NovelToon NovelToon

Kekasihku, Pacar Ibuku

Chapter 1

"Cla, papa minta kamu pulang ya, Nak. Besok kamu sudah harus balik ke Indonesia. Ini penting!"

Hanya itu yang diucapkan ayahnya sebelum menutup telepon, tanpa basa basi. Clara tentu saja heran, dia baru enam bulan kuliah di Sidney, tapi sudah disuruh pulang. Kalau dideteksi dari suara ayahnya, pria itu tampak baik-baik saja.

Selama ini ayahnya selalu terbuka padanya. Hidup berdua sejak Clara kelas satu SMP, membuat keduanya saling menjaga. Saat Clara minta izin ke Sidney saja, Agus sudah berat memberikan restunya. Putri semata wayangnya akan hidup jauh darinya, tentu akan membuatnya tidak tenang. Tapi Clara berhasil meyakinkan ayahnya hingga diberi izin.

"Papa apaan sih, ini masih enam bulan udah disuruh pulang, gimana kuliahku?" ucapnya bermonolog.

Tapi karena dia begitu sangat menyayangi ayahnya, dia tidak ingin membuat ayahnya sedih, maka Clara memutuskan untuk pulang besok, setelah mengurus surat izin ke kampus.

***

Dengan penerbangan pertama, Clara pulang. Gadis itu baru 18 tahun, dan tidak pernah berpisah dari ayahnya hingga kuliah di Sidney enam bulan lalu, tapi dia gadis yang berani mencoba hal baru, yang selalu ceria dan percaya kalau semua akan baik-baik. Walau sedikit cengeng dan sentimentil. Tidak ada yang perlu ditakuti.

"Silakan, Mbak," ucap pramugari mempersilakannya masuk ke dalam kabin bisnis class.

"Maaf Mbak, tiket saya ekonomi," sahut Clara tidak mengerti mengapa dipindahkan. Dia memang anak orang kaya, ayahnya pengusaha sukses, tapi Clara buka tipe gadis manja yang suka menghamburkan uang ayahnya.

Prinsipnya baik di kelas ekonomi atau bisnis class, sama saja, akan sampai bersamaan. Jadi untuk apa membuang uang hanya demi kenyamanan yang hanya dirasakan beberapa jam saja.

"Benar, Mbak. Tapi kelas ekonomi sudah penuh. Jadi bangku anda kita ganti di kelas bisnis," terang pramugari cantik itu.

Clara tentu saja menerimanya dengan senang hati. Duduk di bisnis kelas tapi hanya membayar seharga bangku ekonomi.

Penuh semangat gadis cantik itu mengikuti langkah pramugari itu menuju tempat duduknya. Clara duduk bersebelahan dengan seorang pria yang tampak sibuk dengan benda pipih canggihnya. Clara duduk yang mulai memasang earphone di telinganya dan menikmati musik dari playlist di ponselnya yang sudah mode pesawat.

Pesawat mulai take off, dan Clara menikmati perjalanannya. Namun, dua jam mengudara, terjadi turbulensi akibat cuaca yang tampak buruk di luar sana.

Spontan Clara meremas lengan pria itu untuk berpegangan. Kukunya tentu saja menggores lengan pria itu sampai meringis kesakitan.

Dengan kasar, pria yang mengenakan masker pada wajahnya itu menarik tangannya dan membiarkan Clara dengan ketakutannya sendiri. Gadis itu tidak mau tahu, tidak diizinkan memegang tangannya, Clara menarik ujung jas pria itu, tapi lagi-lagi disentak kuat dan menatap Clara dengan tatapan kesal dan penuh amarah.

Tidak ada yang dikatakan pria itu, dia hanya sedikit menggeser tubuhnya lebih ke dekat jendela, menjauhi Clara yang dianggap perusuh. "Dasar Om-om sombong. Mungkin nih orang penjahat atau buron kali ya, gak mau menampakkan wajahnya," ucap Clara dalam hati.

Pesawat landing, bergegas Clara mengambil barang-barangnya dan bergegas menuju pinta keluar bandara. Namun, saat menunggu taksi online, Clara bertemu kembali dengan pria arogan yang sombong itu. Pria itu hanya menoleh sekilas, masih dengan sikap arogannya, pria itu melangkah pergi menyerobot taksi yang sudah lebih dulu dihentikan oleh Clara.

