NovelToon NovelToon

Lelaki Di Jembatan Busway

Bagian 1 : Perkenalan.

Tahun 2008

Namaku Namira Adhza, aku bekerja di salah satu perusahaan pencipta software akuntansi yang lumayan dikenal, posisiku adalah Telemarketing, tugasnya mudah, hanya tinggal telepon setiap perusahaan yang sudah ada daftarnya untuk menawarkan software akuntansi, jika Person In Contact perusahaan tersebut setuju, maka aku akan mengirimkan email dan mengatur jadwal Sales untuk datang dan mempresentasikan software kami lebih jauh.

Aku tidak terlalu suka pekerjaan ini, karena hanya batu loncatan, saat ini aku sedang mengumpulkan uang untuk kuliah.

Di antara jobdesk-ku yang berbicara dengan banyak orang untuk menawarkan software yang kami jual dan lebih banyak ditolak dibanding diterimanya, aku kadang merasa jengah, karena penolakan dari para calon Customer itu sungguh membuatku merasa rendah diri, tapi kejengahan itu tersembuhkan hanya karena berpapasan dengannya, di jembatan itu.

Sebut saja namanya Mister X, aku tidak benar-benar tahu siapa namanya, kami bertemu saat turun kendaraan umum, transjakarta, kami biasanya menyebut busway.

Kami bertemu di jembatan busway setiap hari, awalnya dia hanya seperti lelaki lain yang tentu saja seperti kebanyakan orang yang lewat di jembatan busway ini, terburu-buru.

Mereka yang single pasti telat karena terbiasa dilayani Ibunya, yang laki-laki telat karena rumahnya jauh dan wanita yang menikah sekaligus bekerja, ia terlambat karena harus menyiapkan segala hal untuk anak dan suaminya sebelum berangkat kerja.

Aku pun sama, terburu-buru, telat karena rumahku jauh.

Sebenarnya aku kategori yang jarang ada, wanita single barumur 20 tahun, terlambat karena rumah jauh. Kalau dipikir-pikir aneh juga, lokasi antara rumah dan tempatku bekerja, letaknya sama, sama-sama di Jakarta Pusat. Tapi, untuk mencapai kesana aku harus menempuh jarak sepanjang 11 kilometer, membutuhkan waktu sekitar 2 jam lebih jika menggunakan Busway, moda angkutan umum yang memang paling efisien di tahun ini.

baru-baru ini aku sadar, lelaki itu, Mister X, ternyata sangat tampan.

Dia berambut ikal dengan potongan cepak yang rapih, walau rapih aku masih bisa melihat bahwa rambutnya ikal, dia menggunakan kacamata yang cukup tebal dengan frame hitam berbentuk kotak tidak terlalu besar, pas untuk ukuran wajahnya yang terkesan maskulin.

Matanya dalam, dengan alis yang tebal. Bibirnya pas tidak terlalu lebar dan tebal, hidungya tidak terlalu mancung atau pesek, entahlah aku hanya merasa keseluruhan wajahnya hanya pas saja, tapi tidak menciptakan siluet pas-pasan, justru keseluruhan pas tersebut menjadi sempurna.

Tinggi tubuhnya sekitar 180 sentimeter, kalau hari senin sampai kamis dia memakai setelan rapi, kemeja tangan panjang, celana bahan dan sepatu pantofel. Sedang hari jumat dia memakai setelan kaos berkerah, celana Jeans dan sepatu kets, yang sama hanya tasnya. Dia memakai tas selempang yang cukup besar, tidak seperti kebanyakan lelaki yang lebih senang memakai ransel, dia memilih memakai tas selempang.

Aku menyadari di antara seluruh lelaki tampan yang papasan denganku di jembatan busway ini, dialah yang paling tampan, ya aku tahu, bahwa ketampanan adalah selera. Mungkin, dia masuk kategori seleraku.

Aku tahu, aku pasti hanya wanita pada umumnya di mata Mister X, wanita muda yang sibuk berlari, tergesa-gesa karena tuntutan hidup, wajahku biasa saja dengan hidung sedang, jidad lebar, rahang tegas, memiliki rambut yang tidak indah karena selalu dikuncir kuda, ya karena itulah tatanan rambut paling efisien untukku, yang datang dari keluarga menengah hampir kebawah, naik kendaraan umum dengan rambut di gerai itu seperti musibah yang akan membuat rambutku menjadi kacau begitu terkena angin. Gimana tidak, helai rambutku itu tebal, tipe paling sulit diatur, ya samalah dengan pemiliknya, kata Ibu aku tuh anak paling sulit diatur, si pembangkang Namira.

Saat papasan dengannya, entah kenapa kami selalu papasan dengan arah yang berbeda, aku dari sisi kiri karena setelah turun Busway aku akan naik ke jembatan penyebrangan untuk ke sisi kanan, sedang dia entahlah mungkin juga turun dari angkutan naik jembatan penyebrangan untuk pergi ke sisi kiri, kami selalu berpapasan beberapa detik di tengah, dari satu atau dua detik itu aku bahkan bisa mencium betapa wangi parfumnya.

Selama sebulan lebih aku menikmati ketampanan wajahnya, dia tidak sadar, aku yang seorang introvert, lebih suka seperti ini, aku tidak akan membuat kemajuan yang berarti, cukup melihatnya setiap hari, maka cukup.

Tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia sepertinya sadar telah ku perhatikan, seperti hari ini saat aku tengah menikmati ketampanannya, dia menoleh ke arahku! yang biasanya hanya melihat ke arah depan saja dan terburu-buru. Aku kaget dan memalingkan wajah berusaha bersikap wajar.

Hari demi hari hanya seperti itu, aku menatapnya dan memalingkan muka begitu dia menyadari aku memperhatikan.

Sampai saat ini enam bulan sudah aku menjalin hubungan rahasia, bukan dengannya tapi dengan khayalanku, sungguh untukku tidak ada satu pun kemewahan menjalin hubungan dengan lelaki tampan selain berkhayal, untukku wanita berwajah biasa saja dengan tingkat ekonomi rendah, memiliki lelaki tampan di sisiku hanya sebatas impian, maka tidak ada lagi yang lebih indah selain bertemu dengannya, pagi ini setelah enam bulan aku memperhatikannya, ada satu titik di mana dia memergokiku telah lebih lama menatapnya sehingga kami saling bertatap muka langsung, aku kikuk berusaha untuk berpaling, sebelum aku berpaling aku melihatnya menunduk dan dia tersenyum dalam tunduknya, oh Tuhan manis sekali senyum yang disembunyikan itu, tanpa sadar aku pun tersenyum dan menunduk.

Tapi sayang pertemuan kami itu, tidak pernah ada kemajuan selain saling senyum dalam tunduk dan ini berlangsung selama setahun penuh.

Hari ini akan menjadi hari terakhir kami bertemu, besok aku tidak akan turun lagi di shelter Karet Tengsin, kantorku pindah ke daerah Sawah Besar, jadi mungkin kami tidak akan pernah berpapasan lagi, sebagai hadiah perpisahan, aku akan melakukan hal besar dalam hidupku, hanya ini satu-satunya yang bisa kulakukan, aku sudah bertekad akan melakukannya.

