Ujang mengayun kapaknya dengan begitu semangat. Membuat kayu yang sudah di potong itu menjadi terbelah hanya dengan satu kali terjang saja. Keringat yang menetes keluar dari tubuh Ujang membuat kulit sawo matangnya mengkilap di kena dengan sinar matahari pagi.
Perut kotak-kotak yang terbentuk secara alami karena sering melakukan pekerjaan kasar dan juga pekerjaan berat,, lengan otot juga yang tampak keras.
Ujang memisahkan kayu yang sudah terbelah itu di tempat yang berbeda,, kayu yang sudah terbelah itu harus dibentuk lagi sebelum menjadi kayu bakar.
Katakanlah Ujang kampungan,, disaat orang-orang memakai kompor gas untuk memasak,, Ujang malah memakai tungku andalannya. Bukannya dia tidak memiliki uang untuk membeli kompor gas,, hanya saja pria yang sering digelari perjaka tua itu merasa tidak perlu membeli segala perabotan itu ataupun pecah belah lainnya. Ujang meletakkan kapaknya lalu segera duduk di sebuah kayu yang masih utuh untuk menyalakan rokoknya.
Asap rokok itu terlihat mengepul dari bibir gelap itu,, sementara keringat membasahi rambutnya hingga sampai ke pelipisnya.
"Seharusnya cari istri saja Jang,," ucap seorang pria yang sudah memiliki rambut berwarna abu-abu itu sambil terkekeh pada Ujang,, kekehan ejekan itu sudah biasa Ujang dengar jadi tidak berpengaruh apa-apa lagi untuk Ujang.
Ujang hanya mendengus saja mendengar kekehan ejekan itu.
"Siapa yang mau dengan ku? gadis zaman sekarang hanya mau pada pria Kota saja,, mana mau mereka padaku,, pada pria yang tinggal di tengah hutan seperti aku," ucap Ujang.
"Hmm kau benar juga Jang,, mungkin kau harus menunggu seorang wanita cantik nyasar kesini seperti kebanyakan di film-film itu,," ucap Azis sambil terkekeh geli.
"Dari tadi kau hanya mengganggu aku saja,, lebih baik bantu aku memasukkan perabot pesanan Abang Asep," ucap Ujang lagi.
"Tunggu dulu kopi ku belum habis Jang," ucap Azis.
"Satu menit lagi yah,, kalau kau masih tidak bergerak juga,, aku tidak akan mengeluarkan upah mu hari ini," ucap Ujang.
"Aku tau kamu memang kejam Jang,," ucap Azis. Pria berumur itu dengan terpaksa bangkit dari duduknya.
"Abang,, apa mejanya bisa diantarkan sekarang?" suara halus nan merdu itu berhasil menghentikan aktivitas kedua pria yang sangat berbeda jauh dari usia gadis itu.
"Jang,, ada gadis cantik kesasar!!!" bisik Azis pada Ujang. Ujang yang mendengar bisikan Azis hanya mendengus saja.
"Mana barangnya?" tanya gadis cantik itu lagi.
Ujang segera berjalan menuju gudang,, perabot semuanya disimpan di sana,, gadis itu mengekori Ujang sambil melihat disekelilingnya dan tersenyum kecil pada Azis begitu Azis mengangguk padanya dengan senyum menggodanya.
"Ini dia,," ucap Ujang sambil menunjuk sebuah meja yang baru selesai di cat pernis.
"Loh,, kok begini sih Bang? aku mintanya bukan yang begini,, aku mintanya yang agak tinggi sedikit karena aku mau pakai untuk meja belajar ku,," ucap gadis cantik itu, berambut panjang dan sedikit ikal itu menatap mejanya dengan kurang puas.
"Siapa nama kamu?" tanya Ujang sambil melihat gadis cantik itu,, kira-kira usia gadis itu baru sekitar dua puluhan.
"Aku Mentari,," jawab Mentari.
"Anak Pak Mamad kan?" tanya Ujang sambil melihat catatan bon yang sedang berada di tangannya saat ini.
Mentari menganggukkan kepalanya.
"Iya Bang," jawab Mentari.
"Beberapa hari yang lalu Ayahmu yang kesini dan memesannya sesuai keinginan Ayahmu jadi aku buat sesuai keinginan Ayahmu,, jika hari itu kamu yang datang lalu memesan aku pasti akan membuat sesuai pesanan mu," ucap Ujang.
Gadis muda itu tampak sangat tidak puas dengan ucapan Ujang,, bahkan Mentari menatap tidak minat sama sekali pada meja yang dipesan Ayahnya itu.
Ujang masih menanti jawaban dari gadis muda berkemeja kotak-kotak itu,, memakai celana jins pendek dan juga sepatu kets putih yang sudah kotor karena terkena tanah.