"Brengsek, pria itu! Dia pikir dia siapa?!" umpat Clara kesal.

***

Suasana rumah megah itu terlihat sepi. Hanya ada pak Komar dan Bi Inem yang menyambut kedatangannya.

"Akhirnya, non pulang. Bibi kangen," ucap Inem dengan kegembiraan yang terpancar jelas di wajahnya.

Clara hanya tersenyum, merangkul wanita yang sudah sejak kecil merawatnya itu. "Aku juga kangen sama Bibi dan Pak Komar. Oh iya, papa mana?"

Sepasang suami istri itu saling memandang. Seolah sulit untuk memberi jawaban dari pertanyaan Clara.

"Kok malah diam? Papa mana? Dia yang suruh aku pulang, tapi malah gak ada di rumah."

"Itu... Bapak lagi pergi, Non," jawab Inem.

"Kerja? ini kan weekend?"

"Itu... gimana ngomongnya ya, Non," sahut Inem gugup. Dia berat untuk mengatakan kebenarannya pada Clara, tapi dia kasihan pada gadis itu, menurutnya dia berhak tahu.

"Ngomong aja, Bi. Ada apa? jangan buat aku takut." Perasaan Clara mulai tidak tenang. Takut, dan khawatir kalau ayahnya kenapa-kenapa.

"Non..." Suara Komar yang kini menarik perhatian Clara. Gadis itu menghadap ke arah pria berumur 50 tahun itu. "Bapak hari ini menikah di hotel The Luna."

Bola mata Clara membulat sempurna. Pendengarannya tidak mungkin salah kan? Mereka sedang membahas orang yang sama, kan? Ayahnya?!

Gila, ini gak mungkin. Clara yakin, dia salah dengar, atau kedua orang tua ini salah bicara. "Pak Komar, bercandaannya gak lucu." Clara yang tidak percaya tapi mulai terusik.

"Saya gak lagi gak bercanda, Non. Bapak memang lagi menikah di hotel The Luna. Bapak juga menyampaikan pesan, kalau non sudah sampai, meminta saya untuk mengantarkan non ke sana."

Tubuh Clara terhempas di sofa. Lemas dan juga lunglai. Ini mimpi buruk. Masalahnya ini bukan mimpi, ini kenyataan dan dia tidak bisa menerima ini. Kenapa ayahnya tidak mengatakan hal ini padanya? Mengapa dia menikah tanpa membicarakan hal ini sebelumnya dengan dirinya? Apa dia sudah tidak dianggap? Apa ayahnya tidak lagi menyayanginya? Secepat itu berubah menjadi pria yang tertutup, tidak melibatkannya dalam keputusan penting seperti ini? Ada apa dengan ayahnya?

Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Tapi satu yang paling menyita pikirannya, siapa wanita yang sudah mampu mempengaruhi ayahnya untuk menikah lagi?

Dulu, setelah kematian ibunya, tepatnya dia tahun setelah duka itu, keluarga meminta ayahnya untuk menikah dengan sepupu ibunya, dengan alasan demi Clara yang saat itu dianggap sangat butuh sosok ibu di usia remajanya. Tapi dengan tegas ayahnya menolak. Mengatakan kalau dirinya tidak akan menikah lagi, hanya akan mengurus Clara di sisa hidupnya. Tapi kini?

Clara bangkit, mengambil tas tangannya, lalu berjalan ke luar yang diikuti oleh pak Komar. "Pak, jaga non Clara. Jangan sampai buat ribut dan tuan besar marah padanya. Bapak nasehati selama di perjalanan ya, Pak."

Komar hanya mengangguk. Dia juga bingung harus berkata apa pada Clara. Menyuruhnya tenang, tapi ini memang sangat menyakitkan. Dia memahami perasaan gadis itu saat ini.

"Sejak kapan mereka kenalan, Pak? Siapa gadis itu?"

Komar masih diam. Berusaha memilih kalimat yang tepat sebagai jawaban yang pas. Dia tahu semuanya, dia sendiri yang menemani tuannya ke sana ke mari demi gadis itu, tapi rasanya tidak pas kalau dia yang harus menjelaskan semuanya.