Aku keluar dari Busway dan menuju tangga atas untuk menyebrang, aku menengok kearah kanan, ada lelaki itu ....

Ini hari jumat, dia menggunakan setelan kasual, tampan sekali, aku berjalan perlahan, menatapnya dengan tajam dan kepercayaan diri yang sudah kubangun sejak tadi subuh, saat ini memang bagianku untuk menatapnya, ada semacam perjanjian yang kami buat bahkan tanpa berkenalan apalagi berkompromi. Yaitu, akulah yang boleh menatapnya duluan, lalu kemudian dia setelah aku berpaling, selalu seperti itu setiap pagi selama setahun ini, bukan?

Tapi, kali ini aku akan melanggar janji, tepat setelah akhirnya giliran dia menatapku, aku seharusnya berpaling, tapi aku tidak berpaling, aku tetap menatapnya, dia kaget, tapi masih menatapku, dan aku ... aku untuk pertama kalinya dalam hidup membuat sebuah dobrakan, aku yang tidak pernah berani menatap siapa pun lelaki yang kusukai, akhirnya akan melangkah lebih maju sekarang, hanya untuk dia, Mister X-ku

Kami masih bertatapan di waktu ini, dia masih dengan kebingungannya karena aku melanggar janji yang kita buat bahkan tanpa mengenal satu sama lain, tanpa bicara satu sama lain, aku manatapnya lekat, aku tidak akan ragu untuk melakukannya, aku sudah berlatih sejak subuh tadi, aku akan melakukannya, hanya 5 detik, aku akan melakukannya!

Lalu, aku melakukannya, aku tersenyum, senyuman paling manis yang bisa kulakukan, aku menahan malu selama 5 detik dan memberanikan diri untuk tersenyum padanya.

Diluar dugaan dia berhenti berjalan, dia berhenti ketika melihatku tersenyum padanya, kami sudah sangat dekat, jarak yang cukup untuk melihat wajah kami satu sama lain dengan jelas, aku baru menyadari bahwa di pipi sebelah kirinya ada tahi lalat.

Di detik itu juga aku menganggukan kepala, itu adalah salam perkenalan sekaligus salam perpisahan dariku, dia masih diam di tempatnya, bahkan ada beberapa orang yang menabraknya dari belakang karena terhalangi oleh tubuhnya yang berhenti mendadak, mungkin dia terkejut dengan keberanianku tersenyum padanya.

Setelah 5 detikku berakhir, aku melewatinya, aku berjalan dengan cepat, sampai pada anak tangga pertama, aku berlari, berlari secepat yang kubisa, meninggalkan Mister X di belakangku, aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk melihat ke belakang, apakah dia masih diam di tempatnya, karena kaget aku berani tersenyum padanya? atau dia tidak perduli? entahlah. Aku hanya menikmati diriku yang menatapnya dengan puas, untuk terakhir kalinya.

Selamat tinggal Mister X, priaku yang bahkan aku tidak tahu namanya.

...

Tahun 2018

“Namira! Gila lu telat, jam berapa ini? lu akhir bulan aja ngeluh uang makan dipotong, tapi hari-hari telat!” Mbak Ida adalah Supervisorku, dia galak tapi sebenarnya baik, mulutnya Saja yang kadang kurang bisa dikondisikan, udah tau telat, belum absen finger print juga, dia malah hadang di depan pintu.

“Mbak Ida awas! lima menit lagi nih, mayan uang makan sehari.” Aku mendorongnya.

“Pas! Untung aja sisa 2 menit lagi, masih belum telat.”

“Makanya neng, jangan keseringan telat.” Mbak Ida masih meneruskan marahnya, padahal kami sudah di meja masing-masing.

“Mbak, please gerah nih, orang dateng bukannya disambut atau dikasih es teh manis kek, malah dikasih sarapan omelan.”

“Busyet junior somplak! Bukannya dengerin senior, malah minta dibuatin es teh, dah buruan input lemburan anak-anak gih.”

Aku sudah resign dari perusahaan yang membuat softaware akunting 6 tahun lalu, tepat setelah lulus S1 Akuntansi, setelah menjadi Sarjana Akuntansi, aku melamar pekerjaan di beberapa tempat dan akhirnya diterima di sini, sudah 6 tahun aku bekerja sebagai Tenaga Administrasi Payrol, tugasku hanya input data yang berhubungan dengan gaji karyawan, juga lemburnya, jumlah absennya dan tentu saja membantu apapun yang dibutuhkan tim HRD, terkadang di luar jobdeskku, tapi aku tidak keberatan, kantor yang bergerak di bidang majalah non-komersil ini sangat kekeluargaan, gajinya juga sesuai ketentuan pemerintah kota, jadi ya, aku bertahan cukup lama disini.

Sudah enam tahun tidak terasa dan Mbak Ida adalah Supervisorku, dulu kami kurang akur karena dia galak, judes dan pelit ilmu, tapi setelah lama bekerja dan kita saling mengenal, akhirnya kami jadi sahabatan, benar kata orang, tak kenal maka tak sayang, di antara semua sifat jeleknya, ternyata dia adalah orang yang sangat hangat, membelaku ketika salah di depan bos dan yang terakhir nggak pelit makanan, maklum dia emak-emak yang selalu masak di rumah, sementara aku cuma anak kost, keluargaku pindah ke kampung halaman ibuku setelah menjual rumah kami yang di Jakarta Pusat karena kebutuhan mendesak, ayahku sempat sakit, sekarang sudah sembuh, mungkin udara pedesaan membuat kondisinya lebih prima.

“Nam, lu siap-siap ya, bakal ada bos baru, dia ngegantiin pak Bimo yang pensiun tahun ini katanya masih muda, agak galak trus hari pertama besok meeting ama tim HRD, jangan sampe laporan pegawai belum lu update ya, siapin, kalau perlu lembur, nggak lucu kan Nam, kalau meeting pertama kita malah jadi moment busuk yang tak terlupakan.”

“Udah biasa gue.” Aku menjawab.

“Udah biasa? Maksudnya?”

“Udah biasa sama yang galak-galak.” Aku tertawa, karena menyindir Supervisorku.

“Sialan lu, dah cepet kerjain anak bawang!” dia memang selalu memanggilku begitu, padahal aku sudah cukup senior di sini.

Tim HRD hanya kami berdua, Mbak Ida Supervisornya, aku adminnya, kami berdua menangani semuanya, aku khusus gaji, sisanya semua kebutuhan laporan yang Mbak Ida butuhin, mulai dari jumlah karyawan, biodata mereka, dokumen pribadi mereka, dan tentu saja laporan hutang mereka.

Tak terasa sudah jam 8 malam, aku dan Mbak Ida lembur, aku sudah bilang akan lembur sendiri saja, tapi dia kekeh menemaniku untuk input data, hanya tinggal laporan indeks gaji karyawan saja, aku kasian sama anak-anak Mbak Ida yang pasti menunggu dia di rumah, tapi Mbak Ida memang atasan yang tidak suka kalau hanya tau kulit, dia akan bantu dan memahami laporan yang aku buat, karena memang menurutnya atasan harus seperti itu, bukan hanya mengakui pekerjaan anak buahnya apalagi menelan mentah-mentah.