"Jadi maunya gimana? mejanya di antar langsung atau mau diperbaiki dulu,?" tanya Ujang lagi.
"Antar yang ini saja dulu!!! nanti buatkan aku yang baru lagi sesuai dengan keinginan ku Bang,," ucap Mentari menyerah,, padahal Mentari sudah mengatakan pada Ayahnya dia mau meja yang tinggi sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai,, tapi malah Ayahnya memesan meja yang cocok untuk anak TK,, padahal Mentari belum memiliki ponakan sama sekali,, Kakaknya saja belum memiliki anak sampai saat ini.
"Baiklah kalau begitu,, kamu mau meja yang seperti apa?" tanya Ujang lagi.
"Tunggu Bang!!" ucap Mentari lalu segera mengeluarkan ponselnya.
"Aduh Bang disini susah jaringan lagi,," keluh Mentari.
"Pokoknya yah Bang seperti meja belajar pada umumnya tapi yang agak tinggi sedikit,, Abang lihat kan postur tubuh ku ini,, jadi sesuaikan aja Bang,," ucap Mentari lagi.
"Baiklah!!," ucap Ujang.
"Uangnya aku kasih begitu barangnya sampai di rumah yah Bang," ucap gadis cantik itu lagi sambil berjalan menuju motor matic nya,, memakai helm nya lalu menyalakan mesin motornya.
"Rumah mu dimana?" tanya Ujang lagi.
"Abang ikuti aku saja!!!," ucap Mentari lagi lalu mengendarai motornya duluan.
"Ahayyy, rezeki nomplok Jang mengekori gadis cantik,, semoga kalian berjodoh yah,," goda Azis pada Ujang.
Ujang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya begitu mendengar godaan temannya itu.
"Dengar yah Azis,, gadis kecil itu tidak mungkin akan menjadi jodohku,," ucap Ujang.
"Hmm bukan kecil tapi kamu yang ketuaan,, satu tahun lagi kamu empat puluh tahun,," ucap Azis.
Ujang tidak memperdulikan lagi ejekan temannya itu,, Ujang memilih mengemudikan mobil pick-up itu yang dipenuhi dengan berbagai barang sambil mengikuti belakang motor Mentari.
Dulu memang Ujang ingin menikah,, menikahi gadis desa yang pintar memasak,,, hanya sayangnya ketika beberapa kali Ujang meminang selalu saja Ujang ditolak dengan alasan dia bukan orang kantoran,, lagian wanita mana juga yang mau di ajak tinggal di perbukitan,, jauh dari rumah warga lainnya.
Bagi Ujang sosok calon istri idealnya tidak perlu berparas cantik,, yang penting wanita itu sopan dan pandai mengurus keluarga nantinya. Namun keinginan menikah Ujang sudah lama berhenti sejak empat tahun lalu,, Ujang sudah berhenti berharap akan menikah,, mungkin nasib Ujang memanglah akan hidup sendiri sampai ajal menjemputnya.
Ujang mengelap keringatnya menggunakan handuk yang dia taruh di bahunya,, jalan yang mereka lalui dipenuhi kerikil dan juga tampak menurun,, tapi sesosok tubuh langsing yang jaraknya tidak jauh dari mobil pick-up Ujang, terlihat begitu lihai mengendarai motor matic nya. Ujang sampai berpikir mengapa gadis bergaya Kota ini sampai repot-repot mendatanginya jauh-jauh hanya untuk menanyakan meja pesanan Ayahnya.
Rumah Mentari...
Rumahnya terletak di Desa seberang,, sebuah rumah sederhana yang beratapkan genteng dengan bangunan semi permanen.
Pak Mamad segera menyambut Ujang lalu membantu Ujang menurunkan meja.
"Ayah,, maksud Mentari bukan begitu bentuk mejanya,, itu tidak cocok untuk Mentari gunakan," ucap Mentari yang tidak bisa lagi menyembunyikan rasa tidak puasnya pada meja pesanan Ayahnya.
"Loh ini kan meja juga Mentari,, hanya kalau kamu gunakan ini kamu harus duduk lesehan,," ucap Pak Mamad.
"Ishh mana ada meja belajar duduk lesehan sih Ayah,," ucap Mentari lagi.
"Ada kok,, ini buktinya ada," ucap Pak Mamad lagi sambil menunjuk meja.
"Isshh terserah Ayah saja, yang penting aku sudah memesan meja satu lagi sama Abang itu,," ucap Mentari lalu segera masuk ke dalam kamarnya.
"Harap maklum,, Mentari itu meskipun sudah berumur dua puluh dua tahun tapi sifatnya kadang masih seperti anak-anak saja," ucap Pak Mamad lagi sambil melihat Ujang.
"Oh iya tidak apa-apa,," ucap Ujang.
