Tok tok tok tok tok.....
Mendengar seseorang yang mengetuk pintu malam-malam, Ibunda Arin pun berjalan menuju ke arah ruang tamu berniat untuk membuka pintu.
Ceklek....
"Malam Tante, Arin nya ada?" tanya Veli salah satu sahabat Arin yang sering mondar-mandir bermain ke rumah Arin.
"Eh nak Veli, silahkan masuk. Wah nak Veli cantik sekali," kata bunda Arin saat melihat tampilan sahabat dari anaknya tak lupa juga mempersilahkan sahabat anaknya itu duduk.
"Ah Tante bisa saja," jawabnya tersenyum tipis.
" Bunda panggil Arin dulu ya," kata bunda Arin.
Tak lama keluarlah Arin yang sudah cantik dengan gaun pestanya.
"Wah Lo cantik banget Rin," puji sahabatnya itu.
"Ah bisa aja kamu," jawab Arin tersipu malu.
Arin berasal dari keluarga sederhana, kerena kepintarannya dia bisa bersekolah di sekolah kalangan atas.
Hari ini adalah hari kelulusan mereka, semua siswa maupun siswi sepakat mengadakan acara di hotel berbintang.
Awalnya Arin menolak tetapi atas bujukan dari sahabatnya, Arin pun bersedia ikut menghadiri acara itu.
"Aku pamit ke Bunda dulu ya," pintanya kepada Veli. Veli pun mengangguk dan tersenyum menyeringai.
Arin pun menuju dapur, melihat sang bunda sedang membuatkan bubur untuk sang Ayah.
"Bunda.... Arin pamit dulu ya," pamit Arin saat sudah berada di dapur. Arin pun mengengam tangan sang Bunda untuk di cium.
"Nak hati-hati, entah kenapa perasaan Bunda hari ini tidak enak," kata Bunda merasa khawatir terhadap putri pertamanya itu.
Mendengar perkataan Bunda Arin, dengan cepat Veli menyela.
"Bunda jangan khawatir, kan ada Veli," jawab Veli meyakinkan.
'Rencanaku tidak boleh gagal,' batin Veli.
"Titip Arin ya nak," kata bunda dengan ragu.
"Pasti Bunda, tenang saja Arin pasti aman," jawab Veli penuh keyakinan.
Arin maupun Veli pun selesai berpamitan, keduanya berjalan menuju pintu meninggalkan rumah sederhana itu.
Bunda Arin tak bisa mengantarkan Arin maupun Veli ke depan rumah karena dia harus membuatkan bubur untuk suaminya yang sedang sakit, ya Ayah Arin saat ini tengah sakit, sakit yang dialami sudah setahun belakangan.
"Vel, sebenarnya aku risih pakai baju seperti ini," kata Arin sambil menarik bajunya ke bawah.
Arin yang biasanya berpenampilan sopan kali ini menurut saja kala Veli beberapa hari lalu mengantarkan baju pesta yang seksi kepadanya, dengan alasan agar Arin tampak berbeda di acara nanti karena ini adalah pesta kelulusan. Mau tak mau Arin menuruti permintaan Veli dengan bujuk rayuannya.
"Kamu cantik kok, sudah biasakan saja. Lagian di sana semua juga pakai baju seperti kita," bujuk Veli tersenyum licik.
Arin pun mengangguk lagi-lagi percaya dengan ucapan dari Veli.
Arin begitu mempercayai Veli, karena Arin tak mempunyai sahabat lagi sewaktu SMA selain Veli. Banyak di antara temannya menganggap Arin tak pantas berteman dengan mereka karena miskin, cuma Veli saja yang mau menjadi temannya.
"Vel, kita ke sana naik apa?" tanya Arin karena tidak melihat mobil Veli.
"Oh nanti kita akan di jemput kak Jo, mungkin sebentar lagi sampai," jawab Veli dengan tenang.
"Ha kenapa harus Jo? Aku kan tidak begitu suka dengannya," protes Arin karena tidak begitu suka dengan Jo semenjak Arin menolak pernyataan cinta dari Jo.
"Ya mau bagaimana lagi, kan mobil ku ada di bengkel. Tenang saja ada aku kok," jawab Veli mencoba meyakinkan sahabatnya.
Arin pun hanya pasrah karena bujukan Veli, lagi-lagi Veli mudah sekali menuruti permintaan maupun ucapan sahabatnya itu.