“Pulang yuk Mbak, udah selesai, udah malem juga, laporan udah gue email dan taro di server, besok lu tinggal buka aja pas meeting.”

“Ok Wang, yuk pulang, mau makan bakso dulu nggak? Mbak traktir deh.” Ini lagi nih yang paling aku suka, traktiran bakso depan kantor yang endul.

...

“Pagi Mbak.” Aku menyapa atasanku yang sudah cantik di mejanya, dia dandan hari ini, biasanya bedak aja dia nggak pake, kita akan meeting dengan bos baru.

“Gue udah deg-degan lu bakal telat, mati gue kalo lu telat, nggak bakal punya muka gue.”

“Lah ini muka siapa yang cantik?” Aku menunjuk wajahnya yang berbeda hari ini, “lagian kan elu udah wanti-wanti Mbak, jadi gue usahain bangun lebih pagi, nggak telat kan?”

“Tiap hari ya?”

“Ogah! hari ini aja.”

“Dih biar uang makan lu nggak di potong terus Wang.”

“Au ah, udah nyok ke ruang meeting, siapin bahan.”

Aku dan Mbak Ida pergi ke ruang meeting, menyalakan proyektor, menurunkan layar proyektor, mengatur suhu AC dan terakhir membuka laptop ruang meeting dan laptopku, memang saat meeting yang presentasi akan menggunakan laptop meeting yang sudah di-setting sesuai kebutuhan, makanya data kami taruh di server ber-pasword, supaya bisa dibuka di mana saja.

“Udah belum, Wang?”

“Mbak bae-bae keceplosan manggil gue Wang, tolong panggil saya Ibu Namira.” Aku meledeknya yang sedang gugup.

“Bawel lu, Anak Bawang.” Dia makin gugup, aku mendekatinya dan memijat bahunya.

“Rileks aja Mbak, lu itu pinter dan gigih, lu pasti bisa presentasi dengan baik, ama pak Bimo aja dulu lu mampu, apalagi ama anak bocah, hempas shay.” Aku meniru gaya artis yang cetar itu.

“Bocah juga, dia GM shay.” Mbak ida mengingatkan, GM baru kabarnya baru berumur 30an.

“Yaudah mbak, aku siap-siap ya.” Aku duduk di meja sebelah kanan, posisinya dekat layar proyektor karena laptopku dan laptop ruang meeting harus berdekatan, meminimalisir terjadi errorkarena jaringan hingga dokumen tidak bisa dibuka maka masih ada dokumen cadangan yang sudah aku siapkan di laptopku.

Tidak lama terdengar suara langkah orang mendekat ke ruang meeting, Mbak Ida terlihat makin tegang. Aku tersenyum dan melihat kepadanya, pisisiku membelakangi pintu masuk ruang meeting.

Tidak lama masuk beberapa orang, Pak Bimo GM lama, sudah terdengar suaranya menyapa Mbak Ida, lalu Lastri asisten GM, dan GM baru, aku tidak melihat ke arah mereka hanya kudengar langkah kakinya, aku masih mencoba menenangkan Mbak Ida yang makin terlihat gugup, posisiku membelakangi pintu masuk.

“Pagi semua.” Pak Bimo menyapa kami, aku menengok ke arah sebrangku, pak Bimo duduk di sebrangku dan Asisten GM di sampingnya, Mbak Ida duduk di meja paling ujung menutupi layar proyektor karena memang itu posisi untuk pegawai yang akan presentasi, aku menyimak apa yang akan dikatakan pak Bimo.

“Siang pak.” Kami semua membalas sapaannya , pria paruh baya yang mengabdikan hidupnya bekerja di perusahaan majalah non komersil ini selama hampir 30 tahun, memulai sebagai wartawan, lalu naik menjadi PemRed, setelahnya menjadi GM, pria bijaksana yang sangat hangat, makanya Mbak Ida takut kalau pengganti Pak Bimo tidak sebaik dia.

“Seperti yang kalian tahu bahwa, sudah waktunya saya pensiun, sudah waktunya main sama cucu.” Pak Bimo melanjutkan, “makanya sekarang Pak Gio yang akan menggantikan saya, pak Gio silahkan menyapa rekan-rekan kita.” Pak Bimo menunjuk posisi meja paling ujung bersebrangan dengan layar proyektor, posisinya ada di dekat pintu masuk.

"Selamat pagi semua."

Aku menoleh kearah suara itu, aku terperanjat hampir saja jatuh dari bangku, kaget, karena ....

Seketika waktu terasa berhenti, sesaat setelah aku melihat arah yang Pak Bimo tunjuk, aku merasa bayangan itu muncul, pertemuan sepuluh tahun lalu, di mana aku si gadis lugu memberikan senyum termanis 5 detikku padanya. Untuk pertama kalinya aku melihat senyum balasan darinya, bukan, bukan untukku, tapi untuk semua orang di ruang meeting ini.

Akhirnya aku mendapat senyum balasan itu darinya, dari Mister X, siapa namanya tadi? Pak Gio? hei Pak Gio, aku Namira ....

_________________________

Catatan Penulis :

Cinta itu bukan tentang waktu, bukan juga tentang pertemuan, tapi cinta itu tentang kesetiaan, apakah aku si buta yang tak pernah kenal siapa yang dicinta, kalian salah. Sang pecinta mana mungkin tidak mengenal yang dicintainya, sisanya takdirlah yang menentukan, apakah berjodoh atau hanya sekedar penumpang dalam Busway saja, datang lalu pergi begitu sudah sampai tujuan.

Lalu kategori manakah aku, mereka yang menumpang, atau tambatan hati yang akan kau pinang?

(Bagian 2 : Segelas Kopi)

Untuk embun mungkin hujan adalah kepalsuan yang menciptakan dirinya di pagi hari, untuk awan mungkin petir adalah si bising yang tak pernah berhenti menghantui, dan untukku kamu adalah khayalan, cukup sampai di situ.

Hari ini, setelah 10 tahun aku berusaha melupakan kebodohan masa lalu, kamu datang lagi. Padahal rencananya setelah merayakan anniversary yang tidak pernah terjalin itu, aku akan mulai berusaha melupakanmu dan menerima cinta yang baru.

Tapi kenapa kau datang? kenapa sekarang? setelah 10 tahun. Karena saat ini, masa dimana kegemilanganku sebagai seorang wanita telah habis, umurku sudah pada batas waktu dimana kecantikan bukan lagi kelebihan. Setidaknya, dulu aku masih muda, walau tidak terlalu cantik, tapi masih energik.

Aku yang sekarang, diumur 30 tahun, hanya Namira yang mendekati kedewasaan dengan segala kerut kehidupan yang mulai timbul. Lalu bertemu denganmu, seseorang yang sudah 10 tahun ini menjadi khayalanku, menjadi pria yang mengisi kekosongan hatiku, alih-alih mencari pria nyata, aku malah tenggelam dalam khayalan semuku padamu.

Sementara kau, kau menjadi Mister X yang sangat cemerlang, rambut itu, mata itu, hidung itu, dan keseluruhan kesempurnaan itu, menjadi manekin yang paling indah di gelapnya dunia dramaku.