"Kamu tidak bertanya Ujang?" ucap Pak Mamad lagi.
"Menanyakan apa?" tanya Ujang tidak mengerti.
"Anakku,,, mengingat ini pertama kalinya kalian bertemu," ucap Pak Mamad lagi.
"Oh,, aku sudah pernah bertemu dengannya ketika dia masih SD," ucap Ujang.
"Oh menurut mu dia cantik tidak?" tanya Pak Mamad lagi.
Ujang yang sedang mengikat barang yang tersisa lalu menghentikan gerakannya begitu mendengar pertanyaan Pak Mamad.
"Cantik!!," jawab Ujang.
"Kamu suka sama dia?" tanya Pak Mamad lagi yang membuat Ujang langsung tertawa kecil.
"Jangan meledek aku Pak,, Mentari itu cocoknya jadi ponakan ku,," ucap Ujang.
"Kamu mau tidak kalau aku menjodohkan kamu dengan Mentari?" tanya Pak Mamad lagi.
"Permasalahannya itu pak Mentari mau tidak dijodohkan dengan aku ini yang cocok jadi om nya? jawabannya sudah pasti dia tidak mau,, sudahlah pak massa anak sendiri dijadikan candaan,,," ucap Ujang sambil terkekeh kecil.
Ujang kemudian naik ke mobilnya.
"Ya sudah Jang!! oh iya pesanan Mentari kapan akan diantarkan Jang? jangan sampai dia ngamuk lagi Jang baru diantarkan,, kamu juga tidak punya nomor ponsel untuk bisa dihubungi,," ucap Pak Mamad lagi.
"Kali ini aku akan tepat waktu Pak,, tiga hari lagi yah pak,," ucap Ujang.
"Baiklah,,, aku tunggu!!!," ucap Pak Mamad sambil tersenyum ramah pada Ujang.
Mentari masih dalam mode kesalnya bahkan sampai saat ini Mentari masih betah mengurung dirinya di dalam kamar.
Mentari sengaja pulang kampung karena proses sidang skripsi nya sudah selesai,, Mentari hanya menunggu jadwal wisuda nya saja yang akan berlangsung tidak lama lagi,, selain alasan itu Mentari pulang kampung juga untuk mengobati hatinya yang patah.
Putus cinta begitu menyesakkan dada Mentari,, dia dan Samuel sudah berpacaran dengan waktu yang cukup lama,, tiga tahun lebih bukanlah hal yang sebentar untuk Mentari,, Mentari sangat mencintai Samuel,, suka duka mereka telah jalani bersama dan Mentari juga sangat setia pada Samuel.
Awalnya Mentari sudah merasakan firasat buruk tapi Mentari berusaha tidak memperdulikan firasat buruk itu,, tepatnya setelah KKN,, Samuel sudah mulai memperlihatkan perubahan-perubahan pada sikapnya,, dirinya dan Samuel sangat jarang bertemu padahal mereka berasal dari kampus yang sama. Samuel mempunyai banyak alasan untuk menghindari Mentari. Namun,, beberapa minggu yang lalu pria itu menyerah dan mengakhiri hubungannya dengan Mentari.
"Tari aku yang salah disini,, aku telah selingkuh di belakang mu,, kamu wanita yang baik,, sempurna,, kamu tidak pantas mendapatkan pria seperti ku ini,,"
Begitulah kata Samuel waktu itu ketika memilih memutuskan hubungannya dengan Mentari,, rasanya Mentari ingin sekali mencincang pria itu,, Samuel sudah tau jika dirinya bersalah tapi tidak meminta maaf sedikit pun,, merubah dirinya agar bisa kembali padanya lagi. Bukan malah memutuskan hubungan mereka secara sepihak seperti ini,, tapi Mentari tidak menangis sedikit pun malahan Mentari berusaha tersenyum,, senyum yang sangat anggun dan manis.
"Aku tau Samuel,, seorang wanita yang setia seperti aku ini tidak pantas untuk seorang pria yang tukang selingkuh seperti mu,, untungnya kamu mau mengakui sekarang sebelum aku lebih jauh memperkenalkan mu pada Ayahku,," ucap Mentari berusaha terlihat biasa saja padahal dalam hati Mentari begitu sakit seakan remuk.
Mentari bahkan mengurung dirinya di kamar berhari-hari karena patah hati itu,, Mentari hanya memakan makanan ringan saja bahkan Mentari tidak mandi berhari-hari,, Mentari membiarkan dirinya menangis sampai dirinya merasa lelah sendiri.
Hingga saat ini Mentari tidak ingin lagi mengingat pria yang sudah berselingkuh itu.
"Tari,, Ayah boleh masuk nggak?" tanya Pak Mamad,, Ayah Mentari itu masih memakai baju kokoh,, kopiah dan juga sarung yang menandakan bahwa Ayah Mentari baru saja selesai shalat.
