Pesta malam ini seakan tak mampu memuaskan setiap orang yang terus saja menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik DJ. Sitara menghabiskan minumannya entah yang ke berapa gelas, teman-temannya memberikan gelar si Ratu Pesta, walaupun teman-teman Sitara tergolong anak orang kaya, tapi mereka jarang sekali ikut membayar tagihan diskotik. Musik terus menghentak-hentak hingga memekakkan telinga, kepala Sitara mulai terasa berat, itu artinya dia harus segera pulang. "Guys aku pulang dulu ya, kalian lanjutkan saja pestanya, urusan bayar aku yang akan selesaikan." Ayu yang berdiri dekat dengan Sitara pun langsung menjawab, "Tara, thank you ya traktirannya, hati-hati di jalan!". Suara Ayu yang berlomba dengan musik tidak terlalu ditanggapi oleh Sitara dan tanpa menunggu jawaban dari para sahabat yang lainnya, Sitara pun keluar sambil sempoyongan, sesekali tubuhnya yang berbalut pakaian khas pesta tampak kurang bahan itu membentur dinding.
Sampai di parkiran, walau kepalanya terasa berat tapi seperti biasa Sitara selalu berhasil sampai di rumah, makanya dia tidak pernah menyuruh supir mengantar ke pesta. Dengan mata yang sudah berat gadis itu berusaha mencari kunci mobil di tas kecilnya, "Hah.. akhirnya dapat juga, sekarang saat nya kembali ke rumah, ayo Kuda hitam, bawa aku kembali pulang."
Tara begitulah biasa dia dipanggil, jari-jari lentiknya mulai memutar kunci untuk menyalakan mesin si Kuda hitam. Berawal dengan kecepatan sedang, Tara berusaha stabil membelah sepinya jalan. Merasa bosan, Tara mulai menaikkan kecepatan mobilnya dan tanpa disadari, kendaraan yang melaju bak anak panah itu pun, mulai kehilangan keseimbangan. Di tikungan jalan menuju arah rumahnya Tara terlambat menginjak rem dan
Brakk..!!
tak bisa lagi menghindar, si Kuda hitam pun menabrak pagar beton hingga menimbulkan suara benturan besar.
Jalanan sepi karena memang ini sudah lepas tengah malam, tidak ada yang mendengarkan benturan hebat itu, semua orang seakan larut dalam pelukan malam. Dari arah berlawanan tampak mobil fortuner hitam melintas dan berhenti tepat di seberang jalan mobil Tara yang sudah berantakan bagian depan nya. Musa yang mengendarai mobil fortuner itupun turun tergesa-gesa. Pria tampan dengan jubah berwarna coklat dan kopiah putih, tampak semakin membuat ketampanan nya bercahaya. Dia sudah melihat jalanan di sekitarnya sepi, handle pintu coba dia buka, dan "Alhamdulillah tidak terkunci, Ya Allah, darah sudah banyak yang keluar, sepertinya dia pingsan".
Pintu yang sudah terbuka sangat membantu Musa untuk lebih mudah meng evakuasi gadis korban kecelakaan tunggal itu. Musa bergegas menggendong tubuh ramping Sitara menuju mobilnya, dengan sedikit kesulitan, dia menempatkan Sitara di jok belakang, setelah memastikan posisi nya aman, Musa kembali ke mobil gadis itu dan mengambil tas, serta tidak lupa mengambil kunci yang ternyata memiliki gantungan kunci berupa dompet yang berisikan STNK. Setelah memastikan semua beres, mobil pun tidak lupa di kunci nya. Musa segera membawa Sitara ke rumah sakit terdekat, dengan kecepatan tinggi Musa membelah jalan protokol di Surabaya yang lengang.
Selama di perjalanan, Musa tidak lepas melantunkan dzikir demi menenangkan hati nya. Gelisah, takut dan berbagai macam pikiran terus saja berseliweran di dalam pikirannya. "Ya Allah, dari mana gadis ini, kenapa malam-malam seperti ini jalan sendirian, dengan pakaian yang.. Astaghfirullah .. aku tidak boleh melihat nya !!". Tanpa terasa Musa sampai di rumah sakit dan langsung memarkirkan mobil nya di depan pintu UGD. Rumah sakit besar di surabaya dengan pelayanan yang baik, itulah yang terdekat. Musa keluar dari mobilnya yang terparkir secara asal. "Suster tolong ini ada korban kecelakaan di dalam mobil saya"!!, Tanpa menunggu lama para suster pun datang dengan membawa tempat tidur dorong, dengan cekatan mereka memindahkan tubuh Sitara yang masih belum sadar. Sebelum dibawa masuk, tiba-tiba Musa teringat sesuatu, "Tunggu suster!", Musa mengambil sorban nya di bangku depan sebelah kemudi, dia langsung menyelimuti kaki Sitara yang tampak terbuka dari bagian paha kebawah.