Tak lama mobil putih muncul di depan mereka, dari dalam mobil keluarlah anak muda berwajah tampan.
Sesaat pemuda itu terpanah, ternyata baju yang dia pilih sangat cocok untuk Arin kenakan. Jo pun segera tersadar karena tak ingin membuat Arin tak nyaman.
"Silahkan tuan Puteri naik," kata Jo membungkukkan badan di depan Arin. Arin pun terpaksa masuk.
Jo masuk ke dalam mobil, tak lupa mengerlingkan mata nya kepada Veli sebagai ucapan terima kasih.
'Arin kamu sungguh cantik,' batin Jo memandang Arin dari kaca mobil.
"Ehemmm....... Jangan pandangan terus," ledek Veli kepada Jo yang tak hentinya menatap Arin.
Arin pun risih karena sedari tadi Jo memandang dirinya terus menerus, Arin pun menarik tangan Veli karena tak nyaman.
"He he he he he maaf habis Arin begitu cantik malam ini," jawab Jo kikuk.
"Fokus tuh ke jalan," kata Arin dengan jutek.
Di dalam mobil kembali diam, tak ada yang berbicara. Arin yang fokus memandang jalanan melalui kaca jendela, sedangkan Veli berbalas chat dengan pacarnya.
Jo diam tetapi sekali-kali mencuri pandang ke Arin.
Mobil pun berbelok ke arah tempat di mana berlangsungnya acara, Jo pun turun membuka pintu untuk ke duanya.
"Terimakasih Jo," kata Veli dan Arin bersamaan.
Arin pun mengandeng tangan Veli karena dirinya merasa asing di tempat ini, Arin baru pertama kali pergi ke tempat seperti ini.
Veli pun diam membiarkan sahabatnya mengandeng tangan nya meskipun risih tetap Veli diam.
'Sebenarnya sih aku malu mengandeng tangan Arin, ini semua permintaan Jo kalau tidak mah aku malas mengajak Arin,' batin Veli.
Veli mencoba melepaskan tangannya saat berada di ruangan, semuanya temannya bertegur sapa.
Karena binggung Arin pun duduk sendiri di pojokan sedangkan Veli sudah berdansa bersama kekasihnya.
Arin memindai semua orang yang ada di sana, dia menghela nafas panjang. Tidak ada yang mau berteman dengannya.
Arin pun mengambil minuman yang di sediakan, memandang ke arah temannya yang tertawa dan berfoto bersama.
Arin hanya bisa menunduk, dalam hatinya menyesal karena menuruti permintaan sahabatnya untuk datang ke sini.
"Ehemm.... Boleh kan aku duduk di sini," kata Joe membuyarkan lamunan Arin.
Arin mendongak saat melihat Jo sudah berdiri di hadapannya.
Arin tak menjawab tetapi Jo sudah duduk di depannya.
"Mana Veli ?" tanya Jo basa-basi.
"Veli lagi sama kekasihnya," jawab Arin singkat.
Jo tersenyum tipis, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Di tempat dansa....
Veli berdansa bersama teman-temannya.
"Vel, ngapain sih upik abu kamu ajak," protes Sinta teman sekelas Arin.
"Ha ha ha ha, sebenarnya sih gue juga ogah ajak tuh Arin," jawabnya santai.
"Iya lihat tuh, mau pakai baju apapun upik abu tetap upik abu," kata Ria tak kalah sinis.
"Tuh lihat Jo deketin Upik abu," kata ria menunjuk ke arah Arin duduk.
"Iya apa bagusnya tuh Upik abu," sewot Sinta yang dari dulu menyukai Jo.
"Pesona mu kala dari Upik abu," ledek Veli.
"Bisa aja sih lo," jawab Ria membuat Sinta cemberut.
"Pepet tuh Jo awas di embat upik abu," kata Ria kepada Sinta.
"Dih Upik abu mimpi jadi Cinderella, mimpi....." sungut Sinta dengan tatapan kesal bercampur cemburu.
Tangan Sinta pun terkepal Erta, melihat Jo berbicara dengan Arin.
"Ha ha ha ha ha ha ha ha ha," ketiga orang itu pun tertawa.
.
Bersambung.....
Jo terus memandang ke arah Arin, tatapan matanya yang begitu memuja kepada sosok perempuan cantik yang sudah berhasil mencuri hatinya selama ini.
'Hari ini kamu harus menjadi milikku,' batin Jo tersenyum misterius.
