroran ditutup gorden. Belum lagi pintu masuk yang dijaga oleh orang-orang yang sama dengan orang yang mengantarkan makanan tadi. Aleris semakin penasaran dengan pemesan itu. Siapa dia sebenarnya?
Achilles Places, 29 Mei pukul 18.30
Sederet jam tangan mewah tersimpan rapi di lemari kaca dengan penerangan Lampu LED di setiap sudutnya yang menambah kesan elegan. Dari tadi lengan Arran bolak-balik mengambil dan menaruh jam yang hendak ia kenakan malam ini. Tangannya berhenti di jam tangan analog berwarna silver berhias batu permata. Bahkan kaca jamnya pun terbuat dari berlian murni yang membuatnya tidak akan pecah saat terbentur atau terjatuh dari ketinggian. Jam itu tampak melingkar sempurna di lengan Arran yang proposional. Jam itu tampak serasi dengan setelan yang ia kenakan malam ini.
"Sudah hampir pukul tujuh malam. Aku harus bergegas".
Ucap Arran setelah menengok ke Arrah jam tangannya.
Ia mengambil sebuah kunci yang tergantung rapi dengan kunci-kunci lainnya. Salah satu mobil lalu berbunyi saat Arran menekan tombol di kunci itu. Sebuah mobil mewah keluaran Jerman kini menyala dan siap untuk dikendarai. Lengan Arran menggapai pintu mobil dan membukanya. Tiba-tiba terdengar bunyi yang berasal dari handphone nya. Sebuah panggilan masuk dengan nomor tidak dikenal. Arran lalu mengangkat panggilan itu.
"Hallo,.... Ya, aku ke sana sekarang".
Tuut.
Arran hanya menjawab telpon itu dengan singkat dan panggilan itu pun terputus. Ia hampir menginjak gas mobil saat seseorang tiba-tiba muncul di samping kaca mobilnya sambil mengetuk pelan. Arran tahu persis siapa pria yang muncul di kaca mobilnya itu. Salah satu pemilik dari hunian Achilles Places yang juga sering ia temui saat rapat di kantornya karena merupakan salah satu dari lima orang pemegang saham tertinggi Armor Group. Pria itu masih tetap menatap Arran dari kaca. Arran pun mau tak mau menurunkan kaca mobilnya.
"Ada apa ?". Tanya Arran dengan singkat.
"Tuan Arran, sepertinya anda sedang buru-buru untuk pergi ke suatu tempat. Aku benar-benar minta maaf karena telah menghentikanmu sebentar. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku sehingga harus segera disampaikan padamu".
"Apa ? Cepat katakan. Aku tak punya banyak waktu".
"Ini terkait Direktur Teo, aku harap kau segera mengambil tindakan tegas padanya sebelum semuanya terlambat. Ini akan membahayakan perusahaan jika dibiarkan terus menerus. Kau harus menanganinya besok. Para Jajaran sudah sepakat terkait hal ini. Jadi kau bisa leluasa mengambil keputusan untuknya tanpa menghawatirkan hal lain".
"Aku tahu. Akan ku tangani besok. Kau tak usah mencemaskan hal itu".
"Baiklah kalau begitu, Anda bisa pergi sekarang. Sampai jumpa besok Tuan Arran".
"Ya, sampai jumpa besok Tuan Elson".
Tuan Elson lalu berjalan pergi. Arran juga bergegas mengemudikan mobilnya keluar dari parkiran dan meninggalkan Achilles Places dengan cepat. Tak ada hal lain yang menghentikannya sekarang. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju ke suatu tempat. Ternyata tempat itu adalah Atlanta Hotel.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Arran turun dari mobil dengan disambut oleh dua orang penjaga berbadan kekar yang telah disiapkan untuk mengawal kedatangannya. Arran sudah menutupi wajahnya dengan kacamata hitam dan masker hitam. Penjaga juga menutupi Arran dengan payung hitam agar Arran tak dikenali oleh orang lain. Saat sampai di Lobi, Arran di kawal dengan dua penjaga lain yang akan mengantarnya sampai ke suatu ruangan.
Arran tiba di suatu ruangan yang telah di setting agar tertutup dan rahasia. Ruangan itu adalah tempat makan yang hanya terisi oleh ia dan satu orang lain yang tengah duduk menunggunya. Arran menghampiri orang itu.
"Selamat malam Pak Cornelius". Arran menjabat tangan Pak Cornelius.
"Selamat malam Tuan Arran. Silahkan duduk".
