NovelToon NovelToon

Oh My Wife!

1. Bastian, Pria Kacang!

Joe Morgan melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Ternyata gadis itu sedang melamun. Pantas saja dia tidak menjawab.

Joe sudah memanggilnya tiga kali.

“Aria?” akhirnya Joe menyikut Aria. Dia tidak tahan lagi diabaikan. Dia butuh dihibur.

Dirinya sedang menderita patah hati, Bastian, kekasihnya selama dua tahun berselingkuh.

Dan Aria, gadis itu berjanji untuk menghiburnya, tapi bukannya terhibur, Joe malah semakin merasa sedih karena diacuhkan oleh Aria.

Dia menyesal telah menolak Britney yang mengajaknya sleep over hanya karena dia tergoda dengan janji palsu Aria yang mengatakan jika dia bersedia untuk menemaninya dan mendengarkan curhatannya.

“Tidak ada gunanya kau berkeluh kesah. Itu tidak akan mengubah kenyataan jika kau diselingkuhi” Aria menyerang dimana itu paling menyakitkan.

“Aria!” Joe berteriak. Menghentakan kakinya ke lantai. Dia tersenyum kecut, menyadari bahwa itu adalah salah dirinya sendiri karena menaruh harapan kepada Aria.

Jelas-jelas Aria bukan tipe orang yang akan mendengarkan keluhan orang lain dengan sabar. Apa lagi menghiburnya.

Yang ada dia akan semakin sakit hati. Aria tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, dia akan mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya tidak peduli itu menyakiti hati atau tidak.

Dia bilang dia tidak punya cukup gula untuk dibagikan kepada orang lain.

“Lalu maumu apa? Selain membuatnya bonyok tidak ada bantuan lain yang bisa aku tawarkan.” Aria meraup kacang di piring.

Joe menelan ludah. Memang benar jika dia ingin hal buruk menimpa Bastian. Tapi jika dia meminta Aria untuk memukulinya dia rasa itu berlebihan. Bisa-bisa polisi akan mendatangi rumahnya dengan membawa surat ijin penangkapan.

Dia merinding membayangkan dirinya meringkuk dibalik jeruji penjara.

Tapi kalau Aria melakukan itu dia yakin tidak akan ada polisi yang mendatanginya.

Selama lima tahun mengenal Aria dia mengetahui sebuah fakta bahwa gadis itu memiliki bakat untuk menjadi kriminal.

“Ada satu lagi yang bisa aku lakukan” Aria menyeringai, penuh dengan janji, membuat gesture menggunting dengan tangannya.

Joe mendelik. Tidak tahu bagaimana cara kerja otak Aria. Dia jadi merasa kasihan kepada siapapun yang menjadi pasangan Aria di masa depan. Aria terlalu liar dan tidak berpegang pada norma masyarakat seperti manusia pada umumny, dan jelas dia tidak taat pada hukum. Sekalinya dia merasa perlu melakukan sesuatu gadis itu tidak akan memikirkan opini orang lain.

Dia akui ide Aria untuk mengebiri Bastian terdengar lebih memuaskan dari pada menghajar pria itu. Bukankah memang pantas hukuman seorang tukang selingkuh adalah dikebiri.

“Lagi pula apa sih hebatnya dia.” Aria meraup kacang lagi, “Pria kacang begitu.” Aria menjejalkan kacang-kacang itu ke dalam mulutnya yang masih penuh.

Melihat itu Joe ingin tertawa. Aria tampak seperti marmut.

“Bastian bisa menipumu selama dua tahun. Aku jadi ragu, apa kau ini psikiater gadungan?” Aria memberikan tatapan mencemooh.

Perkataan gadis itu memang sering kali menohok dan membuat sakit hati, tapi dia tidak merasa tersinggung sedikit pun. Karena itulah yang membuat persahabatannya dengan Aria awet hingga saat ini. Joe lebih senang mendengar Aria yang berbicara secara blak-blakan tanpa diberi pemanis.