Chapter 2

Penuh Emosi Clara mendobrak pintu kamar hotel tempat ayahnya mengucapkan janji suci dengan istri barunya. Clara ingin sudah buru-buru menuju kamar itu, berniat untuk menggagalkan pernikahan sirih ayahnya, namun takdir berkata lain, acara ijab qobul itu sudah selesai. Ayah dan juga ibu barunya tengah disalami oleh beberapa orang yang hadir di sana sekaligus menjadi saksi atas pernikahan itu.

"Clara..." Pekik Agus melihat ke arah putrinya yang sudah berdiri diambang pintu. Bergegas berdiri menyambut kedatangan Clara.

"Cla, kamu sudah sampai?" Tanya Agus gugup. Melalui mata penuh amarah, Clara menatap penampilan ayahnya dari atas hingga ke bawah. Pria itu tampak rapi dan lebih muda dari yang terakhir kali mereka bertemu.

"Apa semua ini, Papa?" tanya Clara dengan suara dingin dan datar. Dia tidak sudi melayangkan tatapannya ke arah ibu tirinya. Hanya pada mata ayahnya, demi menuntut penjelasan.

"Nanti papa jelaskan. Sekarang papa mohon kau tenang."

Deru, asisten ayahnya paham situasi yang saat ini sedang terjadi, dan bos beserta keluarganya butuh privasi untuk membicarakan banyak hal.

"Sebaiknya kita semua keluar. Mari, Pak," ucapnya pada penghulu dan juga para saksi yang diundang.

Kini dalam kamar itu hanya ada mereka bertiga. Suasana horor menyelimuti ruangan itu. Clara enggan untuk duduk walau sudah berulang kali diminta ayahnya. Dia berdiri tegak lurus ke arah ibu tirinya yang meremas tangan sedikit ketakutan.

Bagaimana tidak Clara marah. Wanita itu hanya lebih tua beberapa tahun darinya. Dari mana ayahnya mendapatkan calon istrinya itu? Bukan calon istri tapi kini sudah menjadi istri.

"Clara, ini Tiara. Sekarang ayah sudah menikah dengannya, dan dia adalah ibu tiri mu," terang Agus perlahan, sembari mengamati wajah Clara apa ada perubahan, atau anaknya itu akan bersikap bar-bar pada Tiara.

"Hei, wanita, kenapa kau memilih menikah dengan pria yang sudah lebih pantas menjadi ayahmu? kau sangat cantik, tidak mungkin tidak bisa mendapatkan yang lebih muda. Apa karena harta?" bentak Clara, emosinya tersulut. Dia bahkan ingin menjambak sanggul wanita itu.

Tiara hanya diam, menatap ke arah Clara, lalu ke arah Agus seolah minta dukungan.

"Cla, jaga ucapanmu. Hormati Tiara. Sekarang dia adalah istri papa, ibu kamu."

"Ibuku sudah ada di liang kubur! Aku tidak punya ibu dan tidak mau memanggil ibu pada wanita manapun, selain orang yang sudah melahirkan ku."

"Terserah, tapi suka atau tidak, Tiara sudah menjadi istri papa. Papa gak mau mendengar kalau kau bersikap buruk padanya."

"Jadi papa lebih milih dia dari aku? putri kandung papa?"

"Papa mohon, Cla. Jangan buat papa jadi serba salah. Papa mohon. Bertahun papa sudah setia pada ibumu, tidak bolehkan ayah merasakan kebahagiaan di hari tua papa?" ucap Agus memelas. Kebahagiaannya tidak akan lengkap kalau putrinya tidak merestui pernikahannya ini.

Sebenarnya Agus sadar kalau dia sudah bersikap salah, menikah tanpa mengatakan apapun pada Clara sebelumnya. Keadaannya begitu cepat. Agus yang beberapa bulan ini kurang sehat karena umurnya yang sudah tua, disarankan oleh karyawan sekaligus orang kepercayaannya untuk menikah lagi, agar ada yang mengurusnya.

Awalnya Agus merasa hal itu tidak mungkin. Selain tidak ingin menikah lagi, dia juga tidak punya pilihan yang mau dinikahi hanya untuk mengurusnya, hingga Burhan menyodorkan putrinya yang masih muda. Tiara menerima pinangan Agus dan akhirnya mereka menikah.

"Aku tetap tidak terima. Terserah papa mau apa. Aku akan kembali ke ke Australia."