"Terima Kasih".
Pak Cornelius lalu mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada penjaga yang ada di dekatnya. Penjaga itupun menganggukan kepalanya lalu pergi diikuti oleh kedua penjaga lainnya. Tak lama setelah itu mereka datang kembali membawa nampan berisi hidangan makanan. Arran dan Pak Cornelius pun mengawali makan malam rahasia mereka.
"Bagaimana Tuan? Apakah ada orang lain yang mengetahui kedatanganmu ke sini?". Pak Cornelius mengawali perbincangan rahasia mereka.
"Kurasa tidak. Tetapi...". Perkataan Arran tiba-tiba terhenti.
"Tetapi apa Tuan?.
"Sebelum ke sini Tuan Elson mendatangiku di Parkiran Achilles Places. Tetapi aku tidak mengatakan hal apapun padanya".
"Mengapa ia mendatangimu di parkiran? Apakah ada suatu hal penting yang harus ia katakan padamu?.
"Tidak. Ia hanya memintaku untuk menindak lanjuti kasus Direktur Teo besok".
"Kau harus waspada terhadapnya Tuan. Aku hanya hawatir jika ia memiliki niat terselubung padamu".
"Aku tahu, maka dari itu aku tak mengatakan hal apapun padanya. Oh ya, hal penting apa yang akan kau sampaikan kali ini Pak Cornelius? ". Tanya Arran.
Pak Cornelius langsung meletakan garpu dan pisau makannya. Tangannya lalu meraih sesuatu dari dalam tas kotak yang ia bawa. Sebuah map berwarna cokelat ia sodorkan kepada Arran.
"Apa ini? Apakah warisan lain ? Sudah ku bilang Pak, aku tak bisa menerima semuanya". Arran menyodorkan kembali map itu kepada Pak Cornelius.
"Bukan, bukan soal warisan harta. Ini hal lain yang sama pentingnya dengan hal itu. Bukalah".
Arran menerima kembali map itu dan membukanya. Isinya adalah selembar kertas bertuliskan surat wasiat. Arran lalu membaca secara keseluruhan isi surat itu. Wajahnya berubah menjadi keheranan saat selesai membaca seluruh isi dari surat itu.
"Apa maksud dari semua ini? Apa kau tengah mempermainkanku Pak Cornelius?". Arran tampak kesal dan suaranya berubah tinggi.
"Aku tak mempermainkanmu sama sekali Tuan. Isi surat ini di tulis setahun sebelum kematian Tuan Ares. Ia yang menulisnya sendiri. Ia memintaku menyerahkannya kepadamu disaat peringatan kematiannya yang ke delapan tahun. Inilah saatnya".
"Apa kau sungguh-sungguh soal ini Pak Cornelius? Apa Ia benar-benar menulisnya setahun sebelum kematiannya? Untuk apa ia menuliskan hal konyol semacam ini?". Wajah Arran makin terlihat keheranan.
"Tuan Ares melakukan hal ini untuk keselamatanmu dan keselamatan seluruh kekayaan keluarga Xavier Tuan".
"Tapi kenapa harus perjodohan? Dengan pewaris tunggal keluarga Lysander? Omong kosong macam apa ini!". Arran begitu muak dengan hal ini.
"Tetapi jika anda menolaknya maka seluruh kekayaan dari keluarga Xavier tidak akan jatuh kepada anda lagi melainkan akan didonasikan, itu tercantum di surat wasiat". Ucap Pak Cornelius sambil menatap tajam ke arah Arran.
Arran hanya bisa terdiam memandangi isi surat wasiat itu. Pikirannya kini tak karuan. Ia begitu syok menerima kenyataan ini. Tak pernah terlintas di benaknya sedetikpun mengenai pernikahan ataupun perjodohan. Ia juga tak bisa menolak semua ini. Ia bukan apa-apa tanpa pengaruh dari orang tuanya. Arran memang berbakat dan pintar. Namun ia tak punya hal lain lagi selain dua hal itu dan harta kekayaan dari keluarganya. Arran akan memulai kehidupannya dari nol jika menolak wasiat itu. Ia benar-benar bingung saat ini dan hanya bisa terdiam.
Pantry Atlanta Hotel pukul 20:15
Setelah pertunjukan memasak selesai dan menu telah disajikan maka tugas Aleris yang selanjutnya adalah mencuci piring dan membuang sampah. Sebenarnya tugas ini adalah tugas Bu Inem, tetapi sialnya hari ini semua orang kecuali Chef Arges dan Aleris tidak bisa masuk. Padahal seharusnya hari ini ia menikmati waktu liburnya yang berharga.