Setelah dia tahu Bastian menyelingkuhinya, Joe mengalami down mental, dia terjatuh jauh hingga sampai pada titik dia meragukan dirinya sendiri.

Mempertanyakan apakah ada yang salah pada dirinya sampai-sampai Bastian melakuan hal itu.

Penghianatan Bastian membuatnya meragukan integritasnya sebagai seorang ahli psikolog.

Dia memiliki banyak tropi penghargaan, dia dinobatkan sebagai psikiater muda yang hebat dan berbakat. Sering mendapatkan undangan untuk mengisi kuliah. Tapi dirinya terkena tipu.

Bertingkah seperti badut dan memamerkan diri di depan Bastian. Betapa ironisnya semuai itu. Selama dua tahun ini dia pasti terlihat sangat bodoh di mata Bastian. Dia tidak sadar jika selama ini dia sedang dipermainkan.

“Tapi sudahlah, siapa di dunia ini yang tidak melakukan kesalahan.” Aria menatap Joe.

Joe tertegun, Aria benar, siapa yang tidak melakukan kesalahan. Bukankah ini hanya siklus kehidupan manusia. Wajar untuk sesekali membuat kesalahan, dengan begitu dia bisa belajar dari kesalahan itu agar dikemudian hari dia tidak mengulanginya lagi.

Joe kembali bersemangat, “Benar. Masih ada banyak ikan di laut.” Dia akan mencari pacar yang lebih tampan dan lebih setia dari Bastian.

“Kau juga kenapa melamun?” Joe ikut mengambil kacang di piring. Dia sudah menerima Bastian membodohinya. Tidak lagi ada penyesalan. Hidupnya tidak berakhir hanya karena seorang Bastian. That not worth it.

Aria menerawang, menghela nafas. Mempertimbangkan apakah dia ingin memberitahu Joe atau tidak. Pada akhirnya dia membuka mulut. “My father passed away.”

“Apa?” Joe terlonjak dari duduknya. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pasti dia salah dengar.

“My father passed away.” Aria mengulanginya.

“Apa aku harus mengantarmu pulang?” Joe tidak yakin apa pertanyaan itu tepat. Aria sepertinya tidak terpengaruh dengan kematian ayahnya. Joy tahu Aria memiliki hubungan yang buruk dengan keluarganya.

“Untuk apa? Dia mati semingu yang lalu.” Aria dengan santai mengupas kacang.

Joe tercengang, kembali duduk.

“Aku merasa lega orang tua itu mati.” Aria mengangkat tangannya, mengisaratkan kepada bartender untuk mengisi ulang gelasnya.

Saat mendengar kabar kematian ayahnya, yang Aria rasakan adalah perasaan lega. Perasaan tidak tenang yang selama ini menghantuinya setiap malam sudah hilang. Bahkan dengan tegas dia menolak untuk mengadiri pemakaman.

Malam itu pertama kalinya dia bisa tidur dengan pulas tanpa bermimpi buruk.

Tapi perasaan tenang yang dia alami berlangsung sangat singkat. Seperti rasa senang setelah menyelesaikan lima ronde di atas ring. Baru keesokan paginya dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Hatinya seperti sedang loading. Menunda emosi yang seharusnya dia rasakan dihari itu.

Begitu dia terbangun dari tidur pulasnya. Gelombang perasaan mengantamnya, dia menagis pagi itu. Air mata yang selama bertahun-tahun tidak pernah dia gunakan tiba-tiba mengalir. Membuatnya panik dan bingung.

Lalu ketika pengacara ayahnya menelponnya lagi dan membacakan isi surat wasiat yang ditinggalkannya oleh ayahnya sebelum mati, dia tertawa terpingkal-pingkal seperti orang gila seakan sedang mendengar lelucon yang sangat lucu.

Apakah perasaanya begitu murah sehingga pak tua itu berpikir untuk memberinya uang untuk menebus dosanya.

Cih!

Pak tua itu pikir dia akan bersyukur atas warisan itu? Atau sebenarnya itu hanyalah bagian dari rencananya untuk menghukumnya karena telah melarikan diri?