...

“Selamat pagi, saya Gionino Abrar, boleh panggil saja Gio. Saya hari ini resmi menjabat sebagai GM,  menggantikan Pak Bimo, mohon bantuannya.” Dia memperkenalkan diri. Aku terus memperhatikan tanpa malu, aku yakin bahwa dia tidak akan mengenaliku lagi.

“Saya Ida, supervisor HRD.” Mbak Ida memperkenalkan diri, aku masih terpukau menatap Gionino, my Mister X.

“Saya Namira, Admin HRD.” Aku memperkenalkan diri dengan menunduk, semua mata tertuju padaku, termasuk dia.

Sungguh aku merasa sangat frustasi dengan pertemuan ini. Kenapa harus sekarang? kenapa harus saat aku mengenakan kemeja bunga-bunga tangan panjang, yang motifnya khas remaja tahun 80an, alias jadul! dipadu rok bahan panjang warna hitam yang tentu saja sudah pudar. Ditambah rambut, oh ya rambutku tidak kalah legend-nya, dikuncir cepol hanya dengan jepitan capit. Sempurna!

“Baik, silahkan Ibu ida presentasikan seluruh laporan HRD yang perlu saya Highlight.” Mister X memerintahkan Mbak Ida, tidak ada jeda saling mengenal lebih jauh, lebih tepatnya dia tidak perduli. Benar, kan? dia tidak ingat aku, terlihat dari ekspresinya yang datar.

“Kami akan mulai dengan jumlah karyawan, presentase absen, presentase kenaikan gaji dan tentu saja Key Perfomance Indikator.” Mbak Ida memulai presentasinya. Aku mencoba fokus, sungguh, aku mencoba fokus.

“Namira, bisa buatkan saya kopi.” Di tengah meeting, Mister X tiba-tiba menyuruhku membuat kopi, sebentar, apa? kopi!

“Kopi? maaf, Pak?” Aku menatap ke arahnya, aku memang sering mengerjakan tugas di luar dari tanggung jawabku, tapi nggak bikin kopi juga, itu tugas Office Boy!

“Iya kopi, saya suka yang manis dicampur susu atau creamer, jangan gula, ok?”  Mister X memerintah kembali.

Aku nggak salah denger, ini beneran dia nyuruh buat kopi? di tengah meeting gini lagi?!

“Pak Gio, biar saya saja yang buat kopi.” Asisten GM, Lastri berbicara. Ya, dia kan asistennya, sudah sepantasnya Lastri yang bikin kopi, kenapa juga aku? Pokoknya aku nggak mau berdiri, malu dengan pakaianku.

“Lastri, apakah jika kamu meninggalkan ruangan, notulen bisa tercatat sendiri? menurutmu mana lebih penting? kau buat kopi atau notulen, lagian Namira kan hanya pendamping, jadinya wajar sekali kalau dia lebih memiliki waktu untuk membuatkan saya kopi. Bukankah dia juga pasti sudah menguasai bahan meeting, karena dia dari bagian HRD, divisi yang sedang presentasi.” Mister X memaksa.

Dia merendahkanku, mungkin hanya karena aku seorang admin, jadi tidak ada manfaat lebih untuk perusahaan ini, makanya meninggalkan ruang meeting untuk bikin kopi tidak akan masalah buatku. Mister X, ternyata kau tidak semanis khayalanku.

“Baik pak, tentu saja, kopi susu ya? kebetulan sekali aku pandai membuat kopi, ya kan Mbak!” Aku berbicara dengan nada penuh penekanan. Kau bukan Mister X ku, dia manis dan baik, dalam khayalanku tentunya. Aku berdiri dan berjalan, sekilas kulihat Mister X.

Tidak ... oh Tuhan, dia menunduk dan tersenyum, persis seperti waktu itu, kenapa wajah manis itu tidak pernah pudar, fokus Nam, fokus! Dia hanya fatamorgana di tengah teriknya padang pasir kehidupan ini.

Aku keluar dan menuju pantry, membuat kopi dengan susu, ingin rasanya aku ludahi saja, biar sekalian nurut, Orang-orang bilang begitu. Tapi sayang, aku punya harga diri yang tinggi.

“Wang, ngapain lu?” Manager marketing Pak Rian, dia ternyata datang ke sini, pasti mau bikin kopi juga.

“Buatin kopi GM baru yang sombong!” Aku monyong.

“Siapa? Gio?”

“Hooh, siapa lagi, btw lu kenal, Pak? kok manggil nama doang?” aku bertanya.

“Temen kuliah gue itu, tumben.”

Oh, Pak Gio temen kuliah Pak Rian, wah berarti mereka anak-anak orang kaya, kalau nggak salah universitas Pak Rian itu universitas swasta yang terkenal mahal dan bonafit, pantas si Gio sombong.

“Tumben kenapa?” Aku bertanya dan kopinya sudah jadi.

“Gio nggak pernah minum kopi seduh, dia selalu pesen kopi di tempat yang sama atau kopi giling dengan merk yang sama. Bahkan saking psykonya soal kopi, dia pernah bawa mesin pembuat kopi dan taro di kantin kampus, supaya kalau dia mau ngopi bisa sesuai ama yang dia mau. Makanya tumben, kok dia minta lu bikinin kopi.” Pak Rian bertanya dan sekaligus menjelaskan.

“Tau lah, yang anak baru kan die, kenapa gue yang diospek.”

“Elu kan anak Bawang.” Pak Rian menggodaku.

Aku sangat menghormati Pak Rian, dia orang yang baik dan tulus, kami pernah dekat dulu, dia melamarku tidak lama sekitar setahun setelah aku masuk kantor ini, hubungan kami sempat gempar karena aku disangka penggoda bos dengan tampilan seadanya ini. Ada yang bilang aku ke dukunlah, pakai susuklah, aku juga bingung kenapa dia suka aku, tapi aku tidak tertarik memulai hubungan lebih serius dengannya, makanya aku tolak dengan alasan dia pria yang tidak selevel denganku, kelasnya terlalu tinggi. Aku takut tidak bisa mengimbangi dia dan keluarganya, padahal alasan sebenarnya adalah ....

Aku masuk ruang meeting dan menaruh kopinya di meja tempat si Gio ini duduk, wangi parfumnya masih sama, aku sempat terdiam sebentar. Entahlah, kenangan 10 tahun lalu itu membuatku tersentak, sampai aku menyadari bahwa ...  di jari manisnya ada cincin.

Sepertinya, memang dia bukan Mister X dalam khayalanku, karena dia takkan pernah bisa menjadi milikku.

Aku kembali lagi ke mejaku dan memperhatikan jalannya meeting, kulihat dia sesekali menyesap kopi buatanku, tak ada ekspresi, suka atau tidak, entahlah, tidak terlihat, lagian untuk apa aku perduli.

Meeting selesai, kami meeting sekitar 2 jam, semua orang keluar duluan kecuali aku, karena aku harus membereskan ruang meeting, memang kami punya Office Boy dan Cleaning Service, tapi seperti sudah adab saja, selesai meeting aku akan mematikan AC, menaikkan layar proyektor, mematikan proyektor lalu mematikan dan menutup laptop ruang meeting, saat selesai semua kulakukan, aku baru sadar, si Gio masih ada di ruangan.