Suster yang memperhatikan pergerakan Musa tampak tersenyum sekilas. Tidak menunggu lama Sitara dibawa masuk oleh para perawat. Musa melangkahkan kakinya menuju administrasi untuk menyelesaikan pembayaran. Tas Sitara yang sengaja dia bawa pun tidak lepas dari tangannya, dia mengambil langkah untuk duduk di depan ruang UGD. Mencari handphone di dalam tas milik Sitara sekilas menjadi pemikirannya, "Sebaiknya aku mencoba menghubungi orang tua gadis ini! semoga handphone nya tidak terkunci!". Doa musa terkabul, saat itu juga handphone Sitara berbunyi,
Riing.. riinng,
Papa, itu yang tertera di layar. Langsung saja tangan kokoh Musa menggeser tombol hijau. "Assalamualaikum bapak, maaf, saya yang mengangkat telpon nya, sekarang anak bapak ada di rumah sakit Siloam, karena kecelakaan tunggal, saya Musa yang membawa putri bapak kesini, bisa tolong bapak kesini?" Tanpa memberi kesempatan kepada si penelepon, Musa langsung memberikan penjelasan lengkap dan padat. Tampak jelas suara Musa yang sedikit bergetar. "Baik pak, terima kasih informasi nya, saya segera kesana". Sambungan telepon pun terputus.
Musa tampak gelisah dan mulai lelah, dia melihat benda bulat yang melingkar di pergelangan tangan kanan nya yang tampak kokoh dan bersih. Waktu menunjukkan pukul Dua dini hari.
Tap..tap..tap..
terdengar suara langkah kaki yang tergesa menuju ruang UGD, seorang pria paruh baya dengan wajah tegang dan langkah yang masih tegap terus berjalan cepat. Mata tajam dengan alis tebal, hidung tinggi khas wajah orang India memandang tajam pada pemuda yang sedang duduk bersandar di sebuah kursi tepat di samping pintu UGD. "Selamat malam, apakah anda yang membawa putri saya kesini?", Suara berat Satish membangunkan Musa yang sempat terlelap karena lelah. Sesaat Musa melihat kearah suara yang bertanya padanya, lalu dia berdiri dan mengangguk santun, senyum ramah tidak lupa dia sungging kan "benar pak, saya Musa", musa memajukan tangannya untuk bersalaman sebagai perkenalan dengan satish, "Satish, papa nya Sitara, saya berterimakasih kepada pak musa karena sudah menolong anak saya". Satish berkata ramah dengan wajah yang tidak bisa lepas dari khawatir, tetapi matanya terus memperhatikan Musa penuh selidik, ada rasa khawatir menyelusup dalam hati nya, 'apakah Musa pria yang baik, tapi kenapa dia bisa menolong Sitara yang pulang lepas tengah malam, dari mana dia? Dan kenapa hanya dia yang membantu?' pertanyaan demi pertanyaan terus mengisi kepala nya. "Saya ingin melihat Sitara." Musa yang melihat Satish ingin berlalu, dia langsung mencegah nya, "maaf pak, dokter yang menangani putri bapak belum keluar ruangan, sebaiknya kita menunggu disini saja".
Satish paham, dia menuruti langkah Musa untuk duduk di bangku yang tersedia. "Pak musa dari mana tadi, kok bisa bertemu dengan Sitara yang sedang kecelakaan?". Satish mencoba mencairkan suasana dengan membuka pembicaraan, hal ini juga demi memenuhi rasa penasarannya. "Panggil saya Musa saja pak, saya baru saja selesai mengisi pengajian dan pada saat pulang saya melewati jalan di mana anak bapak mengalami kecelakaan tunggal, mobil yang putri bapak kendarai membentur tembok dengan keras, dan jalan sepi, jadi saya yang melihat, langsung saja menolong nya." cerita singkat Musa. Tidak lupa dia memberikan senyum tampan nya. Satish nampak serius menyimak, dia mengerutkan dahi, tampak sedang memikirkan sesuatu yang berat. Sesaat dia memperhatikan jari tangan musa, jari yang kokoh dan tangan yang tampak berotot walau tertutup baju jubah lengan panjang, satish memahami profesi Musa yang seorang ustad. "Musa apakah kamu sudah menikah?",
Deg..