"Tidak. Papa sudah suruh orang untuk mengurus surat pindahmu. Kau sudah tidak terdaftar lagi di kampus mu, dan papa sudah mendaftarkan di sini."

Bola mata Clara membulat sempurna. Dia tidak percaya apa yang sudah dia dengar. Diamatinya pria itu. Bertanya dalam hati benarkan pria yang ada di depannya ini adalah ayahnya? pria yang slalu menyayanginya, tidak pernah menyimpan rahasia darinya, bahkan selalu menghargai pendapatnya tidak memutuskan sepihak akan masa depannya seperti ini.

"Papa... papa jahat! Aku membencimu, papa!" Jeritnya berlari meninggalkan ruangan itu.

Dunianya jungkir balik seketika. Ini bukan mimpikan? apakah dia sedang tidur saat ini dan semua yang baru saja terjadi tidak nyata?

Tapi tida ada gunanya membodohi diri sendiri. Ini benar terjadi. Ayahnya sudah membuangnya demi istri barunya.

"Kemana, neng?" tanya sopir taksi online memecah keheningan.

"Terus aja, Pak. Nanti saja kasih tahu."

***

"Gila, lo di sini, dan gak ngabarin gue?" ucap Vera yang mendapat telepon dari Clara, meminta nya untuk datang ke tempatnya saat ini.

"Panjang ceritanya. Lo temani gue malam ini ya. Kita mabuk sampai pagi."

Vera hampir pingsan mendengar hal itu. Diamatinya Clara yang mengelus diameter permukaan gelasnya. Ini benar Clara teman dekatnya, tapi mengapa menjadi aneh? Gadis yang tidak pernah menyentuh alkohol justru minum hampir mabuk seperti sekarang ini.

"Lo ada masalah hidup apa, sih?"

Clara diam. Masih bergeming menatap gelasnya yang sudah kosong, memindahkan isinya ke dalam perutnya, membakar tenggorokannya dilewati minuman itu.

"Cla..."

"Bokap gue nikah lagi."

Setelah itu Vera tidak mengatakan apapun lagi. Duduk menemani sahabatnya itu. Ikut menikmati minuman yang ada di hadapannya.

"Hai, cantik. Berdua aja. Ikut Om, yuk?" Seorang pria buncit dengan mengenakan stelan jas lengkap mendekati Clara, merangkul pundaknya hingga dan mulai mendekatkan bibirnya ke telinga Clara.

"Woi, apa-apaan ini. Dasar bandot tua!" Pekik Clara mendorong pria gendut itu hingga terjungkal ke belakang.

"Bos, anda tidak apa-apa?" tanya tiga orang anak buahnya yang tidak jauh dari sana.

"Dasar, Pela*cur. Sok jual mahal ya, sini! Aku bisa membayarmu berapapun yang kau minta!" ucap bos gendut menjambak rambut Clara.

Gadis itu tentu saja me*rintih kesakitan. Tangannya berusaha menggapai Vera yang telah rubuh, meletakkan kepalanya di atas meja bartender.

Pria gendut terus menjambak Clara membawa menjauh ke tengah ruangan. Di sudut ruangan itu, beberapa pasang mata menatap ke arah mereka dengan tatapan tidak peduli. "Kenapa itu?" tanya temannya yang juga tengah mengamati kegaduhan itu.

"Tuan Broto, menginginkan gadis itu, tapi gadis itu tentu saja tidak mau. Beliau salah menduga, dia pikir gadis itu 'barang'," terang pemilik klub malam itu.

"Memangnya bukan? Lantas siapa?"

"Tadi temannya bilang waktu mencarinya ke sini, namanya Clara Dinata, putri tunggal Agus Dinata," terangnya kembali mengenal pengusaha sukses itu.

Agus Dinata memang beberapa kali menjadi bahan ulasan di majalah bisnis atau pun televisi.

Mendengar nama Agus Dinata, pria yang sejak tadi tidak peduli itu kini menegakkan tubuhnya, melihat ke arah Broto dan Clara yang mencoba melepaskan diri sembari memaki-maki Broto. Pria itu segera berdiri dan menuju ke sana. "Lo mau kemana, Sa? Angkasa, Lo mau kemana?" ucap Rizal, mengikuti langkah sahabatnya.

Begitu tiba di depan Broto, Angkasa langsung melepaskan satu pukulan ke wajah pria itu hingga terjungkal ke belakang. "Kau baik-baik saja?" tanyanya menarik tangan Clara untuk bisa berdiri tegak.