Duh, dari tadi aku melakukan gerakan aneh nggak ya, atau bergumam yang aneh, biasanya aku bersenandung kecil kalau beberes.

Aku berjalan, mencoba bersikap biasa saja, melewati si Gio sombong ini. Tepat saat aku disampingnya dia berkata, “Kau akan membunuh seseorang dengan komposisi seperti ini.” Dia menunjuk gelas kopinya.

“Maaf Pak?” Aku tidak mengerti, pasti dia mau komplain kopinya, tau gitu tadi sekalian tuang karbol aja ke gelasnya!

“Seharusnya kopi 85%, lalu susunya 15%. Pastikan kau mengaduknya sampai warnanya coklat dan tidak ada lagi gumpalan susu ataupun ampas kopi yang masih menggenang, jadi kopi bisa dinikmati dengan nyaman. Satu lagi, airnya harus benar-benar mendidih.” Wajahku memerah karena marah.

“Baik Pak, lain kali saya akan buatkan sesuai komposisi yang bapak mau.” Aku melotot padanya, oh Tuhan tahi lalat itu, masih di tempatnya. Setelah dia merendahkanku, bahkan aku masih terpana dengan fisiknya, bodoh!

...

“Wang, perasaan gue nggak enak nih,” Mbak Ida berkata. Kami sedang makan siang di pantry.

Banyak orang memilih makan siang di kantin di luar kantor ini, tapi kami berdua memilih makan di pantry, kantor ini berada di dua ruko dengan tiga lantai yang di gabung jadi satu, tidak ada fasilitas makan siang dari kantor, tapi memang ada tunjangan makan, kami biasa menyebutnya uang makan. Kalau kami telat datang, maka goodbye uang makan.

Kami memilih makan di pantry karena lebih irit, kalau Mbak Ida bawa bekal, aku beli dulu baru deh gabung makan, selain kami, ada juga Lastri, asisten GM, dia junior karena baru 3 tahun belakangan ini bekerja. Lastri lulusan D3 sekertaris di akademik yang cukup terkenal, orangnya baik, ramah, walau dia orang kaya tapi dia tidak memandang orang dari penampilan atau fisiknya, makanya dia bisa cocok denganku dan Mbak Ida.

“Masakan lu kan emang gitu-gitu aja, nggak enak apanya?” Aku bercanda.

“Perasaan gue yang nggak enak, bukan masakan gue, Wang.” Mbak Ida menjelaskan.

“Soal Pak Gio ya, Mbak?” Lastri menimpali.

“Hooh Las, gila! laporan gue satu-satu diliat dan di cek loh, detail banget orangnya, pantes kacamatanya tebel.”

“Mbak, sini deh,” Lastri mendekatkan tubuhnya dan menyuruh kami mendekat, dia mau mengatakan hal yang rahasia sepertinya, “katanya, Pak Gio itu perfeksionis, dia tuh kurang suka ketidakteraturan, ketidakkonsistenan dan ketidakharmonisan sama hal-hal yang diluar kebiasaan. Dia tuh mampu berkutat pada satu hal bertahun-tahun tanpa jenuh dan bosan, makanya dia bisa naik jadi GM di umurnya yang baru 35 tahun.” Lastri tahu banyak pasti dari dokumen biodata si Mister X itu, kan Lastri yang scan dokumennya untuk di simpan di server perusahaan, lalu kami HRD akan meng-colect datanya untuk kepentingan  HRD.

“Las, datanya udah lu simpen di server belum? mau gue ambil buat dokumen karyawan.” Aku tidak benar-benar membutuhkannya untuk pekerjaan, aku ingin melihat data pribadinya, aku ingin tahu apakah dia sudah menikah. Maafkan aku, profesionalisme jadi tercoreng untuk kepentingan pribadi.

“Udah Nam, baru kelar tadi.”  Lastri menjawab.

“Wang, lu siap-siaP ya, lu harus tahan ok, kalo lu nggak tahan, lu inget gue, inget ada gue, jangan kebawa emosi yak.” Mbak Ida mewanti-wanti agar aku tidak kelepasan. ya, aku memang sedikit keras kepala apalagi kalau soal laporan yang aku fikir sudah terbaik yang kami lakukan, aku akan fight sampai laporan itu diterima. Aku memang anak bawang dan cenderung diam saat dibully hal-hal pribadi, tapi jangan coba-coba jika itu berhubungan dengan pekerjaan, sampai liang lahat akan kuperjuangkan, itu yang membuatku dan Mbak Ida klop, kami menjunjung tinggi tanggung jawab.

“Iye Mak, itu bagi sambel napah, pedes hati gue, eh mulut.” Aku melawak, kami tertawa bersama.

“Pak!” Lastri berdiri, Si Mister X ternyata masuk ke pantry. ngapain sih, kan kalau butuh sesuatu ada Office Boy.

“It’s ok Lastri, saya hanya butuh gelas, dimana ya?”

“Sebentar saya ambilkan pak.” Lastri berlari ke arah tempat kami biasa taruh gelas untuk bos-bos, gelas yang tidak boleh dipakai sembarangan. Aku membelakangi si bos edan ini, karena posisi bangku yang aku duduki memang membelakangi pintu masuk.

Kulihat Lastri kembali lagi ke meja kami.

“Oh ya, Namira, besok saya akan taruh coffee maker di pantry dan bawakan kopi yang biasa saya minum, setiap pagi setelah saya datang tolong buatkan kopinya ya, taruh di meja saya.”  Mister X memanggil namaku dan memberi perintah.

Wait, what! Maksudnya apa nih, aku berdiri dan berbalik bermaksud menanyakan maksudnya, Mbak Ida menarik tanganku tapi kutepis.

“Gimana pak?” Aku bertanya dengan wajah tidak senang. Posisiku masih di dekat meja tempat kami makan.

Si Mister X edan ini mendekatiku, aku masih berdiri dengan wajah kaget, lalu dia berbicara dan setiap dia berbicara, dia mendekatkan wajahnya ke arahku.

“Buatkan! saya! kopi! ... setiap hari! Jelas?” Wajahnya cukup dekat sekarang, tampannya lelaki ini, astaga, Namira bodoh!

“Pak, begini ya ....”

“Ok pak, Namira akan buatkan kopi setiap pagi dan antar ke meja Bapak.” Mbak Ida menjawab, dia berdiri di depanku sehingga menghalangi aku untuk menghardik Mr. X. Ah, sial, kenapa juga dia mencegahku, kalaupun harus di pecat hari ini aku siap, tapi di rendahkan begini, tidak seharusnya aku diam, apalagi yang merendahkanku adalah yang selama 10 tahun ini telah ... Bodoh sekali aku.

Kulihat lelaki itu menunduk dan tersenyum lalu menatapku sebentar dan pergi begitu saja, sungguh dia merusak selera makanku.

“Nam Please, Please Nam.” Mbak ida memanggil namaku, dia tahu bahwa emosiku belum reda.