“Dia mewariskan hartanya kepadaku. Lucunya lagi, he called my name before his last breath.” Aria tertawa kecil. “Apa yang pak tua itu inginkan?” Aria bergumam lirih, mukanya semakin lama semakin masam.

Wira Pramudya pasti sengaja, pria itu sungguh polos jika mengira Aria akan langsung berlari pulang setelah dia mendengar hal itu. Hanya karena pak tua menghembusakan nafas terakhir dengan namanya, Aria tidak terenyuh.

Tidak! Justru rasa benci Aria kepada pak tua itu semakin bertambah.

Dia akan terus memendam dan menumbuhkan kebenciannya itu.

“Selama ini dia tahu aku ada dimana.” Tangan Aria mengepal. Merasa semakin ingin membuat pak tua itu mengeliat di dalam kubur!

2. Wira Pramudya

Joe menggelengkan kepala melihat Aria yang seperti kepompong di atas tempat tidur. Sudah satu minggu sejak pulang dari bar, Aria sama sekali tidak meninggalkan tempat tidurnya. Menggulung dirinya ke dalam selimut dan menatap langit-langit kamar seperti ikan asin yang digelar.

Aria memang bukan orang yang aktif dan memang lebih banyak mengabiskan waktunya di dalam rumah. Tetapi kelakuannya selama satu minggu ini benar-benar diluar perkiraannya.

Gadis itu memutuskan semua jaringan telekominikasi yang ada di rumah ini.

Aria juga telah mewanti-wantinya untuk tidak memerima telpon dari nomor asing dan tidak sembarang membuakan pintu rumah.

Dia tidak tahu apa yang Aria sedang hindari.

Saat Joe menanyakan alasannya, Aria mengatkan jika sekarang tingkat kejahatan sedang tingggi dan tidak ada salahnya untuk lebih berhati-hati.

Sampai pada siang hari tadi, barulah dia mendapatkan jawaban.

Aria menolak harta warisan dari ayahnya.

Pengacara ayahnya sudah kehabisan cara untuk menghubungi gadis itu hingga akhirnya dia menemui Joe. Memohon kepadanya untuk membujuk Aria agar mau bertemu dengannya.

“Aria apa kau benar-benar tidak mau menerima warisan itu.” Joe duduk di kasur Aria.

Dia sungguh tidak menduga jika Aria bisa menolak aset bernilai milliaran dollar tanpa mengedipkan mata.

Ayah Aria—Kristian Aji adalah pengusaha tambang sukses yang masuk ke dalam rangking sepuluh besar orang terkaya di dunia. Selain dari bisnis, keluarga Aji merupakan keturunan bangsawan terhormat yang kaya raya turun temurun dari nenek moyang.

Jangankan hidup berongkang-ongkang kaki dan tidur di atas tumpukan uang. Bahkan setiap berendam di dalam bathtub yang dipenuhi dengan berlian seperti adegan Taylor Swift dalam MV What You Made Me Do, kekayaan keluarga Aji tidak akan habis.

Membayangkannya saja sudah membuat Joy ngiler. Kalau Aria tidak mau Joe bersedia menggantikan sahabatnya untuk mewarisi dollar dollar itu.

“Wira Pramudya?” Aria melirik Joe.

Joe menganguk. Wira Pramudya memberitahunya sedikit banyak informasi. Darinya, Joe tahu jika Aria tidak mendapatkan warisan hutang seperti yang dia kira selama ini, gadis itu menerima uang dalam jumlah milyaran dan asset bergerak yang jumlahnya membuat Joe pening.

Tidak menyangka jika keluarga Aria ternyata sekaya itu.

Aria menggumamkan sesuatu lalu membalikkan badannya membelakangi Joe.

“Kau tidak mau menemuinya?” Joe meraih rambut Aria dan merapikannya.

Aria tidak merespon.