Sedangkan Arin engan melihat ke arah Jo, karena Arin tahu Jo sedari tadi terus memandang ke arahnya membuat Arin begitu risih.
Sedangkan di lain sudut.
Semua teman Arin berjingkrak-jingkrak saat DJ memutar musik yang begitu enerjik. Semuanya menikmati pesta ini dengan senang, karena nantinya mereka jarang bertemu kebanyakan dari mereka merencanakan akan kuliah di luar negeri maupun luar kota.
"Aduh Veli mana sih," guman Arin dengan suara kecil tetapi masih dapat di dengar oleh Jo.
"Jangan khawatir nanti aku antar pulang," jawab Jo dengan senang hati.
Arin diam tak menggubris perkataan yang keluar dari mulut Jo.
Akhirnya Jo tersenyum lebar karena bisa memandang Arin dengan puas, Jo tak menyangka Arin yang selalu tampil dengan baju longgar ternyata memiliki bentuk tubuh yang bagus. Jo begitu senang memandang wajah Arin yang cantik meskipun dengan polesan makeup tipis.
Tak lama musik pun berganti dengan musik melow, banyak dari mereka yang lelah memilih duduk untuk menikmati sajian maupun minuman yang ada di sana.
"Veli....." teriak Arin saat melihat Veli berdansa bersama teman-temannya dengan jarak yang tak terlalu jauh.
Di lantai dansa.....
"Tuh Upik abu nyariin," ledek Sinta kepada Veli.
"Ckk ngapain sih manggil aku segala, jadi malu kan aku," grutu Veli dengan wajah sedikit kesal.
"Ha ha ha ha ha, mamam tuh Upik abu," ledek Ria sambil menertawakan Veli.
"Ish kalian nih senang lihat aku menderita," keluh Veli engan meninggalkan kedua temannya.
"Samperin tuh, lo kan yang sering di kasih contekan sama tuh anak, jadi sekarang gantian lo jadi baby sitter tuh anak," kata Ria begitu senang melihat wajah kesal Veli.
"Ha ha ha ha ha ha ha ha ha," kedua teman Veli pun tertawa.
Veli pun dengan terpaksa meninggalkan tempat dansa itu, meskipun dengan perasan dongkol tetapi Veli pun menghampiri Arin. Veli tak ingin Arin pergi secepatnya dari tempat ini sebelum semuanya selesai.
Veli berlari kecil menghampiri Arin dan Jo.
"Eh maaf ya, tadi keasyikan ngobrol," elak Veli dengan muka yang di buat penuh dengan penyesalan.
Melihat wajah sahabatnya, Arin pun merasa tak enak.
"Maaf ya, aku menganggu kamu," jawab Arin sendu.
"Eh gak apa-apa. Apa kamu sudah mencicipi hidangan dan minuman yang ada di sini," kata Veli mengalihkan pembicaraan.
"Belum....." Arin menunduk meremas bajunya, tak mungkin dia mengatakan kalau sedari tadi tak ada yang mau mengajak dia berbicara atau sekedar menyapa dirinya.
"Ya sudah ayo kita icip-icip dulu sebelum pulang," ajak Veli.
"Ayo Jo," ajak Veli saat Jo masih setia duduk di sana.
"Kalian saja, aku masih kenyang," tolak Jo.
Veli pun mengandeng tangan Arin menuju ke tempat yang menyediakan makanan dan minuman.
Veli melirik ke arah Jo yang masih duduk di sana.
Setelah kepergian Veli dan Arin, Jo memesan minuman untuk dirinya.
Jo memanggil salah satu waiters yang sedang menyajikan minuman.
Pelayan itu pun menghampiri Jo.
"Ada apa mas, anda butuh minuman apa?" tanyanya kepada Jo.
Jo memberikan kode agar pelayan itu mendekat ke arahnya. Jo pun membisikkan sesuatu di telinga pelayan tadi.
Meski ragu, pelayan itu mengangguk. Tak lupa Jo memberikan sesuatu dalam botol yang sangat kecil, Jo pun memasukkan sesuatu ke dalam saku celana sang pelayan tadi.
Melihat Jo memasukkan sesuatu ke dalam sakunya, pelayan itu pun berbinar karena senang setelah itu dia meninggalkan Jo sendiri.
Tak lama Veli pun kembali, dia berjalan cepat menuju ke arah Jo.
Veli pun sampai di meja Jo, Veli menoleh ke kanan-kiri memastikan bahwa tidak ada yang mendengar ucapan itu.
