Hari masih begitu pagi, tapi indah suasana khas Desa Randu Ginting sudah mulai tercium. Sudah hampir 5 tahun Rere meninggalkan desa kelahirannya itu. Senang rasanya bisa kembali menjamahi bentangan sawah menguning, gemricik sungai yang mengular dan riuh suara para penduduk desa lalu lalang di sepanjang jalan.
Rere menurunkan kaca mobil, menghirup sejuknya udara pagi nan bersih yang jarang bisa dinikmatinya di ibu kota.
Tak lama kemudian mereka berhenti di sebuah persimpangan di bawah gapura bertuliskan Desa Randu Ginting. Simpang Bengkok, begitu biasa warga menyebutnya, karena dulu, tidak jauh dari situ terdapat jalan berkelok sempit yang menukik tajam dan cukup terjal. Namun, sekitar 6 tahun lalu jalan itu diperlebar pasca terjadinya kecelakaan yang menewaskan Lurah waktu itu.
" Sudah sampai kak," ucap sopir taxi online ramah
Rere tersenyum sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan, " terimakasih ya pak."
Si sopir mengambil uang itu lalu segera menurunkan koper dari bagasi dan pergi meninggalkan Rere bersama barang bawaannya di pangkalan ojek di salah satu sudut Simpang Bengkok.
Jalan menuju rumahnya masih sangat jauh, sekitar 3km lagi. Saking sempit dan sulitnya jalan itu hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Inilah salah satu alasan yang membuatku malas pulang ke rumah meskipun teramat sangat merindukan Bapak dan Ibu. Sebelum itu aku masih harus menempuh 14 jam perjalanan dengan kereta api ekonomi ditambah dengan 50 menit perjalanan dengan taksi online d stasiun ke Simpang Bengkok. Luar biasa.
Sudah hampir setengah jam Rere menunggu, tapi tak satupun ojek datang ke situ. Sempat berniat menelepon Bapak untuk menjemputnya, tapi segera diurungkan karena ia ingin memberikan kejutan pada kedua orang tua yang sudah sangat lama dirindukannya.
Membayangkan alasan kepulangannya, tiba-tiba saja Rere teringat Akmal, pria yang dengan tega mencampakkannya demi Mayang, putri tunggal Pak Bagas.
***
Akmal adalah kakak tingkat Rere di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu perguruan tinggi negri di Jakarta. Mereka menjadi akrab karena sering terlibat dalam berbagai kegiatan Hima Prodi dan unit kegiatan mahasiswa jurnalistik. Hingga akhirnya mereka memutuskan berpacaran pada tahun kedua kuliah Rere.
Akmal menjadi satu-satunya kerabat bagi Rere di Jakarta karena memang ia tidak memiliki sanak saudara satupun disana. Ketika memutuskan hijrah jauh dari kampung halamannya, Rere ingin menjadi sarjana ilmu politik agar dapat memuluskan cita-citanya menjadi anggota dewan. Ia tidak puas hanya menjadi anak desa lulusan SMA yang kebanyakan berakhir di ladang atau pasar seperti teman-temannya yang lain. Dan Pak Burhan, ayahnya, sangat mendukung keinginannya itu.
Lulus dengan predikat memuaskan, Rere memutuskan untuk menjadi anggota salah satu partai politik yang diketuai Pak Bagas, ayah Mayang. Rere dipercaya menjadi sekretaris partai tingkat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan sudah banyak mendapat kesempatan bertemu tokoh-tokoh politik ternama. Meskipun baru setahun, cukuplah baginya untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapatnya dari bangku kuliah.
Rere sangat beruntung karena dipercaya, bahkan sering dijuluki 'tangan kanan' Pak Bagas oleh teman-temannya. Karena kepiawaian Rere, ia sering dipercaya untuk mewakili Pak Bagas dan parpolnya dalam even-even besar politik daerah.
Rere memanfaatkan peluang dan kepercayaan dari Pak Bagas untuk menjadikan Akmal wakil bendahara DPC parpolnya. Tapi bak bumerang, Akmal justru menjadi tak terkendali, banyak terlibat dalam kasus penyelewengan dana dan bahkan mendekati Mayang untuk meraih simpati Pak Bagas dan menyingkirkan Rere yang dianggapnya terlalu banyak mengetahui rahasia dan keburukan Akmal.