Chapter 3

Hanya dalam hitungan detik, pria itu sudah berhasil mengalahkan lawan. Semua anak buah Broto tergeletak tidak berdaya di lantai. Tentu saja bandot tua itu tidak terima atas apa yang terjadi dengan anak buahnya. Tidak hanya itu, rencana untuk menikmati tubuh Clara juga batal jadinya.

"Aku akan buat perhitungan denganmu. Siapapun kau, aku tidak akan membiarkan kau lolos!" Ancaman yang sama sekali tidak membuat Pria gagah itu.

Mungkin Clara sudah mabuk, tapi matanya tidak henti mengamati pria itu karena tampan rupanya. Clara terpesona pada sosok pria yang sudah menyelamatkan kehormatannya.

"Terima kasih," ucapnya tersenyum kikuk. Jantungnya berdebar kencang, seolah di dalam sana ada lomba maraton.

"Kau baik-baik saja?" ulang pria itu datar, namun berusaha menunjukkan rasa pedulinya pada Clara.

"Aku baik-baik saja. Dan itu berkat mu. Oh iya, aku Clara, namamu?"

Melihat tinggi dan perawakan pria itu, jelas Clara menilai dia lebih tua darinya, tapi untuk perkenalan pertama, biarlah, tidak perlu formal.

"Aku Angkasa. Panggil saja Kasa."

Tepat setelah mengucapkan namanya, kepala Clara yang sejak tadi sudah berputar dan terasa berat, berhasil membuatnya roboh, jatuh pingsan. Beruntung Angkasa sigap menangkap gadis itu.

"Sekarang gimana?" tanya Rizal mengamati gadis itu. Dia bahkan tidak tahu apa tujuan sahabatnya itu ikut campur. Dia tidak pernah tertarik dengan urusan orang, terlebih saat ini dia sedang dihadapkan sebuah masalah yang sangat besar, yang tidak mampu dia atasi.

"Urus temannya. Aku urus gadis ini." Tanpa menunggu jawaban Rizal, Kasa sudah membawa Clara ke apartemennya. Sebenarnya dia ingin mengantar gadis itu pulang, tapi dia belum tahu alamatnya. Lagi pula kepentingan dirinya yang ingin dia ambil dari keberadaan Clara.

***

Angkasa terhenyak dari tidurnya. Suara getaran ponsel dari dalam tas Clara membuatnya terjaga. Awalnya ingin diabaikan, tapi begitu mati, ponsel itu kembali bergetar.

Ada bimbang di hatinya, apakah dia harus membuka tas Clara dan melihat siapa yang menghubungi gadis itu. Tapi setelah lama mendengarkan, Angkasa membuka tas dan meraih ponsel Clara.

'Papa Calling...'

Kasa kembali memasukkan ponsel itu ke dalam tas gadis itu, menjauhkan dari dekatnya agar dia tidak terganggu.

Ada keinginan di hatinya untuk melihat tawanannya ke kamar. Gadis itu tertidur nyenyak setelah memuntahkan sebagian isi perutnya. Angkasa bahkan hampir saja merobek pakaian gadis itu, tapi itu tidak akan menguntungkan bagi dirinya.

Dia harus bisa mendapatkan perhatian dan juga kepercayaan gadis itu agar seluruh rencananya berhasil. "Ternyata kau adalah gadis di pesawat itu. Takdir kadang memang suka bercanda. Kita dipertemukan lagi. Tapi sial bagimu, karena harus menjadi umpan dari segala rencanaku," desisnya menutup pintu kamar dan segera pergi dari sana.

***

Pagi menjelang, suara burung terdengar riuh di luar sana. Sedikit banyak sudah membuat tidur Clara terganggu. Lagi pula, kepalanya yang masih terasa sakit membutuhkan lebih banyak waktu untuk tidur.

"Di mana ini?" Pekiknya kala membuka mata lebar dan menyadari kalau ini bukan kamarnya. Coba diurut kembali kejadian semalam yang dia ingat.

Dimulai dari hotel yang dia datangi, tempat ayahnya menikah. Ya, benar. Ayahnya sudah menikah lagi kini. Tanpa sadar dia meremas selimut yang menutupi tubuhnya hingga bata ketiak. Lalu dia ingat, demi membuang rasa kesal dan ingin melupakan masalahnya, dia pergi ke klub malam, minum dengan Vera, sampai... sampai....