"Aleris tolong buang sampah sekarang! Aku sudah tidak tahan dengan baunya". Ucap Chef Arges sambil mengernyitkan hidung.
Aleris lalu melepas sarung tangan cuci piringnya dan meraih sekantung plastik berisi sampah. Ia berjalan keluar pantry menuju bak sampah.
Aleris berjalan menenteng kantung sampah sambil bernyanyi pelan. Suasana hatinya tengah berbunga-bunga karena kejadian di Cafe Kalana tadi siang. Tak ada yang bisa membuatnya bersedih hari ini karena kebahagiaan tengah mengisi seluruh ruang di hatinya. Namun ternyata, ...
Bruk.
Aleris menyenggol mobil seseorang. Mobil itupun berbunyi dengan keras. Kantung sampahnya tumpah dan mengitori mobil itu. Saking bahagianya, Aleris tak menyadari bahwa ada mobil di depannya. Ia terjatuh tetapi tidak mengalami luka sedikitpun. Namun ia begitu panik dan takut. Bagaimana jika pemilik mobil itu tiba-tiba muncul. Aleris hendak bangkit dan kabur tetapi terlambat. Pemilik mobil itu sudah ada di hadapannya.
"Kau! Beraninya mengotori mobilku. Kau harus bertanggung jawab atas semua ini!".
Seorang pria terlihat begitu marah kepada Aleris. Wajahnya sangat ketus dan kedua matanya melotot. Bukannya memasang wajah ketakutan, Aleris malah bengong memandangi wajah pria itu.
"Tampannya". Aleris sontak mengeluarkan kata tidak terduga. Saat menyadarinya ia langsung tertunduk malu.
"Aku minta maaf. Aku tidak sengaja menyenggol mobilmu. Tetapi jika dilihat-lihat(tangan Aleris mengetuk-ngetuk body mobil) mobilmu baik-baik saja kok, hehe".
"Baik-baik saja? Kau ini buta apa gimana hah? Lihat! Mobilku kotor karena sampah yang kau bawa. Pokoknya kau harus ganti rugi biaya cuci mobil". Arran ngotot ingin meminta ganti rugi.
"Tapi kan aku sudah bilang ga sengaja. Keras kepala deh". Ucap Aleris tak mau kalah.
"Arghh. Aku sudah muak dengan semua ini. Dengar kalau kau tidak mau ganti rugi akan ku laporkan pada atasanmu". Arran kini mengancam Aleris.
"Jj-jangan dong. Ya udah aku mau ganti rugi. Tapi aku gak punya uang sebanyak itu buat ganti rugi. Mobilmu bukan mobil biasa, pasti mahal biaya cucinya. Gini aja deh, ini nomorku, jika kamu butuh bantuan hubungi aja nomorku. Cuma dengan itu aku bisa ganti rugi". Ucap Aleris sambil menodorkan secarik kertas.
"Bantuan? Aku tidak butuh bantuan dari orang seperti kamu. Tapi aku akan tetap menagih ganti rugi ini jika kamu sudah punya uang. Aku kenal dengan pemilik hotel ini jadi aku akan tahu keberadaanmu. Ingat itu!". Arran lalu meninggalkan gadis itu dan menaiki mobilnya.
"Fyuh, selamat". Ucap Aleris sambil menghembuskan nafas.
Arran mengendarai mobilnya kembali. Ia tak ingin kembali ke rumahnya atau beristirahat. Pikirannya masih dihantui oleh surat wasiat itu. Ia mengendarai mobil tanpa mengetahui akan kemana tujuannya kali ini. Sepanjang jalan ia terus melamun. Suara dering telpon akhirnya menyadarkannya kembali. Ia menepikan mobilnya lalu mengangkat telpon. Lagi-lagi nomor tidak di kenal. Arran tanpa ragu mengangkat telpon itu.
"Halo, Pak Cornelius. Ada apa lagi?".
"Tuan, ini aku kepala keamanan Lee. Aku mendapat telpon dari kepolisian bahwa mobil Pak Cornelius terbakar di jalan xxx. Saat aku sampai semuanya sudah hangus terbakar. Pak Cornelius ada di dalam mobil saat kejadian. Pak Cornelius meninggal di tempat kejadian. Tuan diminta untuk datang ke kantor polisi sekarang. Mohon untuk segera datang Tuan".
Wajah Arran tiba-tiba berubah pucat pasi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!