Musa tampak sedikit kaget dengan pertanyaan Satish yang sedikit lari dari pertanyaan awal. Dengan malu-malu Musa menjawab, "Belum pak". Wajah Satis yang tegang, tampak sedikit mengendur, ada secercah harapan yang hadir di hatinya. "Karena kamu sudah menyentuh putri saya, maka kamu harus bertanggung jawab menikahi nya!". Satish bersuara dengan tegas seperti memberikan perintah kepada karyawannya.
Musa yang sama sekali tidak menyangka dan tidak mengerti apa yang dimaksud Satish langsung terlonjak kaget, wajah bersih nya tampak memerah menahan semua rasa yang tiba-tiba membuat dia kacau dalam sesaat. "Apa yang bapak maksud?!".
Ceklek!
Pintu UGD dibuka oleh seorang perawat, diikuti oleh dokter berkacamata yang berdiri di sampingnya, "Siapakah keluarga korban?” Matanya melihat sekitar, dan tampaklah seorang pemuda tampan sederhana dengan jubah seperti santri Pondok. “Apa Anda suaminya? mari ikut sa - - -” belum sempat Dokter itu menyelesaikan kalimatnya, pemuda dengan penuh pesona itu memotongnya dengan cepat, “Maaf Dokter, saya - - -” Satish langsung berdiri sejajar dengan Musa dan memotong kalimat Musa, “Saya Papa nya korban Dokter, dan ini menantu saya” dengan nada tegas Satish menjawab. Dokter Maya memandang mereka bergantian, karena malam sudah semakin larut, Dokter Maya tidak mau membuang waktu untuk menyelidiki kedua orang tersebut.
“Mari ikut saya!” Dokter Maya yang menangani Sitara, menarik kursi kerja nya, Satish dan Musa mengikuti Dokter Maya dengan menarik dua kursi yang tersedia. Sesaat suasana hening, Dokter Maya sesaat memperhatikan kedua orang yang menurut penilaian, ini ayah dan suami korban, karena wajah Sitara yang lebih condong mirip Satish.
"Anda berdua keluarga korban?", Dokter Maya memulai pembicaraan. "Saya Satish, Papa nya Sitara, Dokter, dan ini Musa suaminya," Satish langsung menyerobot untuk bicara, rencana nya akan di mulai dari sekarang, sekilas senyum misterius tersungging di bibirnya. Musa yang duduk di sebelah nya tampak terkejut, dan berusaha untuk membantah, "Maaf, tapi..", kalimat Musa langsung dipotong oleh Satish, "Musa mari kita dengarkan penjelasan Dokter, agar kita segera tau apa yang istrimu alami, sudah tidak usah cemas, papa akan selalu ada untuk kalian".
Satish berhasil mengendalikan Musa, dia pun tidak lupa untuk menepuk pundak Musa dengan lembut, persis seorang Ayah yang menenangkan anak nya. "Baiklah, apakah anda tahu bahwa istri anda mengemudi dalam pengaruh alkohol?" Dokter Maya memandang Musa tajam, seakan menusuk ke dalam hati Musa. Sesaat dia teringat ketika Umi memarahi nya, ketika dia melakukan kesalahan.
Musa yang sudah terlanjur masuk dalam permainan Satish hanya menggeleng dengan raut wajah suram, tidak mengerti dan bingung. "Sekarang istri anda mengalami gegar otak ringan, akibat benturan kuat di kepala nya, dan tulang tangannya retak, hal yang paling buruk adalah kondisi lambung nya yg luka, akibat sering nya mengkonsumsi alkohol. Nyonya Sitara akan rawat inap sampai keadaannya membaik. Itu yang bisa saya jelaskan". Musa yang mendengarkan itu tampak lemas. Sekilas raut wajah Musa nampak sedang susah memikirkan istrinya, setidaknya itu yang tertangkap oleh Dokter Maya.
"Oya, satu lagi, pesan saya, anda harus banyak memberikan perhatian kepada istri anda, jangan sampai dia mencari perhatian di tempat lain seperti sekarang ini!".
Deg!!
Kalimat Dokter maya yang tajam, setajam silet itu, mampu membuat Musa bingung dan hanya mengangguk. Dalam pikirannya saat ini, ingin sekali dia mengambil jurus langkah seribu agar bisa menjauh dari Dokter dan Satish yang sedari tadi berwajah tenang. 'aku harus apa sekarang, bertemu dengan keluarga aneh yang dengan waktu singkat membuat hidupku dalam drama nyata, selamatkan aku ya Allah', Musa mengusap wajahnya kasar. Satis dan Musa keluar meninggalkan ruangan dokter Maya.