Semakin memikirkan Akmal semakin dadanya sesak. Rere ingin segera pulang dan menumpahkan sesaknya diatas kasur kesayangannya.
Dikejauhan ia melihat motor melintas ke arahnya. dengan sigap ia melambai menghentikan motor yang dikiranya ojek itu.
Tanpa banyak bertanya, Rere segera menata barang-barangnya diatas motor. Koper didepan abang ojek, ditindih kardus oleh-oleh untuk bapak dan ibu, lalu tas jinjing besar diantara ia dan abang ojek. 'Beres!' pikirnya
" Dah bang, dusun Kopian ya.. Rumah Pak Carik." titahnya enteng
Abang ojek yang masih tampak bingung tak kuasa menolak dan bersusah payah memulai perjalanan mereka yang sesekali diganggu oleh kardus dan koper yang hendak jatuh bergantian.
Tidak banyak yang berubah. Pemandangan dan suasana jalanan masih sama seperti saat ditinggalkan Rere 5tahun lalu. Hanya ada beberapa bangunan baru yang tampak di sisi kiri kanan jalan yang mereka lalui. Sesekali abang ojek menyapa ramah warga yang mereka temui, tapi memang begitulah suasana akrab warga kampungnya yang sangat jauh berbeda dengan Jakarta.
Sekitar 500 meter sebelum rumah Rere ada jembatan kecil ditengah sawah yang menghubungkan Dusun Kopian dan Dusun Wajik. Tidak terlalu lebar, hanya sekitar 1 meter dan panjang sekitar 10 meter. Walaupun bisa, tapi sangat sempit untuk digunakan dua motor berpapasan.
Si Abang ojek hendak berhenti, untuk memberi kesempatan motor lain yang hendak melintas dari arah berlawanan. Tapi karena terlalu mendadak, motor dibelangnya kaget & terlambat mengerem. Akhirnya terjadi totolan, si Abang Ojek tidak mampu menguasai motor karena terganggu tumpukan barang bawaan, lalu motor mereka oleng dan koper roboh diatas kubangan.
Rere yang mendapati pakaiannga kotor karena lumpur mengamuk.
" Eh kamu! Sebenernya bisa bawa motor ngga sih?!!" sergahnya sambil melotot dan muka merah padam
" Ya maaf mbak, namanya juga kecelakaan." timpal si tukang ojek memeriksa kondisi motornya
" Eh, mas! Yang jatuh itu saya, kok motor duluan yang ditolongin sih?!" Rere kesal karena si tukang ojek lebih peduli dengan motor daripada dirinya.
" Maaf yang mbak, saya ngga sengaja." kata si penabrak sambil berusaha membantu Rere berdiri dan memunguti barang-barangnya yang ikut tercecer. " Tadi saya kaget masnya tiba-tiba ngerem"
Mata si penabrak beralih dari Rere ke Abang Ojek, " loh, Mas.... "
Si abang ojek memotong kalimat si penabrak dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Si penabrak yang tampak masih bingung hanya menurut saja.
" Sekali lagi saya minta maaf ya mbak," lanjutnya sebelum pergi meninggalkan mereka.
***
Kejadian pagi itu masih sangat menjengkelkan bagi Rere, tidak pernah dibayangkan ia akan pulang dengan pakaian kotor penuh lumpur. Saking kesalnya, Rere langsung masuk rumah tanpa mengucapkan terimakasih pada tukang, bahkan ia sampai lupa membayar.. ups
Rere menepok jidatnya 'o iya, kok aku bisa lupa bayar yah?!' ada sedikit sesal dan rasa bersalah terselip. Rere segera menghampiri ibunya.
" Bu, tadi ibu lihat kan tukang ojek yang nganterin aku bu?" tanya Rere tergesa-gesa
" tukang ojek?!" tanya ibu ragu, " oh, yang tadi pagi itu?" lanjut ibu sambil tertawa
" kok malah ketawa sih bu?" tanya Rere tak mengerti, " iya itu, aku tadi lupa bayar. habisnya masih kesel habis dijatuhin ke lumpur." imbuhnya membela diri sendiri
" udah tenang aja.."