"Iya Ayah masuk aja,," ucap Mentari sambil membereskan berbagai komik yang ada di atas tempat tidurnya itu.
"Nak, kamu kenapa? Ayah memperhatikan mu semenjak kamu pulang dari Kota,, kamu terlihat sangat murung sekali,, ayo ceritakan pada Ayah,, Ayah siap mendengarkan ceritamu," ucap Pak Mamad pada Mentari.
"Tidak ada kok Ayah,, aku nggak kenapa-kenapa,," ucap Mentari berusaha menyembunyikan semuanya.
"Em tidak ada berarti ada,, perempuan kan selalu terbalik,, apa ada masalah dengan kuliah mu Nak?" tanya Pak Mamad lagi.
"Nggak Ayah,, bentar lagi kan Mentari wisuda,, Ayah juga tau sendiri kan?" ucap Mentari.
"Iya Ayah tau,, lalu apa masalahmu? apa kamu sedang bertengkar dengan pacarmu?" tanya Pak Mamad lagi.
"Hubungan kami sudah berakhir Ayah,, Samuel bukan pria yang baik untuk ku,, aku selalu mengingat perkataan Ayah,, bahwa suami itu adalah pemimpin,, jika dia tidak mampu memimpin dirinya sendiri lalu bagaimana bisa dia memimpin keluarganya nanti?" ucap Mentari.
"Bagus,, Ayah bangga padamu karena selalu mengingat pesan Ayah,," ucap Pak Mamad sambil tersenyum bangga melihat anaknya.
"Tari,, apa kamu ingat laki-laki yang tadi?" tanya Pak Mamad.
"Yang mana Ayah?" tanya Mentari sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Itu laki-laki yang mengantar meja mu tadi,," ucap Pak Mamad lagi.
"Oh Abang yang tadi,, iya Tari ingat wajahnya tapi tidak ingat namanya Ayah,," ucap Mentari.
"Laki-laki tadi namanya Ujang,," ucap Pak Mamad.
"Oh iya,, tapi namanya kolot sekali Ayah,," ucap Mentari.
"Jangan nilai namanya Tari,, tapi nilai lah kepribadiannya,, apa kamu lupa Tari, saat kamu masih SD, waktu itu kamu hanyut di sungai,, dan Ujang lah yang menyelamatkan kamu,," ucap Pak Mamad lagi.
"Tari tidak ingat sama sekali Ayah,," ucap Mentari.
"Menurut mu,, Ujang itu gimana orangnya?" tanya Pak Mamad lagi.
"Emm kenapa Ayah menanyakan penilaian ku?" tanya Mentari.
"Tidak apa-apa,, Ayah hanya ingin mendengar pendapat mu saja mengenai Ujang,," jawab Pak Mamad lagi.
"Oh Abang itu tidak banyak bicara Ayah,, dia sangat pendiam,," ucap Mentari.
"Apa menurutmu Tari,, dia itu tampan?" tanya Pak Mamad lagi.
"Sedikit Ayah,, tapi sayang sekali dia tidak terurus,, wajahnya tidak terurus,, mungkin kalau kumis nya dicukur dan rambutnya di potong,, dia pasti akan kelihatan jauh lebih rapi,," ucap Mentari lagi.
"Ayah suka dengan Ujang,, Tari,," ucap Pak Mamad lagi yang membuat Mentari tersentak kaget.
"Apa Ayah? jangan bilang kalau Ayah punya..," ucap Mentari tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya.
"Apa yang kau pikirkan? apa kamu berpikir Ayah punya kelainan jeruk makan jeruk dasar anak bodoh!! maksud Ayah itu, Ayah suka dengan kepribadian Ujang,, dia itu sebenarnya punya banyak uang buktinya dia yang membangun mesjid di tetangga kampung tapi dia tidak pernah pamer,, dia hidup sederhana dan dia punya hutan sendiri untuk mengerjakan usahanya,, dia pria yang hebat nak,," ucap Pak Mamad yang memang sangat kagum dengan kepribadian Ujang sejak dulu.
"Iya Ayah,, Mentari tau,, Mentari lihat tadi rumahnya lebih cocok jika dikatakan itu sebuah pondok,," ucap Mentari lagi.
"Kalau Ayah jodohkan kamu dengan Ujang, gimana Tari,, apa kamu mau?" tanya Pak Mamad lagi.
"Apa!!!," ucap Mentari tersentak kaget.
Di tempat lain...
Azis tengah memisahkan kayu yang sudah di potong-potong untuk di olah menjadi berbagai macam perabot,, semua orang tau bahwa Ujang sebenarnya bukan orang miskin,, dia mempunyai hutan sendiri yang Ujang dapatkan dari warisan keluarga nya. Orang tua Ujang sudah meninggal dua-duanya.