Spontan tubuh Clara terduduk. Benar, ini pasti kamar pria itu. Seketika diintipnya ke dalam selimut. Dia masih mengenakan pakaian lengkap, tidak ada yang terasa sakit di antara pahanya. Jadi, dia boleh tenang kini.

"Gila, gue dibawa ke rumah nya? Terus pria itu mana?" cicitnya sembari menurunkan kakinya, menapaki lantai menuju luar. Diendusnya kemejanya terasa bau muntah hingga dia ingin muntah.

Begitu membuka pintu, dia hanya mendapati ruangan kosong, tapi ada bau sedap yang diciumnya semerbak dalam ruangan itu. Diusapnya permukaan perutnya yang datar. Dia lapar.

Dengan instingnya, dia mengikuti asal aroma itu, dan tepat itu adalah dapur dan di sana dia disuguhi pemandangan yang membuat jantungnya kembali berdegup kencang. Pria itu sedang memasak omlet, dengan outfit yang buat Clara susah menelan salivanya.

Angkasa dengan segala kesempurnaan tubuhnya hanya mengenakan boxer tidur yang pendek, dan mengenakan kaos putih yang membentuk isi tubuhnya. Perut kotak-kotak dan juga bisep yang membuat Clara bergidik menjadi daya pikat pria itu.

"Hai, kau sudah bangun?" Sapa nya tersenyum. Kan, benar, Clara jadi salah tingkah lagi. Kenapa sih dia sangat tampan? Clara hanya mengangguk. Suaranya hilang di bawa kabur gugupnya yang begitu terlihat.

"Sini. Kita sarapan dulu," ucap Kasa dengan sorot mata tajam. Anehnya aura berkuasa Kasa membuatnya tunduk. Seolah sudah terhipnotis oleh pesona pria itu. Bahkan kalau pria itu memintanya lompat dari lantai 20 ini, dia akan lakukan dengan senang hati.

Mereka makan dengan hening. Clara yang biasanya ceria dan suka banyak cerita hanya diam, karena si pemilik rumah juga diam. Dia tidak pernah menyukai seseorang seperti ini. Biasanya justru dia yang didekati para pria di kampusnya.

"Habiskan makanmu, habis itu aku antar pulang. Aku mandi dulu," ucap Angkasa beranjak dari sana. Tinggallah Clara yang mengamati bagaimana bo*kong kenyal tapi berotot itu naik turun saat Kasa berjalan.

"Ya Allah, apa yang ada dalam pikiran gue? Kenapa jadi cewek gak ada akhlaknya, sih?" cicitnya tersenyum malu atas pikirannya sendiri.

***

"Terima kasih sudah diantar," ucap Clara lembut. Mobil Angkasa sudah berhenti di depan rumahnya. Pria itu mengamati bangunan tinggi dan luas itu dengan seksama, seolah ingin mencari seseorang, menebak apakah ada orangnya di atas sana. "Masuk dulu," tawarnya penuh harap.

Dia tidak ingin menjadi gadis munafik. Dia sudah terpikat pada Angkasa dan belum ingin berpisah, masih ingin ada di dekat pria itu.

"Lain kali. Masih banyak hari-hari untuk kita bisa bertemu. Aku juga harus ke kantor."

"Apa kita akan bertemu kembali?"

"Tentu saja. Apa kau tidak mau bertemu dengan ku lagi?"

"Mau...." Clara menutup mulutnya. Malu karena sigap menjawab pertanyaan Angkasa. Harusnya kan dia agak jual mahal sedikit.

"Baiklah, kalau begitu," ucap Kasa menandakan dirinya menunggu Clara untuk turun. Tapi gadis itu malah bengong, masih diam meremas jemarinya. "Clara?"

"Oh, iya baik. Aku turun. Sampai jumpa," ucapnya keluar dari mobil mewah itu.

Clara bahkan tidak berniat untuk bergerak sejengkal pun dari tempatnya hingga mobil itu hilang di belokan rumahnya.

Clara tidak bisa menyembunyikan wajahnya gembiranya. Angkasa berjanji mereka akan bertemu lagi, hari dimana yang akan Clara tunggu.

"Akhirnya kau pulang juga!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!