****
Sitara sudah keluar dari ruang UGD dan dipindah ke ruangan perawatan. Musa sengaja memilihkan ruang VVIP, karena melihat penampilan dan mobil Sitara yang mewah, membuat Musa mengambil keputusan itu. Satish berjalan beriringan dengan Musa tanpa mengeluarkan suara. Satish sudah merancang sebuah rencana, dia yang selama ini tidak bisa mengendalikan Sitara, sekarang menggantungkan harapannya kepada pemuda soleh dan tampan bernama Musa.
Sesampainya di ruangan, musa duduk di sofa, yang diikuti oleh Satish. Musa tidak ingin menunda waktu lagi untuk meminta penjelasan kepada Satish mengenai status 'suami' dari putrinya, saat berbicara dengan dokter Maya tadi. sekilas dia melihat Sitara yang masih tergeletak di brankar dengan selang infus di tangan nya. wajah cantik Sitara sempat membuat mata Musa terpaku melihatnya. hidung yang tinggi, alis yang tebal, wajah yang tirus dan bibir yang penuh tampak sempurna. Musa segera menundukkan pandanganya, karena gadis cantik itu bukanlah mahramnya.
“Musa, tolong maafkan saya” Satish membuka pembicaraan, “saya sangat mengerti kebingungan anda, tapi sebelumnya saya mohon nak Musa mau mendengarkan penjelasan saya”. Musa menganggukkan kepala nya tanda setuju. Satish juga tidak lupa menggunakan panggilan ‘Nak’ sebelum nama Musa dia ucapkan, dengan tujuan untuk bisa lebih akrab. “Silahkan Pak Satish, saya akan mendengarkan.” Satish menarik nafas dalam, dia melirik jam di dinding kamar menunjukkan pukul Empat, sebentar lagi akan memasuki waktu subuh, itu artinya Musa akan segera pulang.
“Sitara putri saya satu-satunya, mama nya, Gauri meninggal saat dia berusia Delapan belas tahun. saya membesarkan dia sendirian, tidak mudah ternyata. Sitara gadis yang cerdas, dia sangat cepat memahami dan mempelajari apapun, tapi mungkin dia kesepian, sehingga kehidupan dunia gemerlap menjadi tempatnya membuang rasa sepi. saya mohon nak Musa berkenan membantu saya, nikahi Sitara dan bimbing dia dalam keyakinan mu.” Musa berusaha tenang, walau dada nya terus saja berisik membunyikan debaran tidak beraturan..
“Saya tidak bermaksud menolak keinginan baik Bapak, tapi saya masih memiliki orang tua, dan saya pun harus membahas ini dengan beliau. saya tidak ingin salah dalam mengambil keputusan Pak. ini kartu nama saya dan alamat rumah saya, jika bapak berkenan, silahkan berkunjung ke rumah saya, agar kita bisa membahas permasalahan ini bersama orang tua saya.”
“ Tapi kita berbeda Pa!” tanpa mereka sadari ternyata Sitara sudah siuman, dan entah mulai kapan dia mendengarkan pembicaraan kami. “Sayang, kamu sudah sadar?” Satish bergegas mendekati Sitara, dia mengusap lembut kepala Sitara. “Apa yang Papa rencanakan? dan siapa pria itu?” Musa perlahan mendekat, dia hanya sesaat saja memandang wajah cantik yang sedang di ikat perban kepala nya. “Saya Musa mbak, saya yang membawa anda ke rumah sakit ini, anda mengalami kecelakaan, dan maaf tadi saya harus menggendong anda, agar anda bisa saya bawa kesini. mobil anda masih di lokasi kejadian.” Musa menjelaskan dengan singkat agar tidak menimbulkan prasangka buruk di hati Sitara.
“Terimakasih anda sudah membantu saya, apa imbalan yang anda inginkan?” terdengar sombong kalimat yang meluncur dari bibir mungil Sitara. Tanpa basa basi Sitara langsung saja bertanya hal yang tidak pernah diduga oleh Satish dan Musa. Sesaat musa mengangkat wajahnya, mata mereka pun bertemu, ‘Gadis yang sombong’ kalimat itu yang meluncur dari pikiran Musa dan tentu saja itu hanya sebatas kalimat dalam hati. “Saya tidak meminta apapun, semoga anda segera sembuh, dan sekarang sudah ada ayah anda, jadi sebaiknya saya permisi.” Musa sangat memahami karakter gadis manja yang kurang kasih sayang seperti Sitara. Musa berpamitan dengan Satish, tidak lupa dia berjabat tangan dan tidak lama tubuh musa menghilang di balik pintu yang kembali ditutup rapat oleh nya.