" udah ibu bayar?!" potong rere bersemangat
ibu menggeleng, " Ibu sudah bilang makasih,"
" kok cuma makasih doang sih buk, dia kan butuh upahnya."
ibu kembali tertawa, " hus, ngawur kamu. Dia itu bukan tukang ojek. Dia itu Bima, putranya mantan lurah, Pak Danar almarhum."
Rere melongo, kaget dengan penjelasan ibunya, " jadi maksud ibu, Bima si berandalan yang pernah ngehajar anak-anak di toko bik sumi itu ya bu?" Rere berusaha mengingat
" iya, yang itu. Bimantara Sadewo, kakak kelas kamu waktu SMP, yang pernah memukuli anak-anak di warung bik Sumi karena mereka ketahuan mencuri rokok dan uang milik Bik Sumi."
Rere tercengang mendengar penjelasan ibunya. Yang dia ingat selama ini Bima adalah kakak kelasnya yang terkenal nakal, suka memberontak dan berkelahi. Berbanding terbalik dengannya yang dikenal sebagai anak sopan dan berprestasi. Tapi dia baru tahu bahwa ternyata ada alasan yang cukup mulia dari tindakannya itu.
' Ah, siapa peduli motifnya apa? yang jelas dia sudah sering dihukum guru karena berbuat berkelahi dan melanggar aturan sekolah, titik!' pikir Rere
***
Malam itu Pak Burhan kedatangan tamu, Pak Roni, salah satu anggota panitia pemilihan kepala desa Randu Ginting. Rere yang mendengar percakapan mereka dari ruang makan, mulai penasaran.
" Bu, emang mau ada pelkades lagi?"
Ibu mengangguk sambil membereskan meja makan.
" Siapa aja calonnya bu? Masih suka sengit kaya dulu ngga bu?" tanyanya lagi
" Besok baru mau diumumkan calonnya. Ibu rasa malah bakal lebih sengit dari sebelumnya. Tapi mudah-mudahan tidak ada korban lagi." jelas ibu
Meskipun kampung mereka termasuk pelosok dan tidak terlalu luas, namun pemilihan lurah selalu menjadi pertarungan yang sangat sengit. Selain karena kesuburan lahan dan sumber daya alam lain yang dimilik, Lurah merupakan sebuah posisi yang sangat dihormati disana. Dan posisi itu telah dikuasai turun temurun oleh keluarga Wardoyo yang dikenal korup dan tidak adil oleh mayoritas warga. Namun, karena kekuasaan keluarga wardoyo yang luar biasa, warga tidak mampu berbuat banyak. Selain menguasai sebagian besar area persawahan dan hutan jati di kampung itu, keluarga Wardoyo juga mengelolah peternakan yang cukup besar yang mempekerjakan hampir setengah penduduk dewasa desa Randu Ginting.
Sepuluh tahun lalu, ada seorang warga yang memberanikan diri mencalonkan lurah Randu Ginting menggantikan keluarga Wardoyo yang berkuasa saat itu. Beliau adalah Pak Danar. Meskipun menang dengan dukungan lebih dari 60% lebih suara warga, toh pada akhirnya Lurah terpilih itupun meninggal dunia karna kecelakaan yang terjadi di Simpang Bengkok setahun sebelum masa jabatannya berakhir.
***
Seorang wanita paruh baya tengah duduk termenung di depan sebuah foto.
" Sudah malam bu, ayo masuk ke kamar." ajak seorang pria padanya.
" Ibu belum ngantuk Bim, ibu kangen bapakmu." sahutnya disusul isak tangis
" Udahlah bu, ibu jangan kaya gini terus. Kasian Bapak bu. Bapak pasti ngga tenang lihat ibu begini terus." bujuk si anak
" Bim, Bapak dan Ibu ngga akan pernah bisa tenang sebelum kamu tuntaskan soal kematian Bapak. Kamu harus membalaskan sakit hati Ibu." jawabnya getir
" Bu, mau sampai kapan ibu seperti ini terus? Sudah 6 tahun loh bu, dan kita sama sekali tidak bisa menemukan bukti bahwa kematian Bapak itu berkaitan sama keluarga Wardoyo..."
" Enggak bim, ibu yakin itu ulah mereka. Ibu dengar ucapan mereka. Persekongkolan keji mereka."
" bu.."
" Kamu harus maju pada pilkades, ibu ngga rela keluarga pembunuh seperti mereka terus memimpin desa kita." potong si ibu
" Tapi bu.."