Ujang anak tunggal,, Ujang tidak memiliki kerabat dekat karena Ibu Ujang juga anak tunggal,, Ujang pernah bercerita pada Azis bahwa Ujang menyesali dirinya karena tidak bisa mewujudkan keinginan Ibunya,, Ibunya ingin sekali memiliki cucu namun Ujang tidak dapat mewujudkan nya,, karena bagaimana mau punya anak jika istri saja Ujang tidak punya.
Rumah Ujang terletak di tengah-tengah hutannya,, Ujang sengaja tinggal disana dengan alasan akan lebih muda membawa kayu ke gudang nya, meskipun Ujang tinggal terpencil dari warga Desa lainnya tapi menuju ke rumah Ujang bisa dilewati oleh kendaraan roda empat.
Azis sebenarnya tidak jauh beda umurnya dengan Ujang,, hanya saja perbedaan nya,, rambut Azis sangat cepat beruban dan juga tubuh Azis tidak hot seperti Ujang.
Tak lama Ujang keluar dari rumah kayunya,, rambut gondrong Ujang masih terlihat basah karena Ujang baru saja selesai mandi,, Ujang memakai baju kaos tanpa lengan lebih tepatnya terlihat seperti singlet dan memakai celana jins pudar.
"Azis,, cat nya sudah kering atau belum?" tanya Ujang pada Azis sambil melihat pesanan meja Mentari.
Azis menganggukan kepalanya sambil memeriksa sekali lagi.
"Sudah kok,, kapan diantar Jang?" tanya Azis.
"Siang ini,," jawab Ujang sambil melihat catatan ditangannya.
"Dan setelah itu kita bisa menyelesaikan pesanan yang lain lagi,," ucap Ujang.
"Hmm Ujang tidak rugi juga kamu bertemu dengan gadis cantik nyasar itu,," ucap Azis.
"Dia bukan nyasar Azis,, dia memang sengaja datang kesini,," ucap Ujang lalu segera duduk di kayu dan mengambil korek apinya untuk segera merokok,, Ujang memang perokok berat.
"Lihat siapa yang datang Jang!!," ucap Azis begitu mendengar suara deru motor berhenti di depan pagar kayu Ujang.
"Jang,, aku yakin banget dia kesini karena ingin mencari mu,," goda Azis pada Ujang.
"Tentu saja dia mencari ku Azis,, dia itu pembeli dan aku ini penjual,," ucap Ujang lalu segera membuang rokoknya dan menginjaknya,, bagi Ujang melayani pembeli itu tidak sopan jika dirinya sambil merokok.
"Haduh,, Ujang kau itu selalu saja serius tidak bisa di ajak bercanda sedikit saja,," ucap Azis lalu segera mengangkat meja ke tempat yang lebih teduh.
Mentari kali ini memakai baju kaos kebesaran berwarna pink,,, dipadukan dengan celana pendek di atas lutut,, Mentari memang tidak suka memakai rok,, sedangkan kakinya beralaskan sendal jepit berwarna hitam.
Sejenak Mentari mematung menatap Ujang yang sedang berjalan ke arahnya,, Mentari berpikir apa istimewanya pria di hadapannya ini selain kedermawan nya,, sehingga Ayahnya sangat menyukai Ujang.
Ujang memiliki postur tubuh tinggi besar,, rambutnya gondrong dan sedikit ikal,, kulit Ujang sawo matang,,, jenggot dan cambang nya tumbuh bebas di wajahnya,, belum lagi bulu-bulu kasar yang terlihat sedikit dari singlet yang dipakai Ujang. Mentari tidak menemukan sama sekali keistimewaan dari diri Ujang. Semuanya biasa saja dimata Mentari.
"Meja ku sudah selesai Bang?" tanya Mentari sambil merubah ekspresi wajah nya,, tak ingin ketahuan Ujang bahwa tadi Mentari sedang menilai Ujang.
"Sudah,, nanti siang akan segera di antar,," ucap Ujang.
"Boleh aku lihat dulu nggak Bang? jadi kalau ada apa-apa bisa langsung diperbaiki dulu sebelum diantar,," ucap Mentari.
"Boleh,, silahkan ikut aku,," ucap Ujang.
Mentari mengangguk lalu segera mengikuti Ujang,, punggung lebar dan otot kuat menandakan bahwa Ujang seorang pekerja keras dan suka membawa beban berat,, tapi bagi Mentari itu bukanlah suatu keistimewaan sama sekali, Mentari rasa sangat berlebihan jika Ayahnya menjodohkan dirinya dengan pria yang sangat berbeda usia dengannya itu.
"Sekalian bantu angkat yah Bang,, Ayahku tidak di rumah sekarang,, dia sedang keluar,, lagi ke pasar," ucap Mentari sambil melihat Ujang.