Joe merasa kasihan kepada Wira Pramudya, menyayangkan wajah tampan pengacara muda itu terlihat kusam dengan kantung mata tebal kerena kurang tidur, sudah pasti pria itu tidak istirahat dengan cukup selama satu minggu ini.

Joe hanya bisa menyalahkan nasib sial pria itu yang mendapatkan Aria sebagai client.

“Setidaknya aktifkan ponselmu.” Joe hanya bisa membantu Wira Pramudya sampai disitu. Dia merasa tidak berhak untuk mecampuri urusan Aria.

“Hmm.” Jelas dia tidak akan mengikuti sarannya. Aria sudah memceburkan ponselnya ke dalam akuarium tiga hari lalu. Jelas dia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menghubunginya.

Aria tampaknya sudah memperhitungkan semuanya.

“Wira Pramudya, apa dia masih single?” Joe mengalihkan topik. Dari pada mencampuri urusan Aria lebih baik di memenuhi rasa penasarannya.

Matanya berbinar ketika dia mengingat pertemuannya dengan Wira Pramudnya. Pria itu tampan dan tinggi. tubuhnya tidak terlalu atletis tapi Joe yakin dibalik kemejanya Wira Pramudya memiliki otot yang sempurna. Dan lagi ketampanan pria itu yang manis seperti anggota boyband korea membuatnya ingin menjadikannya sebagai sugar baby.

Setelah hubungan naasnya dengan Bastian seleranya berubah. Pria yang jinak sepertinya lebih cocok untuknya. Dan Wira Pramudnya adalah subjek yang tepat untuk dia jadikan percobaan.

Aria meliriknya sinis. Mencemooh lewat gerakan matanya.

Joe mengedipkan matanya. Mengabaikan tatapan jijik Aria. “Hmm?” dia memdesak Aria.

“Ayolah.” Joe mengedipkan matanya dengan menjijikan. Membuat Aria beringsut mejauh. Merinding dengan kelakuan Joe yang persis seperti kucing di musim kawin.

Dia mempertanyakan kewarasan otaknya. Kemana perginya akal sehatnya sehinga dia mau berteman dengan orang mesum seperti Joe.

Aria baru akan mengatakan sesuatu ketika bell rumahnya berdering.

“Abaikan saja.” Dia menahan tangan Joe yang hendak beranjak. Ada firasat buruk yang melintas di kepalanya.

Joe tidak jadi berdiri dan menuruti saran Aria. Kelihatannya memang aneh, dia tidak memesan delivery hari ini, juga jika itu teman atau keluarganya mereka akan menghubunginya terlebih dulu.

Bell itu terus berbunyi selama dua menit hingga akhirnya mulai terdengar ketukan tidak sabar.

Dia sedikit berharap jika Wira Pramudya yang berada di depan pintu mereka, tapi itu tidak mungkin, jika itu memang dia tidak mungkin dia mengedor-gedor pintu seperti itu. Pria itu kelihatan sopan dan kalem.

“Jangan-jangan perampok.” Pikiran Joe mulai mengelantur. Kemingkinan jika itu adalah perampok memang masuk akal. Tapi mengingat system keamanan komplek, itu mustahil. Ada dua penjaga berpakaian taktis didepan pintu masuk komplek dan sepuluh lainnya ditempatkan di titik lain. Mereka secara rutin berkeliling komplek.

Mereka berdua berdiri di depan layar monitor.

Mata joe bergerak dengan cepat, menatap secara begantian diantara Aria dan layar monitor.

Selain seorang pria kekar berpakaian serba hitam yang sedang menggedor pintu dengan anarkis. Ada dua orang lagi.

Joe tidak asing dengan kedua orang itu. Amelia Langton, wanita dermawan yang mendirikan banyak yayasan sosial, dan putri sosialitanya, Ariel Langton.

Joe pernah bertemu dengan dua orang itu pada sebuah acara amal satu tahun lalu.

“Kau mengenal mereka?” rasa penasaran Joe tidak lagi terbendung. Kenapa mereka berada didepan pintu rumah mereka?