“Mbak gue bukan OB, nggak seharusnya dia memaksa gue melakukan itu, mungkin karena penampilan gue yang belel ini.” Aku menunjuk bajuku, “makanya dia seenaknya nyuruh-nyuruh hal yang seharusnya dilakukan OB, gue udah melewati masa ospek 6 tahun lalu, apakah sekarang gue harus menjalaninya lagi!” Tak terasa air mataku turun.

Aku teringat 6 tahun lalu bagaimana sulitnya bertahan di lingkungan kerja di sini, semua senior menginjakku seolah aku sampah, aku diperlakukan seenaknya, semua pekerjaan kulakukan 2 kali karena mereka sengaja menyesatkanku, Mbak Ida pun dulu belum sebaik ini, aku sendirian waktu itu melawan para senior. Walau aku kebanyakan kalah, tapi aku berusaha berdiri, bertahan dan sekarang, haruskah aku diperlakukan sama? apa karena aku hanya seorang admin makanya posisiku yang rendah ini dianggap tidak berguna, hingga dia berusaha membuatku tidak betah dan berharap aku keluar dari perusahaan, itu kah yang dia mau? Mister X, aku tidak tahu bahwa pria yang kucintai dalam khayal selama 10 tahun ini adalah monster.

“Nam, liat gue, liat gue.” Mbak Ida memegang tanganku. “bertahan, ini cuma masalah kopi, masa lu kalah.”

Aku hanya mengangkat bahu, sungguh aku kecewa dengan hidup ini hatiku hancur berkeping.

...

Sudah sore, Mbak Ida dipanggil ke ruangan si Mister X, sudah sekitar 2 jam dia belum balik, apa meeting tadi pagi belum puas juga dia, kenapa sekarang masih mencecar Mbak Ida? Dia memanggil Mbak Ida secara personal, mereka membicarakan tentang format beberapa dokumen, aku memang sudah email semua format dokumen mulai dari formulir lembur, formulir cuti, formulir gudang dan beberapa formulir lain terkait pencetakan dan pendistribusian majalah, nggak heran sih ini bakal lama, untung cuma mbak Ida yang dipanggil, emosiku belum reda sejak kejadian makan siang tadi.

Saat aku sedang asik mengerjakan laporan sambil sesekali buka youtube karena memang internet kami tidak di lock jadi bebas buka apa saja, telepon mejaku berdering, kulihat nama Lastri terpampang di layar telepon mejaku.

“Napa Las?” aku bertanya.

“Wang, lu naik ya, tapi inget Wang, tarik nafas dulu, jangan emosi, jangan cari ribut, pokoknya lu harus tenang ok.” Ternyata Mbak Ida yang telepon dari meja Lastri.

Aku dipanggil ke ruangan si Mister X, peringatan mbak Ida malah membuat dadaku memanas, ada apa lagi ini, apakah aku target karyawan yang memang akan di keluarkan karena kurang produktif, mengingat absenku buruk, jadi seharian ini aku dicecar oleh GM langsung? apakah dengan membuat aku tidak betah itu menjadi pencapaian baginya? aku naik dengan emosi di dada, apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Toh, aku nggak suka di rendahkan seperti ini, apalagi dia yang melakukannya, dia yang ....

______________________________

Catatan Penulis :

Aku bukan cinderela yang mengharap pangeran datang dengan sepatu kaca

Bukan juga rapunzel, berharap pangeran menjemputku di kastil, rambutku jangankan indah, panjang saja tidak. Apalagi putri salju, yang kecantikannya melampui semesta

Tapi salahkah jika aku berharap, kau yang kutunggu dan kucintai dalam penantian, mampu melihatku dengan indah.

(Bagian 3 : Harga Diri)

Aku melangkahkan kaki ke ruangannya, bersiap dengan senjata dan amunisi di tangan, jika ini adalah perjuangan terakhir untuk sebuah kemerdekaan yang akan kami dapatkan sebagai pegawai setia. Maka, aku siap mengorbankan jiwa dan raga sampai tetes darah penghabisan.

“Las, gue masuk, ya.” Aku menyapa Lastri asisten GM, kami memang harus ijin dia dulu kalau mau bertemu dengan Mister X.

Aku masuk ruangan GM, disana ada Mister X. Tentu saja, kan ini ruangannya. Dia duduk di meja. Oh, ternyata mejanya sudah diganti dengan meja besi warna putih, sebelumnya pak Bimo pakai meja kerja kayu berwarna coklat, papan nama pak Bimo juga sudah diganti menjadi papan namanya.

Di depannya ada Mbak Ida duduk di bangku sebelah kanan, walau ada sofa tapi mbak Ida memilih duduk di depan meja kerja Mister X, jadi mau tidak mau aku mengambil bangku sebelah kiri.

Aku dan Mbak Ida berhadapan dengan Mister X, kami terpisah meja kerja.

“Pak.” Aku menyapanya, dia masih memandang laptop tanpa menoleh.

“Ok Namira, saat ini kami membahas tentang formulir lembur, kata Ibu Ida kamu yang mengurus langsung formulir ini, benar?”

“Betul pak, sejak enam tahun lalu, saya ....“

“Lihat baik-baik, apa ini form nya?” Dia memotong kata-kataku, aku menarik nafas dan mengambil form yang dia sodorkan, form kosong formulir lembur.

“Betul, ini pak form-nya.” Aku mengembalikan form tersebut kepadanya.

“Kamu tahu, berapa persen tren kenaikan lembur dua tahun belakangan?”

“Saya harus cek data dulu pak.” Karena jujur aku tidak pernah membuat grafiknya, maksudku, Mbak Ida dan aku tidak pernah membuat laporan semacam itu.

“Tidak perlu, kamu lihat ini.” Dia mengarahkan laptopnya padaku dan menunjukan grafik tren kenaikan lembur dua tahun belakangan. Aku menutup mata, karena presentase kenaikannya mencapai angka 85%, angka yang cukup signifikan. Kalau secara keuangan, ini bisa saja menjadi kerugian walau memang harus dikaji kembali apakah lembur tersebut efektif sehingga sepadan dengan pendapatan perusahaan, yang artinya, lembur tersebut sudah tepat atau hanya permainan dari pegawai dan aku lah penanggung jawabnya.  Maka, aku harus bertanggung jawab jika terbukti bahwa lembur tersebut adalah tindakan curang dari pegawai, karena bocornya sistem.

“Saya sudah memeriksa bahwa form yang mereka setor dan laporan absen sudah sesuai, tidak ada lembur bodong, mereka bekerja sesuai dengan jam lemburnya atau overtime dan perusahaan berkewajiban membayar hak pegawai tersebut sesuai ketentuan. Perhitungan saya pun tidak meleset atau melanggar sistem perusahaan, jam perjam, sudah saya cek berkali-kali sebelum sampai di meja Mbak Ida, artinya bahwa tidak ada kerugian yang perusahan ....“

“Bukan itu pertanyaan saya Namira,” lagi-lagi dia memotong kata-kataku, “apakah menurutmu mereka perlu lembur? apakah perlu kami membayar overtime atas kinerja mereka? atau kamu bekerja sama dengan mereka untuk saling menguntungkan.” Aku menatapnya dengan tajam dan bermaksud membalas tuduhan keji itu.