Ujang menganggukkan kepalanya.
"Ini mau di taruh dimana?" tanya Ujang.
"Di dalam kamar ku Bang,," jawab Mentari,, saat ini Mentari sedang sendiri di rumahnya,, semua yang berada di dalam rumahnya sedang keluar saat ini.
"Apa tidak apa-apa aku masuk?" tanya Ujang ragu karena saat ini Ujang hanya sendiri mengantar barang sedangkan temannya,, Ujang suruh jaga gudang.
"Jadi ceritanya nih meja nya Abang mau taruh disini aja gitu?" ucap Mentari kesal.
"Baiklah,, aku akan kasih masuk meja ini,," ucap Ujang mengalah. Ujang kemudian mengikuti Mentari masuk ke dalam rumah,, bukan apa-apa Ujang sangat menjaga adab,, Ujang tidak mau mereka menjadi gunjingan para tetangga di sekitar situ,, bukan karena Ujang tertarik pada gadis itu hanya saja Ujang sudah diajarkan sejak dulu oleh orang tuanya sebelum meninggal bahwa Ujang harus menjaga adab bahkan ketika masuk di dalam rumah orang lain.
"Tari,, meja ini aku taruh saja di sini yah,, aku nggak enak masuk di dalam kamar mu,," ucap Ujang lalu meletakkan meja itu di ruang tamu lebih tepatnya di sudut ruang tamu.
Mentari langsung menatap kesal pada Ujang, menurut Mentari selain namanya yang kampungan tapi juga pemikiran Ujang ikut kampungan,, Mentari rasa prinsip Ujang itu sangat berlebihan,, lagian mereka tidak macam-macam hanya memasukkan meja saja.
"Ya sudah terserah Abang sajalah,, ini uang nya dua ratus lima belas ribu kan? kembaliannya Abang ambil saja,," ucap Mentari sambil memberikan uang pada Ujang.
"Aku punya kembalian kok,, tunggu aku ambil dulu,," ucap Ujang lalu segera merogoh kantung celananya mencari kembalian untuk uang Mentari,, namun sayangnya di kantung celananya hanya pecahan uang lima puluh ribu dan seratus ribu saja.
"Oh ternyata aku nggak punya,, kalau gitu kamu bayar dua ratus ribu saja,," ucap Ujang.
"Ishh aku nggak mau buat Abang rugi, udah ambil aja Bang,," ucap Mentari lagi.
"Udah nggak apa-apa dua ratus ribu saja,, aku permisi dulu masih ada barang yang harus ku antar,," ucap Ujang lalu segera berjalan menuju mobilnya.
"Baiklah Bang,," ucap Mentari.
Mentari merasa ada yang aneh biasanya orang lain akan dengan senang hati mengambilnya jika dirinya membayar lebih,, tapi saat ini Ujang malah menolak.
Mentari mengangkat bahunya memikirkan mungkin seperti yang Ayahnya bilang bahwa Ujang sebenarnya sangat kaya dan tidak kekurangan uang sedikit pun jadi kembalian yang hanya bernilai puluhan ribu itu tidak akan berarti apa-apa untuk Ujang.
Mentari lagi-lagi merasa pria itu biasa saja,, tidak ada yang istimewa sedikit pun. Jika Ujang dibandingkan dengan Samuel jelas Ujang akan ketinggalan jauh,, Samuel berwajah ganteng dan juga sangat keren,, wajah Samuel bersih dan penampilan Samuel selalu kekinian,, Samuel juga memiliki parfum khas yang sangat Mentari sukai bau nya. Sedangkan jika dibandingkan dengan Ujang,, pria itu terlalu dewasa,, kulitnya sawo matang cenderung ke gelap dan wajahnya juga dipenuhi cambang. Ujang juga terbiasa memakai baju kaos yang tidak berlengan dan lusuh serta celana juga yang tidak kalah lusuhnya,, jika Samuel selalu bersih dan juga sangat wangi dengan bau parfum yang begitu harum maka Ujang selalu saja berbau rokok,, Mentari langsung menarik kesimpulan bahwa dirinya sangat tidak cocok dengan pilihan Ayahnya itu.
Hingga akhirnya...
"Tari,, mejanya sudah datang yah?" tanya Pak Mamad begitu sampai di rumah dan melihat Mentari yang sedang duduk di ruang tamu.
"Sudah Ayah,, tadi Tari menyuruh Bang Ujang supaya mengantar langsung ke kamar Tari tapi Bang Ujang tidak mau,, Aneh!!!," ucap Tari sambil fokus nonton siaran televisi.
"Tari itu bukan aneh namanya,, tapi dia sangat menghormati kamu sebagai gadis dan juga seorang Tuan rumah,," ucap Pak Mamad.
"Tari nggak ngerti sama sekali Ayah,," ucap Mentari.