“Apa yang terjadi pada ku Pa? kenapa Papa memohon kepada Musa untuk menikahi ku? apakah dia sudah menodaiku saat aku mabuk?” Satish mengusap wajah nya kasar, dia ingin memarahi putrinya yang sangat tidak tau berterimakasih itu, tapi melihat kondisi putri semata wayang nya saat ini, Satish memilih untuk tetap lembut. Jika dia keras, maka tujuannya tidak akan tercapai, keras kepala Sitara selama ini yang membuat dia kesulitan dalam mendidik gadis cantik yang sekarang ini terbaring lemah di atas brankar nya.
“Tara, bisa tidak kamu berpikir jernih, coba kau lihat dia, dia pemuda soleh yang menatap mu saja dia tidak mau. dimana akalmu sampai kau berpikir begitu.” rasa kesal tampak tidak bisa dikendalikan, merah, itulah warna yang menguasai wajah Satish.
Satish perlahan menggeser kursi di dekat brankar dan mengambil posisi duduk di sebelah Sitara. “Papa minta kamu mau menikah dengan Musa. dan Papa tidak menerima penolakan!” Sitara membulatkan matanya, dunianya seakan berbalik, “Tidak akan Pa, kenapa Tara harus menuruti Papa? apa yang sudah Musa lakukan terhadapku, Tara gak mau Pa, titik.” perdebatan mereka akhirnya berhenti saat mendengar suara adzan, sesaat Satish mengingat wajah Musa, ‘dia adalah laki-laki yang tepat’.
*****
Musa memasuki kawasan rumahnya, halaman yang luas dengan suasana yang nyaman. Pagar tinggi tampak membentang gagah untuk melindungi setiap orang di dalam sana. Penataan bunga dan bangunan tampak rapi dan indah, sehingga membuat nyaman setiap orang yang masuk ke dalam nya. Mobil fortuner hitam yang di kendarai Musa akhirnya sampai di depan pintu pagar. Karena sudah mengenal mobil siapa yang akan masuk, satpam dengan sedikit tergesa berlari ke arah pintu pagar, dengan sigap membukakan pintu besi tersebut. Musa menurunkan kaca jendela di sebelah kanan nya. “Assalamualaikum Pak Pardi” musa dengan ramah menyapa pria paruh baya yang masih tampak gagah dengan seragam Satpam nya. “Waalaikumsalam Mas Ustad” Pak Pardi membalas dengan sedikit membungkukkan badannya.
Kumandang suara Adzan mengalun merdu membangunkan hamba-hamba Allah yang taat. Dengan langit yang masih indah dihiasi bintang dan bulan yang tersenyum menambah indahnya langit di pagi yang dingin ini. suasana Pondok yang mulai ramai dengan para santri. Mereka bergantian mengambil wudhu, sebagai salah satu rukun wajib untuk menunaikan sholat agar suci saat menghadap sang Illahi Robbi.
"Assalamualaikum, sepi, ya Allah, terasa lelah badan ini, sebaiknya aku mandi dan langsung sholat. " Musa bermonolog karena dia melihat rumah telah sepi. Masuk kedalam rumah utama, Musa ingin membersihkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Rumah tampak sepi, Abi dan Umi nya pasti sudah berada di masjid pesantren. Para santri yang tidak biasa di pandangan mata orang awam, tampak sibuk hilir mudik. Kyai Ibrahim mendirikan pesantren untuk anak-anak jalanan, pemabuk, penjudi yang ingin hijrah dan bertaubat. Harus dengan niat yang kuat serta mental yang tangguh untuk mengajarkan mereka. Kyai Ibrahim tidak memandang siapapun, bahkan banyak dari mereka yang di buang oleh keluarga nya. Anak-anak muda yang kehilangan arah, kyai Ibrahim merangkulnya dengan kasih sayang tulus.