"Cepat juga obat Lo bekerja," kata Veli dengan suara pelan.
"Jelas dong. Ternyata tuh pelayan melakukan pekerjaan dia dengan baik," jawab Jo dengan bangga.
Veli pun menepuk dahinya sendiri, sejenak dia melupakan sesuatu.
"Jo cepat sana, Arin sudah masuk ke dalam kamar 3222. Tadi aku lupa mengunci pintu....Cepat ke sana," kata Veli dengan suara kecil.
Jo pun bergegas berdiri. "Tenang kalau sudah beres, nanti ku kirim ke rekening kamu," kata Jo berbalik ke arah Veli.
Veli pun mengangguk, mengacungkan jempolnya kepada Jo sebagai tanda menyemangati.
'Arin tunggu sebentar lagi kamu akan jadi milikku selamanya,' batin Jo.
Setelah kepergian Jo dari tempat ini menuju kamar tempat dimana Arin berada.
Veli pun memandang punggung Jo yang menghilang.
'Arin aku terpaksa melakukan semua ini, aku benci karena kedua orang tuaku selalu membandingkan ku dengan mu karena aku kalah pintar denganmu, bahkan Regan selalu memujimu di depanku. Sebenarnya aku malu jadi sahabatmu tetapi karena permintaan kedua orang tua ku, aku harus berpura-pura baik di depanmu, kalau bukan karena kepintaran mu sudah dari awal aku tak ingin berteman dengan mu,' batin Veli dengan jujur.
Meskipun ada rasa bersalah tetapi rasa benci begitu besar menutupi hatinya.
Di dalam kamar.....
"Uhhhh panas..... Kenapa aku berada di sini? kata Arin saat melihat ke sekeliling ruangan.
Dengan tertatih-tatih Arin mencoba bangkit, dia berjalan dengan menegang kepalanya yang terasa pusing dan tubuhnya yang terasa panas.
Arin sampai di pintu. "Untung pintu tak di kunci," lirih Arin.
Meski dengan kesadaran yang sedikit Arin mencoba keluar dari kamar itu, Arin menahan gejolak dalam tubuhnya yang begitu menyiksa.
"Di mana Veli," lirih Arin.
Saat Arin keluar beberapa langkah tiba-tiba dia tarik paksa oleh seseorang.
"Cepat ikut aku, bos sedang menunggu mu," perintah seseorang berpakaian rapi.
Arin yang masih sedikit sadar pun kaget binggung, dia tak mengerti maksud dari orang itu.
"Hei lepaskan aku, kamu siapa?" teriak Arin meronta-ronta melepaskan tangannya yang di tarik paksa masuk ke dalam lift.
"Aku tahu kalau kamu itu wanita panggilan kan? Jangan sok polos, cepat layani bos aku. Tenang saja nanti kamu dapat bayaran yang setimpal," jawab orang itu masih menarik paksa tangan Arin.
Lift berhenti di depan kamar super mewah.
"Kamu salah orang, aku bukan wanita seperti itu," Teriak Arin meronta-ronta.
Orang itu tak menghiraukan saat Arin meracau, dia berfikir Arin sedang mabuk.
Bugggg.....
Ceklek.....
Arin di dorong masuk ke dalam sebuah kamar, setelah itu orang itu mengunci pintu kamarnya.
Arin mencoba bangkit, Arin menggedor-gedor pintu itu.
Dor dor dor dor dor dor.....
"Hei buka pintunya," teriaknya.
Tanpa Arin sadari....... Seseorang laki-laki dewasa pun berdiri menyeringai, memindai penampilan Arin dari atas ke bawah.
"Ternyata kamu begitu cantik, meskipun masih muda tetapi bentuk tubuh kamu begitu menggoda," ucap orang itu menyeringai.
Greppp .....
Tangan Arin di tarik dengan kasar menuju tempat tidur.
Aaaaaa.......
"Siapa kamu, lepaskan aku," Teriak Arin di sertai air mata yang membanjiri wajahnya.
"Aaah kenapa tubuhku panas," racau Arin tubuhnya menggeliat karena reaksi obat yang di taruh Jo di makanan Arin pun mulai beraksi.
Aaaaaa......
.
.
Bersambung.....
Pria itu duduk di ranjang memperhatikan gerak-gerik wanita cantik di depan nya. Pria itu mengerutkan keningnya kala melihat gelagat wanita muda itu.
"Apa dia terkena obat laknat itu," guman pria tampan itu saat memperhatikan tingkah laku Arin.