" Kalau kamu membantah perintah ibu, ibu akan pergi dari kampung ini. Ibu tidak sudi lagi diinjak-injak dan diperlakukan tidak adil oleh bajingan macam Subandi."
" Bu, ibu kan sudah dengar dari pak Roni, bahwa pak Subandi ngga akan ikut pilkades lagi."
" Tentu, karena ia tahu betul peluangnya semakin kecil. Dia tidak akan rela mengorbankan hartanya untuk mengulang kekalahan yang sama dengan Bapakmu. Karena ibu sengaja menyebarkan rumor bahwa kamu akan maju jadi lurah, ia pasti sedang mempersiapkan akal bulus untuk memajukan anaknya menjadi sainganmu."
" Tapi bu, Bima ngga pengen jadi lurah. Bima ngga mau mati sia-sia seperti Bapak. Lebih baik Bima jadi mafia lalu Bima habisi semua keluarga Wardoyo. Untuk apa susah-susah jadi lurah bu?!"
" Bima! sang ibu menatap tajam anaknya. Amarahnya memuncak. " Kamu pikir ibu membesarkanmu untuk jadi orang bejat macam Subandi?! Ibu kecewa sama kamu! " beranjak meninggalkan Bima menuju biliknya.
Bima bergeming, ia sungguh tidak berminat menjadi lurah. Selain karena merasa kurang mumpuni, ia sama sekali tidak berminat dengan intrik politik. Apalagi harus berurusan dengan keluarga Wardoyo. Meskipun ia masih belum yakin bahwa Subandi Wardoyo adalah dalang dibalik musibah yang menewaskan Bapaknya, terselip rasa tertantang yang sangat besar dalam hatinya untuk membuktikan kebenaran akan apa yang diyakini ibunya selama ini. Dan itu akan menjadi lebih mudah bila ia benar menjadi kepala desa.
Akhirnya Bima bertekat untuk menuruti kemauan ibunya. Ia memastikan keikutsertaannya pada Pak Roni lalu mengurus semua kelengkapannya. Meski di dalam hati kecilnya ia merasa tak akan mampu menjalankan tanggung jawab tersebut seorang diri.
***
" Gimana Pak, apa sudah keluar nama bakal calon lurahnya?" tanya ibu ditengah acara sarapan bersama pagi itu.
" Wes bu, persis dugaan kita bu, Azka Wardoyo sama Bima putranya pak mantan lurah almarhum."
" Mesti Pak Danar bangga, Bima mau meneruskan cita-citanya ya Pak."
" Seng mesti, bangga karena Bima mau melawan orang-orang dzolim model Subandi." timpal Pak Burhan
Aku yang hanya mendengar percakapan mereka tertarik dengan nama Azka
" Pak, azka itu, si Azka temen Rere SMP dulu pak?" tanyaku
" Iyo nduk, koncomu sak kelas. Yang selalu membuat onar dan marusak tamanmu karena dipake main bola," Bapak meneguk kopinya, " terus ngomong-ngomong, kamu kapan rencana balik ke Jakarta? Apa bener yang ibumu bilang. Katanya kamu ambil cuti panjang untuk mudik?" selidik Bapak
" Nggih pak, Rere kan sudah lama ngga pulang kampung, jadi mumpung dapat kesempatan cuti Rere minta waktu lebih lama. Kan Rere masih kangen sama Bapak Ibu." timpalku meringis manja
" Ya sudah kalo memang begitu, Bapak mau ke Balai desa dulu."
Pak Burhan, ayah Rere adalah carik di Desa Randu Ginting. Meskipun pernah melewati tiga periode pemerintahan kepala desa yang berbeda, toh keluwesan sikap pak Burhan bisa diterima oleh semua pihak. Pak Burhan terpilih menjadi carik sejak masa kepemimpinan Pak Satrio Wardoyo, kakek Azka, yang kemudian digantikan Pak Danar, ayah Bima yang hanya menjabat selama 4 tahun karena meninggal dunia. Lalu digantikan Pak Subandi, ayah azka yang sekarang masih menjabat sampai tiga bulan kedepan. Selama masa itu, Pak Burhan terkenal netral dan bijaksana, sehingga mampu bertahan ditengah konflik kepemimpinan keluarga Bima dan Azka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!