"Coba kamu pikir Tari,, kamu ini anak gadis dan juga sangat cantik,, di rumah ini tadi tidak ada siapa-siapa selain kamu dan Ujang tapi dia tidak masuk ke kamar mu dia menolak padahal dia memiliki kesempatan,, itu berarti dia itu menghormati mu,, dia itu pria sejati,," ucap Pak Mamad lagi.
"Ayah ini selalu memuji Bang Ujang secara berlebihan,, dia pasti tidak sebaik itu Ayah," ucap Mentari.
"Ya sudahlah terserah kamu saja Tari,, jadi gimana nih kamu mau dijodohkan dengan Ujang atau tidak?" tanya Pak Mamad.
"Tanpa Tari jawab pun,, Ayah pasti sudah sangat tau jawabannya,," ucap Mentari.
"Ya sudahlah Tari,, Ayah juga nggak mau memaksa kamu,, karena nanti yang jalani rumah tangga juga kamu sendiri,, ambilkan Ayah nasi nak,, Ayah sudah sangat lapar,," ucap Pak Mamad lagi.
Mentari segera menguruskan makan untuk Ayahnya.
###########
"Jadi gimana Jang?" tanya Azis pada Ujang,, padahal Ujang baru saja memarkirkan mobilnya belum turun dari mobilnya sama sekali.
"Apanya Azis?" tanya Ujang tidak mengerti.
"Yah gadis cantik tadi,, massa ibunya,," ucap Azis.
"Memangnya kenapa dengan gadis itu sampai kamu bertanya?" tanya Ujang lagi.
"Lah kamu masih tanya kenapa? kau suka atau tidak sama gadis itu?" tanya Azis.
"Tidak Azis,, aku tidak akan pernah mau menyukai sesuatu yang tidak mungkin bisa aku miliki,," ucap Ujang.
"Berusahalah Jang,, dia itu gadis yang baik,, bunga desa Jang,, terus bapaknya baik banget lagi,," ucap Azis memberikan semangat pada Ujang.
"Kalau begitu penilaian Abang,, yah Bang Azis saja yang nikahi dia,," ucap Ujang.
"Astaga Jang,, aku bisa disembelih dengan istriku Jang,, kau ini!!!," ucap Azis.
"Jadi Abang tidak usah bahas-bahas gadis lagi,, lagian Mentari itu bukan selera ku Bang," ucap Ujang.
"Memangnya selera mu itu seperti apa Jang? seperti Ningsih kah?" tanya Azis.
"Tidak Bang,, Ningsih terlalu montok,," ucap Ujang.
"Buaha ha ha,, Jang bagus tau kau tidak perlu membeli kasur Jang,," ucap Azis sambil tertawa terbahak-bahak.
Baru saja Ujang ingin menjawab Azis,, tiba-tiba suara deru motor kembali bunyi di depan pagar kayu Ujang.
"Jang,, gadis cantik itu lagi,," ucap Azis.
Ujang yang melihat Mentari langsung mendengus,, Mentari datang lagi.
Ujang bingung ada urusan apalagi Mentari kesini karena rasanya urusan mereka telah selesai.
Ekspresi wajah Mentari terlihat sangat dongkol,, terlihat Mentari sangat terpaksa.
"Bang,, aku kesini karena disuruh Ayah,, ini ada undangan buat Abang,," ucap Mentari sambil memberikan sebuah undangan pada Ujang.
Ujang menatap Mentari sebentar lalu segera mengambil undangan dari tangan Mentari.
"Siapa yang mau nikah? kamu Tari?" ucap Ujang.
"Abang baca saja dulu,," ucap Mentari,, sebelum Mentari sampai ke tempat Ujang,, terjadi perdebatan dulu dengan Ayahnya namun akhirnya Ayahnya yang menang karena Mentari mengantarkan sendiri undangan untuk Ujang.
"Oh ternyata undangan sunatan," ucap Ujang.
"Iya Bang,, Dika adik ku mau sunatan,, Ayahku sekaligus minta dibuatkan lemari dapur Bang," ucap Mentari lagi.
"Boleh,, memang mau model yang gimana?" tanya Ujang.
"Lihat contoh boleh nggak Bang?" tanya Mentari.
"Bisa,, mari masuk dulu,, ada Azis juga di dalam,," ucap Ujang.
Mentari mengangguk,, dia mulai berjalan sambil melihat isi gudang,, di dalamnya banyak perabot yang tinggal menunggu di cat tapi ada juga yang sudah selesai.
Kemudian Mentari melihat Ujang membawa sebuah album foto lalu memberikan pada Mentari agar Mentari melihat nya.
"Kamu bisa memilih dari situ,, disitu sudah banyak model dan juga ukurannya,," ucap Ujang lagi.
Mentari mengangguk lalu segera melihat-lihat gambar.