"Aaah kenapa tubuhku panas," racau Arin tubuhnya menggeliat karena reaksi obat yang di taruh Jo di makanan Arin beraksi.
"Aaah geraaah ....." racau Arin berteriak karena rasa panas di tubuhnya.
"Aaah ha-us, air tolong air....." ucap Arin merasakan tenggorokan begitu terasa haus serasa terbakar.
Pria itu pun merasa kasihan, dia memberikan Arin minum karena tak tega melihatnya.
Arin pun menerima itu dengan cepat, dia meneguk air di dalam gelas itu sampai habis tak tersisa tetapi tubuhnya masih terasa panas.
Keringat membanjiri wajah cantik Arin.
"Aaah kenapa tubuhku begitu panas," racau Arin.
"Nyalakan AC nya," pinta Arin dengan wajah memelas.
Pria itu pun menyalakan AC, pria itu masih duduk di ranjang sambil mengamati sosok wanita di depannya tanpa berniat mendekati.
"Kenapa masih panas,"
"Tolong..."
Tak henti-hentinya Arin meracau tak jelas.
Arin menguncir rambut nya ke atas, dia mengibaskan tangan nya ke wajah, keringat masih tak berhenti menetes.
Pria itu seketika tersenyum melihat wajah cantik itu terlihat polos. Pria itu menarik tangan Arin untuk mendekat ke arah nya untuk bisa melihat lebih dekat wajah Arin.
"He-hei lepask-kan a-ku," ucap Arin terbata, Arin memberontak mencoba melepaskan cengkraman tangan pria itu tetapi dia sudah tak bisa karena tubuhnya lemas dan dia sudah tak sanggup mengontrol dirinya.
Arin mencoba menyingkirkan tangan Abraham.
"Cih jangan sok suci, aku tahu kamu wanita macam apa," ucap pria ini dengan nada sinis di telinga Arin.
Tanpa bisa Arin kendalikan dia pun menggeliat merasakan tubuhnya begitu panas.
"Ha ha ha ha ternyata kucing liar ku sudah tak sabar," ucap pria itu tersenyum mengejek kearah Arin.
"Ka-kamu salah orang, ak-u bukan perempuan seperti itu," protes Arin terbata menahan diri agar kesadaran tak hilang.
"Jangan sok jual mahal, aku tahu kamu wanita seperti apa jangan coba untuk mengelabui ku," sinis Abraham mencengkeram erat tangan Arin.
"Le-lepaskan aku... Jangan mendekat," saat kesadaran Arin sedikit terlihat.
"Aaaaaa panas..." racau Arin.
"Uuhhhhh panas, tolong bantu aku," pinta Arin memelas.
Entah kenapa wajah Arin yang terlihat mengemaskan di mata pria tampan itu.
"Ternyata Hendra pintar juga memilih wanita untukku malam ini, tidak seperti biasanya yang membuatku tak suka," kata pria itu begitu puas melihat wajah cantik di depannya.
"To-tolong jangan, aku bukan seperti wanita yang kamu pikirkan," lirih Arin saat kesadarannya sedikit kembali, Arin berusaha mencoba untuk membatalkan niat laki-laki di hadapannya.
"Ha ha ha ha ha ha ha jangan sok suci," kata orang itu tersenyum penuh nafsu.
"Sial kenapa melihatnya seperti ini membuatku ingin melahapnya," umpat laki-laki itu.
Semenjak kematian sang istri tercinta, membuat laki-laki itu semakin dingin terhadap semua wanita. Sang asisten sering kali menawarkan wanita bayaran untuk menemaninya, tetapi nihil tidak ada yang bisa membangkitkan gairah nya semenjak kepergian istri tercintanya.
Serasa dunianya hambar sejak kehilangan wanita yang di cintanya. Banyak wanita yang sering mendekati dirinya harus menelan pil kecewa karena tidak ada berhasil meraih cinta maupun masuk dalam hatinya. Dia berfikir perempuan yang mendekatinya hanya tertarik dengan harta yang dia miliki atau sekedar ingin tenar, dia ingin cinta tulus bukan penuh kepalsuan.
"Ahhhh panasss......." kata itu lolos dari mulut Arin saat obat yang ada di tubuhnya mulai beraksi.
"Ternyata Hendra pintar juga memberikan obat kepada dia sebelum memasukkan dia ke sini, pintar juga dia," ucapnya begitu senang melihat Arin yang seperti cacing kepanasan.