Sholat subuh berjamaah selesai dilakukan, para santri istimewa kembali pada jadwal kegiatan masing-masing. Para ustad yang mengajarkan mereka tampak bersiap. Sistem pengajarannya tidak sama dengan sekolah umum, mereka membentuk Halaqah-halaqah (berkumpul dengan posisi duduk melingkar). Dalam satu Halaqah akan dibimbing oleh Satu atau Dua orang Ustadz. Ada yang belajar di gazebo, ada yang belajar di alam terbuka. Sementara ini Kyai Ibrahim hanya menerima santri laki-laki, dengan segala keterbatasan yang ada, Kyai terus bergerak untuk membimbing umat kembali pada jalan Allah sang penguasa alam. "Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, mari kita berdoa dan memohon kepada Allah, agar kita selalu diberikan hidayah Nya!" Ustadz Zain mulai mengajar Halaqah yang diketuai oleh Bram.
"Abi, Umi, bisakah kita bicara sebentar?" Setelah melaksanakan sholat subuh, keluarga Kyai kembali ke rumah, Musa tidak ingin membuang waktu, karena bisa saja Ayah Sitara benar-benar datang, dan Abi nya akan salah paham. "Kamu baru saja pulang Nak? Abi baru liat mobil mu, darimana saja kamu Nak?" Musa mengambil tempat berhadapan dengan Abi nya, sementara Umi pergi kedapur untuk mengambilkan teh hangat untuk suami dan putra kesayangannya.
"Musa tadi malam menolong seorang gadis yang mengalami kecelakaan tunggal Abi, Musa bawa dia ke rumah sakit, Alhamdulillah ayah nya gadis itu segera datang, jadi Musa bisa pulang." Ibrahim nampak senang karena anak nya melakukan kebaikan. "Alhamdulillah, berarti tugasmu sudah selesai nak, sebaiknya kamu tidur dulu, hari ini tidak usah mengajar di pondok." Ibrahim mengusap lembut pundak putra nya, dan berniat untuk pergi ke ruang makan. Kyai Ibrahim terbiasa minum teh hangat ditemani cemilan setelah menunaikan sholat Subuh. setelah itu dia akan berkeliling pesantren untuk melihat kebun dan kegiatan para santri nya.
"Tapi Abi… ada masalah yang tersangkut pada ku!" Musa menundukkan kepalanya, tampak raut khawatir dan cemas di wajah tampan nya. Musa yang terbiasa ceria dan bersemangat, kini tampak ada beban yang menggantung di wajah bersih dan bercahaya itu. Musa memang mewarisi ketampanan dan kecantikan Kyai ibrahim dan istri nya, gambaran kecerdasan sangat terlihat jelas dari sorot mata yang tajam namun mampu meneduhkan hati yang memandang nya.
"Ayah gadis itu meminta Musa untuk menikahi putrinya, Abi." Musa memberanikan diri menatap wajah Abi nya. Kyai yang sudah bersiap untuk berdiri pun langsung menghempaskan tubuh nya kembali ke kursi yang tadi di duduki nya. "Apa yang sudah kau lakukan Musa? Abi tidak salah berpikir kan?" Wajah Kyai menegang dengan sorot mata tajam, siap menghujam hati Musa. "Abi bisakah percaya dengan ku?" Ibrahim mengangguk lemah, dia tidak ingin bertele-tele. "Begini kejadiannya Abi…" secara rinci Musa menjelaskan semua nya, tanpa ada yang ditutupi. Ibrahim menarik nafas nya berat, Umi sudah duduk bergabung dan menyimak penjelasan putra nya.
"Apakah ini baik untuk mu nak?, Abi harus memikirkannya lebih matang lagi, dan akan mempersiapkan diri jika Ayah gadis itu datang kesini." Musa tidak berani menyela kalimat Kyai, dia hanya menyimak dan terus berpikir kemungkinan apa saja yang bisa terjadi.
Tok tok tok…
"Selamat pagi.. !"
Serentak mereka bertiga menoleh ke arah pintu depan yang sengaja terbuka. Musa merasakan jantung nya berdebar kencang karena mengenal siapa yang datang.
"Selamat pagi.. maaf anda mencari siapa Pak?" Fatimah bergegas keluar. "Benar disini rumah nya Musa bu?" Satish tersenyum ramah. Fatimah yang sudah terbiasa menerima tamu pun dengan ramah menyambut Satish. "Benar Pak, maaf dengan Bapak siapa ya?" Melihat sambutan yang ramah, membuat Satish sedikit tenang. "Kenalkan, saya Satish bu Nyai, Papa nya Sitara, gadis yang ditolong Nak Musa tadi malam. Tidak menunggu lama Fatimah mempersilahkan Satish untuk masuk, dan mempersilahkan duduk di ruang tamu.