Otaknya bekerja dengan cepat dan menghasilkan teori yang mengagetkan. Amelia Langton adalah orang Indonesia, sama dengan Aria. Nama tengah Aria sama dengan nama tengah Ariel Langton.

Jika diurutkan nama mereka juga mirip. Aria, Ariel, Amelia. Tidak mungkin itu hanya kebetulan bukan?

Joe membuka peramban di ponselnya. Mengetikan nama Amelia Langton ke dalam mesin pencarian.

Tangan Joe gemetar. “Aria, siapa sebenarnya kau ini?” Joe sepontan berteriak. Informasi baru ini tidak bisa dia cerna.

“Kau punya hubungan dengan keluarga Langton? Mereka bibi dan sepupumu?” tebak Joe.

Aria tidak menggubris Joe. Matanya terpaku pada layar monitor. Menggumamkan sesuatu dalam bahasa Indonesia.

“Here come the devil.” Aria menarik ganggang pintu dengan kasar dan menyebabkan pria kekar berpakaian hitam hampir terjengkang dan menimpa Joe.

“Apa mau kalian?”

Aria lagi-lagi berbicara menggunakan bahasa Indonesia.

Joe dengan kemampuan berbahasa Indonesianya yang sebatas, aku,kamu dan cinta, hanya bisa mengamati dari samping.

Tetapi tidak sulit untuk menebak apa yang sedang terjadi, expresi mereka mencerminkan semuanya.

“Kak Aria, mama…” Ariel membuka mulutnya.

“Hentikan itu, kau dua tahun lebih tua dariku.” Aria memotong dengan cepat.

Ariel sedikit terkejut, air mukanya berubah masam. Tapi dengan cepat dia menguasai emosinya. Kembali menampakan wajah yang elegan.

“Kak Aria, jangan begitu, mama benar-benar merindukanmu.” Ariel mencoba meraih tangan Aria, yang dengan cepat ditepis oleh Aria.

“Kak Aria,” Ariel memanggilnya lirih. Matanya yang begetar dan mulai berkaca-kaca. “Aku mohon jangan marah kepada mama.” Ariel ingin mendekati Aria tetapi Amelia mencegahnya. Dia menarik Ariel ke sisinya.

“Aria. Jangan keterlaluan kamu!” Amelia berteriak, tidak lagi memperdulikan imagenya.

“Mama,” Ariel menarik lengan Amelia. Menatapnya dengan tatapan memohon, “Jangan marah kepada kak Aria. Ini semua salahku.” Ariel menundukan kepalanya, menatap ujung kakinya dengan gelisah.

Amelia menggertakkan giginya, hatinya seperti diremas melihat Ariel yang terus-menerus menyalahkan diri.

Inilah sebabnya Amelia melarang Ariel untuk ikut dengannya.

Ariel hanya akan menderita jika bertemu dengan Aria. Dan dengan bodohnya Ariel membela gadis tidak tahu diri itu dan memberikan kesempatan kepada Aria untuk menyakiti hatinya.

Putrinya yang malang.

3. Proklamasi Perang

Aria menyandarkan tubuhnya pada frame pintu. Merasa jengah dengan drama dihadapannya.

Rupanya waktu tak banyak merubah mereka. Apa yang dilihatnya sepuluh tahun yang lalu terulang kembali pada hari ini.

Mereka bertiga masih memainkan drama yang sama, dengan plot dan alur cerita yang sama.

Tapi kali ini Aria tidak akan mengikuti script, dia tidak mau memerankan antagonis bodoh yang nantinya berakhir dengan naas. Dia sudah menulis script yang berbeda.

Dia sudah menyusun naskah untuk dirinya sendiri. Dia akan mengganti setting karakternya.

Tanpa memperdulikan dua orang yang sedang pamer bonding antara ibu dan anak itu, Aria berseru.

“Hari ini aku mengumumkan jika mulai dari saat ini, Aria Aji akan mulai menagih hutang.” Aria membusungkan dadanya, dengan bangga dia mendeklanamasikan perang.