Pria itu mengira Hendra sang asisten yang memberikan wanita muda ini obat untuk menggoda dia.
Arin yang sudah tak sadarkan diri hanya bisa meracau tak jelas.
"Diam dan nikmatilah sayang, aku akan memberikan kenikmatan yang kau inginkan,"
"Sial kenapa sulit sekali," umpat pria itu.
"Ah apa kamu masih perawan? kenapa sulit sekali. Ah tidak mungkin Hendra memberiku gadis perawan meskipun kamu masih muda, tetapi aku tak percaya," kata pria itu menolak pikirannya dia mengira Arin adalah wanita bayaran.
"Aaaaa...... Sakittttt......." Jerit Arin terdengar memilukan saat kehormatan yang dia jaga selama ini telah hilang di rengut paksa.
"Hiks hiks hiks hiks hiks hiks hiks hiks," tangis Arin.
Pria itu tertegun, dia seperti dejavu...... Pria itu seperti pernah merasakan ini sebelum nya, pria itu merasakan seperti baru saja merobek sesuatu.
"Kamu..." pria itu tersentak kaget.
"Aaah hiks hiks hiks hiks hiks sakit," teriak Arin menahan rasa sakit.
"Hiks hiks hiks hiks lepaskan," teriak Arin meronta.
Pria itu menghentikan aksinya memandang ke arah wajah cantik Arin yang kesakitan.
"Ha ha ha ha ha tidak mungkin kamu....." Ucap pria itu tak percaya kalau wanita di depannya masih murni, dia tak mau mengakui yang ada di pikirannya.
"Lepaskan sakit," rintihan Arin lagi tak sanggup menahan rasa sakit yang begitu luar biasa yang dia rasakan.
Pria itu berhenti karena melihat wajah wanita itu kesakitan, pria itu pun memandang ke arah bawah tanpa sadar dia melihat bercak darah.
Deg....
Deg....
Deg....
Akhirnya harta yang Arin jaga selama ini pun hilang.
Pria itu membelai wajah cantik Arin.
"Sayang terimakasih," ucap pria itu mencium kening Arin dan tertidur di samping Arin.
Pria itu memeluk Arin dengan begitu posesif. Tanpa pria itu pikir bagaimana reaksi gadis itu saat bangun nantinya. Pria itu justru tertidur begitu lelap tanpa sedikitpun beban bersalah.
Sementara di rumah Arin.....
Seorang wanita paruh baya begitu khawatir karena sampai sekarang sang putri belum pulang, sedangkan untuk menghubungi sahabat sang putri bunda Arin tidak bisa karena dia tidak mempunyai nomor ponsel Veli.
Bunda mondar-mandir di ruang tamu, menunggu anak gadisnya pulang.
"Kemana kamu nak? kenapa belum pulang," guman bunda dengan begitu khawatir.
Tak henti-hentinya bunda melihat ke arah jam dinding.
"Apa yang harus ku bilang sama ayah kamu? pasti dia cemas memikirkan mu," lirih bunda.
Dan benar saja, seseorang pria berteriak.
"Bunda, apa Arin sudah pulang?" teriak sang ayah penuh tanya karena sedari tadi begitu mencemaskan putrinya. Sang ayah tak bisa tidur nyenyak di dalam kamar, sedari tadi terus menanyakan tentang putrinya.
Bunda Arin semakin binggung, dia harus berbicara apa kepada suami nya.
Bunda Arin menghela nafas panjang. Dia bergegas berjalan menuju kamar di mana sang suami berada.
"Emm..... Arin baru saja menghubungi Bunda, dia bilang tidak bisa pulang dan menginap di rumah Veli," bohong Bunda Arin, dia tak ingin sang suami berfikir macam-macam dan berpengaruh terhadap kesehatan nya.
'Ayah maafkan bunda harus berbohong, kalau Bunda berterus terang Bunda takut kesehatan Ayah terganggu. Bunda juga binggung kenapa Arin belum pulang juga padahal dah larut malam,' batin Bunda.
"Ayah istirahat saja," bujuk Bunda Arin memakaikan selimut ke tubuh sang suami.
"Benar kan Bunda tidak berbohong?" tanya sang ayah memastikan.
"Kenapa bunda harus berbohong," kata Bunda meyakinkan sang suami.
Bunda tersenyum lembut tak menampakkan wajah cemasnya, dia tak ingin sang suami semakin curiga.
.
.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!