“Pak Gio bisa cek, bahwa format form lembur sudah dirombak oleh Namira pada tahun 2014 artinya 4 tahun lalu.” Mbak Ida menahan tanganku lagi, dia berusaha mencairkan suasana.

“Ok, lanjutkan.” Mister X mendengarkan mbak Ida.

“Bahwa sebelum ini, form lembur hanya berisi kolom nama pegawai, nomor induk, tanggal, jam mulai lembur dan jam selesai lembur, sudah itu saja. Pada tahun 2014 akhirnya form tersebut dirombak karena Namira merasa ada yang salah, ada yang kurang, yaitu pembuktian kerja dari jam lembur yang diakui.” Mbak Ida melanjutkan. Aku bahkan lupa masalah itu karena emosi, Mbak Ida memang atasan terbaik.

“Pak Gio bisa lihat pada form tersebut ada kolom keterangan, disitulah akhirnya diberi keterangan mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai yang lembur, itu karena Namira fight, sebelumnya sempat tertolak oleh para Direksi, tapi akhirnya disetujui.” Mbak Ida masih mencoba membelaku.

“Itu maksud saya Namira, kamu sudah mencoba mengkoreksi, tapi itu setengah matang, lalu apakah setelah pegawai yang lembur memberi keterangan dia lembur, selesai? bagaimana cara kami tahu bahwa lemburnya efektif? bagaimana kami menilai perfomance kerjanya? apakah dia memang memerlukan lembur itu untuk meningkatkan pekerjaannya atau meningkatkan pendapatannya? seharusnya kedua belah pihak untung, bukan hanya satu pihak. Seharusnya baik Pegawai maupun perusahaan, mendapatkan benefit dari lembur yang diakui!”

“Pak, Namira sudah melakukan yang terbaik yang dia bisa lakukan untuk memposisikan dirinya menjadi pegawai yang memenuhi aturan perusahaan, tetapi ....”

“Ibu Ida, bisakah ketika saya bertanya pada Namira, maka dia yang menjawab, apakah kamu walinya sehingga dia tidak mampu menjawab sendiri.” Mbak Ida terdiam, emosiku sudah sampai di tenggorokan.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar, baiklah aku akan memberitahunya, dengan siapa dia berurusan.

“Saya mengerti bahwa BAPAK GIO membutuhkan koridor yang jelas sebagai acuan untuk menilai apakah lembur tersebut memang dibutuhkan atau hanya sekedar untuk menambah pendapatan pegawai, apa yang harus saya lakukan?” Dia hanya sedang mengujiku, sejauh mana pemahamanku tentang kepegawaian.

“Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merombak form lembur, tambahkan kolom detail pekerjaan, lalu result kolom tersebut harus berada sebelum kolom keterangan. Lihat ini, salah contoh lembur dari bulan lalu.” Dia mengambil form lembur yang telah diisi pegawai.

“Adi Reporter, dia lembur dri jam 16:31 sampai jam 20:05, kurang lebih dia lembur 3 jam setengah, hak yang dia dapatkan adalah 50 ribu konpensasi lembur sampai jam 8 malam, lalu 5 menit untuk jam berikutnya yaitu sekitar 1.700 rupiah karena sesuai kesepakatan perusahaan bahwa setelah jam 8 malam maka lembur dihitung 20 ribu perjam, total pendapatannya adalah 51.700 untuk satu kali lembur, selama seminggu dia lembur 3 kali, total selama sebulan dia lembur adalah 9 kali maka pendapatan lemburnya kurang lebih 465.000, pertanyaan saya adalah, dari 9 form lembur ini, apakah kamu tahu tentang ini?” Dia menunjuk satu persatu form lembur Adi Reporter pada kolom keterangannya.

Isi form keterangan lemburnya itu kalimat yang sama yaitu ‘buat artikel untuk majalah’. 9 form tapi semua keterangan sama, yaiyalah sama, kan dia reporter, tugasnya ya buat artikel untuk majalah, kebetulan dia pegang wilayah Jakarta Utara saja ... oh, damn!

“Sudah mengertikan? Dia hanya pegang satu wilayah saja, yaitu Jakarta Utara. Majalah kita terbit hanya 2 kali dalam sebulan, untuk iklan semua format hanya tinggal copy paste, yang beda hanya pada beberapa lembar halaman di rubrik tokoh ternama, paling banyak 3 lembar, maka secara logika selama satu bulan artikel yang dibuat Adi hanya 6 lembar, dimulai dari liputan sampai editing, yang edit ada tim lain bukan dia, kan? pertanyaan saya, 22 hari kerja di jam kerja reguler selama sebulan, masa iya dia nggak bisa bikin artikel 6 lembar, sampai harus lembur 9 kali dalam sebulan hanya untuk  6 LEMBAR ARTIKEL! hanya untuk 2 edisi terbit! Bukankah dia reporter senior?” Mister X melempar kertas lemburnya, bukan ke arahku, tapi jujur aku merasa, merasa memang aku tidak pantas bekerja di sini, aku fikir aku sudah cukup baik mengerjakan pekerjaanku, tapi aku salah, seharusnya aku lebih teliti.

Mister X benar, bahwa sistem lembur kami terlalu longgar, seharusnya memang sistem lembur ini perlu dikaji ulang, aku tidak menyadari, tapi apalah aku, hanya seorang admin, sedang Pak Bimo saja yang seorang GM tidak menyadarinya dulu.

“Buat format form-nya hari ini Namira, sesuai yang sudah saya gambarkan tadi, tambahan kolomnya harus persis, jika sudah saya setujui baru kita cetak form tersebut. Ibu Ida, saya minta tolong, biarkan admin ini mengerjakan tugasnya, jangan dibantu!” aku menunduk saja, karena memang aku salah.

“Aku akan mereviewnya besok begitu sampai kantor, kirim draft-nya dan satu format yang sudah kau isi sebagai contoh.”

“Baik Pak.” Aku menunduk.

Ada yang mengetuk pintu ruangan Mister X.

“Pak, Ada meeting dengan tim Marketing sebentar lagi, mereka sudah siap di ruang meeting.”

“Ok, saya akan kesana sebentar lagi.”

Aku dan Mbak Ida berdiri dari duduk kami dan keluar ruangan, Mbak Ida permisi, aku hanya mengangguk dengan wajah sendu, aku merasa bahwa kerugian perusahaan karena ulahku.

...

Jam tujuh malam, aku sedang lembur. Mbak Ida dan semua pegawai pergi ke acara penyambutan GM baru, aku nggak ikut, nggak mood, aku bilang nggak enak badan sama Mbak Ida, dia nggak tau aku lembur, paling besok dia ngomel.

“Namira, belum jalan?” Aku kaget, ternyata si Mister X yang menyapaku. Aneh, dia yang punya acara, kenapa belum jalan? aku fikir hanya tinggal aku, OB dan satpam.

“Tidak ikut pak.” Aku menjawab tanpa menoleh, terpaku pada laptopku.

“Mau bareng ke sana?” Sok Baik, tadi aja lempar-lempar kertas.