Ibu dan anak itu secara bersamaan menoleh ke arahnya. Kedua orang itu tentunya tahu apa maksud dari perkataan Aria itu.

“Beserta bunganya.” Aria tersenyum cerah. Dia sedikit senang dengan respon yang diberikan oleh dua orang itu.

Dia tahu apa yang bisa membuat dua orang itu panic.

Sebenarnya dia sudah sejak lama tahu akan hal ini, hanya saja waktu itu dia masih terlalu naif dengan pemikirannya.

Masih berpikir jika kebaikan dan kesabaran akan membuat dunia ini menjadi lebih baik.

Untuk itulah selama ini dia memilih diam dan dan menghindar. Dengan harapan mereka akan meninggalkannya sendiri.

Tapi ternyata postif dan negative tidak menghasilkan nol.

Untuk itu dia memutuskan untuk menambah negative dengan negative agar bisa menghasilkan positif.

“Joe bisakah kau pinjamkan aku ponselmu?” Aria masih dengan senyum cerahnya mengadap pada Joe.

Mengulurkan tangannya pada Joe yang sekarang ini sibuk berkutat dengan google translate, rupanya dia sangat ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Joe yang belum pernah melihat Aria tersenyum selebar itu menelan ludahnya. Walaupun Aria tersenyum dampai matanya, dia merasa merinding.

“Joe?” Aria memanggil Joe yang tidak juga memberikannya ponsel.

“Oh,” Joe tersentak dari lamunannya, buru-buru mrnutup laman pencarian dan memberikan ponsenya kepada Aria. Dia sedikit malu terpergok langsung sedang menguping.

“Aku tidak menangkap satu pun perkataan kalian.” Joe menjelaskan.

Aria tidak memperdulikannya, Joe tahu atau tidak, itu sama saja.

Begitu menerima ponsel dari Joe, Aria langsung membuat sebuah panggilan.

Sembari menunggu panggilan itu tersambungkan, Aria menyempatkan diri untuk melirik kedua orang yang masih mematung di depannya. Lagi-lagi dia tersenyum.

“Pengacara Pramudya, ini Aria.” Aria mulai berbicara begitu panggilan tersambungkan. Dia sengaja memberikan jeda yang sedikit panjang. Membiarkan mereka mendengar ucapan puji syukur yang diucapkan oleh orang di sebrang.

Wira Pramudya yang belum tidur selama tiga hari sangat senang ketika mendapatkan telpon dari Aria. Saking senangnya dia hampir saja bersujud syukur andaikan dia tidak sedang berada di tempat dinner.

Dia meletakan beberapa uang di meja dan bergegas keluar tidak perduli jika dia membayar untuk makanan yang belum disajikan. Aria adalah hal terpenting untuknya saat ini, jika dia bersikeras menunggu makananya, dia tidak yakin jika kesempatan seperti ini akan datang lagi.

Dia ingin segera menyelesaikan tugasnya dan pulang ke Indonesia. Makanan di sini membuat lidahnya tersisa. Dia merindukan nasi pecel buatan ibunya.

Aria tertawa kecil, dia sangat menikmati saat-saat ini, dengan terus menatap kedua orang di hadapannya, dia menjatuhkan bomnya. “Bisakah kau datang ke rumahku sekarang. Aku akan menandatangagi surat itu.” Kedua orang itu yang semakin pucat. Wajah mereka tak karuan ekspresinya.

“Tentu, tentu saja nona , aku akan sampai dalam lima belas menit.” Jawabah antusias Wira Pramudnya menjadi akhir dari panggilan itu.

“Apakah kalian mau masuk dan menjadi saksi?” Aria berkata memprovokasi. Dia memberikan gesture penuh kemenangan.

“Aria jangan besar kepala kamu!” Amelia adalah yang pertama kali sadar. Dia memdesis penuh kebencian kepada Aria.

Sedangkan Ariel, wajah penuh kesedihannya sudah luntur untuk beberapa detik. Dia menatap Aria tajam sebelum akhirnya dia kembali menguasai diri. Dan kembali pada perannya.