"Yang ini berapa Bang?" tanya Mentari.
"Yang mana Tari?" tanya Ujang sambil mendekat kepada Mentari karena Ujang tidak dapat melihat dari jauh.
Aroma shampo yang begitu harum tercium di indera penciuman Mentari meskipun masih ada sedikit bau rokok.
"Oh ini untuk Pak Mamad satu juta tujuh ratus Tari,," jawab Ujang.
"Jang bantu angkat,, hujan Jang,," ucap Azis yang muncul tiba-tiba sambil membawa meja yang belum selesai pengecatan nya.
"Bentar yah Tari," ucap Ujang lalu segera pergi membantu Azis.
"Oke Bang," ucap Mentari sambil berjalan ke dekat pintu gudang Ujang,, awalnya hujan rintik-rintik namun berubah deras,, Ujang dan Azis terlihat berlomba menyelematkan perabotan yang pengecetan nya belum selesai hingga tidak lama halaman gudang Ujang tidak ada lagi yang tersisa.
"Deras banget hujannya Jang,, aku mau pulang saja yang Jang,, ini udah sore juga Jang," ucap Azis sambil mengusap wajahnya yang terkena hujan.
Ujang pun mengangguk.
"Pinjam mantel kamu yah Jang?" ucap Azis lagi.
"Iya,, itu Bang digantung di sudut," ucap Ujang sambil menunjuk mantelnya.
Azis pun segera mengambilnya.
"Aku pamit pulang duluan yah Tari," ucap Azis.
"Iya Bang,, hati-hati Bang,," ucap Mentari.
Mentari dan Ujang memandang punggung Azis yang semakin menjauh dari mereka. Kini tinggal Mentari dan Ujang saja di tempat itu,, beberapa menit menunggu,, Tari mulai tidak betah dengan suasana sunyi diantara mereka,, Ujang menganggap saat ini dirinya sedang sendiri mengabaikan Mentari yang jelas-jelas ada disekitarnya. Tak lama Ujang terlihat masuk di balik pintu tripleks hingga tidak lama Ujang kembali keluar. Ujang keluar dengan membawa secangkir teh hangat.
"Minum Tari hujannya masih lebat banget ini," ucap Ujang sambil memberikan segelas teh hangat pada Mentari lalu menarik kan sebuah kursi plastik untuk Mentari duduk.
Tari pun segera mengikuti ucapan Ujang.
"Jadi Tari,, kamu pilih yang mana?" tanya Ujang.
"Yang ini saja Bang,, kira-kira bisa jadi berapa lama yah Bang?" tanya Mentari.
"Paling cepat satu minggu Tari,, karena ada pesanan lain juga,," jawab Ujang santai.
Mentari terkagum dengan sikap tenang Ujang saat ini,, selama ini tidak ada laki-laki yang tidak akan terpikat dengan kecantikannya,, bahkan para Mahasiswa di kampusnya pun terpikat akan kecantikannya,, sedangkan Ujang terlihat berekspresi santai saja tampak tidak tertarik sedikit pun dengan kecantikannya.
"Disini sepi banget yah Bang," ucap Mentari sambil melihat disekelilingnya.
"Namanya hutan Tari yah pasti sepi,," ucap Ujang.
"Hanya satu rumah disini dan juga perbatasan antar desa lumayan jauh,, apa Abang tidak berniat pindah ke tempat yang lebih ramai penduduk gitu?" tanya Mentari.
Bujang menatap Mentari sekilas lalu tersenyum tipis tidak terlihat oleh Mentari.
"Aku lebih suka disini,, selain ini tanah milik orang tua,, membawa kayu dari hutan pun dekat,," jawab Ujang.
Mentari mengangguk lalu Ujang menjulurkan sedikit kepalanya keluar jendela.
"Tari,, motormu kehujanan,," ucap Ujang.
"Biar saja Bang,, lumayan pencucian gratis,," ucap Mentari asal.
##########
Mentari mulai kewalahan membiarkan motornya kehujanan justru menjadi masalah serius,, motornya tidak mau menyala sampai sekarang,, sementara sudah mulai gelap,, hanya lampu yang digantung di tiang sebagai penerang.
"Gimana Tari motormu?" tanya Ujang.
"Ini Bang masih belum bisa menyala,," jawab Mentari yang sudah terlihat putus asa dengan motornya sendiri,, padahal saat ini sudah mau Maghrib dan hujan pun sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu seharusnya ini waktunya Mentari pulang ke rumah.
Ujang tampak terlihat berpikir sejenak.
"Biar aku antar saja Tari,, Ayahmu sekarang pasti sudah sangat cemas karena kamu belum pulang,," ucap Ujang.
"Oh iya Bang,," ucap Mentari pasrah karena motornya tidak mau menyala sampai sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!