“Tidak Pak, terima kasih, aku sedang menyelesaikan FORM LEMBUR KARYAWAN, besok kan harus ada di meja bapak.” Aku memberi penekanan pada kata-kataku.

Kulihat dia berlalu tanpa menjawab, tersinggung? bodo amat, nggak suka, ya pecat. Lumayan pesangon, kan, aku sudah pegawai tetap.

Aku melanjutkan lagi pekerjaanku.

Telepon genggam berbunyi, dari Mbak Ida. Dia pasti telepon mau mastiin aku udah minum obat belum, dia kalau aku sakit ribet, kayak ibuku.

[Ya Mbak?] Aku menjawab teleponnya.

[Wang, gue ke kostan ya, gue bawain bubur kesukaan lu, sama obat lu yang biasa.] dia memang orang terbaik yang aku miliki.

[Nggak usah, gue di kantor, lembur.]

[Eh sableng, lu kalo mau lembur ya bilang dong!] dia marah.

[Sorry, tadi gue males aja ikut, ya you know lah.]

[Masih kepikiran yang tadi? udah sih Wang, padahal kalo lu ikut asik tau, lu kan yang bikin suasana jadi rame, lagian si GM nggak dateng tau.]

[Pak Gio nggak dateng? aneh.] Bukannya dua jam lalu nawarin tumpangan? lah, dia malah nggak dateng.

[Iya aneh ya, dia yang punya acara, dia yang nggak dateng. Tapi nggak apa-apa, kartu kredit udah di tangan, makan bebas, sini Wang, makan enak.]

[Nggak ah ogah, iya aneh ya tu orang.] Aku tidak memberitahukan tadi Mister X menawari tumpangan ke acara, nanti dikira GR lagi.

Lalu Mbak Ida menutup teleponnya setelah beberapa wejangan, akupun bersiap pulang karena sudah jam sembilan malam. Yang penting kerjaanku sudah beres.

Aku keluar kantor, baru mau pesan ojek online, sudah lumayan malem bahaya juga nih, biasanya aku lembur tidak semalam ini.

“Namira.” Aku menengok, ada suara yang memanggilku. Aku sudah di pinggir jalan, tadi sempet keluar areal kantor karena lama kalau nunggu ojek online di dalam,. Untuk masuk areal kantorku, ojek online harus melewati pos parkir dan masuk ke dalam sekitar lima menit.

“Pak Gio? Malam pak.” Aku mengangguk dan berjalan, males harus berbasa-basi sama dia.

Aku berjalan menjauh, bersiap memesan ojek online lagi, lumayan lama sekitar 15 menit semua ditolak, kalau sudah malam kadang memang susah cari ojek online, apalagi ruko ini masuk komplek perkantoran ke dalam, jadi agak jauh ojek online jemputnya.

Bip ... bip ... bip ... Suara klakson mobil, mobil itu berhenti di depanku, lalu si pengemudi membuka kaca. Lah si Mister X lagi.

“Malam Pak.” Aku tersenyum, terpaksa.

“Naik Nam, sudah malam.” Dia lalu menutup kacanya sebelum aku menolak, sial! mau tidak mau aku akhirnya membuka pintu mobilnya dan dengan terpaksa naik.

“Terima kasih pak, nanti turunin saja di depan jalan raya yang ada angkotnya.”

“It’s ok, kita sejalan kok.”

“Loh memang rumah bapak di mana?”

“Oh ya, rumahmu dimana ya?” dia malah balik nanya, dasar Bambang! Tadi katanya sejalan.

“Di daerah Pramuka, Pak.”

“Ya, saya lewat situ kok.” Lah dia nggak jawab pertanyaanku.

Ah sudahlah, terserah, lagian nggak mau tau juga rumahnya d imana. Aku memandang jalan, tidak sengaja aku melihat pantulan wajahnya dari kaca mobil, aku memandangnya dari pantulan itu, dia masih setampan dulu, aku tersenyum.

Siapa sangka, dulu kami hanya teman papasan yang tidak saling kenal, sekarang aku menumpang mobilnya.

“Namira, kamu kost sendiri atau tinggal dengan orang tua?”

“Kost, Pak.” Aku kaget dia bertanya.

“Hati-hati kalau pulang malam, bahaya, banyak target begal adalah pegawai wanita yang sering lembur.”

“Iya pak.” Aku jawab dengan singkat.

Lalu kami sama-sama tenggelam lagi dengan suara deru mobil, parfumnya terasa sekali, teridentifikasi oleh hidungku yang mengingat kenangan sepuluh tahun lalu. Aku menatap ke depan, seolah-olah melihat jalan, padahal tenggelam dalam khayalan, tentang sepuluh tahun lalu. Seorang lelaki wangi yang tampan, dia memang ada di sampingku sekarang, tapi bukan milikku, dia milik seseorang yang cincinnya tersemat di jari manis itu. Lelaki sepuluh tahun lalulah yang milikku, dia adalah khayalanku, sedang yang di sampingku hanya kamuflase dari beratnya dunia nyata.

“Nam, Nam, Namira.” Aku merasa bahuku digoyang, loh udah di depan kost ku, wah aku ketiduran!

“Maaf pak, maaf.” Aku membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi tanganku ditahan. Oh aku berdebar, lelaki ini memegang tanganku.

“Nam, sebentar.” Dia menekan tombol seat belt! oh Tuhan, bodohnya aku, kenapa nggak buka seat belt dulu, pasti gara-gara panik tadi.

“Maaf pak, aku akhirnya turun dari mobil dan menutup pintu, lalu berlari ke gerbang kostku, menutupnya dengan cepat tanpa menoleh, mobilnya masih di sana. Lalu aku berlari naik tangga, kamar kostku memang terletak di lantai dua, aku berlari secepatnya, lalu pergi ke balkon, aku mau lihat dia masih di bawah atau tidak, ternyata masih di sana, setelah 5 menit dia baru jalan.

Duh Namira bodoh banget sih! ketiduran, lupa buka seat belt, ngorok nggak ya tadi? bodoh banget Namira! sebentar, loh kok Mister X tahu ya alamat kostku, memang sudah kuberitahu alamatnya tadi? kalau nggak salah aku cuma bilang di daerah Pramuka, apa aku sudah beritahu ya? tapi, tadi aku ketiduran. Ah, pasti sudah kuberitahu, makanya dia bisa sampai. Kalau belum, gimana caranya dia sampai sini. Pasti sudah kuberitahu.

Aku pun ke kamar, hari ini sungguh melelahkan, pertama bertemu Mister X, lalu dimarahi oleh orang yang bahkan kutunggu tanpa kepastian, jangankan berharap ditembak, tau namanya saja tidak. Lalu terakhir, diantar pulang oleh orang yang sama, yang mengaduk-aduk hariku seperti cendol.

__________________________

Catatan Penulis :

Mengapa berat sekali bertemu denganmu saat ini, karena saat itu masih ada yang tertinggal, masih ada yang belum terselesaikan, masih ada yang belum aku sampaikan.

Tapi saat ini bahkan sekedar bilang halo saja aku tidak mampu, lalu bagaimana mungkin aku bilang cinta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!