"Maaf Pak, silahkan duduk dulu, saya panggil kan suami saya dan Musa." Tanpa menunggu lama, Fatimah melangkahkan kaki nya dengan cepat, menuju ke ruang keluarga, dimana suaminya dan Musa masih berbincang tentang masalah Sitara. Musa menceritakan apa yang sudah terjadi secara lengkap, termasuk juga penilaian dia tentang sosok Sitara dan juga Satish. Mereka adalah orang-orang yang harus dirangkul, bukan malah dijauhi. Selama ini Kyai sudah mengayomi anak-anak, baik yang remaja atau dewasa. Dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kyai tidak memandang agama atau status sosial mereka, yang menjadi target Kyai Ibrahim adalah berbagi kasih sayang dan ilmu agar mereka bisa kembali dari gelapnya jalan yang salah. Jika suatu hari mereka ingin hijrah dan akhirnya bersyahadat, itu bukanlah dari paksaan Kyai, tapi karena Hidayah yang sudah datang karena kerja keras mereka dalam menjemputnya.
Kyai dan Musa memasuki ruang tamu. Satish yang tadinya duduk sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, langsung berdiri dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Kyai dan Musa. "Assalamualaikum, selamat pagi Pak, silahkan duduk pak, jangan sungkan-sungkan." Kyai tersenyum ramah, dan mengambil posisi pada kursi tunggal, dimana dia sering duduk saat menemui tamu yang sering berkunjung ke Pesantren nya. "Waalaikumsalam, selamat pagi Pak Kyai. Maaf saya sudah tidak sopan mengganggu waktu Pak Kyai pagi ini." Kyai menganggukan kepalanya dan tetap mengembangkan senyum ramah pada tamu nya. "Iya, gimana Pak.. eh maaf saya sampai lupa berkenalan, saya Ibrahim" Satish yang tadinya sudah merasa akrab, mendadak malu, karena lupa memperkenalkan diri.
"Eh.. maaf Pak Kyai, karena grogi, saya sampai lupa memperkenalkan diri, saya Satish, Papa nya Sitara, gadis yang sudah di tolong Nak Musa tadi malam. "Terlihat sekali Satish yang sudah tidak sabar untuk menjelaskan tujuannya datang ke rumah Kyai. Dia meninggalkan Sitara di rumah sakit sendirian. Dia tidak mau ditemani siapa-siapa. Padahal Satish sudah menyuruh Vijay, adik nya untuk datang ke rumah sakit, tapi Sitara berkeras tidak mau, alasannya dia tidak mau mendengar omelan dari paman kesayangan nya itu.
"Ehem… jadi begini pak Kyai, tujuan saya datang kesini ingin meminta bantuan Pak Kyai dan Nak Musa. Mungkin tadi Nak musa sudah menjelaskan permasalahan nya dengan Pak Kyai." Satish menjeda sesaat sambil memperhatikan raut wajah Kyai yang masih sama sejak dari awal tadi. Sementara Musa yang lebih banyak diam terus menyimak pembicaraan dua orang tua yang tampak seumuran. sebelum berangkat tadi Satish sudah mencari informasi tentang Musa dan pesantren yang tertulis di kartu nama nya. tidak membutuhkan waktu lama, dia bisa mendapatkan informasi tentang pesantren unik tersebut.
Fatimah memasuki ruang tamu sambil membawa nampan berisikan Tiga cangkir yang berisi teh, setelah menghidangkannya, dia pun mengambil duduk disebelah Kyai. "Silahkan Pak Satish, diminum dulu tehnya, dan silahkan di cicipi cemilannya." Fatimah mempersilahkan seraya tersenyum.
"Terimakasih banyak bu Nyai, boleh langsung saya minum ya?" Satish yang tampak haus karena rasa yang tidak karuan terus membuat pikiran dan hatinya kacau, langsung menyeruput teh hangat yang tidak terlalu manis.
"Jadi begini Pak. Masalah saya adalah, saya kewalahan menangani anak saya, dia putri tunggal saya, mungkin karena kurangnya kasih sayang, dia selalu mencari kesenangan di tempat hiburan malam, alkohol sudah menjadi teman bagi nya. Saya sudah berusaha untuk mengingatkannya, tapi sejak Mama nya meninggal, jujur saja saya kurang bisa membagi waktu untuk Sitara, maksud saya datang kesini, saya ingin melamar Putra Pak Kyai untuk Putri saya." Penjelasan satish yang singkat padat dan yakin membuat Pak kyai merasa bingung. Karena tadi penyampaian Musa, dia dimintai pertanggungjawaban untuk menikahi Sitara. Tapi kalimat Satish tadi, dialah yang datang melamar Musa.