“Tentu saja aku tidak boleh besar kepala, ini baru awal. Kalian bersiaplah.” Aria memberikan tatapan conggkak kepada mereka. "Aku menagih hutang berserta dengan bunganya."

Itu membuat mereka semakin tersulut. Ameli memberikan isyarat kepada bodyguard-nya.

Dia sudah memberikan insteruksi sebelummnya. Tentu saja dia sudah mempersiapkan rencana cadangan jika sesuatu terjadi di luar keinginannya.

Pria berotot itu melangkah maju dan dengan paksa menangkap pergelangan tangan Aria. Menyeretnya menjauh dari pintu.

Aria memang bisa berkelahi. Tapi karena satu minggu ini dia hanya berbaring di atas tempat tidur, dia tidak punya cukup stamina untuk mepis serangan itu. Dia terhuyun kearah pria itu.

Dan ketika pria itu melepaskan pegangannya dia terlempar dan menghantam tembok.

“Ah!” Joe menjerit. Dia dengan panic berlari kearah Aria.

Ketika dia melihat darah mengalir dari dahi Aria, segala sumpah serapah keluar dari mulutnya.

Dia hendak untuk menelpon polisi tapi niatnya itu diketahui oleh Ariel yang langsung merebut ponselnya. Dia menyuruh pengawalnya untuk menahan Joe.

Amelia mendekati Aria. Dia menjambak rambut Aria dan memaksanya berdiri. “Aku akan selalu berada satu langkah di depanmu. Lebih baik kau menyerah Aria.” Dia menghempaskan Aria. Membuatnya kembali terjah ke lantai. “Berhenti sekarang dan ikut mama pulang.” Dia memberikan tatapan merendahkan kepada Aria.

“Mama!” Ariel memekik. Menghentikan Amelia yang bersiap untuk kembali menjambak Aria.

“Kak Aria, mama hannya ingin yang terbaik untuk kakak.” Ariel berjongkok si depan Aria. Ariel terisak dengan begitu sangat memilukan. Orang yang melihat akan mengira jika Ariel yang baru saja dihempaskan ke tembok.

“Heh,” Aria mencibir. Karena dia menunduk dan wajahnya tertutupi oleh rambut, Ariel tidak tahu jika saat ini Aria sedang tertawa mengejeknya.

Sangat disayangkan dengan kemampuan berekting sehebat itu, Ariel tidak masuk ke dalam dunia entertainment. Tidak bisa dibayangkan berapa banyak piala Oscar yang akan dia menangkan jika dia masuk ke Hollywood.

“Kak Aria, pulanglah bersama kami, Ariel mohon...” tangisan Ariel semakin menjadi

Aria sungguh ingin tertawa, “Masudmu pulang bersama dengan kalian dan memberikan kesempatan kepada kalian untuk merebut harta warisanku? Jangan pikir aku tidak tahu.” Aria mendongak. Matanya menatpa Ariel penuh dengan cemoohan.

“Aria berhenti untuk tidak tahu diri.” Amelia mendesis.

“Dan kamu Ariel, berhenti membelanya.” Dia menarik Ariel berdiri.

“Roy seret dia.” Amelia memberikan perintah kepada pengawalnya.

Roy yang tahu harus berbuat apa, segera melepaskan Joe.

“Apa yang ingin kalian lakukan. Ini illegal. Hentikan.” Joe semakin histeris ketika Roy mendekati Aria. Dia memenghalangi Roy dengan memeluk kaki pria itu. Sekuat tenaga berusaha menahan Roy yang dua kali lipat lebih besar darinya.

“loel, haec est pars consilii mei.” Aria menggelengkan kepalanya kepada Joe. Joe menatap Aria, memastikan jika Aria sungguh-sungguh dengan perkataannya. (Joe, ini adalah bagian dari rencana ku.)

Setelah merasa yakin, barulah dia melepaskan kaki Roy.

Tapi dia masih tidak tenang melihat Aria dibawa pergi oleh mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!