Musa tampak bingung, wajah tenang nya berubah menjadi merah entah karena malu, atau marah. Kyai melihat perubahan wajah Musa lalu mengambil napas pendek dan menghembuskan nya asal. "Maaf pak Satish, maksudnya apa ya, bapak melamar Musa?" Satish mulai mengatur posisi duduk. "Begini Kyai, saya sudah mendengar kemasyuran nama Kyai dalam menolong anak-anak muda, dari yang tanpa arah, sekarang banyak yang sudah jadi orang. Karena disini tidak ada santri perempuan, maka dari itu saya ingin sekali melamar Nak Musa menjadi menantu saya. Saya mohon bantuan Kyai dan Nak Musa untuk bisa membimbing Sitara ke jalan yang benar." Satish menghela nafas dalam. Sesekali dia melirik Musa, pemuda tampan yang memiliki hidung mancung, alis tebal, mata tajam dengan manik mata berwarna hitam pekat, bibir yang tipis. Semua yang ada pada diri Musa sungguh menarik dan membuat hati menjadi teduh.
“Pak Satish, saya tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan, karena pernikahan itu tidak untuk dipermainkan. Saya meminta waktu dalam beberapa hari ini, jika Pak Satish berkenan menunggu, saya akan memohon petunjuk kepada Allah.” Musa yang sedari tadi sangat tenang dan tidak mengeluarkan suara, sekarang dia memberikan jawaban atas permintaan Satish. “Musa benar pak satish, sebaiknya Musa melakukan Sholat Istikharah dulu, agar langkah yang akan diambil, bukanlah keputusan yang ada campur tangan iblis di dalam nya.” Satish tidak bisa lagi memaksa, karena memang ini semua serba mendadak. Sementara itu Kyai, Musa dan Fatimah hanya bisa diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Setelah bincang-bincang ringan yang dilakukan mereka berempat, akhirnya satish pun pamitan untuk kembali ke rumah sakit dimana Sitara dirawat.di sepanjang jalan dia yang lebih memilih duduk di bangku belakang, terus saja berpikir. berbagai kemungkinan pun mulai menyesakkan ruang pikirannya. sesekali pandangannya mengedar ke arah jendela mobil nya, jalanan tampak ramai seperti biasa, matahari mulai meninggi dan cuaca panas, khas kota Surabaya tampak membayang di jalanan aspal. “aku yakin musa mau membantuku, tapi bagaimana dengan putri kecil ku ini?” ya Tuhan, lembutkan hati putri ku, bimbing dia dalam setiap langkahnya.’ bibir Satish tampak terus saja mengeluarkan uneg-uneg di hatinya. tapi ya begitulah seorang Satish, sosok yang tegas dan bersikap kaku di hadapan karyawan namun tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan sitara.
*****
di dalam kamar yang luas, tempat Sitara dirawat dan selalu dibersihkan oleh para pelayan.. Satish sengaja mempekerjakan dua orang pelayan, agar Sitara tidak kesepian saat dia meninggalkan Sitara. dia terus saja berpikir, apa yang akan dia lakukan jika Musa mau menerima nya. dalam kebudayaan India, perempuan lah yang meminang laki-laki, “Sialan Musa itu, kenapa juga harus kamu yang nolongin saya Musa!” berbagai doa penolakan oleh pihak Musa,” terus saja dia ucapkan dengan suara yang lirih, hanya bibirnya yang komat kamit berkeluh kesah mengenai lamarannya ini.
Tanpa terasa beberapa hari sudah berlalu, Sitara dan Musa mereka terus saja sibuk dengan hati dan pikirannya masing-masing. mereka berdua berada di tempat yang terpisah, namun hari ini lantai terasa licin karena ulah mereka yang selalu mondar-mandir seperti setrikaan. Mereka berdua terus saja memohon petunjuk dan pertolongan dari sang maha pencipta ini segera datang. Musa tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kesayangannya. di belahan kota yang lainnya, tampak Sitara pun merebahkan tubuhnya dengan berusahaa terus berpikir, kemungkinan apa yang akan terjadi, dia gelisah karena papanya tidak menerima penolakan dan bantahan dari dirinya sendiri. “Ahh… kalo udah nikah, gak bisa kuliah dong? kalo pun boleh kuliah, pasti sibuk sekali melarang ini dan itu!” Sitara tampak semakin kesal tapi entah pada siapa dia bisa melampiaskan kemarahannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!